Merumuskan Ulang Hubungan Islam dan Barat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
13/06/2005

Refleksi Kasus Guantanamo: Merumuskan Ulang Hubungan Islam dan Barat

Oleh Abd. Malik Utsman

Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan isu pelecehan Alquran yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Peristiwa itu telah membakar emosi umat Islam di berbagai negara. Ribuan massa di Jakarta, Kabul, Cairo dan Islamabad memadati jalan-jalan ibukota masing-masing untuk mengungkapkan kutukan mereka pada Amerika. Persoalan di atas hanya bagian kecil dari bentuk perbenturan Barat (khususnya Amerika) dan Islam. Bila bangunan toleransi dan saling memahami tidak kembali ditata, agresi dan teror akan terus mewarnai hubungan Islam-Barat.

Islamolog John L Esposito pernah menyatakan bahwa tragedi 11 September 2001 telah merombak tatanan kontsruktif hubungan Islam dan Barat yang telah dibangun berbagai pihak sejak lama. Kini, hubungan itu kembali tegang. Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan isu pelecehan Alquran yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Peristiwa itu telah membakar emosi umat Islam di berbagai negara. Ribuan massa di Jakarta, Kabul, Cairo dan Islamabad memadati jalan-jalan ibukota masing-masing untuk mengungkapkan kutukan mereka pada Amerika.

Persoalan di atas hanya bagian kecil dari bentuk perbenturan Barat (khususnya Amerika) dan Islam. Bila bangunan toleransi dan saling memahami tidak kembali ditata, agresi dan teror akan terus mewarnai hubungan Islam-Barat. Tidak terlalu sulit meledakkan konflik dalam skala global, mengingat sejarah pertemuan Islam dan Barat lebih banyak berupa ketegangan dan konflik daripada harmoni. Berbagai kejadian aktual kini akan dirujukkan kembali pada sejarah masa lalu.

Karena itu, tesis Huntington yang menyebut konflik global akan dipicu perbedaan kultural dari peradaban yang berbeda, tampaknya bukan sekadar provokasi. Sebab, salah satu faktor dominan dalam perbenturan itu adalah adalah arogansi Barat sendiri dan militansi Islam. Harus diakui, sikap arogan Barat yang intervensionis terhadap dunia muslim, dan reaksi balik umat Islam dengan cara-cara yang militan dan radikal, tidak jarang menumbuhkan kekerasan.

Tapi tidak hanya karena itu. Pertentangan Islam dan Barat juga banyak didasari oleh rasa ketakutan dan kekhawatiran masing-masing. Barat khawatir Islam tumbuh dan berkembang sebagai rival perpolitikan Barat. Revolusi Iran yang sudah berlangsung lama sejak 1979 misalnya, dan beberapa gerakan revivalis Islam, semakin meyakinkan Barat bahwa ideologi Islam adalah ancaman pascakomunisme.

Sementara itu, umat Islam juga selalu khawatir apabila modernisme, sekularisme dan materialisme yang berkembang baik di Barat akan mengikis “tradisi suci” mereka. Karena itu, dunia Islam selalu defensif terhadap Barat. Tidak hanya defensif, umat Islam juga aktif menolak apapun yang berbau Barat, terutama produk-produk pemikirannya. Padahal, di situlah terletak salah satu faktor kemunduran Islam.

Saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat juga bersumber dari ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang negatif. Montgomery Watt misalnya mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu, di dunia Barat masih saja membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Pandangan Barat terhadap Islam, sampai kini masih banyak terpengaruh warisan dendam masa lalu.

Pengetahuan Barat terhadap Islam juga bersifat parsial dan bias. Barat selalu gagal dalam memahami Islam. Masyarakat Islam selalu didudukkan sebagai barbar, primitif dan gemar berperang. Dari situlah muncul arogansi Barat untuk memaksa gagasan dan konsep mereka sebagai peradaban universal. Terhadap Islam, Barat lalu menyajikan dua pilihan saja: tetap setia pada Islam tapi tidak menggapai kemajuan materi, atau maju sembari meninggalkan nilai-nilai Islam.

Di pihak lain, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya.

Karena itu, hubungan Islam-Barat sampai kini belum punya pijakan yang jelas. Kekhawatiran dan pandangan konservatif yang sepihak masih saja mengental antara kedua belah pihak. Arogansi kedua belah pihak semakin mengental; militansi dan fundamentalisme juga semakin berkembang. Padahal, masa depan peradaban global salah satunya ikut ditentukan oleh harmonisasi dua peradaban ini. Karena itu, bukan saatnya lagi mendudukkan Islam dan Barat secara dikotomik, baik secara ideologi maupun politik. Keduanya harus dilihat dalam bingkai dialektika peradaban kemanusiaan.

Prinsip dialektika peradaban itulah yang akan menghapus pola konflik, disintegrasi dan destruksi yang selama ini terjadi. Dialektika peradaban mengandaikan tidak adanya satu peradaban yang universal dan absah untuk dipaksakan pada semua kelompok. Peradaban manusia dipandang terus bergulir dalam proses menjadi, dan tidak diandaikan langsung sempurna. Karena itu baik umat Islam maupun orang Barat, semuanya berpeluang untuk duduk bersama sebagai mitra dialog antar budaya.

Keberhasilan dialektika peradaban itu, kiranya sangat bergantung pada beberapa hal berikut. Pertama, Barat harus berupaya menghapus arogansinya ketika memaklumkan peradabannya sebagai peradaban universal. Tidak ada peradaban yang universal, kecuali peradaban yang diabdikan untuk kemanusiaan.

Kedua,Barat harus mengikis arogansinya di bidang politik, ekonomi dan militer, serta mesti selalu menghargai kemerdekaan dan kemandirian suatu bangsa. Ketiga,Barat harus memulai dan merintis kembali pandangan dan kajiannya yang simpatik atas Islam sebagaimana yang telah banyak dilakukan beberapa inteletual Barat selama ini.

Sembari itu, umat Islam juga harus lebih terbuka dan mampu berdialog dengan peradaban lain. Bagaimanapun juga, kebesaran Islam tidak terletak pada sikap bertepuk dada pada tradisi masa lampaunya, tetapi lebih pada kemampuan membangun kontak peradaban dengan tradisi lain. Islam juga harus mengembangkan peradaban yang ilmiah, yakni peradaban yang menghargai nilai-nilai kebebasan dan rasionalitas. Peredaban Islam juga mesti dikembangkan sebagai peradaban yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Terakhir, Islam juga harus dikembangkan sebagai peradaban yang berkomitmen untuk mendukung perdamaian global.

Abd. Malik Utsman, pemerhati sosial-keagamaan, tinggal di Yogyakarta.

13/06/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya tidak setuju bahwa dalam tulisan anda mengatakan “antara barat dan islam”. Saya setuju jika anda mengatakan “negara barat dan negara arab”. Dilihat dari sudut geografis Nagara barat tidak jauh dari negara arab. Dari Roma 2,5 jam dengan pesawat sudah sampai di Mesir. Satu jam naik kapal feri dari spanyol ke Maroko. Tiga hari dari Brusel ke irak lewat darat. Dimasa lampau Spanyol pernah dijajah Maroko. Kaisar Agustus pernah menjajah sampai jazirah arab.Sehingga jika dilihat dari kependudukan; di barat banyak orang arab dan islam yang tinggal disana dan di negara arab banyak juga orang barat dan yahudi. Tetapi mereka sudah menyatu dalam satu koloni yaitu dalam sebuah negara. Sangat janggal jika ada teman yang mengatakan bahwa para peneliti islam di barat adalah peneliti “murahan” karena belum mengerti islam dan arab. Sedangkan kita lebih mengerti dan tahu tentang islam dan sejarahnya.  Karena mereka sebetulnya adalah negara tetangga tentunya banyak masalah-masalah kecil dan besar dimasa lampau maupun sekarang, seperti juga kita dengan Australia, Papua, Pilipina dan Malaysia.  Karena jenjang keadaan ekonomi dan politik yang sangat jauh berbeda, menyebabkan banyak orang arab yang miskin ( dan tertindas lagi oleh sistem politik)ingin pergi ke eropa untuk mencari kerja.  Yang lebih menyebalkan negara barat pada saat ini adalah banyaknya pengungsi dan orang dari negara arab yang mencari kerja ke eropa secara legal maupun ilegal(sepeti kita pergi ke Malaisia). Dan diantara mereka banyak muslim fundamentalis yang datang ke eropa hanya untuk tujuan meneror. Dengan begitu rusaklah citra islam....rusaklah citra orang miskin arab di eropa yang hanya ingin mencari sesuap nasi.
-----

Posted by Bandono  on  06/15  at  12:06 AM

Saya sedikit mau memberi pandangan saya tentang “clash of civilisation”. Adalah tidak pernah dalam sejarah manusia hidup tanpa pertentangan peradaban yang notebene disebabkan oleh perbedaan ideologis. Ada masa-masa damai memang dalam sejarah manusia, betapapun panjangnya masa itu, tetap merupakan masa laten atau saya istilahkan masa “reorganisasi internal” dimana tiap peradaban terutuma peradaban besar dunia (baca: peradaban islam dan barat yang mewakili Kristen) berusaha mematangkan diri dan mereview kembali eksistensi ideologi mereka sekaligus ideologi lain disekitar. Adalah bagian dari Sunnatullah, bahwa peradaban yang berjaya akan dipergilirkan dan itu adalah fungsional dari keterikatan suatu komunitas terhadap ideologi dasar mereka. Masa damai atau harmonisasi yang yang diusahakan secara artificial adalah semu adanya. Sudah jelas dari sejarah bahwa manusia sudah terbagi dengan kuatnya oleh agama, dan usaha apapun tidak bisa menghasilkan sinkretisme antar agama. Saya sakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah peradaban yang akan berjaya kembali seiring dengan kesadaran umat yang semakin mengental untuk kembali ke islam. Faktor ideologis adalah faktor yang membedakan manusia secara psikologis dan tentu saja cara pandangnya tentang dunia. wassalam

Posted by aminuddin  on  06/13  at  09:06 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq