Perdamaian Global tanpa Perang Lokal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
20/10/2010

Perdamaian Global tanpa Perang Lokal

Oleh Saidiman Ahmad

Di negara-negara dengan tingkat demokratisasi yang belum sepenuhnya stabil, apalagi yang semi demokratis dan tidak demokratis, kelompok-kelompok minoritas mengalami banyak persoalan. Muslim dan Budha Tibet diganggu terus menerus oleh pemerintah komunis Cina. Kelompok Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesia direpresi dan disingkirkan. Kelompok Muslim di Thailand Selatan dan Moro Filipina telah lama mengalami diskriminasi. Komunitas Tionghoa di Indonesia baru-baru ini saja memperoleh hak kewargaan yang sama dengan warga Indonesia lainnya. Minoritas India dan Cina di Malaysia tidak pernah benar-benar diperlakukan sederajat dengan warga Melayu. 

Tahun 2010, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Global Peace Festival. Acara yang melibatkan 20 negara ini potensial mengangkat toleransi masyarakat majemuk Indonesia sebagai model bagi pengembangan perdamaian global.

Pasca perang dingin, dunia menghadapi dua isu utama. Di satu sisi terjadi globalisasi. Di lain sisi terjadi penguatan identitas kultural. Isu-isu kultural seperti agama marak di mana-mana. Banyak yang menganggap era pasca perang dingin adalah juga era kebangkitan agama. Hampir semua agama mengalami kebangkitan. Pada saat yang sama, kebangkitan agama juga diikuti oleh kebangkitan konservatifisme dan fundamentalisme di masing-masing agama.

Penguatan identitas kultural justru terjadi pada saat dunia semakin rekat oleh globalisasi. Akibatnya, interaksi global tidak hanya diisi oleh gagasan-gagasan kemajuan modernitas, melainkan juga oleh hasrat fundamentalisme agama. Itulah yang menjelaskan kenapa sekarang begitu marak gerakan trans-nasional agama yang bercorak fundamentalis bahkan radikal.

Kebangkitan fundamentalisme agama di era globalisasi bisa menjadi sangat berbahaya. Gesekan-gesekan antar identitas terjadi di hampir semua level kehidupan. Huntington meramalkan bahwa jika di masa depan ada perang dunia, maka perang itu adalah perang yang dilatarbelakangi oleh budaya. Pasca perang dingin, hampir tidak ada lagi perang antar negara. Yang terjadi adalah konflik-konflik komunal yang mirip dengan perang sipil. Para pemimpin dunia masih dipusingkan dengan penyelesaian konflik di Cyprus, Cina, Thailand, Filipina, Palestina, Indonesia dan lain-lain.

Persoalan hubungan mayoritas-minoritas di satu negara kembali menjadi isu utama di banyak negara.  Di negara-negara dengan tingkat demokratisasi yang belum sepenuhnya stabil, apalagi yang semi demokratis dan tidak demokratis, kelompok-kelompok minoritas mengalami banyak persoalan. Muslim dan Budha Tibet diganggu terus menerus oleh pemerintah komunis Cina. Kelompok Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesia direpresi dan disingkirkan. Kelompok Muslim di Thailand Selatan dan Moro Filipina telah lama mengalami diskriminasi. Komunitas Tionghoa di Indonesia baru-baru ini saja memperoleh hak kewargaan yang sama dengan warga Indonesia lainnya. Minoritas India dan Cina di Malaysia tidak pernah benar-benar diperlakukan sederajat dengan warga Melayu.

Di masa depan, tantangan perdamaian dunia bukan lagi dari perang-perang antar negara, melainkan konflik komunal, kekerasan, dan diskriminasi terhadap minoritas di negara-negara berkembang. Negara dengan tingkat keragaman yang kaya dan demokrasi yang belum stabil akan sangat rentan didera persoalan konflik komunal tersebut. Dijadikannya Indonesia sebagai tuan rumah Global Peace Festival 2010 menjadi begitu penting justru karena negara ini kaya keragaman namun belum cukup stabil.

20/10/2010 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mungkin perlu koreksi sedikit dengan persepsi bahwa “hampir semua agama mengalami kebangkitan”. Hal ini agar tidak menimbulkan salah tafsir bahwa seakan-akan ada agama yang terbelenggu dengan perang dingin.
Agama Katholik dan Kristen sama sekali tidak terbelenggu dengan adanya perang dingin karena perang dingin adalah masalah politik, bukan masalah agama. Lebih khusus lagi untuk agama katholik sudah berabad-abad yang lalu keluar dari urusan politik dan lebih memfokuskan pada agama sebagai hubungan yang pribadi antara umat dan Tuhannya.
Vatikan sudah tidak terlibat algi dengan persoalan politik meskipun dalam prakteknya Vatikan mempunyai duta besar. Tapi duta besa di sini lebih kepada membangun hubungan yang bersifat humanisme, bukan polilik.
Jadi selesainya era perang dingin, bagi agama katholik yang dipandang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Kalau pun ada mungkin praktek beragama di negara-negara blok timur menjadi lebih leluasa. Tapi ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap katholik secara keseluruhan, hanya gereja setempat yang dalam praktek sehari-harinya lebih leluasa.
Kalau saya secara pribadi dengan ditunjuknya indonesia sebagai tuan rumah Global Peace Festival justru bisa berdampak negatif. Pasti ada kalangan tertentu di tanah air ini yang merasa bahwa dengan ditunjuknya sebagai tuan rumah GPF seakan-akan negeri kita tidak punya masalah dengan persoalan diskriminasi yang dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, khususnya di bidang agama.
Kalau semua orang indonesia berpikir realistis, maka ini harus dipandang sebagai sebuah tamparan agar indonesia merubah dirinya. Tetapi kita juga harus realistis bahwa sebagian masyarakat atau kelompok masyarakat kita dikuasai oleh ego kelompok sehingga tidak peduli dengan kelompok yang lain yang punya hak yang sama dengan mereka.
Kalau mereka mengartikan bahwa tuan rumah GPF sebagai sebuah pengakuan bahwa indonesia adalah negeri damai, maka kita tingal menunggu waktu untuk mengalami persoalan tirani mayoritas yang makin menjadi-jadi. Semoga kekhawatiran ini hanya berhenti pada pikiran saya aja, tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Posted by Putra Pertiwi  on  10/21  at  12:43 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq