Menuju Fikih Emansipatoris - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
28/04/2002

Menuju Fikih Emansipatoris

Oleh Arif Zamhari

Sementara itu, jika kita ingin membangun fikih baru yang berperspektif keadilan gender,maka kita akan berhadapan dengan keyakinan kalangan “tradisional” muslim, bahwa fikih yang ada merupakan sumber hukum yang sudah final dun tidak dapat diubah. Jangankan mengubah secara mendasar, melakukan reinterpretasi ringan saja, sudah merupakan hal yang tabu. Kalangan ini selalu mempertanyakan, apakah generasi sekarang ini sudah cukup mempunyai kualifikasi intelektual dan integritas moral yang sama dengan para imam madzhab dahulu, sehingga bisa merumuskan fikih yang baru?

Selama ini banyak kalangan pengkaji Islam baik dari kalangan muslim sendiri maupun dari kalangan di luar Islam mengeluhkan langkanya kajian fikih Islam (hukum Islam) yang berwawasan keadilan gender. Alih-alih membela kepentingan dan hak-hak perempuan, produk fikih yang ada justru menempatkan hak-hak perempuan secara tidak adil dan timpang. Bahkan, tidak jarang fikih dijadikan sasaran tembak ketika orang berbicara tentang resistensi Islam terhadap pemberdayaan hak-hak perempuan. Keluhan dan kecaman semacam ini sangat beralasan jika kita melihat tema-­tema tentang perempuan dalam kitab-kitab fikih yang tidak memihak kepada kepentingan perempuan itu sendiri. Langkanya perspektif keadilan gender dalam kitab-kitab fikih itu karena produk fikih yang ada, selain lahir dalam masyarakat yang didominasi oleh cara pandang patriarkis (male dominated), juga banyak ditulis oleh laki-laki. Akibatnya, produk fikih yang bersifat ijtihadi ini menjadi bias laki-laki dan kering dari pembelaan yang rasional terhadap perempuan. Sehingga, persoalan-persoalan yang terkait dengan perempuan kemudian hanya dilihat dari sudut pandang kepentingan laki-laki per se.

Salah satu gejala keiidakadilan yang cukup kentara dalam fikih antara lain, seperti menilai perempuan separo dari nilai laki-laki, melihat perempuan sebagai objek, perempuan sebagai makhluk domestik, dan pandangan peyoratif lainnya (Masdar:l996). Dalam kitab Uqudullijain, sebuah kitab fikih yang sering dijadikan acuan dalam setiap pengajian tentang perempuan dikatakan, bagi perempuan yang sabar terhadap perlakuan buruk suaminya, Allah Swt. akan memberi pahala yang setimpal dengan pahala yang diberikan kepada Asiyah, istri Fir’aun. Dalam bagian lain disebutkan bahwa istri yang menampik keinginan suaminya untuk melakukan hubungan seksual akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi. Dalam sebuah hadis, entah sahih (valid) atau tidak, dikatakan bahwa apabila dibolehkan seorang istri menyembah selain Allah, Allah akan rnenyuruhnya menyembah suami. Sementara pada bagian lain dikatakan, seorang istri harus minta izin suaminya untuk berpuasa sunnah jika suarninya ada bersamanya. Dan masih banyak lagi contoh ajaran fikih yang tidak berpihak pada keadilan gender.

Dari ajaran fikih ini dapat dilihat, betapa seorang perempuan dengan mudahnya memperoleh laknat malaikat hanya karena menolak keinginan suaminya. Mengapa, misalnya, di situ tidak dijelaskan, seandainya perempuan yang berkehendak untuk berhubungan seksual, kemudian ditolak suaminya, apakah laknat yang sama juga dapat diberikan kepada suami akibat penolakannya? Pertanyaan yang sama, mengapa dalam fikih tidak dikatakan, apabila dibolehkan seorang suami penyembah selain Allah, maka Allah akan menyuruhnya menyembah istri. Mengapa untuk berbuat kebajikan kepada Allah seorang istri diharuskan minta izin kepada suaminya? Jika keharusan izin ini dimaksudkan agar suami tidak kecewa apabila menginginkan berhubungan seksual sementara istrinya sedang puasaa, mengapa keharusan izin yang sama tidak diberlakukan untuk suami? Bukankah antara suami dan istri mempunyai hak yang sama di hadapan Tuhan untuk melakukan peribadatan. (QS. al-Ahzab, 33:35). Ajaran fikih yang demikian semakin memperlihatkan betapa ajaran fikih itu lebih membela kepentingan laki-laki, ketimbang membangun pola hubungan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, ajaran fikih itu telah jauh dari semangat keadilan gender yang meniscayakan adanya keseimbangan dalam melihat hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara proporsional; sesuai dengan hakikat penciptaannya yang setara dan seimbang di hadapan Allah SWT.

Padahal, fikih sebagai produk ijtihad yang mempunyai referensi langsung dengan Alquran dan Hadis semestinya terkait erat dengan tujuan syariat (maqasid al-syar’iy) secara umum, seperti menjaga agama, jiwa, akal, dan harta; dan prinsip-prinsip Alquran yang universal, seperti prinsip keadilan, kesetaraan (musawa, equity), musyawarah dan melakukan pergaulan dengan baik. Karena itu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bangunan fikih yang tidak berwawasan keadilan gender itu masih tetap kita pertahankan, meskipun harus menyalahi prinsip-prinsip universal Alquran? Ataukah kita harus mengubah fikih tersebut dengan menyusun fikih baru yang berwawasan keadilan gender yang sesuai dengan tujuan syariah dan prinsip‑prinsip universal Alquran, meskipun hal ini akan berhadapan dengan keyakinan yang mapan, bahwa fikih merupakan produk ijtihad ulama otoritatif yang sudah final dan sempurna?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak mudah. Kita harus menentukan pilihan sulit yang masing-masing punya konsekuensi tertentu. Jika kita tetap mempertahankan produk fikih yang ada dengan keyakinan bahwa fikih merupakan hasil ijtihad ulama yang sudah final dan sempuma, resikonya kita akan mendapati ajaran fikih yang tidak adil, tidak membebaskan, rigid dan tidak mampu menjawab problem-problem kemanusiaan yang begitu kompleks.

Sementara itu, jika kita ingin membangun fikih baru yang berperspektif keadilan gender,maka kita akan berhadapan dengan keyakinan kalangan “tradisional” muslim, bahwa fikih yang ada merupakan sumber hukum yang sudah final dun tidak dapat diubah. Jangankan mengubah secara mendasar, melakukan reinterpretasi ringan saja, sudah merupakan hal yang tabu. Kalangan ini selalu mempertanyakan, apakah generasi sekarang ini sudah cukup mempunyai kualifikasi intelektual dan integritas moral yang sama dengan para imam madzhab dahulu, sehingga bisa merumuskan fikih yang baru?

Sesulit apapun pilihan-pilihan itu, tidaklah berarti tertutup kemungkinan menentukan pilihan dengan resiko yang paling minim. Menurut hemat saya, membiarkan produk fikih yang tidak berkeadilan gender justru jauh lebih besar resikonya, ketimbang melakukan reinterpretasi (perubahan) atas ajaran-ajaran fikih yang tidak berkeadilan gender itu. Dengan membiarkan ajaran fikih yang tidak adil, maka akan berisiko menimbulkan pertentangan dengan prinsip-prinsip universal Alquran dan tujuan syariah secara umum. Setiap ajaran fikih yang bertentangan dengan tujuan syariat (maqasid al-syari’ah) dan prinsip-prinsip universal Alquran, dengan sendirinya menjadi tidak baik (mafsadah) (Al-Ghazali, Al-MusiavhfaJi Ushul Al-Fikih: 1400H). Artinya, setiap ajaran fikih yang tidak berkeadilan gender itu, bukan saja menjadi tidak bermfanfaat dan rigid, tapi juga akan gagal merespon tuntutan kemanusiaan yang berkembang begitu cepat. Dengan kata lain, jika sebuah ajaran fikih sudah tidak lagi mampu merespon tuntutan kemanusiaan yang berkembang, maka resikonya ia akan ditinggalkan pengikutnya dan hanya menjadi apa yang disebut Arkoun sebagai fosil sejarah masa lalu. Jika hal ini teijadi, maka kita tidak saja akan menyaksikan lonceng kematian fikih, tapi juga hilangnya fikih dari literatur-literatur keislaman. Karena itu, setiap upaya untuk melakukan reinterpretasi (perubahan) atas ajaran fikih yang tidak berperspektif keadilan gender menjadi suatu yang niscaya (necessary, dhorury).Untuk mendukung ke arah itu, setidaknya mensyaratkan adanya kesepakatan-kesepakatan tertentu. Pertama, sebagaimana dikatakan KH. Sahal Mahfudz (dalam Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fikih: 1999) bahwa fikih itu tidak sama dengan Alquran dan Hadis. Para ulama sepakat bahwa keduanya tidak bisa diubah. Yang dibolehkan untuk diubah adalah interpretasi-interpretasi atas keduanya yang dilakukan para ulama terdahulu. Sebaliknya, fikih, adalah hasil ijtihad (interpretasi) para ulama masa lalu atas teks-teks Alquran dan Hadis, yang terkait dengan konteks sosial-budaya saat itu, karenanya menjadi sangat mungkin untuk dilakukan perubahan, jika konteks zaman menuntut untuk berubah. Kedua, sebagai hasil ijtihad (interpretasi) manusia dan keseluruhannya tidak bersifat ilahiyah, produk fikih tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.

Bagaimanapun ketatnya persyaratan metodologis dan intelektualitas seseorang, pasti hasil interpretasi kemanusiaan ini memiliki celah kelemahan. (Syafiq Hasyim:2001). Sebagai hasil kerja kemanusiaan, fikih, dengan demikian, tidak luput dari kelemahan sifat-sifat kemanusiaan yang tidak pernah mencapai hasil yang sempurna. Oleh karena itu, sangat logis apabila dilakukan reinterpretasi atas konsep ajaran fikih lama yang tidak cocok lagi dengan tuntutan zaman dan kekinian baru, menuju ajaran fikih yang sesuai perspektif keadilan gender. Dengan demikian fikih tidak hanya menjadi wacana terbuka yang siap berdialog dengan ruang dan waktu, tapi juga dapat mengakomodasi perkembangan‑perkembangan baru, yang tidak pernah dialami oleh ulama-ulama fikih terdahulu.[]

28/04/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq