Pemikiran Islam Modern: - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
20/07/2003

Dari Taksonomi (Model) Lama ke Islam Liberal Pemikiran Islam Modern:

Oleh Luthfi Assyaukanie

Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.

Pada dasarnya, gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak awal abad ke-19 di
hampir seluruh dunia Islam adalah gerakan liberal. “Liberal” di sini bisa
bermakna ganda. Pada satu sisi, ia berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim
dari kolonialisme dan penjajahan yang pada saat itu memang menguasai hampir
seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi kaum muslim dari
cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.

Periode liberasi atau apa yang oleh Albert Hourani disebut dengan “liberal age[1]
sesungguhnya tak hanya terjadi di dunia Arab saja. Negara-negara muslim
lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana liberal ini. Kita
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954).[2]

Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal itu,
yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam
dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad
terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan
bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan
membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka,
kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.

Kendati berbeda dalam metodologi dan pendekatan, para intelektual muslim tersebut
memiliki kesamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslim. Yakni, bahwa hanya
pembebasan dirilah (self-liberating) yang dapat mengeluarkan mereka dari
kondisi itu. Pada level praktis, pembebasan itu adalah perlawanan terhadap
kolonialisme secara fisik, dan pada level teoritis, pembebasan itu harus
dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, memberikan kebebasan
penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama, dan mengkaji ulang tradisi dan
khazanah (turats) keagamaan kaum muslim.

Secara
metodologis, dalam menerapkan gagasan-gagasan liberalnya, para intelektual
muslim sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial
mereka. Inilah yang kemudian memunculkan banyaknya kecenderungan dan aliran
pemikiran Islam. Sesungguhnya, sama seperti di masa silam ketika pemikiran
Islam terpecah-pecah menjadi aliran-aliran pemikiran, seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan
lain-lain, di masa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur dan neologi yang
beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah menjadi Tradisionalis,
Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis, Neorevivalis, dan nama-nama
lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam Islam.

Saya menganggap bahwa istilah-istilah itu hanyalah sekedar untuk memudahkan kita
memahami fenomena pemikiran Islam yang begitu beragam. Anda bisa menyebut
Muhammad Abduh, intelektual Mesir, sebagai seorang “tradisionalis” karena dia
masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama, tapi Anda juga bebas
menyebutnya sebagai seorang “modernis,” karena dia memiliki pandangan keagamaan
yang maju.

Begitu juga, Anda bisa menganggap Muhammad Iqbal, intelektual Pakistan, sebagai
seorang “revivalis” karena dia yang menggagas konsep “negara Islam” yang
kemudian diikuti dan dibela mati-matian oleh Abul A’la al-Maududi, teman dan
juniornya yang kemudian menjadi notorious sebagai seorang
“fundamentalis;” atau menganggapnya sebagai seorang “tradisionalis” karena
“ketergantungan”-nya yang begitu besar terhadap tradisi tasawuf dan
spiritualisme; atau juga memasukkannya dalam deretan intelektual “modernis”
karena gagasan-gagasannya yang sangat cocok dengan semangat modernitas.

Charles Kurzman berusaha mentransendensikan taksonomi pemikiran Islam itu dengan
membuat pendekatan berbeda. Jika selama ini pemikiran Islam dilihat secara katagoris,[3]
dia mencoba melihatnya dari perspektif holistik dengan mengambil liberalisme
–benang merah gagasan awal kebangkitan Islam—sebagai standar untuk memahami
gagasan-gagasan pemikiran dan metode-metode yang digunakan para intelektual
muslim, sejak era kebangkitan hingga sekarang.

Liberalisme yang menjadi raison d’etre kebangkitan Islam awal abad ke-19 dijadikan
Kurzman sebagai “parameter” atau “timbangan” untuk mengukur sejauh mana seorang
intelektual muslim memiliki komitmen terhadap raison tersebut dan
selanjutnya terhadap kebangkitan Islam itu sendiri. Karena parameter
liberalisme berbeda dari sekadar katagorisasi ide seperti dilakukan dalam taksonomi-taksonomi
lama, maka sosiolog dari University of North Crolina, AS, ini, memberikan ruang
yang begitu besar bagi terjadinya amalgamasi, interaksi, dan interkoneksi
antara satu pemikir dengan pemikir yang lain, atau antara satu gagasan
pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Bagi para penganut paradigma taksonomi lama, pemberian ruang yang begitu besar itu
menjadi lahan yang empuk bagi mereka untuk mengkritik Kurzman. Penulis buku Liberal
Islam
ini, menurut mereka, telah semena-mena menyandingkan tokoh-tokoh yang
selama ini dianggap “tradisional” atau “konservatif” dengan tokoh-tokoh yang
“progresif” dan “dinamis.” Kurzman sendiri tampaknya tak terlalu peduli dengan
kritik-kritik semacam ini. Seperti yang dia sampaikan kepada saya lewat
beberapa e-mailnya, orang bisa saja tak setuju dengan “alat ukur” baru itu,
karena concern utama dia bukannya apakah seseorang layak disebut liberal
atau tidak, tapi apakah pemikiran-pemikirannya dapat mendukung gagasan
liberalisme atau tidak.

Saya memahami ruang luas yang diberikan Kurzman sebagai sebuah tingkatan-tingkatan
(gradasi) liberalisme dalam Islam. Adalah merupakan common sense belaka
bahwa setiap orang memiliki tekanan liberalitas yang berbeda dalam menyuarakan
gagasan-gagasan pemikirannya. Yang terpenting di sini adalah bahwa
pemikiran-pemikiran mereka dapat memenuhi standar liberalisme Islam yang oleh
Kurzman diukur berdasarkan enam state of mind, yakni sikap terhadap
teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir,
dan progresifitas atau kemajuan.

Berdasarkan kriteria liberalisme itu, siapa saja --terlepas ia berada di mana dalam
taksonomi lama-- bisa masuk dalam barisan “Islam Liberal,” selama mereka
memiliki state of mind yang jelas terhadap enam kriteria di atas. Para
intelektual itu, bisa seorang akademisi (Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun), ulama
(Ali Abd al-Raziq, Mahmud Taleqani, Yusuf Qardhawi), aktivis (Chandra Muzaffar,
Fatima Mernissi), ahli ekonomi (Jomo K.S, Timur Kuran), maupun politisi
(Muhammad Natsir, Benazir Bhutto).

Karena itu, saya melihat tidak tepat agaknya mempertentangkan “Islam Liberal” dengan
taksonomi lama (tradisionalis, modernis, revivalis) atau yang baru
(neomodernis, posmodernis, atau apapun namanya). Karena gagasan “Islam Liberal”
itu sesungguhnya merupakan kombinasi dari unsur-unsur liberal yang ada dalam
kelompok-kelompok pemikiran modern itu.

Konservatisme dan Fundamentalisme

Jika Islam Liberal tak bisa dipertentangkan dengan kelompok-kelompok dalam
taksonomi (model) lama, maka apakah yang menjadi “musuh” utama kelompok ini?
Dalam kaitannya dengan pembaruan pemikiran keagamaan, saya melihat ada dua
“musuh” utama Islam Liberal. Pertama, konservatisme yang merupakan musuh
historis yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali muncul. Kedua,
fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah
negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.[4]

Konservatisme telah lama dianggap sebagai “ideologi” yang bertanggung-jawab terhadap
kemunduran dan keterbelakangan kaum muslim. Pandangan-pandangan konservatif
selalu dianggap berbahaya karena ia bertentangan dengan semangat pembaruan dan
kemajuan. Sejak gerakan kebangkitan Islam muncul di Mesir pada awal abad ke-19,
konservatisme menjadi target utama para pembaru muslim. Tokoh-tokoh seperti
Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi, Muhammad Abduh, dan Ali Abd al-Raziq, baik secara
radikal maupun perlahan-lahan mengikis ajaran-ajaran konservatif. Begitu juga,
tokoh-tokoh dari generasi selanjutnya, termasuk generasi pasca-67,[5]
semacam Hassan Hanafi di Mesir, Tayyib Tizzini di Suriah, dan Mohammed Abed
al-Jabiri di Maroko, mendeklarasikan perang yang sama terhadap konservatisme.

Begitu
juga dengan fundamentalisme yang dianggap sebagai “ideologi” berbahaya bagi
pluralitas dan inklusivitas Islam. Islam Liberal melihat fundamentalisme
sebagai penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya tentang kedamaian
(salam) dan keberagaman (syu’ub wa qabail). “Ideologi” ini
menolak pluralitas karena menganggap “kebenaran” hanya satu, yaitu kebenaran
dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrim, kelompok-kelompok fundamentalis
tak jarang memaksakan keinginan mereka dengan cara-cara kekerasan. Tentu saja,
Islam model ini, bagi para pemikir liberal, adalah sebuah versi Islam yang
salah tafsir.

Kita
bisa melihat sikap-sikap konservatif dan fundamentalis dengan menggunakan enam
kriteria yang dijadikan parameter oleh Kurzman. Dalam bidang politik misalnya,
kaum konservatif cenderung tak mau tahu atau tak pernah tegas dengan pilihan
bentuk negara. Ketidaktegasan atau ketidakmautahuan ini kembali kepada sikap
keberagamaan mereka yang tidak terbuka dan cenderung protektif terhadap isu-isu
perubahan. Sementara kaum fundamentalis, dalam persoalan ini, sering kali bersifat
ahistoris, karena mengambil model negara yang tak pernah memiliki preseden
dalam sejarah Islam sendiri.

Sementara
bagi para intelektual liberal, persoalan politik adalah persoalan pendapat (ijtihad)
manusia yang harus sepenuhnya disikapi secara manusiawi. Mereka menolak gagasan
negara teokrasi atau pemerintahan Tuhan, semata-mata karena Islam pada dasarnya
tidak menekankan ideologi negara, tapi lebih pada penciptaan masyarakat yang
adil dan makmur.[6]
Sebagai media (washilah) untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur
tersebut, bentuk negara sepenuhnya diserahkan kepada manusia, tak jadi soal
apakah bentuknya republik, sosialis, demokratis, atau sistem-sistem lain yang
memungkinkan tujuan (ghayah) itu tercapai.

Para
intelektual liberal, sejak awal kebangkitan, telah menuntaskan persoalan ini
dengan menyatakan bahwa bentuk negara adalah sesuatu yang didiamkan oleh
syariah (silent sharia). Karena didiamkan, maka menjadi hak dan tugas
manusialah untuk mencarikan bentuknya. Di antara intelektual yang berbicara
tentang masalah ini adalah Ali Abd al-Raziq[7]
di masa silam atau Nurcholish Madjid[8]
di masa sekarang.

Dalam
persoalan menyangkut hak-hak kaum perempuan, pandangan konservatisme mendukung
sikap fundamentalisme. Kaum perempuan selalu dipandang sebagai makhluk nomor
dua yang tak banyak bisa diandalkan. Kalangan konservatif dan sebagian besar
kaum fundamentalis menganggap perempuan hanya separuh harga laki-laki, baik
dalam hal ekonomi (warisan), hukum (kesaksian), politik (tak boleh jadi
pemimpin), dan hak-hak individu (harus selalu lewat laki-laki). Kendati banyak
sekali ajaran-ajaran Islam yang secara eksplisit maupun implisit menghormati
kedudukan kaum perempuan, kaum konservatif dan fundamentalis agaknya lebih suka
meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki, baik dalam pengertiannya
yang harafiah maupun takwiliyah.

Bagi
intelektual liberal, seperti yang bisa dilihat pada figur-figur semacam Qassim
Amin (Mesir), Fatima Mernissi (Maroko), Amina Wadud Muhsin (Amerika Serikat),
dan Muhammad Shahrour (Suriah), persoalan hak-hak kaum perempuan harus dilihat
dari kacamata yang lebih luas dan “obyektif.” Doktrin-doktrin awal Islam yang
cenderung memojokkan kaum perempuan harus dilihat dalam konteks dan lokalitas
khusus. Karena itu, penafsiran terhadap syariah (interpreted sharia)
menjadi penting, demi untuk menyelaraskan prinsip-prinsip Islam paling mendasar
tentang kaum perempuan dengan konteks sosio-historis doktrin-doktrin Islam
tentang perempuan.

Persoalan
yang berkaitan dengan hak-hak non-muslim menjadi tolok ukur lainnya yang
membedakan antara pemikiran liberal dengan pemikiran konservatif dan
fundamentalis. Jika kaum konservatif dan fundamentalis melihat persoalan ini
lewat teologi lama dengan meletakkan kaum non-Islam sebagai kelas dua (dzimmi,
harbi, dll), Islam Liberal melihatnya sebagai bagian dari komunitas (ummah)
yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Agama adalah sarana bagi
orang-orang beriman untuk memperbaiki kualitas moral mereka, bukan untuk saling
memusuhi dan meniadakan. Alquran, seperti diyakini orang-orang liberal, adalah
kitab suci yang sangat menghargai kaum beriman dan menempatkan mereka di tempat
yang tinggi (lihat dan bandingkan ayat-ayat berikut: 2:62, 3:64, 5:66, 5:69,
49:10-13). Karena itulah, Alquran juga mengajak kaum beriman untuk mencari
kesamaan-kesamaan (kalimat sawa) di antara mereka sebagai makhluk Tuhan.

Para
pemikir liberal seperti Farid Esack (Afrika Selatan), Asghar Ali Engineer
(India), Hassan Hanafi (Mesir), dan Djohan Effendi (Indonesia), meyakini bahwa
hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan dialogis dan bukan hubungan
konfrontatif. Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak bisa dipaksakan
kepada seseorang. Keimanan adalah masalah “hidayah” yang tak boleh dipaksakan.
Karena itu, bagi Djohan Effendi, kita dituntut untuk bersikap toleran, bukan
hanya kepada pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini
agama.[9]
Alasannya sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa “hidayah” Tuhan tak
bisa dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara pemaksaan hanya akan
memunculkan hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang sangat dikecam Islam.

Dalam
masalah kebebasan berpikir atau kebebasan berpendapat sikap Islam Liberal jauh
lebih tegas ketimbang sikap kalangan konservatif yang cenderung inaktif dan
sikap kalangan fundamentalis yang cenderung rejektif. Bagi intelektual liberal,
seperti Abdul Karim Soroush (Iran), Shabbir Akhtar (Pakistan), dan Abdullahi
Ahmad an-Naim (Sudan), kebebasan berpendapat adalah bagian dari wilayah ijtihad
yang selama berabad-abad --oleh ulama konservatif-- ditutup. Para intelektual
liberal itu meyakini, pintu ijtihad tak pernah ditutup dan kalaupun pernah
ditutup, maka ia harus dibuka. Syarat-syarat klasik yang biasanya menjadi
kualifikasi terberat dalam melakukan ijtihad sudah seharusnya ditinjau ulang.
Karena, syarat-syarat itu, selain tidak masuk akal, hanya akan membatasi
kemajuan kaum muslim.

Argumen
utama kaum liberal adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan
bebas. Dan kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan kepada
manusia. Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu yang
tak seorangpun berhak mencegahnya. Bahkan, dalam sebuah ayat Alquran, Tuhan pun
tak mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. 2:30). Kebebasan berpikir
adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat yang terkekang
dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah masyarakat mandek yang tak
memiliki masa depan.

Parameter
terakhir yang membedakan antara pemikiran konservatif atau fundamentalis dengan
pemikiran liberal adalah penyikapan terhadap progresifitas dan kemajuan. Jika
Islam konservatif bersikap sangat pasif dan bahkan cenderung defensif terhadap
perubahan, Islam Liberal berusaha untuk selalu melihat perubahan sebagai bagian
dari dinamika untuk meraih kemajuan dan perbaikan hidup. Karenanya, alih-alih
berorientasi ke masa silam seperti yang dilakukan oleh kaum konservatif dan
fundamentalis, Islam Liberal mengarahkan orientasinya ke masa depan.

Para
pemikir liberal semacam Mahmud Mohamed Taha (Sudan), Fazlur Rahman (Pakistan),
dan Mohamed Arkoun (Aljazair) menganggap progresifitas sebagai bagian tak
terpisah dari Islam. Arkoun bahkan menganggap Islam sebagai modernitas itu
sendiri. Prinsip progresifitas inilah yang mengilhami Mahmud Taha untuk
mengambil hanya ayat-ayat Makkiyah (diturunkan di Mekah) yang universal,
ketimbang ayat-ayat Madaniyah (diturunkan di Madinah) yang lokal dan temporal.
Ayat-ayat Madaniyah, menurut Mahmud Taha, bisa menghambat progresifitas kaum
muslim jika tidak dipahami dalam konteks ruang-waktu di mana ayat-ayat itu
diturunkan.

Penutup. Sebagai sebuah
pemikiran, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada
sejak gagasan kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam muncul pada awal abad
ke-19. Penamaan “Islam Liberal” yang baru beberapa tahun belakangan populer,
hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara
eksplisit maupun implisit oleh penulis-penulis sebelum Kurzman, seperti Albert
Hourani dan Asaf Ali Asghar Fyzee.[10]
Penggunaan kembali istilah “Islam Liberal” sesungguhnya merupakan upaya untuk
mengembalikan semangat kebangkitan (nahdhah) pemikiran Islam yang sejak
satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan fundamentalisme agama.

Bagaimanapun,
istilah “Islam Liberal” hanyalah tatakata (nomenklatur) sekadar untuk
memudahkan kita merujuk sebuah gagasan atau gerakan yang memiliki cita-cita
untuk membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan, satu hal yang
sesungguhnya merupakan raison d’etre kebangkitan Islam sejak dua ratus
tahun silam.

** Penulis, Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta.


*****


* Disampaikan dalam seminar sehari Mendialogkan
Post Tradisionalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah baru Pemikiran Islam
di Indonesia
, di Hotel Wisata, Jakarta. Rabu, 14 November 2001.

[1] Hourani, Albert (1983); Arabic
Thought in the Liberal Age 1798-1939.
Cambridge University Press.

[2] Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air
. Bulan Bintang
Jakarta, 1966.

[3] Lihat misalnya Issa J.
Boullata. Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. SUNY 1990.
hal. x.

[4] Tak bisa dipungkiri, ada
banyak persoalan yang harus disikapi Islam Liberal, dari masalah ekonomi,
politik, hingga masalah-masalah sosial lainnya. Dengan menyebut konservatisme
dan fundamentalisme, saya hanya ingin menunjukkan kunci persoalan yang dihadapi
umat Islam modern, karena dua “ideologi” ini sering dianggap sebagai sebab
utama yang mempengaruhi sikap keberagamaan –yang selanjutnya mendorong
sikap-sikap sosial-politik—umat Islam.

[5] Pemikiran Arab modern
secara longgar kerap dibagi menjadi dua fase: masa kebangkitan dan formasi yang
berakhir hingga tahun 60-an, dan masa revitalisasi dan pematangan yang bermula
sejak kekalahan bangsa Arab dari Israel pada perang enam hari tahun (1967)
hingga sekarang.

[6] Charles Kurzman, Wacana
Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global
.
Paramadina, 2001, hal. Xliv.

[7] Lihat karya monumentalnya
al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Islam
dan dasar-dasar pemerintahan: Kajian tentang khilafah dan pemerintahan dalam
Islam). Cetakan pertama, Cairo, 1342/1925.

[8] Lihat misalnya
surat-surat Nurcholish Madjid dengan Mohamad Roem yang telah dibukukan, Tidak
Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem
,
Jakarta Penerbit Djambatan, 1997.

[9] Lihat wawancara
selengkapnya dengan Djohan Effendi “Harus Ada Kebabasan Untuk Tidak Beragama
di website Islam Liberal (http://www.islamlib.com/wawancara/masjohan.html).

[10] A.A.A Fyzee menggunakan
istilah “Islam Liberal” secara eksplisit dalam bukunya A Modern Approach to
Islam.
London: Asia Pub. House, 1963.

20/07/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya tertarik dengan pendapat penulis, saudara Luthfi yang mengatakan kemunduran umat Islam kerana sikap keberagamaan mereka. Lantas terpancar lah berapa label yang menyalahkan antara satu sama yang lain.

Sebenarnya ugama yang dibawa oleh nabi junjungan kita Muhammad Saw hanyalah satu iaitu Islam. Tidak ada Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam Orthodok, Islam Militan, apalagi Islam Teroris.

Apa yang urgens sekarang pada umat Islam ialah mereka harus ada REVOLUSI MENTAL. Baik bagi individual atau pemimpinnya. Tapi seharusnya ia harus bergerak dari atas ke bawah. Umat Islam harus menghayati Islam secara serius kalau ingin setanding kalau tidak lebih daripada bangsa asing. Melaksanakan ajaran Islam dengan amali bukan hanya dengan cakap-cakap aja.

Pemimpin harus berkongsi pendapat dengan umat dan berani menerima teguran. Saya yakin dengan ini pintu kemajuan akan terbuka luas.

Sarjana Islam pula jangan asyik tertumpu pada perbicangan polemik. Ini akan menghambat kebernasan intelektual umat. Kan di dalam Al-Quran banyak lagi isu-isu penting yang boleh dibincang seperti ekonomi, perobatan dan lain sebagainya.  Saya masih teringat satu tulisan seorang sarjana Barat (maaf saya lupa namanya), dalam kajiannya: mengapa umat Islam mundur dan kalah kepada tentara Barat dalam abad abad terakhir imperium Ottoman ialah karena orang Islam sudah tidak lagi menguasai ilmu besi.

Wassalam Sa’at b Mohamed Singapore
-----

Posted by Sa'at bin Mohamed  on  07/25  at  04:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq