Menyelesaikan Problem Keragaman - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
28/09/2010

Menyelesaikan Problem Keragaman

Oleh Hatim Ghazali

Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi. Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.

Many faiths all claiming to be true”, demikian pernyataan John Hick (1990: 109). Benar, setiap agama senantiasa mengklaim benar, bahkan paling benar ketimbang yang lain. Klaim inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya konflik antar agama. Karena itulah, keragaman ini oleh Harold Coward (1985) dinilai sebagai problem dan tantangan terbesar umat manusia. Tak pelak, upaya mencari titik temu sebagai upaya menciptakan perdamaian antar agama terus dilakukan, termasuk melalui gagasan pluralisme agama. Kendati istilah pluralisme tak bermakna tunggal (Riis Ole: 1999), tetapi istilah ini dapat dimengerti sebagai respon, pengakuan, dan sikap aktif untuk menjaga keragaman, tanpa disertai truth claim secara sepihak, sehingga bisa hidup bersama dalam keragaman secara damai. 

Salah satu perspektif untuk mencari titik temu antar agama dilakukan dalam ruang teologis (theological pluralism). Adanya pluralitas agama ini merupakan kombinasi (Legenhausen: 1997) antara respon manusia terhadap the One (Hick: 1990)dan manifestasi Tuhan (Nasr:1993). Dalam perspektif ini, setiap agama diyakini memiliki kesamaan—atau sekurang-kurangnya kesejajaran—teologis. Bahwa setiap agama sama menuju the Ultimate Reality/ sensus nominus, mengajarkan kebaikan, keadilan dan sebagainya. Singkatnya, pada level esoterik/transenden semua agama satu (the transcendent unity of religion), dan beragam dilevel eksoterik.

Pertanyannya, apakah penemuan titik temu agama-agama mampu menyelesaikan konflik antar agama? Bukankah sebuah konflik tak pernah berakar tunggal? Dan, bukankah yang sering jadi problem adalah hal-hal yang eksoterik-artifisial, tidak hanya antar agama tetapi juga intra agama?

Memang, pluralisme teologis telah memberikan konstribusi dalam menemukan titik temu antar agama. Namun demikian, ia tidak langsung ke jantung soal di masyarakat. Yang menjadi pokok soal hubungan antar agama dan intra agama bukan pada hal-hal yang universal-esoterik, melainkan kepada hal-hal partikular-eksoterik dimana theological pluralism tak banyak berbuat apa-apa. Disini, perlu disadari bahwa gagasan pokok pluralisme adalah hidup bersama secara damai dalam keragaman.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman agama/keyakinan tak hanya menghadirkan truth claim, melainkan yang kerap terjadi saat ini adalah—apa yang telah disebut Diana L. Eck (2007)—the confusion of arena of discourse. Bahwa penolakan terhadap teologi tertentu tak jarang berbuntut kepada penolakan sebagai warga negara. Contoh yang paling nyata terhadap hal ini adalah keberadaan Ahmadiyah dan sejumlah aliran-aliran non-mainstream. Perbedaan keyakinan satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi justifikasi untuk menolak sebagai warga negara dengan melakukan diskriminasi dan kekerasan.  Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terjadi secara massal disejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), Makassar (20/6/2008), dan lain sebagainya.

Menuju Civic Pluralism

Mengigat adanya “kekacauan arena” ini, sudah saatnya mengembangkan gagasan pluralisme dari theological pluralism menuju civic pluralism. Ini penting dilakukan karena teologi/agama hanyalah satu dari beragam identitas warga negara. Juga, sejauh ini pluralitas agama/keyakinan senantiasa direspon secara teologis—dimana vonis sesat atau tidak menjadi taruhannya—dan pendekatan struktural.

Sebenarnya, civic pluralism sendiri tak memiliki definisi tunggal. Tom Soutphommasane (2005), misalnya, menempatkannya sebagai satu model dari multikulturalisme. Ini berbeda dengan Eck (2007) yang membicarakan pluralisme pada tiga level; akademis, teologis dan civic.  Dalam hemat saya, civic pluralism bukan sekedar penghargaan terhadap keragaman identitas dan hak-hak sivik warga negara—seperti agama, ras, gender dan orientasi seksual—yang diletakkan dalam kerangka politik, tetapi juga ada engagement dan perlindungan hukum terhadapnya.

Civic pluralism (Zainal Abidin Bagir, 2009) tidak melihat keragaman dalam perspektif teologis dimana suatu keyakinan tertentu bisa divonis iman-kafir, melainkan ditempatkan dalam ruang politik yang terkait dengan hubungan pemerintah dan rakyatnya, dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Karena itulah, civic pluralism tidak memberikan privilege terhadap suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama berperan aktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang sehat dan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh warga negara, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara secara rukun, damai dan partisipatif. Disamping itu, civic pluralism juga mengakui keragaman identitas, dimana agama hanyalah sebuah identitas sebagaimana identitas lainnya, seperti etnisitas, ras, gender, bahasa dan sebagainya. Akibatnya, tak ada satu orang pun yang memiliki satu identitas. Seseorang yang beridentitas Ahmadiyah, pada saat yang sama juga memiliki identitas sebagai, misalnya, orang jawa, dan laki-laki atau perempuan. Karena itulah, kategorisasi mayoritas-minoritas menjadi tidak berlaku.

Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi. Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.

Dalam hemat saya, theological pluralism bukan saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit-agawaman karena titik temu terjadi pada esensi agama belaka, tetapi juga—di Indonesia—melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan baik di internal NU ataupun di komunitas agama lainnya bahkan telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa haram ini seharusnya tidak terjadi, akan tetapi wacana pluralisme di tanah air telah dimaknai sebagai penyamaan agama (relativisme, Buster G. Smith, 2007). Padahal, pluralisme melampaui relavitisme. Eck (2001:71) menandaskan “Pluralism is not simply relativism. It does not displace or eliminate deep religious commitments or secular commitments for that matter. It is, rather, the encounter of commitments.”

Dengan menempatkan agama/keyakinan sebagai identitas sebagaimana identitas lainnya seperti gender, ras, etnis, bahasa dan sebagainya, ini akan memberikan keuntungan; yakni negara tak memberikan privilege terhadap komunitas tertentu karena keyakinan adalah urusan privat setiap warga negara (sekularisme, Berger, 1994; 155), dan juga terlepas dari vonis sesat-menyesatkan terhadap komunitas tertentu yang berbeda dengan mainstream. Yang menjadi tugas negara/pemerintah bukan lagi menentukan apakah suatu keyakinan tertentu sesat secara teologis, tetapi apakah komunitas tertentu—apapun identitasnya—melanggar konstitusi, hukum dan peraturan yang ada. Karena itulah, negara tak memiliki wewenang untuk mengintervensi keyakinan tertentu, tetapi justru menciptakan ruang-ruang dialog antar komunitas agama, etnis, ras yang bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan membuat peraturan-peratuan yang mengatur hubungan antar komunitas tersebut (Pluralist polity dalam istilah Martin Marty). Ke arah inilah saya kira negara/pemerintah mesti bergerak dalam mengelola keragaman negeri ini. Pasalnya, civic pluralism yang “tak menganggu” suatu teologi tertentu, saya kira lebih muda diterima dan dikelola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Wallahu ‘a’lam].

28/09/2010 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya percaya, adalah bukan agamanya yang sesat tetapi para pemeluknya lah yang sesat dalam cara berfikirnya. Sebenarnya apa yang membuat para perusak tempat ibadah Kristen itu melakukan perbuatannya itu? Tiada lain karena mereka tidak PD (percaya diri).

Islam sbg agama nayoritas seharusnya tak perlu menjadikan pemeluk2-nya menjadi tidak PD, khawatir amat sangat dengan hembusan issue “kristenisasi”, lalu mudah tersulut sewot kebakaran jenggot dengan merusak tempat ibadah orang2 Kristen. Umat Kristen di Indonesia paling-paling tidak sampai 5% dari jumlah umat Islam.

Untuk menjadi pemeluk Kristen Katolik, tidak semudah membalikkan telapak tangan, hari ini baca kredo (syahadat) para rasul langsung bisa jadi Katolik. Tidak, itu cara yang sangat dangkal bin cethek. Untuk bisa menjadi Katolik, orang harus belajar dulu minimal selama 1 (satu) tahun. Setelah itu baru diseleksi secara ketat niat dan komitmennya. Lalu barulah bisa dibaptis. Jadi SANGAT SUUDZON BIN PARANOID lah, orang2 yang menyebarkan kedengkian dengan memakai issue kristenisasi.

Pendekatan agama Katolik bukanlah kuantitas tapi kualitas. Lha ngapain banyak orang menjadi Katolik kalo kualitas moralnya rusak2-an, suka bertereak-tereak memaki-maki orang lain, menganggap orang lain hina dan kafir pantas dilaknat oleh Allah? Bukankah sikap-sikap yang seperti itu, hanya akan mendatangkan keadaan yang CHAOTIC di masyarakat?

Besarnya iman seseorang akan Iman Katolik juga tidak diukur oleh keberadaan gedung gereja. Gedung gereja adalah hanya benda fisik yang terdiri dari gundukan batu, bata, kayu dan lapisan semen, dll materials bangunan yang bisa lapuk dimakan rayap.

Sejatinya, gedung tempat ibadah Katolik itu letaknya ada di dalam hati umat Katolik masing-masing. Semakin besar iman, semakin besar dan tebal gedung gereja yang ada di dalam hati umat. Tak bisa lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan sampai kiamat tiba. Gedung gereja dalam wujud bangunan fisik, bagaimanapun megahnya, hanyalah untuk mengumpulkan umat untuk beribadah secara formal.

Umat Katolik tidak terfokus pada pemahaman secara fisik-duniawi dalam beragama, tetapi lebih menekankan kualitas rohaniah mereka. Semua itu bukan demi menikmati kemegahan hidup di dunia laksana kenikmatan di dalam kemegahan istana raja-raja, tapi demi pencapaian hidup kekal abadi bersama Allah di sorga, setelah kita meninggalkan hidup di dunia ini selama-lamanya.

Posted by Anton Isdarianto  on  10/16  at  11:39 AM

Pintar sekali orang diluar islam bersilat lidah, seolah-olah anda orang yang sangat toleran, tetapi sesungguhnya dalam hati anda sangat membenci agama islam. Anda mencerca umat islam dengan hati beku, dll. Siapa anda? kasusnya sekarang sedang disidik. Terlihat sekali kebencian anda kepada islam.
Bung, kalau mau jujur ayo kita buka fakta sejarah dari mulai zaman penjajahan, penyebaran agama kristen, pembuatan UUD, perumusan UU dari tahun 50, penyebaran agama anda dengan diakonia, bagaimana anda (kristen radikal) membantai dengan keji umat islam di ambon, tobelo, poso dll.
Ayo kita buka sama-sama. Siapa yang sebenarnya tidak toleran dan tidak jujur, menyebarkan agama dengan dalih kemanusiaan, melanggar peraturan SKB, PBM dll. Anda tidak akan rela sampai semua umat islam (menurut anda domba tersesat) anda injilkan. Anda tidak peduli dengan keutuhan NKRI, yang penting semua domba digiring ke neraka.
Tak usah mengomentari agama orang dan melabel apapun, karena belum tentu anda punya fakta yang sesungguhnya.
Kembali lagi usul saya, tidak perlu repot2 bikin undang-undang, toh nanti anda juga yang akan melanggar. Silakan pindah ke hutan atau pulau terpencil.
Kalau mau ayo kita buka fakta sejarah, jangan cuma bisa menyindir umat islam

Posted by Tommy  on  10/06  at  09:16 AM

Kembali negeri ini diguncang prahara yang berkait dengan agama, khususnya agama islam, yaitu pembakaran rumah dan masjid penganut aliran Ahmadiyah. Sungguh memprihatinkan, masih terus umbuh di negeri pertiwi ini manusia-manusia biadab yang tidak punya hati nurani. Hati nurani dan otak mereka beku karena setiap konflik yang melibatkan/diguna pelakunya adalah dari pemeluk agama islam yang memang secara faktual menjadi mayoritas di negeri ini, tidak pernah diusut secara benar.
Berapa banyak gereja dibakar dan dirusak, hanya sangat sedikit pelaku yang diusut. Padahal untuk mengusut mereka tidak sulit, karena mereka hampri beraksi secara terang-terangan. Ini lah yang lahirnya menumbuhkan sikap bahwa apa yang mereka lakukan adalah dibenarkan oleh hukum dan oleh negara. Sadar atau tidak sadar, aparat pemerintah sudah melegitimasi tindakan mereka sebagai tindakan yang benar dan sah di mata hukum.
Sebenarnya ngga masalah bagi kami pemeluk agama minoritas kalau memang pemeluk agama mayoritas diberikan hak istimewa untuk melakukan apa saja yang menurut mereka benar. Asalkan, hal ini dituangkan dalam Undang-Undang. Buatlah UU yang mengijinkan umat islam untuk menghancurkan tempat ibadah agama lain atau tempat ibadah aliran yang tidak disukai oleh agama islam. Tolong DPR dan pemerintah membuat UU ini sehingga kami sebagai minoritas tidak lagi menyalahkan mereka yang bertindak brutal tersebut karena tindakan mereka memang diijinkan oleh UU sehinga tindakan mereka menjadi sah.
Kami usulkan ini karena kami menadang bahwa tidak mungkin pemerintah, siapa pun yang memegang tapuk pemerintahan, mempunyai keberanian untuk memberantas tindakan mereka yang mengatasnamakan agama islam yang menjadi mayoritas di negeri ini. Saya secara pribadi rela kok kalau gereja saya dibakar atau dihancurkan asalkan hal itu memang diberi ijin oleh pemerintah melalui UU. Kam ikhlas bagi saya secara pribadi tindakan ini tidak akan menghancurkan iman saya, tetapi justru menguatkan iman saya.

Posted by Putra Pertiwi  on  10/04  at  09:25 AM

Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).QS.3:109,QS 24:42.

Kerajaan ALLAH di bumi ini mempunyai Rakyat yang Plural dgn bermacam keyakinan beragama, bahkan anti tuhan sekalipun.

ALLAH memberikan kemerdekaan setiap wargaNya tanpa melihat suku, gender, agama dan race

ALLAH berlaku adil tanpa ada diskriminasi
Jadi masarakat Plural itu dgn bermacam macam keyakinan adalahsunatutllah..

http://latifabdul.multiply.com/journal/item/786/Seri_12_Agama_ALLAH_dan_Pluralism

Posted by alatif  on  09/30  at  09:43 AM

Selanjutnya adalah penting sekali bagi para teolog atau agamawan untuk mencari akar pluralisme dalam setiap agama. Pluralisme sendiri bukanlah suatu tujuan cabang dari jalan yang lebih besar yaitu dien atau agama dengan tujuan utama adalah keselamatan duniawi dan akhirat. Bentuk keselamatan yang terukur dan bisa diraba adalah keselamatan duniawi. Keselamatan duniawi sendiri adalah wujud lain dari perdamaian umat manusia yang dibarengi dengan kesejahteraan lahir dan batin atau tercukupinya kebutuhan manusia . Karena alam menyediakan dalam jumlah yang terbatas maka manusia harus bekerja sama dan saling berbagi demi tercapai kebutuhan bersama. Perbedaan pemenuhan kebutuhan dan kepemilikan yang mencolok inilah mendorong konflik dan perebutan akses apa saja. Kekuasaan ekonomi dan sebagainya. Kemudian agama ditarik tarik lagi, demi pembagian askes yang lebih baik.Di Negara Barat yang kaya penganut agama semakin menurun karena tujuan hidupnya telah dicapai. Sedangkan di negara Timur Tengah yang kaya agama menjadi alat penjaga kekuasaan. Di kedua wilayah tersebut hampir jarang ditemui konflik berbau agama. Konflik agama lebih banyak terjadi dinegara sedang berkembang, karena mereka masih merasa agam masih ampuh menjadi senjata politik dan kekuasaan. Sekali lagi ..pluralisme bukanlah tujuan, dia hanya alat mencari kedamaian. salam

Posted by abujasmine  on  09/28  at  10:36 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq