Natal Perlu Didemitologisasi! - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
26/12/2004

Trisno S. Sutanto: Natal Perlu Didemitologisasi!

Oleh Redaksi

Natal telah menjadi ritus yang hidup sejak berabad-abad lampau, dan tidak gampang untuk diubah begitu saja. Karena itu, yang perlu dipertanyakan tidak lagi aspek kebenaran tekstual-historis perayaan natal, tapi apa maknanya yang terdalam bagi setiap insan yang mempercayainya.

Tidak seluruh perayaan agama berpijak pada landasan tekstual-historis keagamaan yang kuat. Perayaan natal dan pernik-pernik budaya yang melekat padanya adalah salah satunya. Meski demikian, makna natal tidak mesti akan berkurang bagi segenap umat Kristiani. Natal telah menjadi ritus yang hidup sejak berabad-abad lampau, dan tidak gampang untuk diubah begitu saja. Karena itu, yang perlu dipertanyakan tidak lagi aspek kebenaran tekstual-historis perayaan natal, tapi apa maknanya yang terdalam bagi setiap insan yang mempercayainya. Inilah pertanyaan yang mestinya terngiang-ngiang di benak penganut agama lain ketika berbicara soal natal. Semua itu memerlukan tingkat empati yang tinggi. Demikian antara lain hasil perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Trisno S. Sutanto, aktivis Majelis Dialog Antaragama (MADIA) pada Kamis (23/12) kemarin.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bung Trisno, bisa Anda jelaskan arti Natal, makna religiusnya bagi umat Kristen, dan apa yang bisa dibagi-rata dengan umat lainnya?

TRISNO S. SUTANTO: Saya akan memulai dari pernyataan yang terkadang bisa membuat orang marah. Saya ingin menegaskan bahwa sebagian besar tradisi natal itu sesungguhnya mitos. Artinya, dongeng atau leganda yang masuk melalui tradisi kita berabad-abad lampau. Jadi, landasan budaya natal merupakan dongeng.

Ambillah figur Sinterklas dengan baju merah dengan tubuh tambun yang membagi-bagikan hadiah itu sebagai contoh. Kita di Indonesia mengenal Sinterklas dari tradisi Belanda, karena itu kita menyebutnya Sinterklaas. Juga figur Zwater Piet (Piet Hitam) yang bertugas memukuli anak-anak nakal. Itu juga kita kenal dari tradisi Belanda, tapi aslinya berasal dari daerah sekitar Turki sekarang. Dia sesungguhnya seorang uskup di daerah Myrna, bernama Nicholas. Entah bagaimana kisahnya, tiba-tiba Natal tanpa Sinterklas terasa seperti kurang afdal. Padahal kalau kita kembali ke Injil, kita tidak menemukan sosok bernama Sinterklas.

UAA: Sejak kapan munculnya tokoh Sinterklas itu?

TSS: Tokoh Sinterklas sudah terkenal paling tidak sejak Abad Pertengahan. Tapi dia baru menjadi sangat fenomenal mulai abad ke-18 sampai ke-19 di Amerika. Jadi, pada abad ke-10 masehi misalnya, belum ada Sinterklas. Sebagian orang mengatakan mungkin ada. Tapi pernyataan ini lucu sekali, karena hampir tidak ada sesungguhnya kaitan antara natalan dengan Sinterklas.

UAA: Bagaimana dengan kisah pohon natal?

TSS: Soal pohon terang yang biasanya berwujud pohon cemara itu adalah satu hal lagi. Pertanyaannya: mengapa harus pohon cemara? Tradisi pohon natal itu juga tidak diketahui orang sejak kapan persis mulanya. Memang ada satu legenda yang bercerita tentang itu. Konon, pohon natal berasal dari kebiasaan seorang rahib yang hidup di tahun 754 masehi. Rahib itu dikenal sebagai rasulnya orang Jerman. Tapi legenda itu kecil sekali dampaknya. Yang punya dampak luas adalah kisah Martin Luther, tokoh utama pembaharu dalam Protestan yang melahirkan gereja-geraja Protestan pada tahun 1540. Konon, Luther pernah memotong pohon cemara, lalu memasukkan ke rumahnya untuk merayakan natal. Saya tidak tahu idenya berasal dari mana.

UAA: Mungkin itu suatu kebetulan saja, ya?

TSS: Mungkin kebetulan saja. Tapi sejak saat itu, semua gereja menggunakan pohon untuk perayaan natal. Tapi pertanyaannya, kenapa pilihannya pohon cemara? Pohon cemara itu dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ever-green, pohon yang selalu hijau. Itulah satu-satunya pohon yang di musim dingin sekalipun masih tetap hijau. Mungkin kurang lebih dari situlah kita bisa menarik makna simbolik pohon natal.

UAA: Apakah orang Kristen di Jawa mesti merayakan natal dengan pohon cemara? Apa tidak pohon pisang saja, misalnya?

TSS: Itulah yang jadi persoalan. Harusnya begitu. Kalau zaman Soeharto dulu, lebih tepatnya mungkin memakai pohon beringin yang dicat kuning, ha-ha… Itulah natalan ala Golkar, ha-ha…

UAA: Yang juga sering dipertanyakan orang, kenapa jatuh pada tanggal 25 Desember dan apa argumen kitab sucinya?

TSS: Memang ada cerita tentang kelahiran Yesus di dalam Injil. Tapi yang pasti, tidak ada orang yang tahu persis tanggal lahirnya Yesus. Tahunnya saja baru bisa diduga-duga melalui penelitian kontmporer. Diperkirakan, Yesus lahir sekitar tahun ke-3 atau ke-4 SM. Hanya tidak ada yang tahu persis tanggalnya.

UAA: Lalu kenapa pula tanggal 25?

TSS: Natal sesungguhnya perayaan publik zaman Romawi kuno. Dulunya, natal adalah sebuah perayaan yang disebut Sol Invictus, yakni perayaan kembalinya matahari yang sudah sekian lama tidak muncul setelah musim dingin yang begitu panjang. Ketika matahari itu mulai kembali, momen itu perlu dirayakan.

UAA: Bagaimana kisahnya sampai peristiwa itu diadopsi menjadi perayaan Natal?

TSS: Kalau kita kembali pada tradisi awal gereja, kalangan gereja perdana (kurang lebih sekitar abad pertama masehi, setelah Yesus wafat), sesungguhnya kelahiran Yesus tidak pernah dirayakan. Kelahiran pada zaman itu ditafsirkan sebagai masuknya kita ke dalam dunia yang penuh dosa. Yang dirayakan justru kematian; kematian para syuhada, dan para martir Kristen awal. Itulah yang menjadi perayaan besar-besaran. Tetapi ketika Kaisar Konstantinus Agung menjadi penganut Kristen, dan agama Kristen mulai diterima sekitar abad ke-3, gereja mulai mendapat peran dan diakui kehadirannya. Sejak itulah perayaan-perayaan yang tadinya merupakan perayaan publik biasa, seperti Sol Invictus tadi, diambil-alih dan dijadikan perayaan kekristenan.

Sekarang pertanyannya: apakah ini sama artinya dengan mengambil-alih tradisi pagan pada zaman itu? Dan kenapa orang Kristen mengambil-alih itu? Sebab, pada zaman-zaman awal kekristenan, menurut Injil atau teks-teks pada zaman itu, kentara sekali bahwa sang Kristus sering digambarkan sebagai Sang Matahari, Sang Putra Matahari. Simbol matahari memberikan makna kecerahan, kehangatan, dan keperkasaan. Jadi, metafor inilah yang kemudian klop dengan tradisi perayaan Sol Invictus.

UAA: Makanya, tanpa berat hati tradisi Sol Invictus diambil-alih?

TSS: Ya. Sebab kalau kita masuk ke Injil, sesungguhnya tidak ada kisah perayaan seperti itu. Penelitian terakhir membuktikan bahwa tidak mungkin tanggal 25 Desember dipakai sebagai penanda lahirnya Yesus. Kalau kita kembali pada gereja-gereja lama, akan ada aneka ragam tradisi. Misalnya, ada yang mengatakan natal jatuh pada tanggal 20 Desember, 3 Januari, bahkan menjelang Maret.

UAA: Dengan fakta semacam itu, apakah perayaan natal dilihat dari sudut iman Kristen merupakan sesuatu yang menyeleweng?

TSS: Saya kira tidak. Mungkin di sini kita berbeda dengan teman-teman muslim dalam cara memandang kitab suci. Dalam tradisi kekristenan, kita mengenal istilah Yesus-sejarah dan Kristus-yang-diimani. Keduanya dibedakan secara kategorial. Artinya, Injil tidak dibaca sebagai dokumen yang memuat informasi-informasi aktual. Kalau Injil dibaca sebagai informasi aktual, kita akan banyak sekali terjebak dalam kekeliruan, karena akan bertemu dengan aneka macam berita yang berbeda-beda.

Misalnya, Injil yang berbicara soal kelahiran Yesus, yang dibahas di dalam Injil Matius dan Lukas, sekalipun mengandung titik temu, banyak juga perbedaannya. Misalnya, hanya di Injil Lukas kita akan mengeenal sosok Maria yang didatangi malaikat, kemudian melahirkan. Atau kisah Elisabet (saudaranya) yang kemudian melahirkan. Juga kisah Yohanes Pembaptis. Kisah-kisah mengenai kedatangan malaikat kepada Maria itu dijelaskan secara sangat rinci dalam Injil Lukas. Tapi kalau kita membaca Matius, kita tidak mengenal asal-usul Yohanes Pembaptis, dan sekonyong-konyong dia muncul di panggung sejarah.

UAA: Kalau tidak tepat memperlakukan Injil sebagai dokumen sejarah, lalu tepatnya dipandang sebagai apa?

TSS: Dia harus dipandang sebagai sebuah pengakuan iman. Ini sebuah kesaksian mengenai pemahaman gereja perdana mengenai siapa itu Yesus. Nah, kalau lantas ada yang bertanya apa sesungguhnya makna rohani dari natal, maka menurut saya, salah satu kuncinya adalah kutipan Injil Matius 1: 23. Ayat ini menurut saya semacam clue atau penanda untuk memahami natal. Menurut Matius, “Sesungguhnya anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Dan mereka akan menamakannya Imanuel, yang berarti Allah menyertai kita.”

Nah, kalimat itu menurut saya adalah sebuah clue untuk memahami natal. Di sana juga ada cerita tentang anak dara yang melahirkan, dan itu diambil dari cerita lama Yesaya. Matius seakan-akan mau menekankan apa yang disebut dengan kata Imanuel itu, yaitu Allah beserta kita. Jadi yang disebut natal, sesungguhnya bukan perayaannya, tetapi pewartaan tentang Allah yang akan menyertai kita. Karena itu, menurut saya natal memang perlu didemitologisasikan. 

UAA: Bung Trisno, sebagian teman-teman muslim mengemukakan fakta sejarah untuk membuktikan bahwa natal adalah tradisi yang keliru, sembari mengabaikan pemaknaan keagamaan natal dari umat Kristen sendiri. Pertanyanya: apakah natal harus dianggap keliru, sekalipun tidak berasal dari ajaran utama Bibel?

TSS: Pertama, tadi telah saya katakan, tradisi natal itu diambil dari tradisi Romawi kuno. Kemungkinan besar, Yesus memang tidak lahir pada tanggal 25 Desember, dan memang tidak ada data sejarah yang pasti mengenai itu. Kedua, kita punya tradisi yang banyak sekali. Dalam sejarah gereja, banyak sekali perbedaan dalam tradisi natal. Misalnya, gereja ortodok Timur merayakan natal di awal Januari. Ada juga yang bahkan sampai menjelang Maret. Jadi sudah lama berbeda-beda begitu. Tapi menurut saya, ada sesuatu yang pribadi sifatnya ketika kita memaknai natal sebagai perayaan ruhani.

UAA: Jadi fakta-fakta tadi tidak terlalu penting dalam konteks ini, ya?

TSS: Bukan merupakan kunci untuk memaknai natal, karena itu merupakan ekspresi-ekspresi metaforis. Seperti merayakannya pada tanggal 25 Desember dengan metafor yang sering dipakai gereja-geraja perdana tentang Yesus yang memang matahari tadi. Nah, yang terpenting menurut saya adalah bagaimana masuk ke dalam tradisi natal itu sebagai pewartaan Allah tentang kebersamaan-Nya dengan manusia.

UAA: Saya kira, aspek inilah yang mungkin dilupakan teman-teman muslim yang menunjukkan kekeliruan natal hanya dari sudut pandang fakta sejarah!

TSS: Mungkin. Pertanyaannya, apakah kemudian tradisi ini lantas harus diubah? Saya tidak tahu apakah kita bisa mengubah sebuah tradisi yang sudah dirayakan seluruh dunia selama 2000-an tahun.

UAA: Kita beranjak ke soal lain. Mengapa menjelang natal muncul isu keamanan, seolah-olah akan terjadi kerawanan dan gangguan keamanan, dan sebagian umat Islam merasa disalahkan?

TSS: Ini memang kenyataan yang menyedihkan. Kita kembali ke sejarah reformasi kita yang belum lama ini. Kalau kita menengok ke 10 tahun lalu, hampir tidak ada pengamanan dalam rangka natal. Tapi sekarang?! Terus terang, teman-teman Kristen dari lingkungan pendeta, banyak sekali yang khawatir akan keamanan peribadatan kita akhir-akhir ini.

Kita punya beberapa pengalaman buruk soal keamanan menjelang natal dan tahun baru. Di Bekasi misalnya, baru-baru ini beredar spanduk-spanduk lebih kurang mengatakan “di sini tidak menerima geraja.” Saya juga mendengar dari beberapa pendeta kalau sebagian gereja diancam untuk tidak merayakan natal. Artinya, kerawanan-kerawanan dan ketegangan-ketagangan ini mengakibatkan orang-orang Kristen bertanya: apakah kami warga negara kelas dua? Apakah kami tidak memiliki hak sama sekali, dan apa artinya hak sebagai warga negara?

Padalah, natal adalah sebuah perayaan keagamaan seperti yang biasa dilakukan semua orang beragama. Makanya harus diakui, selama 10 tahun terakhir memang ada pengalaman-pengalaman traumatik yang sangat mencekam lingkungan kekristenan. Saya tidak mengatakan, kalau begitu yang salah adalah umat Islam. Tidak! Terbukti dalam banyak hal, umat Islam yang justru mejaga gereja ketika malam natal tiba. Salah seorang yang menjadi korban bom malam natal di Jawa Timur dulunya malahan seorang aktivis NU. Artinya, ini bukan persoalan Islam dengan Kristen, tapi adanya suatu kekuatan yang ingin mengadu-domba dan ingin menciptakan kecurigaan antaragama dan memeliharanya terus menerus.

UAA: Bagaimana Anda menanggapi fatwa bahwa orang Islam tidak layak memberi ucapan selamat natal, karena itu secara implisit berarti mengakui akidah Kristen?

TSS: Terus terang saya sedih akan fatwa-fatwa seperti itu. Fatwa-fatwa seperti itu sama sekali merusak relasi sosial yang selama ini sudah terjalin harmonis. Saya dulu tinggal di desa, di Tegal sana. Di desa saya, orang sudah sangat terbiasa saling ucap selamat pada hari raya masing-masing agama. Idul fitri kita rayakan ramai-ramai, Natal juga begitu. Sampai sekarang, seorang ibu haji yang tinggal di satu gang dengan saya di daerah Rawamangun, masih menjadi pelopor yang setiap natal mengirimkan kue dan mengucapkan selamat natal kepada saya. Dia mengatakan tidak peduli akan omongan lain (fatwa-fatwa larangan itu, Red). Saya kira, contoh seperti itu sangat banyak di masyarakat kita.[]

26/12/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

trus apa fakta alquran benar2 turun dari surga??? ada yg pernah liat??? yakin gak dibohongi??
itu yg namanya iman yah kan??? :D

Posted by jgn marah yah  on  12/26  at  09:33 AM

Artikel ini bagaikan air penyejuk hati atas kepedihan saya akan teman-teman, sahabat, saudara, tetangga saya yang beragama muslim yang sama sekali tidak mau menyapa atau mengucapkan selamat natal yang sedang kami peringati.  Hal ini mulai terasa terutama pada era reformasi ini. Semoga artikel ini juga dibaca oleh sahabat, teman, saudara, tetangga saya sehingga mereka pun terbuka pandangannya.
-----

Posted by Lucia Helly Purwaningsih  on  12/29  at  12:13 AM

Natal dan segala ritusnya lebih termasuk pembodohan terhadap keimanan yang benar, karena didalamnya terdapat berbagai macam bid’ah2 agama. Umat kristen seharusnya meneliti lebih dalam lagi tentang hal ini. Bagaimana seandainya kita melakukan suatu hal yang tidak ada tuntunannya dalam agama? Pastilah hal itu tidak menjadikan suatu kebaikan bagi kita -bahkan sia-sia-

Posted by soim purwanto  on  12/24  at  09:12 PM

Yang jelas Yesus pernah datang ke dunia, lahir dari perawan Maria, mati di kayu salib di bukit Golgota, bangkit pada hari ke 3 dan kelak Ia akan datang lagi ke dalam dunia!

Posted by Erma Dwi Sulistyorini  on  07/10  at  06:07 PM

aku sih nggak masalah natal mau dirayakan 25 des atau januari,februari dan tgl berapapun....

bagiku natal merupakan pengakuan iman akan kelahiran Yesus Kristus.tglnya ngga tepat bener jg ga papa yg penting kan makna inti didalamnya....

aku maklum kalo saudara muslim ga bisa menerima pemahaman seperti ini karna ya memang cara memandang kitab sucinya berbeda…

aku ga mau kayak imam2 farisi yg sibuk dg aturan2 agama tapi inti ajarannya terlupakan…

Posted by rara  on  04/20  at  10:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq