Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial Sudah tidak Memadai - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
26/09/2004

Dr. Saiful Mujani: Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial Sudah tidak Memadai

Oleh Redaksi

Sudah puluhan tahun ilmuwan sosial Indonesia setia memakai kategori aliran dan kelas sosial yang diusung Clifford Geerzt guna menjelaskan perilaku politik masyarakat kita. Selama itu pula, kita nyaris tidak punya penjelasan lain yang cukup kokoh untuk memotret perilaku politik kita sendiri. Kini penjelasan itu muncul. Pengusungnya adalah Dr. Saiful Mujani, ilmuwan politik jebolan Ohio State University, Amerika Serikat, yang kini banyak membantu kita dalam memahami gejala politik Indonesia mutakhir.

Sudah puluhan tahun ilmuwan sosial Indonesia setia memakai kategori aliran dan kelas sosial yang diusung Clifford Geerzt guna menjelaskan perilaku politik masyarakat kita. Selama itu pula, kita nyaris tidak punya penjelasan lain yang cukup kokoh untuk memotret perilaku politik kita sendiri. Kini penjelasan itu muncul. Pengusungnya adalah Dr. Saiful Mujani, ilmuwan politik jebolan Ohio State University, Amerika Serikat, yang kini banyak membantu kita dalam memahami gejala politik Indonesia mutakhir. Untuk lebih jauh mengenal ihwal penjelasan baru tentang perilaku politik masyarakat kita dalam tiga pemilu terakhir, Novriantoni dari KIUK berbincang-bincang dengan Direktur Riset Freedom Institute itu pada Kamis (23/09/2004). Berikut petikannya.

Bung Saiful, tulisan Anda di Tempo soal arah baru perilaku pemilih kita dalam tiga pemilu terakhir seolah-olah menegaskan “runtuhnya” penjelasan aliran dan kelas sosial yang pernah diusung Clifford Geerzt. Anda lalu memproklamasikan penjelasan baru, berupa faktor psikologis dan kalkulasi rasional pemilih atas partai dan calon presiden. Bisa Anda jelaskan lebih gamblang?

Penjelasan saya itu mungkin bisa disebut baru, sebab selama ini kita memahami politik, termasuk perilaku pemilih kita dengan mengaitkannya dengan dua penjelasan yang sudah purba itu (penjelasan Geerzt). Penjelasan purba itu melihat pentingnya soal aliran-dalam hal ini soal paham keagamaan dan kelas sosial-dalam menjelaskan perilaku pemilih. Paham itu sudah sangat lama dianut dan diyakini orang. Kitapun lalu melihat bahwa seolah-olah pengelompokan perilaku masyarakat kita dalam kehidupan politik banyak ditentukan oleh dua faktor tersebut.

Misalnya, orang percaya bahwa muslim yang santri atau taat keislamannya, akan cenderung berafiliasi pada partai-partai Islam. Mereka akan cenderung mendukung capres yang kurang lebih digambarkan sebagai sosok yang lebih dekat dengan tradisi Islam, atau seorang sosok santri, taat agama, bahkan punya agenda-agenda politik Islam, seperti komitmen terhadap syari’at Islam dan pelaksanaannya dalam kehidupan politik. Sederhananya, dalam bentuk partai dapat dicontohkan dengan Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Nah, dalam penjelasan aliran ini, santri yang taat agama akan cenderung memilih partai Islam semacam itu, sementara yang tidak atau kurang taat, akan cenderung memilih partai-partai sekular. Pola hubungan antara paham keagamaan dan pilihan terhadap partai politik semacam itu sangat kuat bercokol dalam masyarakat kita. Itu yang pertama.

Kedua, kalau hubungannya dengan pilihan atas calon presiden, mereka yang santri diharapkan-menurut penjelasan aliran-akan memilih Pak Hamzah Haz, Pak Amien Rais, atau Gus Dur (kalau kemarin lolos seleksi KPU); mereka yang berlatarbelakang tradisi Islam yang cukup kuat. Tapi nyatanya, kita tidak melihat pola semacam itu, dalam memilih partai politik ataupun presiden.

Lalu apa yang Anda maksud dengan penjelasan psikologis dan kalkulasi rasional sebagai penjelasan baru?

Dalam penjelasan psikologis, pertama-tama-dalam soal memilih partai politik- lebih pada sejauh mana seorang pemilih itu tersosialisasi dalam sebuah komunitas politik tertentu. Penjelasannya bukan pada ketaatan agama, bukan pula karena latar belakang kelas sosial tertentu. Yang lebih tepat, sejauh mana seorang pemilih itu hidup dan cukup dekat dengan lingkungan sebuah partai tertentu, misalnya dalam keluarga. Sebab, proses sosialisasi politik itu biasanya dimulai dari keluarga. Itu yang paling basic.

Jadi kalau orang tumbuh dari lingkungan keluarga PPP, aspirasi politiknya akan cenderung mengarah ke PPP. Ini sebenarnya mirip seperti agama saja. Artinya, kalau keluarga kita Islam, kita akan cenderung menganut Islam juga, sekalipun identitas politik bukan identitas agama.

Dalam penjelasan kalkulasi rasional, pilihan terhadap partai atau calon presiden sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat mengevalusi kinerja partai yang didukungnya atau calon yang sedang berkuasa. Misalnya bagaimana mereka mengevalusi partai yang sedang berkuasa (PDI-P dalam hal ini), dan presiden yang sedang berkuasa (Megawati Soekarnoputri). Kalau evaluasinya positif, kinerja Megawati dianggap posistif, dan partai politiknya juga dipandang positif, maka baik partai maupun Megawati sendiri akan diberi reward, semacam pahala atau ganjaran untuk kembali dipilih dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun presiden. Sebaliknya, kalau evaluasi masyarakat terhadap kinerja partai atau pesiden yang berkuasa negatif, maka yang diberikan adalah punishment, semacam hukuman atau sanksi terhadap partai atau presiden yang berkuasa tersebut.

Evaluasi itu tentu hanya berlaku dalam konteks partai dan presiden yang sudah pernah berkuasa. Bagaimana dengan partai dan sosok yang baru saja muncul dan belum ketahuan kinerjanya, seperti Partai Demokrat dan figur SBY?

Mekanisme reward and punishment dalam proses pemilihan itu tidak mesti hanya berlaku pada partai dan sosok yang sedang berkuasa. Dalam konteks partai baru dan sosok calon presiden yang baru, penjelasannya mungkin dalam rangka mencari alternatif baru.

Artinya, semacam menggantungkan harapan, meski belum teruji, belum terbukti?

Betul. Tapi hukumnya tetap begitu. Sekarang ini masyarakat memilih Partai Demokrat. Tapi kita kita belum tahu, apakah Partai Demokrat nanti kinerjanya akan lebih baik atau tidak. Tapi setidaknya ada ekspektasi, harapan akan perubahan, dan seterusnya. Kalau nanti Partai Demokrat juga tidak terbukti berkinerja baik, mereka akan dihukum juga.

Artinya ekspektasi itu juga termasuk pilihan yang cukup rasional?

Ya. Di dalam analisis perilaku pemilih, berlaku kalkulasi semacam itu. Itulah yang dimaksud dengan kalkulasi rasional. Ini juga berlaku untuk menjelaskan mencuatnya SBY. Kekalahan Megawati dalam pemilu kemarin sebagian terkait dengan evaluasi terhadap kinerja Megawati selama tiga tahun ini. Walaupun kinerjanya tidak terlalu buruk, tapi belum cukup bagus dibandingkan dengan ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap perbaikan kinerja pemerintah. Rakyat melihat kinerja Megawati, terutama yang berkaitan dengan aspek penegakan hukum dan keamanan sangat lemah. Oleh karena itu mereka mencari alternatif, dan alternatif itu dipandang ada pada sosok SBY.

Kenapa bukan yang lain? Di situ kemudian masuk penjelasan faktor psikologis. Misalnya, bagaimana karakteristik personal seorang SBY dibandingkan yang lainnya menurut persepsi mereka. Jadi soal karakter itu bergantung pada persepsi, bukan karakter objektif seorang calon atau tokoh tertentu. Sebab, saya sendiri tidak tahu sebenarnya, bagaimana karakter SBY kalau dibandingkan dengan Megawati. Apakah SBY akan lebih jujur, lebih berakhlak, lebih kompeten untuk memimpin bangsa dan seterusnya, kita kan persisnya tidak tahu. Tapi opini atau persepsi yang tumbuh di masyarakat adalah: SBY dianggap lebih positif untuk hal yang personal semacam itu dibandingkan Megawati.

Arah baru perilaku pemilih kita ini, mungkin terkait dengan fenomena menguatnya desakralisasi politik yang sudah berlangsung sejak era 1970-an, ketika beberapa cendekiawan muslim seperti Cak Nur coba mengusung jargon Islam Yes! Partai Islam, No! Apakah Anda melihat gejala itu?

Ya, itu jelas! Harus ditekankan di sini, studi-studi kami menemukan bahwa sebetulnya soal piety atau ketaatan dalam hal ibadah semakin menguat di kalangan masyarakat kita. Kita melihat orang yang berjilbab sekarang semakin umum. Walaupun orang mempertanyakan nilainya apa, tapi secara sosial itu adalah simbol kesantrian. Ada juga gejala menjamurnya masjid di kantor-kantor. Itu sudah menjadi gejala umum di kota-kota. Nah, munculnya kegairahan beragama semacam itu, rupanya tidak disertai dengan munculnya kegairahan untuk berafiliasi kepada partai yang berasaskan Islam. Itu kan gejala yang cukup menarik. Dan itulah desakralisasi politik.

Jadi politik bukan lagi sesuatu yang sakral, tidak identik dengan jilbab. Jilbab lain, politik lain lagi. Dalam kenyataan pemilu, orang-orang yang taat agama, mayoritas juga mendukung SBY atau Megawati. Sehingga yang bersaing di dalam pemilu kali ini bukanlah santri melawan abangan, atau santri melawan kalangan sekuler, tapi boleh disebut abangan melawan abangan atau santri melawan santri.

Yang menarik juga, walaupun ada polarisasi keagamaan dalam pemilu kita kali ini, itu tidak menjadi sumber konflik. Biasanya konflik juga bersumber dari kontestasi politik. Perbedaan agama misalnya digunakan untuk sumber mobilisasi rekruitmen politik. Tapi yang terjadi sekarang tidak demikian. Perbedaan itu justru menjadi sumber integrasi. Misalnya perbedaan dalam tradisi seperti tradisi santri dalam NU dan abangan dari PDI-P. Dalam kontestasi pemilu kali ini mereka justru bersatu. Kita melihat Hasyim Muzadi berpasangan dengan Megawati. Kalau masih menggunakan model politik aliran yang lama, itu tidak mungkin terjadi. Mereka harusnya bersaing. Itu contoh pertama. Kedua, Jusuf Kalla yang juga santri, justru berpasangan dengan SBY yang secara tradisional disebut abangan. Apa yang terjadi justru bukan persaingan, tapi integrasi. Oleh karena itu, kalaupun yang namanya aliran masih ada, tapi tidak lagi begitu penting.

Apakah ini juga terkait dengan persepsi tentang gagalnya partai-partai Islam?

Kalau disebut gagal, kita juga belum tahu persis. Sebab, di Indonesia tidak pernah partai Islam menjadi partai yang berkuasa. Jadi tidak bisa dikatakan gagal. Yang paling penting dan lebih basic dari itu, meski belum teruji berhasil atau gagal pun orang sudah menolaknya (partai-partai Islam). Itu kan yang terjadi? Jadi tidak ada percobaan untuk mendukung PPP misalnya agar berkuasa, supaya ketahuan berhasil atau tidaknya. Untuk percobaan semacam itupun orang sudah tidak sudi. Pada tahun 1999, PPP mendapat suara sekiar 10-11 %, dan sekarang cuma 8 %. PKS memang naik, tapi kalau kini suara partai Islam secara keseluruhan digabung (sekitar 21 %), itupun masih kalah separuh dengan perolehan partai Islam di tahun 1950-an (sekitar 44 %). Nah, itulah yang saya sebut sebagai arah baru perilaku pemilih kita yang cukup signifikan.

Yang juga menarik, perolehan suara PKS naik signifikan dalam pemilu legislatif lalu bukan karena mengusung isu-isu Islam yang eksklusif. Isu-isunya cukup sekuler. Artinya, isu yang mereka usung (seperti bersih dan peduli) masih isu bersama, tidak eksklusif Islam atau kelompok tertentu. Walaupun PKS mengklaim isu peduli itu sebagai isu Islam misalnya, orang yang tidak Islam pun akan mengatakan itu isu mereka. Jadi isunya inklusif.

Mungkin ada pandangan bahwa agama akan berperan kalau dia menunjukkan kekuatan eksklusif untuk mobilisasi politik. Tapi nyatanya tidak. PKS berperan ketika dia menjadi lebih inkulsif pada pemilu tahun 2004, dibandingkan dalam pemilu 1999 yang lebih ekslusif.

Bung Saiful, arah baru perilaku pemilih ini mungkin kabar duka bagi sebagian orang dan nampaknya kabar gembira bagi Anda sebagai peneliti politik. Makanya Anda menulis bahwa arah baru perilaku pemilih kita itu tidak terisolasi, tapi berada satu arah dengan arah pemilih negara-negara demokratis lainnya!

Tidak ada soal duka dan suka dalam tulisan saya itu. Saya menulis datar-datar saja. Tapi tentu saja saya mengharapkan politik kita bisa semakin modern, maju, dan demokrasi kita semakin matang. Makanya, saya melihat gejala itu sebagai fakta, bukan soal saya suka atau tidak suka. Faktanya memang seperti itu. Kalau kita perhatikan, gejala memudarnya peran agama dan kelas sosial pada masyarakat kita dalam politik elektoral itu sejalan dengan gejala global di masyarakat demokrasi manapun.

Dalam soal partai politik, yang terjadi sekarang adalah munculnya fenomena catch all party (partai yang ingin merengkuh semua aliran dan kelas sosial). Yang penting bagi partai tersebut adalah sejauh mana orang dan tokoh-tokoh dalam partai tersebut tersosialisasi dalam persaingan pemilu; lalu bagaimana masyarakat mendapat informasi tentang kineja pemerintah dan partai; dan apakah kinerja itu posisitif atau negatif. Di situlah media massa menjadi sangat menentukan, terutama media massa yang sangat massif seperti televisi. Makanya, orang NU di pedalaman sana justru tidak mendukung Pak Hasyim, tapi mendukung SBY. Dari mana mereka tahu, kok tiba-tiba kenal dan suka pada SBY? Di antaranya lewat media massa yang massif itu tadi. Itulah kelakukan politik masyarakat kita sekarang, di era media massa yang makin massif.

Terakhir kita melihat, Koalisi Kebangsaan yang terdiri dari partai-partai dengan mesin politik besar kurang efektif dalam memenangkan hati pemilih. Bagaimana peran mesin politik di era media massa yang massif ini?

Dalam memahami perilaku pemilih, kita tidak bisa mengandalkan satu faktor tertentu saja. Tidak ada faktor yang betul-betul seratus persen bisa menjelaskan sebuah gejala politik. Di sini kita melihat bahwa mesin politik, kalaupun punya pengaruh penting, tetap tidak cukup kuat untuk mendorong orang untuk mendukung keputusan partai, kalau tidak disertai faktor-faktor penunjang lainnya seperti faktor psikologis tadi. Misalnya, bagaimana karakteristik tokoh yang didukung oleh mesin partai politik tersebut. Kalaupun mesin politiknya besar seperti gabungan partai-partai besar semisal PDI-P, PPP dan Golkar, tapi sosok yang didorongnya tidak cukup bagus di mata masyarakat, maka tidak akan bisa jalan juga. Oleh karena itu, yang bagus adalah punya mesin politik, sekaligus punya tokoh andalan yang kurang lebih sepadan dengan pesaingnya. Melombakan Megawati dengan SBY itu terlalu jomplang.

Artinya dalam kasus ini terjadi gap antara kepentingan elite dengan harapan masyarakat?

Bisa jadi karena adanya gap kepentingan, bisa juga karena perilaku elite yang masih menggunakan pendekatan purba dalam menyikapi isu-isu yang sangat krusial bagi masyarakat. Memutuskan siapa yang akan didukung untuk menjadi presiden itu kan keputusan politik yang paling tinggi. Dalam karir politik, yang paling tinggi kan menjadi presiden. Oleh karena itu, keputusan mendukung siapa itu merupakan keputusan yang sangat penting. Ketika partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan itu mendukung Megawati, sepertinya mereka kurang memperhatikan atau mengabaikan faktor bagaimana hubungan Megawati dengan masyarakat pemilih. Sebenarnya kita sudah memberi tahu banyak informasi lewat survei-survei bahwa SBY itu sangat populer, jauh di atas Megawati. Tapi berhubung survei tentang perilaku pemilih merupakan hal baru dalam politik kita, banyak orang yang skeptis. Nah, sekarang mereka makan sendiri hasil ketidakpercayaan mereka.[]

26/09/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq