Menyapih Politik, Menekuni Islam Kultural - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
06/12/2004

Menyapih Politik, Menekuni Islam Kultural

Oleh Zacky Khairul Umam

KETERLIBATAN elite NU (dan juga Muhammadiyah) dalam pilpres 2004 segera mengundang perdebatan internal dalam hubungannya dengan kegiatan politik praktis. Bahkan, sampai titik yang mencemaskan, menumbulkan ancaman perpecahan internal di dalam tubuh ormas Islam itu. Fakta, pada Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Solo pekan kemarin mencerminkan kenyataan itu.

KETERLIBATAN elite NU (dan juga Muhammadiyah) dalam pilpres 2004 segera mengundang perdebatan internal dalam hubungannya dengan kegiatan politik praktis. Bahkan, sampai titik yang mencemaskan, menumbulkan ancaman perpecahan internal di dalam tubuh ormas Islam itu. Fakta, pada Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Solo pekan kemarin mencerminkan kenyataan itu.

Perlawanan terhadap KH Hasyim Muzadi, karena dinilai memolitisasi NU, dengan tampil sebagai calon wakil presiden. NU sebagai organisasi diniyah-ijtima’iyah (sosial-keagamaan) dipolitisasi sedemikian rupa demi interes politik sesaat. Alih-alih mengemban amanat khitah untuk mengurusi umat dalam dataran kultural secara cerdas, malah hampir sebagian elite NU struktural malah terkesan belum mengerti hakikat sejati dari amanat itu.

Begitupun yang terjadi pada Muhammadiyah. Pada era Reformasi 1998, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) menggagas pendirian partai baru, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) yang akhirnya dipimpin Amien Rais sendiri. Pada pilpres kemarin pun, banyak elite Muhammadiyah yang menjadi tim sukses Amien Rais, yang notabene membawa bendera Muhammadiyah.

Sebetulnya, kedua ormas Islam terbesar itu sudah lama memiliki pengalaman empiris dalam bergumul dengan wilayah politik praktis. Karena itu, selain Muktamar NU di Solo, Tanwir Muhammadiyah (2-5 Desember) di Lombok perlu mengartikulasikan kembali kehadiran ranah kultural, yang tidak terlalu jauh terlibat dalam kubangan politik praktis. Ini syarat terpenting untuk memberdayakan energi umat secara maksimal.

Kekalahan partai berbasis NU (PKB) dan partai berbasis Muhammadiyah (PAN) dalam pemilu legislatif, serta kegagalan kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dalam pilpres, harusnya merupakan pembelajaran politik yang teramat penting. Patronase kiai atau elite agama sebagai otoritas politik kaum nahdliyyin dalam referensi politik selama ini sudah tidak relevan lagi. Mayoritas warga NU, seperti halnya Muhammadiyah, sudah lebih rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Intervensi dari elite NU maupun Muhammadiyah dalam mengarahkan pilihan politik umat menjadi tidak signifikan lagi.

Upaya penegasan kembali (reafirmasi) dua kekuatan civil Islam itu adalah langkah strategis. Selain menghindari sugesti politik praktis sesaat, ini merupakan sebuah proposal yang amat penting diperjuangkan bagi pengembangan, pencerahan, sekaligus pencerdasan sumber daya umat secara optimal.

Dimensi politis mengarah pada konsep who gets what, siapa mendapat apa. Kecenderungan semacam ini relatif menguras daya potensi umat yang dinamis dan produktif jika terus dilakukan secara kontinu. Pada gilirannya, dimensi-dimensi kultural, seperti pendidikan, transformasi nilai-nilai substansial, penyadaran kolektif, rasionalisasi tindakan, kontekstualisasi ajaran Islam, dan berakhir pada pencerdasan bangsa secara holistik dan liberatif-transformatif, akan terabaikan.

Ini mereduksi beberapa etos pergerakan masyarakat madani (civil society), terutama NU dan Muhammadiyah, yakni: (1) etos idea of progress yang oleh Cak Nur dinyatakan sebagai daya pendorong kemajuan umat (bangsa); (2) etos keberagamaan yang egaliter, inklusif, pluralis, dan tidak menunjukkan “ekslusivisme komunal”; (3) etos nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah, ribbiyah) dalam tubuh umat; serta (4) etos peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban (civility, madaniy) dan kedemokratisan.

Gejala keengganan para elite keagamaan untuk mengurusi wilayah kultural itu akan berpengaruh besar terhadap perkembangan internal umat Islam. Sudah saatnya, para elite santri berbesar hati untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari pergumulannya dengan domain politik praktis, serta mau belajar dari konsistensi lembaga masyarakat madani, seperti Paramadina yang konsisten dalam memperjuangkan Islam kultural secara eksplisit.

Seperti pernah diungkapkan Cak Nur, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif, konstruktif serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua umat manusia, tanpa ekslusivisme komunal. Inilah sebuah penegasan betapa pentingnya eksistensi Islam kultural. Dengan demikian, kecenderungan para elite santri atau kiai sebagai cultural broker, pialang budaya (Clifford Geertz), akan limbung dan cenderung merugikan dinamika umat, apabila tetap bersikukuh terjebak dalam kubangan yang sama secara partisan: politik praktis.

Proyek revitalisasi Islam kultural merupakan sebuah investasi masa depan yang besar. Betapa tidak, tampilnya wajah Islam kultural ditafsirkan secara luas bahwa Islam merupakan sumber etik-moral dan landasan kultural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu, ini tidak bisa diperoleh secara instan, sebab perjuangan Islam kultural merupakan investasi yang besar dalam jangka panjang di masa mendatang.

Justru, disinilah letak dimensi politis Islam kultural, yakni tidak berujud who gets what, akan tetapi berkenaan dengan allocative politics. Yakni, politik alokatif, seperti diperkenalkan David Easton, sebagai kata kunci utama pengalokasian nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan keseluruhan masyarakat. Maka, politik alokatif diartikulasikan dengan cara mensubstansialisasikan nilai-nilai dan etika keislaman secara inklusif di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Syafi’i Anwar dimensi politis dari Islam kultural bersifat inklusif dan penetratif di tengah wacana pergumulan politik-kekuasaan pada level negara. Atau menurut Amien Rais (1999) diartikulasikan sebagai high politics, yaitu pengertian politik dalam arti yang luas yang melibatkan seluruh komponen masyarakat sebagai variabel politik kebangsaan.

NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya hendaknya mengartikulasikan wajah Islam kultural secara tegas dan menolak kecenderungan berpolitik praktis. Para cendekiawan ataupun “agamawan organik” (ala Gramsci) par excellence, seperti Cak Nur, Gus Dur, Amien Rais, dan seterusnya, perlu turun tangan dalam membersihkan wajah keberingasan ekslusif dan fanatisme keberagamaan yang membelenggu itu. Untuk itu, mari kita tegaskan peran Islam kultural dalam transformasi praksis peradaban bangsa dalam kerangka ummah wahidah (kesatuan bangsa) secara terbuka, demokratis, dan berkeadaban.

06/12/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq