Pemuda: Antara Membangun dan Merusak - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
05/11/2010

Pemuda: Antara Membangun dan Merusak

Oleh Saidiman Ahmad

Sejarah transisi demokrasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa peran anak-anak muda sangat penting. Suatu Negara dengan tingkat populasi anak muda yang tinggi cenderung bergolak. Pergolakan itu bisa bermakna positif, yakni pergolakan menuju perubahan yang lebih baik. Tapi pergolakan yang disebabkan oleh anak-anak muda juga bisa berdampak negatif, yakni munculnya situasi anarkis dan berujung pada berkuasanya rezim otoritarian.

Anak muda adalah kekuatan pendobrak. Tapi pada saat yang sama mereka juga bisa menjadi perusak. Inilah yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Anak-anak muda progressif terus menerus menyuarakan aspirasi pembaruan dan perubahan. Mereka bergabung dalam gerakan-gerakan sosial mendesakkan agenda-agenda perubahan di semua level masyarakat. Mereka berada di garda depan gerakan kemerdekaan. Mereka menggerakkan perubahan 1998. Mereka hingga kini terus turun ke jalan mendorong pemberantasan korupsi.

Di sisi yang lain, anak-anak muda dengan garis pemikiran konservatif juga muncul dengan sangat massif melakukan gerakan purifikasi. Mereka mendesakkan agenda-agenda anti-demokrasi. Tak jarang mereka meminta tangan negara untuk mendiskriminasi kelompok tertentu. Mereka melakukan kampanye mendesak penerapan UU pornografi yang secara langsung melecehkan beberapa komunitas masyarakat Indonesia Timur.

Sejarah transisi demokrasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa peran anak-anak muda sangat penting. Suatu Negara dengan tingkat populasi anak muda yang tinggi cenderung bergolak. Pergolakan itu bisa bermakna positif, yakni pergolakan menuju perubahan yang lebih baik. Tapi pergolakan yang disebabkan oleh anak-anak muda juga bisa berdampak negatif, yakni munculnya situasi anarkis dan berujung pada berkuasanya rezim otoritarian.

Di era transisi demokrasi, anak-anak muda dengan mudah dimobilisir oleh kepentingan-kepentingan anti demokrasi. Transisi memungkinkan mobilisasi anti sistem karena semua rezim di era transisi cenderung tidak stabil. Warisan rezim diktator yang korup menjadi penyebab utama tidak stabilnya rezim di masa transisi. Bayang-bayang kekerasan memang tidak dapat dihindari pada masa transisi dan konsolidasi demokrasi. Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, menyebut situasi ini sebagai masa terjadinya “renegosiasi institusional.” Pada masa-masa ketika masyarakat terlibat dalam debat institusional, tentang bagaimana negara harus dikelola, maka pada saat itu pulalah mobilisasi sosial dilakukan oleh pelbagai kepentingan.

Renegosiasi institusional adalah semacam tanda bahwa telah tercipta sebuah struktur kesempatan politik bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Teori gerakan sosial (social movement theory) terlebih dahulu mensyaratkan adanya political opprtunity structure (struktur kesempatan politik) dalam setiap gerakan sosial. Terbukanya kran demokrasi sejak tahun 1998 adalah bentuk kesempatan politik yang memungkinkan gerakan sosial ada. Struktur kesempatan politik tidak akan memiliki signifikansi tanpa adanya mobilisasi yang dilakukan oleh para aktor. Harus ada sekelompok masyarakat yang mengorganisir massa untuk melakukan gerakan.

Kita perlu mendorong pemuda-pemuda progressif pembela demokrasi agar dunia anak muda tidak dikuasai oleh gerakan konservatif anti-demokrasi. Kita mengharapkan lahirnya pemuda-pemuda dengan semangat membangun negeri, bukan mereka yang ingin menghancurkannya. Selamat hari Sumpah Pemuda.

05/11/2010 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq