Menjadi Muslim Amerika - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
16/11/2006

Menjadi Muslim Amerika

Kawan,

Sudah setahun lebih saya hidup di Amerika, tepatnya di negara bagian Massachusetts yang sangat “liberal”. Saya sungguh beruntung hidup di negara bagian yang liberal ini. Saya akan mencoba menunjukkan bagaimana hal itu menguntungkan bagi kami yang beragama Islam.

Di Amerika, saya sangat menggemari stasiun radio NPR, National Public Radio, atau kanal TV publik seperti WGBH di Boston. Saya memang tak melanggan kabel, sehingga hanya saluran gratis yang bisa saya nikmati. (Karena satu dan lain hal, saya tak bisa melanggan kabel, padahal saya sangat ingin bisa menikmati saluran seperti C-SPAN yang menayangkan program yang sangat bagus pada akhir minggu, terutama acara diskusi buku).

NPR adalah stasiun yang paling saya suka. Sebagaimana di Indonesia, kaum konservatif di Amerika juga sangat menyebalkan. Radio-radio swasta yang mempunyai acara “talk”, banyak yang berkecenderungan konservatif. Saya tak tahan mendengarkan “ocehan” kaum konservatif yang menyebalkan itu, terutama kalau sudah menyangkut Irak, Iran, dan Israel.

NPR-lah yang menyelamatkan saya karena perspektifnya yang “liberal”. Di NPR, saya bisa mendengarkan liputan yang berimbang tentang banyak hal. Setiap pihak diberikan kesempatan untuk menyuarakan perspektifnya. Keragaman programnya juga sangat memanjakan pendengar. Persis seperti kanal BBC di London. Bagi umat Islam, stasiun inilah yang paling enak didengarkan, karena tidak melanggengkan citra buruk tentang Islam yang secara klise disebarkan oleh beberapa media Amerika, terutama yang konservatif.

Tidak seperti BBC yang didanai sebagian besar oleh pemerintah melalui pajak, pendanaan NPR sebagian besar datang dari masyarakat, filantrofi, dan komersial yang sangat terbatas. Tiap tahun mereka mangadakan panggalangan dana dari pendengar, dan untuk itu, saya dengan sukarela menyedekahkan infak, walau kecil, untuk stasiun ini. Saya merasa, kepentingan saya sebagai seorang Muslim terwakili dalam stasiun itu, dan karena itu saya berkewajiban untuk menyumbang.

Selama ini, umat Islam membenci liberalisme dan sekularisme. Menurut saya, umat Islam perlu mengalami dulu status sebagai “minoritas” (secara kuantitatif), baru merasakan betapa manfaat besar yang mereka peroleh dari sistem liberal dan sekular.Bayangkan jika Amerika adalah negara Kristen, atau kebijakan-kebijakannya didasarkan pada agama Kristen, apa yang terjadi pada umat Islam di sini. Bayangkan jika Eropa, misalnya, adalah negara Kristen, bukan negara sekuler: apa yang terjadi pada umat Islam di sana?

Bayangkan jika radio atau TV Amerika semua ingin menjadi kanal atau stasiun yang “Kristiani” (padanan dari kata “Islami"); bayangkan jika kebijakan FCC (KPI-nya Amerika) memberikan status istimewa pada stasiun atau kanal yang Kristiani: apa yang terjadi pada umat Islam yang tinggal di sini? Bayangkan jika tidak ada stasiun yang “liberal” seperti NPR, yang memberikan hak suara yang seimbang kepada kalangan Islam: apa yang terjadi pada pendengar Muslim?

Masyarakat akan tahu manfaat liberalisme dan sekularisme saat mereka menjadi minoritas. Sebab, dua sistem itu secara historis memang muncul di Barat, antara lain, untuk melindungi kaum minoritas. Saat menjadi mayoritas seperti di Indonesia, memang umat Islam kurang bisa melihat atau malah sama sekali abai terhadap manfaat sekularisme dan liberalisme.

Anak saya saat ini sekolah di Public School di kawasan Newton Centre. Di sekolah, agama sama sekali tak disinggung, meskipun keragaman tradisi agama sangat dihormati. Saat menjelang bulan Ramadan kemaren, guru kelas anak saya memanggil isteri saya dan memberikan buku cerita bergambar untuk anak-anak tentang tradisi puasa dalam Islam. “You need to read this for your kids,” kata guru itu. Kami sangat terharu saat itu. Apakah hal ini mungkin terjadi di Indonesia di mana kebencian pada Kristen atau agama lain dirawat pada pelbagai tingkat, misalnya?

Saat Ramadan kemaren, Perpustakaan umum yang cukup besar di kawasan Newton yang biasa kami kunjungi setiap akhir minggu (Newton Free Library) juga memajang buku-buku dan komik bergambar tentang ritual puasa dalam Islam, sehingga publik Amerika bisa memahami tradisi umat Islam itu. Ini berlaku untuk semua agama, sehingga kami yang Muslim juga bisa belajar tentang tradisi lain. Pendidikan tentang multikuralisme yang berwawasan pluralisme dikembangkan di masyarakat Amerik, sehingga mereka pelan-pelan bisa menghargai perebedaan tradisi agama.

Meskipun agama tidak menjadi bagian dari pelajaran sekolah, tetapi keragaman agama sangat dihormati di sekolah publik Amerika. Kalau keluarga Kristen menghendaki anak-anaknya untuk mendapat pelajaran agama, mereka bisa mengirim akanya ke sekolah minggu. Begitu juga umat Islam mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak mereka. Agama menjadi urusan komunitas masing-masing. Inilah hasil dari sekularisme dan liberalisme. Dengan cara seperti ini, kami yang datang dari keluarga Muslim tidak akan merasa khawatir sedikitpun anak kami akan dijejali ajaran agama Kristen yang merupakan agama dominan di Amerika.

Bayangkan jika Amerika mendorong sekolah-sekolah publik untuk menjadi lebih Kristiani, apa yang terjadi pada kami yang Muslim? Padahal hanya di sekolah publik inilah keluarga pendatang seperti saya bisa menyekolahkan anak, karena gratis total hingga ke makan-makan siangnya.

Karena sistem sekuler yang melindungi semua agama inilah Islam bisa berkembang leluasa di sini. Semua sekte dan mazhab bisa menikmati kebebasan di sini. Sebab negara bersikap netral terhadap agama, tetapi juga mendorong sikap saling menghargai antar tradisi agama. Kaum mayoritas memang tak butuh sekularisme di mana-mana. Kalau bisa mereka menjadikan agama mereka sebagai agama seluruh bangsa. Tetapi kaum minoritas membutuhkan itu. Saat umat Islam minoritas, sistem ini menguntungkan mereka dari segala segi.

Saya mendengar kesaksian ini secara langsung dari beberapa komunitas Muslim di Paris saat saya berkunjung ke sana dua tahun lalu. Meskipun ada masalah dengan jilbab di sana, komunitas Muslim merasa bahwa negara sekuler Perancis sangat menguntungkan buat mereka, karena mereka bisa menjalankan agama dengan bebas. Bandingkan keadaan ini dengan Perancis pada periode sebelum abad 20. Pada saat itu, jangankan orang Islam: orang Prostestan menghadapi tekanan, diskriminasi, pelecehan, bahkan penyiksaan yang hebat dari agama Katolik yang dominan.

Kaum pejuang negara Islam bisa berkata, misalnya: dalam Islam juga ada kebebasan agama; dalam sejarah, Islam bisa memberikan toleransi yang luas pada agama lain. Umat Muslim diberikan status “dzimmi” dan dengan status itu mereka menikmati kebebasan untuk menyelenggarakan agama mereka.

Jawaban saya adalah sebagai berikut. Dibanding dengan agama Kristen, secara historis Islam memang memperlakukan agama lain dengan cara yang jauh lebih toleran pada abad pertengahan. Tetapi sistem toleransi yang dipraktekkan Islam pada masa lampau sudah tak memadai saat ini. Kita memberikan kredit pada Islam untuk “prestasi historis” yang telah ia capai; tetapi, mohon maaf, zaman telah berubah, dan sistem toleransi Islam sudah kalah jauh dibanding dengan sistem toleransi dalam sistem sekularisme liberal. Lihatlah perbandingan berikut ini.

Bayangkanlah situasi berikut ini. Kalau anda sebagai umat Islam yang tinggal di Amerika diminta untuk memilih antara kedua opsi ini:

(1) Negara Amerika menjadi negara Kristen atau menjadikan agama Kristen sebagai agama negara dan memberikan kepada agama Kristen pengaruh yang besar, dengan janji bahwa agama Kristen akan memberikan kebebasan pada agama lain.

(2) Negara Amerika menjadi negara sekuler; negara bersikap netral terhadap agama apapun, tetapi menghargai semua agama, memberikan kebebasan kepada semua pemeluk agama untuk beribadah dan memeluk kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Sebagai umat minoritas, jelas pilihan kedua lebih masuk akal bagi umat Islam. Pilihan pertama, meskipun dengan janji bahwa Kristen akan memberikan toleransi pada agama-agama lain, tetap tak ada jaminan bahwa dalam agama lain tidak dijadikan sebagai agama kelas dua.

Begitu juga keadaan ini berlaku buat umat lain dalam negara yang mayoritas Muslim seperti di Indonesia. Meskipun umat Islam mengobral janji bahwa Islam akan memberikan kebebasan pada semua agama ketika dijadikan sebagai agama negara atau ketika negara bersangkutan menjadi negara Islam, atau ketika syariat dijalankan, tetap saja buat kalangan non-Muslim akan lebih aman jika sebuah negara menjadi negara sekuler, dalam pengertian tak mencampuri urusan agama. Persis seperti umat Islam di Amerika merasa lebih aman pada Amerika sebagai negara yang netral pada agama.

Menurut saya, jika suatu negara menjadi negara Islam atau menjalankan syariat Islam, kemungkinan untuk mempersekusi atau mendiskriminasi sekte-sekte yang dianggap keluar dari Islam akan selalu terjadi. Itu sudah hukum sejarah. Bangsa Eropa dulu sudah pernah mengalami itu. Sekarang, bangsa Indonesia pelan-pelan mengikuti contoh yang sudah ditinggalkan lama oleh Eropa itu, yakni mempersekusi sekte minoritas, ya’ni Ahmadiyah. Saya bukan seorang Ahmadiyah, tetapi kasus Ahmadiyah saya jadikan sebagai contoh, karena paling relevan untuk keadaan Indonesia saat ini.

Para pejuang syariat Islam harus menghadapi pertanyaan besar ini: kalau menurut syariat Islam (ortodoks Sunni), orang yang mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyah dianggap sebagai Nabi dianggap kafir dan keluar dari Islam, lalu anda ingin melaksanakan syariat Islam, tentu dengan sendirinya saat syariat itu tegak, anda akan mengusir atau minimal membatasi gerak orang Ahmadiyah, sebab mereka adalah orang kafir.

Bandingkan dengan sistem sekuler: dalam sistem itu, karena negara netral terhadap agama, sekte, dan denominasi, orang Ahmadiyah bisa bergerak bebas mendakwahkan ajaran mereka. Kebebasan ini juga berlaku buat sekte atau mazhab yang lain: Syiah, kelompok tasawwuf dari orde apapun. Kebabasan ini juga berlalu buat semua agama. Itulah sistem yang sekarang berlaku di Amerika.

Jika anda memperbandingkan kedua sistem itu, jelas sistem sekuler lebih unggul. Keunggulan ini tidak bisa dirasakan kecuali oleh kelompok-kelompok yang kebetulan minoritas. Karena itu, umat Islam perlu merasakan dulu keadaan sebagai kaum minoritas dalam sistem sekuler yang liberal.

Saya sengaja memberi kualifikasi “liberal” pada kata sekuler ini, sebab ada sistem sekuler yang sama sekali tidak liberal. Contoh yang paling baik adalah Uni Soviet sebelum keruntuhannya dulu. Negara Soviet dulu jelas sekuler, tetapi tidak liberal, karena sangat memusuhi agama, termasuk Islam. Negara Cina adalah contoh lain: negara ini sekuler, tetapi mempunyai sikap yang kurang bersahabat pada agama.

Tentu tidak ada sistem yang sempurna penuh, sebab sorga tak mungkin ditegakkan di bumi ini. Sorga hanya ada di alam lain. Tetapi, manusia terus mengupayakan perbaikan atas sistem dan lembaga sosial yang mengatur kehidupan mereka. Sistem sekuler muncul sebagai respon atas keadaan di mana sistem yang didasarkan sepenuhnya pada agama menimbulkan banyak masalah. Sistem sekuler adalah jalan tengah: antara memaksakan agama sebagai sistem yang berlaku buat semua warga negara, dan memusuhi agama sama sekali. Sistem sekuler menghendaki negara yang netral terhadap agama, tetapi sekaligus mengembangkan sikap saling menghargai antar agama.

Dalam sistem seperti inilah, umat Islam yang minoritas bisa menikmati kehidupan agama yang nyaman di negeri seperi Amerika. Bahkan Islam termasuk agama yang paling cepat tumbuh di negeri itu. Apakah mungkin hal ini terjadi jika Amerika menjadi negara Kristen?

Saya melihat tidak ada pertentangan apapun antara Islam dan konsep negara sekuler dalam pengertian netral terhadap agama. Dalam negara seperti inilah cita-cita kebebasan agama dan sekaligus perlindungan agama sebagaimana dikehendaki oleh Islam dapat tercapai, jauh lebih baik ketimbang dalam negara yang ingin mengatur dirinya berdasarkan syariat Islam. Tentu, “syariat” di sini dalam pengertian yang dipahami secara konservatif selama ini.[]

16/11/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saaya bingung dengan pandangan sebagian masyarakat Indonesia yang terutama dari “orang Islam kota” yang selalu menyebarakan prasangka buruk, mencurigai dan lain sebagainya kepada kelompok2 lain, apakah seperti itukah seharusnya orang yang terbuka mata hatinya??? Terutama dengan barat, apasalahnya orang barat yang melakukan sesyuatu untuk kepentingan mereka, kita masih sangat tergantung sekali dengan orang barat di segala hal. Kalo kita ingin menyaingi mereka ya kita harus meniru apa yang mereka lakukan pada abad pertengahan, belajar keras dari orang Islam, lalu mengembangkan secara mandiri pengetahuan mereka. Saat ini itu yang seharusnya kita lakukan.

Posted by jauhar  on  02/12  at  11:48 AM

Ada benarnya pendapat anda. Untuk menghindari gontok-gontokan antar agama bahkan antar pengikut suatu agama sebaiknya Negara bersikap netral. Kayanya sistim sekuler bisa jadi jalan keluar untuk menghindarkan permusuhan dan kebencian antar umat beragama.

Posted by Fadhil ZA  on  11/06  at  09:46 PM

Ass ...., saya setuju dengan pendapat saudara, mudah2an di Indonesia juga bisa saling menghargai lagi dengan keragaman agamanya yaa...,

Posted by life  on  10/02  at  07:31 AM

Saya setuju dengan pendapat saudara. Saya ada orang Kristen Indonesia. Dan sebagai minoritas saya dapat merasakan apa yang saudara rasakan ketika menjadi minoritas di Amerika. Jadi mari sama-sama memberikan kesempatan kepada saudara2 yang berbeda golongan. Saya agak tidak setuju bila negara turut mencampuri urusan beragama. Karena sebagai manusia juga pemerintah pasti akan memperlakukan salah satu golongan lebih dari yang lain sesuai keyakinannya. tugas negara adalah membuat regulasi sehingga masing2 golongan tidak bersinggungan.

Posted by elhant  on  09/13  at  11:38 AM

Ini dia, ini dia tulisan yang ditunggu-tunggu. Seorang Ulil yang berani dan tulus terhadap pengalaman hidupnya.Betapa indahnya bila Indonesia seperti itu!
Wasalam

Posted by andreyd  on  09/07  at  10:41 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq