Muru’ah Kiai Politik - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/05/2004

Muru’ah Kiai Politik

Oleh M Mas'ud Adnan

Saya tak tahu apa padanan kata yang pas untuk menerjemahkan muru’ah ini. Bisa saja berarti image, citra diri, nama baik, atau harga diri seseorang. Kiai yang semula sangat dihormati kini dihujat akibat perbedaan politik. Masyarakat awam pun bingung karena merasa tak punya panutan. Tapi kenapa Alwi maupun Said Agil dan beberapa kiai tetap asyik berkecimpung dalam dunia politik?

Ketika ikut ngaji kitab Fathul Qarib yang diasuh KH Adlan Ali (kini almarhum) pada posoan (Ramadan) di Pesantren Tebuireng saya teringat tentang wejangan muru’ah. Menurut kiai sufi yang hafal Alquran (30 juz) itu muru’ah harus dijaga. Apalagi seorang kiai. Menurut dia, seorang kiai sepuh yang terbiasa pakai ketthu (kopyah) jangan sampai tampil seenaknya di depan publik. “Gundulan (tak pakai kopyah) itu nggak apa-apa. Tapi kalau kiai (yang sudah terbiasa berkopyah) lalu gundulan kan nggak pantas,” katanya. Begitu juga kiai sepuh yang terbiasa pakai sarung. Seharusnya tak usah coba-coba pakai celana jean. Kenapa? ya, untuk menjaga muru’ah.

Saya tak tahu apa padanan kata yang pas untuk menerjemahkan muru’ah ini. Bisa saja berarti image, citra diri, nama baik, atau harga diri seseorang. Tapi yang jelas wejangan Kiai Adlan itu mengiang kembali di telinga saya ketika Menteri Agama Dr KH Said Agil Al-Munawar dikecam banyak orang gara-gara sekitar 30 ribu calon jamaah haji batal berangkat tahun lalu. Wejangan itu terngiang karena Said Agil seorang kiai dan hafal Alquran 30 juz. Katib Aam Syuriah PBNU itu dikenal sebagai orang santun dan intelek. Tapi kini dihujat dimana-mana. Statusnya sebagai kiai tak mempan untuk membendung kecaman demi kecaman akibat kegagalannya melobi pemerintah Arab Saudi untuk memberangkatkan calon jamah haji yang terlanjur mendaftar dan bayar. Bahkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif mendesak DPR agar segera membentuk pansus untuk mengadili menteri agama yang ulama itu. Begitu juga teman-teman HMI-MPO menuntut Said Agil mundur.

Saya lalu ingat keluhan Dr Alwi Shihab ketika menjabat menteri luar negeri. Ia mengeluh karena harga dirinya seolah runtuh akibat posisi politik. “Ketika saya menjadi dosen, semua mahasiswa menghormati saya. Tapi begitu saya jadi menteri saya dikecam dan dihujat dimana-mana,” katanya suatu ketika.

Gambaran di atas, saya kira, kini merata di berbagai daerah. Kiai yang semula sangat dihormati kini dihujat akibat perbedaan politik. Masyarakat awam pun bingung karena merasa tak punya panutan. Tapi kenapa Alwi maupun Said Agil dan beberapa kiai tetap asyik berkecimpung dalam dunia politik? Inilah yang menarik.

Pemilu sekarang memang menghadapkan kiai pada tiga pilihan. Pertama, kiai bisa mengubah status dirinya menjadi politisi. Kedua, berdiri pada dua posisi, ya kiai ya politisi. Ketiga, tetap konsisten sebagai kiai kultural. Tiga pilihan ini sama-sama menimbulkan resiko.

Pilihan pertama (politisi) dan kedua (ya kiai ya politisi) jelas. Ia akan mengalami resiko seperti Alwi dan Said Agil. Jika semula dihormati, maka begitu terjun ke politik, ia akan mendapat kritik, protes, bahkan hujatan dan cacian. Meski demikian ia tak boleh marah. Karena politisi adalah pejabat publik yang harus - bahkan wajib - dikontrol oleh masyarakat. Seorang politisi selain harus tahan mental - bahkan “tebal muka” - juga harus siap ditelanjangi masyarakat. Karena itu, jika syarat-syarat tersebut tak dipenuhi sebaiknya tak usah menjadi politisi. Alhasil, kiai yang terjun ke politik harus tahan banting dan siap dicampakkan. Resiko berikutnya, ia tentu akan sulit menjaga muru’ah, baik dalam perspektif kiai maupun agama. Meski demikian ia akan mendapat reward yang lain. Ia akan mengalami transformasi ekonomi luar biasa. Lihat saja kiai yang aktif di politik.. Hanya dalam sekejap, gaya hidup mereka langsung gemerlap. Mobilnya mewah dan keluaran terbaru. Begitu juga rumahnya, bagai istana. Bahkan istrinya kadang terus bertambah.

Ini beda dengan pilihan ketiga, kiai kultural. Secara ekonomi kiai kultural tak bisa berkembang drastis seperti kiai politik. Malah bisa jadi ia tak punya mobil. Hidupnya bersahaya, kemana-mana jalan kaki dan sepeda motor. Ini memang resiko dari sebuah pilihan. Secara ekonomi dan popularitas ia lamban beranjak. Meski demikian ia bisa menjaga muru’ah. Ia bahkan akan semakin dihormati dan disegani. Apalagi kini populasi kiai makin berkurang akibat banyak yang hengkang menjadi politisi. Dus, eksistensinya semakin sentral terutama dalam mendidik dan mengayomi masyarakat.

Hanya saja sikap zuhud ini menuntut keteguhan iman luar biasa. Siapa yang tak ngiler melihat kiai fulan tiba-tiba pakai mobil keluaran terbaru dan bersanding dengan istri muda nan cantik. Apalagi, bila ia menduduki posisi stragis dalam jabatan politik. Praktis, ia akan menjadi raja di raja yang penuh pesona.

Demikianlah, pilihan menjadi kiai kultural sangat berat dan harus tahan godaan. Namun di balik kesederhanaannya tentu semakin mengundang simpati masyarakat. Bahkan bisa jadi Tuhan akan semakin memberi maqam tinggi, baik dalam arti sosial maupun ketakwaan. Buktinya, kini banyak sekali masyarakat kota bingung dan ingin mencari penyayoman spriritual kiai. Namun begitu ditunjukkan kepada kiai fulan mereka tak mau karena dianggap telah terkontaminasi politik. Mereka ingin mencari kiai yang sufi, bersih hati, tak terlibat politik dan konflik. Mereka mencari kiai yang kasyaf, waskita, werru sa’durungi winarah dan bisa menenteramkan jiwa. Agaknya kiai jenis ini akan semakin mahal harganya. Bahkan meski ia berada di pelosok dan pegunungan pun akan dicari. Fenomena Aa Gym atau Arifin Ilham yang kini sangat populer dan selalu diganderungi masyarakat kota sebenarnya cermin dari kecenderungan tersebut. Masyarakat kota butuh siraman spiritual dari seorang rohaniawan atau tokoh agama. Mereka bahkan rela membayar jutaan rupiah demi ketenteraman jiwa mereka.

M Mas’ud Adnan, pemimpin redaksi Harian Bangsa Surabaya dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

09/05/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Salam
Gus, edisi depan Insya Allah Majalah Tebuireng (september-desember 2009) akan memuat profil almarhum Kiai Adlan Ali.
Doanya,

Posted by atunk oman  on  07/16  at  10:59 AM

Kita tentu tidak tahu apa maksud kyiai berpolitik,tentu tak semuanya seperti dituduhkan oleh M Mas’ud Adnan, tapi saya kira tak sedkit kyai seperti itu, ketika kyai terjun kedalam kancah politik, tentu kita tak bisa menganggapnya lagi sebagai kyai, kalau kita masih menganggapnya sebagai kyai tentu repot, bagaimana kita melawan guru sendiri. yang paling baik tentu adalah kyai kultural, diluar sistem, mengontrol dan menjaganya kehidupan berpolitik bangsa tanpa ada kepentingan tertentu, kecuali demi kemaslahatan umat dan bangsa. Kyai yang masih tergoda dengan kehidupan duniawinya, lalu “merelakan” kekyai-nya untuk dihujat, tentu saja kita pantas mencapnya sebagai penghianat. tapi memang susah mencari kyai kultural yang terus mengayomi masyarakatnya. tapi, kalau kyai saja sudah menggadaikan kehormatannya bagaimana dengan kita! tapi saya tidak menganggap kyai itu malaikat, mereka juga manusia juga bukan!
-----

Posted by Ginanjar hambali  on  05/23  at  08:06 PM

Kyai memang begitu, posisinya tidak jelas didalam percaturan “budaya kota” (urban cultures). Menurut Clifford Geerzt, kyai khan “broker budaya” (cultural brokers). Ia yg menjadi perantara dan penterjemah aspirasi kota kepada tradisionalitas wong ndeso (very traditional peasantry). Jadi kalau masyarakat desa bingung milih partai apa yi? Maka sang kyai punya otoritas religious culture untuk menentukan partai mana yang “halal” untuk dicoblos. Maka posisi politis (policy) ini kemudian bisa dimanfaatkan, ketika sang kyai “kejatuhan barokah” politik untuk nyaleg, nyapres, nyawapres..

Kyai memang jabatan budaya, dan dalam struktur masyarakat kita, tipis sekali perbedaan antara budaya dan politik.

Santri Ciganjur.

Posted by syaiful arif  on  05/14  at  04:05 AM

Assalamualaikum wr wb

Sangat penting muru’ah bagi siapapun, apalagi seorang kyai, memang sekarang yang namanya kyai sangat laris manis, bak tumbuhnya jamur di musim hujan. Saya juga banyak mengenal tetang kehebatan kyai Adlan Ali Al marhum, karena kebetulan rumah saya dekat dengan pondok walisongo milik kyai Adlan Ali. Pada suatu waktu pada saat saya masih sekolah, saya kehujanan, hari itu hari jumat. saya berteduh di depan toko kitab Beliau, Bahkan saya pernah melihat Beliau kehujanan saat pulang dari masjid. dia di payungi oleh muridnya, akan tetapi saya melihat keanehan, simurid tidak memayungi kyai Adlan, tetapi memanyungi dirinya sendiri, itu sengaja atau tidak, anehnya hujan itu tidak membasahi tubuh Kyai, hujan seakan minggir dari tubuh beliau. dan itu terjadi di depan mata saya sendiri. Nah itu diantara sikap muru’ah yang dipertahan Beliau. Beliau adalah seorang Sufi yang selalu mengajarkan kesabaran dan kejujuran.

wassalam priyanto

Posted by Suprijanto  on  05/13  at  08:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq