Menyempitkan Ruang Tabu Pemikiran - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
12/12/2004

Menyempitkan Ruang Tabu Pemikiran

Oleh Novriantoni

Dari dua kasus di atas, terdapat pelajaran penting untuk kita petik. Pada kasus pertama, kita melihat adanya pergeseran wacana ke arah yang lebih maju di kalangan NU. Kita tahu, isu poligami dan kesetaraan gender, dulu masih sangat sensitif dan relatif tabu pada mainstream nahdliyin. Tapi pada kasus kedua, kita justru menyaksikan gejala sebaliknya. Intelektual muda kita seakan-akan hendak melebarkan area tabu pemikiran, dengan cara membuat rambu-rambu.

Ada kejadian kecil yang cukup menarik dalam perhelatan Muktamar NU Ke-31 di Asrama Haji Donohudan Boyolali kemarin. Media massa menginformasikan aksi protes dan boikot terhadap salah satu menu makan yang disuguhkan panitia muktamar: Ayam Bakar Wong Solo, milik Puspo Wardoyo, pelaku poligami yang dulu pernah menyelenggarakan acara Poligami Award. Tidak tanggung-tanggung, aksi itu dimotori Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang selama ini dikenal giat memperjuangkan isu kesetaraan gender di kalangan nahdliyin. Untuk menunjukkan sikap antipoligami, mereka membuat Dapur Anti Poligami sembari mempromosikan Ayam Bakar “Bukan” Wong Solo.

Kisah lain adalah soal keresahan sebagian warga nahdliyin atas aktivitas Jaringan Islam Liberal (JIL). Beberapa orang mengusulkan rekomendasi untuk menyikapi aktivitas JIL dan melarang masuk orang-orang yang terlibat JIL dalam struktur kepengurusan NU. Naifnya, salah seorang intelektual muda NU yang sudah cukup lama berinteraksi dengan JIL, ikut mendiskreditkan JIL di forum muktamar. Menurutnya, pemikiran-pemikiran JIL antibudaya lokal, bias modernis, dan bertentangan dengan doktrin-doktrin ahlussunnah waljamaah.

Sekilas tak ada yang aneh dari kritik itu. Sejauh ini, JIL tidak pernah takut apalagi mengharamkan kritik, sepedas apapun. JIL justru hidup bersama kritik dan aktif dalam membudayakan kritik. Tapi kita dapat membedakan antara kritik konstruktif dengan tendensi untuk melenyapkan eksistensi atau membunuh karakter orang lain. Meski tidak tepat, JIL tidak keberatan dituduh antibudaya lokal. Selama ini JIL memang tidak banyak membahas soal budaya lokal, sekalipun tidak bisa disebut anti. Dituduh bias modernis juga tidak jadi soal. Toh, JIL berpandangan bahwa isu-isu yang pernah dipikirkan kalangan modernis juga masih menjadi perhatian JIL. Selama ini, JIL beranggapan bahwa proses pembaruan pemikiran ibarat mata rantai yang tidak boleh terputus-putus.

Tapi ketika ide-ide JIL dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ahlussunnah waljamaah—dan itu dilontarkan di kalangan nahdliyin—persoalannya menjadi lain. Kita tahu, ungkapan seperti itu, berimplikasi membedakan secara langsung dan diametral antara JIL dengan jantung doktrin warga NU. Meski corak pemikiran JIL tidak selamanya sesuai dengan ahlussunnah waljamaah—karena corak Muktazilah juga dapat ditangkap di sana—tapi kritik itu lebih dari cukup untuk mengambinghitamkan JIL di kandang NU langsung. Apa itu yang dimaui intelektual muda kita itu? Wallâhu a’lam!

Dari dua kasus di atas, terdapat pelajaran penting untuk kita petik. Pada kasus pertama, kita melihat adanya pergeseran wacana ke arah yang lebih maju di kalangan NU. Kita tahu, isu poligami dan kesetaraan gender, dulu masih sangat sensitif dan relatif tabu pada mainstream nahdliyin. Konon, salah satu pesantren NU seakan memperkenankan santrinya untuk berpikir seprogresif apapun, asal tidak menyentuh wilayah tabu itu. Kini, Ibu Sinta telah berinvestasi untuk menegosiasikan dan mempersempit wilayah tabu pemikiran tersebut.

Tapi pada kasus kedua, kita justru menyaksikan gejala sebaliknya. Intelektual muda kita seakan-akan hendak melebarkan area tabu pemikiran, dengan cara membuat rambu-rambu. Dibanding Gus Dur yang selama ini berusaha selebar-lebarnya membuka ruang kebebasan berpikir—dan karena itu dia menjadi panutan banyak intelektual muda NU—intelektual muda kita sungguh memprihatinkan. Padahal, sebagai pembaca Arkoun, dia pasti tahu kategori-kategori “yang terpikirkan” (al-mufakkar fih), “tak terpikirkan” (allâ mufakkar fih), “mungkin dipikirkan” (al-mumkinut tafkîr fih) dan “mustahil dipikirkan” (al-mustahilut tafkîr fih) dalam pemikiran Islam.

Atas dasar kategori-kategori itulah, murid Arkoun yang setia, Hasyim Saleh, membuat rumusannya sendiri. Menurutnya, perbedaan mencolok antara masyarakat yang maju dan belum maju dapat dilihat dari perbandingan antara wilayah “yang terpikirkan” dan “boleh dipikirkan”, dengan wilayah “tak terpikirkan” dan “tabu untuk dipikirkan”. Pada masyarakat yang maju, wilayah “yang terpikirkan” dan “boleh dipikirkan” amat luas dan lapang. Sementara pada masyarkat kurang, belum, atau tidak menghendaki kemajuan, wilayah yang “tak terpikirkan” dan “tabu pemikiran” sangat meluber, nyaris menyentuh semua perkara, baik dunia maupun akhirat (as-Syarqul Awsath, 7/12/2004). Nah, pertanyaan kita: ke arah mana intelektual muda kita hendak menggiring biduk pemikiran Islam? Wallâh a`lam! [Novriantoni]

12/12/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (12)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

disana disebutkan ahlul kitab.

Bukankah ahlul kitab itu bangsa yg menerima kitab-kitab sebelum Al-Quran yaitu kitab Zabur, Tauroh dan Injil dan kitab-kitab itu hanyalah untuk bangsa tertentu saja tidak untuk bangsa lain.

Benar sekali Islam harus mengimani kitab-kitab sebelumnya. Apakah mengimani harus melaksanakan? (percayakah bahwa tahun 1955 ada mata uang Indonesia bergambar tokoh Gatutkoco) masih berlakukah jika dibelanjakan sekarang?

Bukankah kitab-kitab sebelum Al-Qur’an hanyalah untuk Bangsa tertentu, apakah selain bangsa tersebut disebut Ahlul-Kitab?
-----

Posted by tentrem  on  01/04  at  05:02 PM

kalau saya cermati dari tulisan anda, dan mengamati dua kasus yang terjadi di Muktamar NU,Boyolali jawa tengah beberapa waktu lalu. Menurut hemat pebedaan pandangan dan khilafiyah itu sudah terjadi sejak lama, yaitu abat 2 hijriyah, dan pada masa sahabat. Misalnya aliran as-ariyah dan muktazilah ketika memperdebatkan tentang perbuatan tuhan dan takdir tuhan. juga ketika mereka berbicara soal perbuatan manusia, antara kebebasan dan kehendak tuhan. Saya melihat kasus poligami atau kesetaraan gender, yang di lontar Musdah mulia dan shinta nuriyah adalah wacana lama yang diangkat kembali oleh NU. “ poligami adalah kasus syariah, sementara gender adalah kasus dunia” artinya antara poligami dan gender jangan di samakan kedudukannya, karena gender tidak memperhitungkan syariah semisal nikah dan mahar dalam sebuah pernikahan atau harta warisan. sementara gender hanya berkutat pada pemikiran dan status dalam masyarakat.  kita ambil contoh kasus poligami yang dialami puspo wardoyo. menurut saya poligami yang dia lakukan syah menurut islam dan undang-undang negara, karena secara materi ia mampu dan bisa berbuat adil. yang menjadi persoalan adalah kiai tradisional NU yang belum mampu secara materi tetapi berpoligami. sebenarnya kekuatan poligami itu sendiri berada pada kekuatan materi dan keihlasan seorang wnaita untuk di madu. kalau mereka ihlas dan merasa bahagia kenapa tidak, toh intinya islam adalah membahagiakan manusia. kedua, gender seorang wanita bisa jadi kepala negara atau jadi sopir taksi sekalipun, kalau itu dimungkin dan mereka mampu, toh selama ini tidak ada persoalan dengan itu, hanya saja yang bersifat tradisi dan kebiasaan itulah yang sulit di hilangkan. misalnya seorang santri di pesantren harus mencium tangan kiai, apakah hal itu di perintahkan dalam islam?  kasus kedua, pelebaran pemikiran oleh anak muda NU, menurut saya itu kurang tepat. NU tetap NU dan pemikiran tetap pemikiran. artinya Nu sebagai organisasi jangan disamakan dengan orang Nu sebagai manusia yang punya daya nalar pikir, karena sejarah NU tidak lepas dari pejuangan ulama aliran as-ariyah.  kalau memang ada pelebaran pemikiran itu bukan berangkat dari nu, tetapi berangkat perkembangan keilmuan dan teori modern yang selelu berkembang, karena sain modern terus berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.  selagi ada manusia yang mau berpikir, maka sains tetap berkembang, begitu juga dengan NU, selagi masih ada oranbg yang berpikir tentang khilafiyah di Nu, maka NU terus berkembang. kesimpulan saya adalah, jangan sekali-kali menyamakan sejarah islam dan sejarah umat islam.  kedua trem itu sangat beda, sama hal dengan NU, jangan menganggap perbedaan di NU itu adalah pelebaran nu, tetapi perkembangan pola pemikiran sain yang di miliki anak muda nu.

Posted by hamdani lubis  on  12/19  at  12:12 AM

Sebagai warga NU saya merasa sangat prihatin sekali dengan proses dan hasil muktamar yang kemarin. Dimana isu-isu tentang suksesi lebih dikedepankan dan mengenyampingkan permasalahan-permasalahan utama yang sedang dihadapi oleh warga NU yang notabene banyak berasal dari komunitas yang selama ini selalu terpinggirkan oleh kekuasaan. sehingga muktamar kali ini berakhir dengan hampa tanpa memberikan kejelasan mau dibawa kemana NU dimasa lima tahun yang akan datang. Maka tidaklahmengherankan apabila banyak dari kalangan muda NU yang secara tidak langsung menarik diri dari NU dengan cara tidak terlibat secara struktural dalam kepengurusan. mereka lebih asyik untuk mendirikan wadah-wadah baru yang bisa memberikan ruang gerak yang bebas untuk menumpahkan segala kreatifitasnya tanpa ada yang membatasi. bahkan yang lebih ekstrim lagi, banyaknya kalangan muda NU yang jelas-jelas keluar dari NU dan masuk kedalam organisasi lain. saya sendiri tidak menyalahkan mereka, karena selama ini pihak NU terutama dari golongan tua tidak memberikan kontribusi dan dukungan bagi mereka. oleh karena itu saya berharap kepada semua klangan muda NU untuk terus saling bahu membahu untuk memberikan yang terbaik untuk NU dan untuk kalangan tua sudah seharusnya memberikan keleluasaan dan kesempatan yang lebih luas lagi untuk memberikan ide-ide barunya. semoga NU kedepan masih tetap bisa menjadi corong demokrasi di negra Indonesia ini.

Posted by Muhamad Asep zaelani  on  12/17  at  02:13 AM

Bagus itu, usul agar JIL merakyat, mengadakan pengajian pekanan dan mengolah aktifitas dan pemikirannya langsung kehadapan kehidupan tanpa melalui media. Meskipun dibiayai Asia Foundation, tidak berarti selamanya harus begitu. Kalau rakyat sudah merasakan kesejukan batin aktifis JIL di pengajian harian Masjid JIL, tentu ide-ide JIL akan tumbuh secara alamiah di mana-mana, menyebar di tanah Jawa dan Nusantara.

Bahkan kita do’akan agar ide-ide JIL yang baik dan benar dijadikan pegangan seluruh ummat dan yang tidak baik kita gugurkan bersama dalam berolah-bahas. Kalau JIL hidup, merakyat, dan aktifis JIL bukan sekedar akademisi dan pegawai LSM tetapi sungguh-sungguh juga menapaki jalan seorang rohaniwam, jiwa dan karya JIL akan berada di Jalan Allah, Penguasa Alam Raya, dan tak akan bisa mati. Sama seperti jiwa liberal dan semangat jihad sesepuh NU tumbuh terus di generasi mudanya, yang antara lain, sebagian menjadi aktifis JIL.

Kesejukan jiwa ini penting, juga dalam menulis, bukan? Mas Novri seharusnya gak perlu marah-marah pada pengusul agar aktivis JIL dikebiri hak politiknya di NU, setidaknya gak perlu marah-marah di forum ini. Harusnya Mas Novri marah di panggung NU itu, dengan suara menggelegar dan retorika memukau sekalian, agar batal-bundas ide mengebiri hak politik warga NU dalam organisasi. Di forum bahas-membahas ini, bukankah cukup Mas Novri mengisahkan saja kejadian lucu bin menyedihkan itu. Mungkin kita bisa analisa kenapa aktifis NU itu sempat-sempatnya ngomong sedemikian nyata-bodonya di panggung. Dan mendapatkan aplus lumayan juga?

Apakah aktifis anti JIL itu kepingin menjadi pejabat NU? Ataukah dia sedang kurang sehat, kebanyakan makan Irex, barangkali? Mungkin dia makan ayam Wong Solo?  Apa isi ayam Wong Solo itu? Apakah termasuk steroid? Berapi-api tetapi bodo adalah salah satu ciri penyalahgunaan steroid, bukan?

Pemikiran apapun baru akan mendapatkan bobot bilamana dilengkapi dengan lelaku pemikirnya. Ayolah, pemikir JIL, janganlah lupa bahwa misi Anda sekalian adalah sebagai pembaharu pemikiran. Kalian bukan pegawai LSM belaka. Kalian adalah penghayat dan pemikir agama Islam. Pewaris tradisi kesolehan dan ketuhanan yang besar dan tua dan lengkap tertulis. Di tengah Islam yang terdesak kalian harus menjawab dengan bekerja lebih keras dari orang yang tidak sepintar kalian. Bekerja di batin, maksudku.

Siapa yang jadi wali duluan? Ayolah, Mas Novri, Mas Ulil, dan Mas - Mas serta Mbak Mbak JIL, kesolehan Anda menuntut Anda memberi lebih banyak pada kehidupan di sekitar Anda, maka bekerjalah.

Belajarlah ilmunya wali tanah Jawa bernama Sunan Bonang yang mampu mentrasformasikan sepohon aren lengkap dengan kolang-kalingnya berjumbai, seketika menjadi emas. Nanti tak perlu kalian terima tawaran duit lembaga semacam Asia Foundation meskipun mereka menjengking-njengking meminta kalian menerima. Barulah kalian semua dapat dipuji sebagai gagah sejati, mujahidin, putra Pandawa, pandu Indonesia Raya.

Dan jangan heran bilamana itu kalian kerjakan, orang semacam yang mencaci dan hendak mengebiri hak politik warga NU itu justru memuji-muji sampai-sampai menjilat kepingin dianggep sebagai warga, aktivis, ataupun simpatisan JIL. Karenanya, maafkanlah sibodoh yang merindukan mikropon di perhelatan NU kemaren. Majulah terus dengan disiplin dan kesolehan dan kesabaran.

Aku seorang Muslim, mendukung usaha kalian.

Bram.

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  12/16  at  04:13 PM

Fenomena kebebasan berfikir di kalangan muda NU selalu menarik dan naif untuk diikui. Puncaknya ketika muktamar NU kemarin dan diulas oleh Novriantoni 13 Desember kemarin.

Semua berangkat dari keprihatinan tentang masih lemahnya masyarakat Islam dalam bargaining position dengan negara maju. Membandingkan dengan masyarakat maju lantas mengutip kategori Hasyim Saleh dalam bidang pemikiran Islam yang sudah nash dalam Al-Qur’an dan mengesampingkan aplikasinya dalam pemikiran lain, nampak konyol.

Mestinya dana operasional JIL yang mencapai ratusan juta (yang dananya entah dari mana) tiap minggu digunakan untuk memberdayakan masyarakat NU sendiri yang tampak terbodohkan secara sistematis oleh otoritas tradisional NU sendiri, bukan untuk menyerang kelompok Islam lain.

Posted by Mustain  on  12/16  at  04:12 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq