Misi Kenabian Gerakan Pembaruan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
01/09/2010

Misi Kenabian Gerakan Pembaruan Reportase Diskusi Kampus di Bandung

Oleh Saidiman Ahmad

Pemikiran kritis di dalam Islam sebenarnya sudah berlangsung lama. Dalam dunia Islam dikenal kelompok Mu’tazilah yang sangat rasional. Sekelompok penganut Syi’ah bahkan tak tanggung-tanggung mengkritik anggapan umum ummat Islam saat ini. Bagi sekelompok penganut Syiah, sebenarnya wahyu yang diterima oleh Muhammad itu salah alamat, mestinya wahyu itu diterima oleh Ali bin Abi Thalib.

Gagasan mengenai pembaruan Islam masih sangat relevan. Wacana ini bergulir dalam diskusi bertajuk “Pembaruan Tanpa Apologia” di Wisma Bina Marga, Bandung, 21/08/2010. Diskusi ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Friedrich Naumann Stiftung (FNS). Diskusi ini dimaksudkan untuk membahas gagasan pembaruan Ahmad Wahib, salah satu tokoh HMI era 1960an.

Novriantoni Kahar (Jaringan Islam Liberal) mengawali diskusi dengan memaparkan sejumlah hasil kajian terhadap fenomena masyarakat Islam kini. Novri menyebut sebuah jargon “al-Islam wahidan wa muta’addidan” (Islam itu satu dan berbilang). Menurut Novri, saat ini, wacana keislaman dikuasai oleh Islam elit (Islam as-Saasah). Islam elit biasa juga disebut sebagai Islam panggung (al-Islam al-masrahi). Para Muslim panggung adalah mereka yang menjadikan Islam sebagai kendaraan politik semata. Sebenarnya mereka tidak terlalu suka dengan segala aturan agama yang ketat. Mereka hanya menggunakan agama sebagai alat pencitraan.

Fenomena Islam panggung begitu marak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Fakta bahwa para elit acapkali melakukan politisasi agama dalam bentuk dukungan terhadap sejumlah Perda dan UU yang bernuansa syariat tapi diskriminatif adalah tanda-tanda fenomena Islam panggung.

Islam elit atau panggung berbeda dengan Islam pembaru. Islam pembaru adalah kelompok Islam progressif yang terus menerus mewacanakan gerakan pembaruan agama. Jumlah mereka cenderung sedikit. Novri mencontohkan jumlah anggota HMI yang sangat banyak, tapi hanya segelintir anggota HMI yang seperti Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Ahmad Wahib.

Namun begitu, kelompok pembaru sebenarnya ada dua macam. Ada kelompok pembaru yang beriorientasi ke belakang dan melakukan gerakan revivalisme. Mereka adalah penganut Wahabi, Taqiyuddin Nabhani, Ahmad Dahlan, Natsir dan Cak Nur. Kelompok pembaru yang sebenarnya adalah yang benar-benar mau menjadi katalisator dalam gerakan pembaruan. Ahmad Wahib mewakili kelompok pembaru yang murni ini.

Setidaknya ada tiga tujuan pembaruan, menurut Novri. Pertama, membuat agama lebih spritual ketimbang politis. Saat ini Islam adalah satu-satunya agama yang masih sangat obsesif terhadap politik. Kedua, menjadikan agama lebih humanis, ketimbang teroris. Dan ketiga, agama mesti berdamai dengan dunia.

Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si (dosen politik Islam UIN Bandung) membantah klaim pemikiran yang dibawa oleh Ahmad Wahib. Bagi dia, apa yang dikemukakan Ahmad Wahib bukan pemikiran, melainkan celotehan. Ahmad Wahib memang tidak menerbitkan sebuah buku yang merangkum pemikiran yang utuh. Buku yang dibaca banyak kalangan mengenai Wahib adalah buku kumpulan catatan harian yang terbit tahun 1981.

Layaknya celotehan, maka apa yang diungkap Wahib acapkali benar, menghina, dan menghibur. Tapi, menurut Fauzan, demikianlah adanya agama. Agama memang merupakan hiburan. Dia hadir sebagai pelipur saat orang susah dan berduka.

Fauzan mengkritik fenomena Islam Indonesia saat ini yang dikuasai oleh para habib. Ini adalah fakta politisasi agama. Sebenarnya agama tidak punya kepentingan, yang memiliki kepentingan adalah para penguasa. Jika politisasi agama ini terus terjadi, maka “di masa depan, agama mungkin hanya akan menjadi celotehan belaka,” tegas Fauzan.

Mengenai Wahib, Fauzan menyatakan bahwa dia sebenarnya ingin menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai Islam adalah perpaduan budaya. Agama-agama yang berasal dari Timur Tengah, misalnya, selalu mewajibkan kerudung. Kerudung bukan hanya untuk orang Islam, tapi juga Yahudi dan Nasrani. Kerudung bukan hanya perempuan, melainkan juga untuk laki-laki Arab. Ini menunjukkan bahwa pewajiban kerudung sangat terkait dengan konteks lokal budaya Arab padang pasir. “Kalau Muhammad lahir di Ciampelas, mungkin yang dianjurkan bukan gamis, tapi jeans,” seloroh Fauzan.

Prof. Dr. Muhammad Najib (Pembantu Rektor 4 UIN Bandung) lebih banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya menghadapi dan mengkritisi sebuah wacana. Misi utama kenabian adalah untuk melakukan kritik dan dekonstruksi terhadap tatanan kemapanan suatu komunitas masyarakat. Wahib, dalam hal ini, mengemban misi kenabian untuk melakukan kritik atas kemapanan masyarakat Muslim Indonesia.

Bagi Najib, tradisi kritisisme mesti terus dilakukan dan tak bisa dihentikan. Buah pemikiran yang merupakan hasil kritisisme terhadap kemapanan juga mesti dikritik. Dalam hal ini, Najib menganggap bahwa kejumudan ummat Islam Indonesia mesti dikritik, tapi pada saat yang sama, liberalisme juga mesti dikritik.

Pemikiran kritis di dalam Islam sebenarnya sudah berlangsung lama. Dalam dunia Islam dikenal kelompok Mu’tazilah yang sangat rasional. Sekelompok penganut Syi’ah bahkan tak tanggung-tanggung mengkritik anggapan umum ummat Islam saat ini. Bagi sekelompok penganut Syiah, sebenarnya wahyu yang diterima oleh Muhammad itu salah alamat, mestinya wahyu itu diterima oleh Ali bin Abi Thalib.

Kritisisme yang hidup dalam dunia Islam juga dibuktikan oleh fakta keragaman masyarakat Muslim. Dengan begitu, dekonstruksi pemikiran adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan beragama. Najib mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa dalam setiap seratus tahun akan selalu muncul sosok yang melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi (pembaru) terhadap kemapanan. Perubahan akan terus terjadi. “Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri,” tegas Najib.

Dekonstruksi pada akhirnya akan melahirkan wacana relatifisme. Masing-masing kelompok memiliki rasionalitas atas apa yang mereka yakini. Terhadap gagasan ini, seorang peserta bertanya, “Apakah dengan begitu gagasan Muhammad relatif?” Najib menjawab pertanyaan itu secara tidak langsung dengan menegaskan kembali pola dekonstruksi dan relatifisme dalam setiap gagasan. []

01/09/2010 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

yah..ujung2nya yg dibahas poster syariat juga.

adapun tanggapan sekelumit syiah yg mengatakan allah salah kirim wahyu saya pikir ini merupakan kekacauan anggapan yang tdk kira2.

sedangkan untuk masalah bahwa wahyu terikan pada budaya, waktu dan custom masyarakat setempat, tentu saja itu benar.

pikir simple begini:

bagaimana nabi bisa mendapat wahyu atau mengeluarkan fatwa tentang internet dan komputer seperti yang ada dihadapan anda sekarang, kalau zaman itu internet dan komputer tidak pernah ada?

tentunya hadist dan wahyu tuhan selalu mengikuti zaman dan budaya dimana beliau berada.

inilah masalah klasik orang islam, tidak bisa membedakan essensi islam sebagai agama yang tidak lekang waktu dengan syariat islam yang harusnya di sejalankan dengan kondisi dimana ummat berada.

Posted by firdaus_marlik  on  10/02  at  12:55 PM

saat agama hanya sebagai sebuah kedok untuk menguasai yang lain, maka agama tersebut telah dirusah citra serta ajarannya sebagai sebuah ajaran kebenaran. agama tidak mempunyai kepentingan politik praktis yang saat ini banyak digunakan oleh para pemimpin negara dengan berbalut baju agama. sebuah penggerogotan dari umat beragam sendiri yang pada akhirnya menghancurkan agam itu sendiri sebagai sebuah ajaran hidup.

Posted by deskam  on  09/23  at  11:26 AM

tak ada istilah kebuntuan berpikir dalam islam, selama didalam koridor Qur’an & hadits yg. shohih tak ada itu kebuntuan dan sejenisnya.Islam is solution,semua aspek kehidupan ada pedoman didlmnya.
kami muslim mengimaninya.harga mati.

Posted by erwin syiahputra  on  09/14  at  01:58 PM

Kata doktor fauzan:
Ini menunjukkan bahwa pewajiban kerudung sangat terkait dengan konteks lokal budaya arab padang pasir.

Oh, jadi Tuhan bikin hukum itu gak kreatif ya ngikut2 adat manusia gt dok??

“kalo Muhammad lahir di ciampelas mungkin yang diwajibkan bukan gamis tapi jeans”

Kalo gt anggap aja Muhammad lahir di hawaii jadi yang diwajibinnya pakai pakaian dalam..

CENDIKIAWAN ISLAM KOK GT YAH MIKIRNYA?? Orang bodoh juga bisa mikir kayak gitu gak usah pake gelar doktor segala.

Posted by Agus  on  09/14  at  12:28 PM

Berbicara tentang Tuhan memang ga ada habisnya ga ada matinya............dari jaman duluuuuuu banget......hingga hari ini.

Apa sebab? sebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena antara “apa yang dibicarakan (Tuhan)” dan yang “membicarakan (manusia)” tak pernah ada pertemuan bareng.

Yang berbicara “TAHU” tuhan, tidak pernah benar-benar tahu melainkan hanya “YAKIN” saja.Tetapi sebaliknya yang berbicara “TUHAN TIDAK ADA” juga tidak pernah benar-benar tahu kalau tuhan itu memang tidak ada. Mereka hanya YAKIN SAJA BAHWA TUHAN TIDAK ADA.Mereka hanya MERASA SOK TAHU.

Dua keyakinan yang berbeda, tetapi manakah dari dua keyakinan tersebut yang benar? Keyakinan orang atheis atau keyakinan orang yang beriman?

Hayo siapa coba (angkat jari) yang “PASTI” bisa membuktikan kebenaran dari dua keyakinan tersebut? Adakah seseorang yang BENAR-BENAR TAHU TUHAN (bukan sekadar cuma yakin lho).

Tuhan itu objek abstrak yang bisa “digambar apa saja” baik oleh yang meyakini maupun yang tidak meyakini.

Lha wong “semut” saja yang jelas-jelas objek nyata bisa ditulis beribu halaman, lha kalau mau menulis tentang Tuhan apa tidak bisa menghabiskan tinta selautan?

Lalu enaknya bagaimana dong?! terserah masing-masing enaknya bagaimana, tetapi baik bagi yang percaya maupun yang tidak percaya tidak boleh seenaknya sendiri dalam mencaci maki, sebab pasti nanti akan terjadi perang dan kebencian.

Yang merasa beriman dimohon jangan mencacimaki si kafir apa lagi sampai ingin membunuhnya. Tapi, omong-omong,ada gak yah, perintah agama/tuhan yang intinya untuk membunuh orang kafir atau orang musyrik/pagan dimana saja kamu temui? Jika ada, lalu itu atas perintah siapa?

Sebaliknya, yang merasa atheis juga jangan melecehkan atau menghina orang yang beriman. nanti orang yang beriman pasti akan membalas penghinaan itu dengan cara yang lebih keras.

Pertanyaannya, apa bisa mereka saling menghormati? Tentu ada yang bisa tetapi ada juga yang tidak bisa, itu semua kembali kepada personal dan kedalaman spiritualitas masing-masing. Sedikit cerita, saya pernah melihat di depan sebuah gereja ada ucapan seluruh jemaat gereja ini mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, nah saya kok belum pernah menjumpai ada masjid membentangkan spanduk yang bertuliskan seluruh umat muslim mengucapkan SELAMAT NATAL.Ini sekadar contoh saja, betapa saling menghormati itu “tidak mudah” meski mulut para petinggi agama sangat mudah mengucapkan itu.

Saya sih cuma bisa sarankan (kalau mau) “aja pada rebutan Gusti Allah (jangan saling berebut Tuhan)”
Mengapa Tuhan tidak perlu menjadi rebutan? karena Tuhan sudah ada pada diri kita masing-masing.

Simpel kan? yang membuat “kacau” itu sesungguhnya jika tuhan/agama dijadikan “alat politik” untuk sarana memperebutkan kekuasaan.Silakan direnungkan.

Posted by suprayitno  on  09/09  at  04:58 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq