Merenungkan Sejarah Alquran - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
17/11/2003

Merenungkan Sejarah Alquran

Oleh Luthfi Assyaukanie

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.

Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran dan sekaligus merupakan bulan puji-pujian terhadap kitab suci ini. Tanggal 17 Ramadhan dianggap sebagai puncak dari ritual pengagung-agungan terhadap Alquran, karena pada tanggal inilah Alquran diyakini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Di bulan yang suci ini, saya ingin merenungkan sejarah Alquran yang panjang, yang berproses, yang berjuang dengan berbagai tantangan zaman, hingga menjadi wujud dalam bentuknya yang kita kenal sekarang.

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.

* * *

Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus.

Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal’ dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiyamenjadi “linunsyira(Talhah), dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

***

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru.

Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.



Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.

17/11/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (24)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Untuk membuat wacana sah-sah saja, saya pernah belajar filsafat di sebuah perguruan Islam, hasilnya tergantung kedewasaan, kebijakan, dan keimanan kita. “Misalnya Allah Maha Kuasa, karena Maha Kuasa Allah menciptakan satu batu yang sangat besar, sehingga ia sendiri tidak mampu mengangkatnya”. Bagaimana kita menyikapi ini??? kedewasaan kita kan?.. Dan studi apapun bila tidak kita sandarkan pada keimanan kepada Allah maka hasilnya akan 0. karena Allah tidak memberikan ilmu kecuali sangat sedikit.
Kalau mau mempelajari ilmu Al-Qur’an dan cabang2nya seperti sejarah, alangkah bijaksana bila kita secara komprehensif mempelajarinya, didukung refensi dan hal-hal yang perlu dalam analisa ilmiah.
Tapi pada suatu saat akan ditemukan (dan dari sebelum tulisan ini) akan terus ditemukan bahwa Al-Qur’an adalah murni dari Allah SWT baik teks dan maknanya. Karena jangankan beberapa surat, ayat, bahkan “alief” tertukar dalam penulisannya dengan “wau” pasti akan diketahui.
Mudah-mudahan kita menjadi orang yang bertambah iman kepada kitab Allah ini, dengan realitas pemikiran yang terus bermunculan ini.

Posted by Irwan Setyawan  on  08/31  at  11:32 AM

Untuk Anda yang tertarik mengenai bahasan sejarah Al Qur’an dan keasliannya, silahkan cari buku berjudul

“The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation” karangan MM Al A’zami

yang sudah diterjemahkan oleh:

penerbit Gema Insani tahun 2005 dengan judul “Sejarah Teks Al Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi”.

Dibuku tersebut juga dibahas argumen2 terhadap berbagai tuduhan yang dialamatkan ke AL Qur’an..

---

Catatan buat penulis:

Sepertinya penulis tidak menggali secara langsung dari sumber-sumber sejarah keIslaman yang terkait dengan sejarah Al Qur’an.

Kalau penulis hanya sekedar mengutip tuduhan-tuduhan dari berbagai buku yang dikarang oleh orang yang tidak faham mengenai Islam, ya beginilah jadinya.. Kesimpulannya pasti sama.

Sayang sekali, penulis yang termasuk kategori cendekiawan Islam ternyata hanya mengumpulkan referensi2 orang yang tidak begitu mengerti sejarah Islam dan tidak melakukan studi yang mendalam tentang sumber-sumber historis AL Qur’an.

Kalau memang bukan ahli dibidang historis Al Qur’an, akan lebih bijaksana untuk tidak menuliskan tulisan seperti tulisan diatas.

Yaaahh, mungkin Luthfi Assyaukanie termasuk tipikal orang yang masih muda (pada saat menulis) yang cenderung tergesa-gesa..

Dan sedang gemar-gemarnya membuat karya ilmiah dengan pendekatan referensi tapi sayangnya tidak mendalami referensi yang levelnya lebih dekat ke pokokok permasalahannya yaitu kelahiran Al Qur’an itu sendiri.

Salam Indonesia

Posted by bunga.kambodja@gmail.com  on  03/08  at  10:00 AM

Sejarah menunjukan bahwa Mushaf imam yang ditulis Ustman tidak pernah mengalami penambahan atau pengurang walau satu huruf pun sesuai dengan teks Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini terwujud berkat usaha Ustman yang telah menyatukan ummat dalam satu mushaf. Ketika itu Ustman membentuk semacam panitia penulis Al Quran untuk menyalin mushaf yg telah dikumpulkan Abu Bakar as-Shiddig. Tulisan mushaf yg dikumpulkan pada masa Abu Bakar tersebut sama dengan tulisan Al Quran yg ditulis para juru tulis wahyu pada masa Nabi Muhammad SAW. Penulisan mushaf Ustman ini dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit, orang yg telah mengumpulkan Al Quran lewat hafalan pada masa Rosulullah SAW dan menuliskannya untuk Nabi SAW di dikte oleh Nabi SAW sendiri. Dan mushaf Usmant inilah yang dipakai ummat islam hingga sekarang ini

Sebenarnya dg logika sederhana saja, kita bisa tahu bahwa Al Quran tidak akan mungkin mengalami perubahan.Karena bagaimana mungkin terjadi pengubahan atas Al Qur’an sementara ada sekian banyak orang yang menghafal dan mempelajarinya di berbagai tempat yang berbeda?”. Artinya, pengubahan terhadap Al Qur’an hanya mungkin terjadi ketika seluruh orang yang menghafal Al Qur’an yang hidup di berbagai tempat yang berbeda itu sama-sama sepakat untuk melakukan perubahan terhadap Al Qur’an. Dan itu mustahil, karena umat islam tidak akan mungkin sepakat dalam kekufuran (kecuali anda yg telah meragukan kebenaran Al Quran). Maka, jika benar ‘Umar atau ‘Utsman ra telah mengubah Al Qur’an, niscaya para hufadz di kalangan sahabat yang jumlahnya sangat banyak, akan menyadari penyelewengan itu. Jika mereka semua diam atas penyelewengan itu, maka itu mustahil, karena mereka lebih suka mati dalam mempertahankan kemurnian Al Qur’an dari pada hidup dengan membiarkan adanya penyelewengan terhadap Al Qur’an. Maka, penambahan, pengurangan, dan pengubahan terhadap Al Qur’an adalah mustahil, baik untuk masa lalu maupun masa sekarang

Allah berfirman. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kamilah yang menjaganya.” (QS. Al Hajr: 9)

Posted by Daniel  on  01/10  at  12:28 PM

Ass.Wr.Wb ( jika anda Muslim )

Mohon ma’af sebelumnya, karena saya tidak begitu mengerti maksud sebenarnya dari tulisan anda yang tidak didukung bukti yang jelas, dan lebih bersifat negatif, tanpa memberikan gambaran yang positif.

Apakah harus Allah sendiri yang HARUS menuliskannya untuk anda, supaya anda bisa terhindar dari PIKIRAN NEGATIF terhadap orang yang mencetaknya.

Yang saya tahu saya lebih percaya Al-Qur’an itu sendiri dari pada tulisan anda.

“ ITU TIDAK AKAN MERUBAH APAPUN DARI DIRI SAYA “

Salam

Posted by Bambang Priambodo  on  03/25  at  10:03 AM

Pekanbaru, 29 Januari 2007

Melihat penulisan dari Bapak, saya heran… Bapak ini sebenarnya Muslim atau missionaris (penginjil) yang berkedok muslim? Apabila Bapak adalah Muslim, banyak-banya Istighfar.... Semoga diampuni. Bapak telah rela menukar aqidah Bapak dengan ajaran sesat.... Emang dibayar berapa seh.... Bikin bete aja neh…
-----

Posted by Julio  on  01/29  at  04:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq