Perdamaian untuk Masyarakat Dunia - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
15/10/2010

Perdamaian untuk Masyarakat Dunia

Oleh Redaksi

Fenomena global soal kekerasan yang kembali marak di dunia saat ini tampak berbeda dari sebelumnya. Di era perang dingin, ancaman kekerasan adalah perang antara negara. Meskipun sekarang masih ada, tetapi ancaman yang paling serius saat ini adalah munculnya fenomena kekerasan komunal: kekerasan yang didorong oleh faktor-faktor tradisional, agama, suku dan lain-lain. Untuk menjelaskan fenomena ini, Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai Bondan Gunawan, Sekertaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid, dan Chandra Setiawan, Ketua Global Peace Foundation Festival.  Wawancara ini disiarkan langsung, Rabu 13 Oktober 2010, dalam talkshow Agama dan Toleransi KBR68H bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal. 

Fenomena global soal kekerasan yang kembali marak di dunia saat ini tampak berbeda dari sebelumnya. Di era perang dingin, ancaman kekerasan adalah perang antara negara. Meskipun sekarang masih ada, tetapi ancaman yang paling serius saat ini adalah munculnya fenomena kekerasan komunal: kekerasan yang didorong oleh faktor-faktor tradisional, agama, suku dan lain-lain. Untuk menjelaskan fenomena ini, Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai Bondan Gunawan, Sekertaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid, dan Chandra Setiawan, Ketua Global Peace Foundation Festival.  Wawancara ini disiarkan langsung, Rabu 13 Oktober 2010, dalam talkshow Agama dan Toleransi KBR68H bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal.

Kita melihat dunia saat ini penuh dengan tayangan kekerasan. Di Indonesia pun tindak kekerasan semakin marak, baik terjadi antar kelompok, suku dan lain-lain. Apa yang terjadi?

Bondan Gunawan: Kita harus bedakan antara kekerasan yang terjadi di tingkat global dan kekerasan yang terjadi di tingkat local. Kekerasan di tingkat global, seperti yang terjadi antara Palestina-Israel dan penghancuran Irak, saya ingin mengajak orang untuk melihat bahwa Samuel Huntington pernah menerbitkan buku, sekitar tahun 80-an, tentang benturan antara peradaban Barat dan kebangkitan Konfusianisme dan Islam. Nah, untuk menghadapi kebangkitan Konfusianisme mungkin kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan terhadap itu sudah terlambat karena Cina sudah tumbuh menjadi sebuah negara raksasa. Ketika perang dingin selesai, Barat sudah tidak punya musuh lagi. Dia harus punya common enemy. Jika dulu musuh Barat adalah komunis, sekarang musuhnya adalah Konfusianisme dan Islam. Tanpa kita sadari, kita sudah masuk dan terlibat di dalam permainan global yang sekarang terjadi. Jelas kepentingannya adalah ekonomi.

Bagaimana dengan yang lokal?

Bondan Gunawan: Kalau lokal kepentingannya adalah perut. Jika rakyat miskin, tidak usah diajak macam-macam. Iseng-iseng bakar 21 gerbong kereta api.

Apakah itu berhubungan?

Bondan Gunawan:
Hubungan secara langsung tidak ada. Tapi tidak ada masalah kehidupan di muka bumi ini yang tidak saling berhubungan. Walaupun tali yang menghubungkan itu sangat tipis, tapi hal-hal semacam itu tentu akan memberikan dampak. Satu contoh saja, keberanian kita menghadapi bule-bule Belanda saat itu diinspirasi oleh kemenangan Jepang lawan Rusia di RRC pada tahun 1905. Bangkit semangat Asia untuk bisa menghadapi orang-orang Eropa. Jadi mohon hal-hal semacam ini tidak kita lupakan.

Sejauhmana peningkatan fenomena kekerasan ini?

Chandra Setiawan:
Kita tahu globalisasi itu membuat segala sesuatu menjadi mudah. Interaksi antar manusia yang berbeda begitu mudah terjadi. Kadang-kadang kita tidak dapat menerima berbagai perbedaan yang demikian banyak yang datang secara bersamaan. Kecepatan teknologi informasi dan transportasi mempertemukan orang yang dulu hanya bertemu kelompoknya, tiba-tiba harus bertemu dengan kelompok lain yang lebih besar. Itu juga salah satu yang menyebabkan munculnya gesekan-gesekan. Terlepas dari peran negara, peran masyarakat juga harus diperkuat. Jadi civil society di mana saja, di dunia ini, harus diperkuat dengan satu keyakinan bahwa kita sesama manusia yang sama. Secara penciptaan kita semua sama. Kita harus mampu menganggap orang lain sebagai saudara.

Tapi tentu sangat bagus jika semua orang mampu menyadari konsep ini. Kesadaran bahwa kita punya banyak kesamaan walaupun berbeda warna kulit, kepercayaan, suku, wilayah… Bagaimana Anda melihatnya di tingkat global?

Chandra Setiawan: Sebetulnya bukan berarti kita harus melupakan perbedaan karena itu sunnatullah. Artinya kita diciptakan memang tidak ada yang sama dan punya keunikan masing-masing. Kita harus mampu menerima perbedaan dan keragaman itu. Hanya kita semua dalam posisi yang sama sebagai manusia. Dalam kemanusiaan kita sama. Sebagai makhluk spiritual kita sama karena Penciptanya satu. Jika kita meyakini bahwa Pencipta itu satu, berarti kita punya nenek-moyang yang sama. Nah, paradigma seperti ini yang belum sepenuhnya kita hayati dan jalankan. Kadangkala kita masih berpegang pada keyakinan sendiri tanpa mau melihat keyakinan orang lain. Kadang-kadang kita menganggap bahwa keyakinan kita yang paling benar. Keyakinan yang menganggap bahwa agamanya yang paling benar inilah menghantarkan kita pada penggolongan “kami” dan “mereka”, bukan “kita”.

Apakah yang terjadi di tingkat global itu terjadi juga di Indonesia?

Bondan Gunawan:
Saya suka memperhatikan bahwa KH. Ahmad Shiddiq (tohoh NU) pernah mengkategorikan persaudaraan (ukhuwwah) ada tiga: ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyah dan ukhuwwah basyariyah. Persaudaraan global, persaudaraan sebangsa dan persaudaraan sesama umat. Saya kira seluruh agama menganut konsep ini. Saya kira kita tidak boleh naïf dalam melihat masalah itu. Sejak zaman dulu, sejak kekaisaran Romawi, bahkan sejak Konfusianisme yang diyakini Pak Chandra, di negara lahirnya Konfusianisme itu juga ada Taoisme dan Konfusianisme. Taoisme itu, hakikatnya, bagaimana kita mewujudkan hubungan kita dengan Tuhan. Konfusianisme adalah mengatur hubungan kita dengan sesama manusia. Saya kira kita sudah tahu dan saya tidak perlu menyebutkan bahasa Arabnya lagi. Kita jangan munafik atau jangan naif menyatakan agama ini hanya yang baik-baik, tidak. Karena penyebaran agama dulu juga ada perang. Perang Salib, misalnya.

Maksudnya sangat mungkin kenyataan itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum?

BondanGunawan:
Betul. Dan kekuasaan selalu menempelkan agama untuk memberikan legitimasi terhadap kekuasaannya. Jadi kalau kita tidak mau membahas sampai tuntas, agama akan selalu diberi tanduk politik untuk berantem.

Bagaimana Anda melihat, misalnya, sejumlah kasus intoleran yang belakangan ini terjadi?

Bondan Gunawan: Seperti yang saya sampaikan tadi, tentu ada yang punya kepentingan di balik itu. Kepentingan itu apa, tentu harus kita teliti secara serius.

Berarti pada dasarnya agama dan keyakinan itu bebas dari dosa kekerasan. Ia hanya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Bagaimana Pak Chandra melihat: apakah agama memang dapat menjadi alat untuk kekerasan, perpecahan, atau pada hakikatnya ia mendorong untuk perdamaian?

Chandra Setiawan:
Ya, kita diberikan petunjuk oleh Tuhan. Kalau orang menyalahgunakan petunjuk it, tentu akan salah.  Jadi sudah jelas, tuntunannya jelas, tapi kemudian… Karena agama itu perlu diinterpretasikan. Jadi, dengan membaca teks saja kita sudah menginterpretasi. Interpretasi itu bisa macam-macam. Tergantung latar belakang orang, tergantung kemauan dia untuk belajar. Apakah dia sudah belajar secara tuntas atau belum? Pendek kata, bisa saja terjadi seperti itu.

Kekerasan-kekerasan yang terjadi di negara kita ini juga bagian dari interpretasi?

Chandra Setiawan:
Itu salah satu. Ada faktor lain juga karena kita memang belum punya rasa percaya yang tinggi. Jadi, kita belum menjadi trust society, orang yang dapat saling percaya dalam perbedaan. Kita belum percaya bahwa orang lain punya rasa empati. Orang lain juga bagian dari diri kita, bagian dari saudara kita. Kalau kita sudah menganggap orang lain bagian dari saudara, kita tidak akan menyakiti saudara kita. Tapi kepentingan itu kadang-kadang masalah perut. Kemiskinan bisa mendorong orang berbuat negatif dengan mudah sekali untuk mempertahankan dirinya. Oleh karena itu mesti ada kerja sama. Interfaith cooperation itu harus diwujudkan, harus beyond dialogue. Tidak sekadar dialog, tapi orang harus mewujudkan kerja sama lintas komunitas dan lintas agama.

Tadi Pak Bondan juga mengatakan bahwa ini harus diselesaikan secara tuntas. Nah, yang Anda lihat apakah selama ini penyelesaian masalah yang terjadi di tanah air kita ini tidak tuntas?

Bondan Gunawan: Ya, makanya saya tadi agak keberatan kalau dicampurkan politik dengan agama. Coba bayangkan founding fathers kita dulu ketika Panitia Sembilan membentuk atau merumuskan Piagam Jakarta. Begitu KH. Wahid Hasyim diminta Bung Hatta untuk mempertimbangkan tujuh kata yang ditulis di Piagam Jakarta, karena keberatan dari para founding fathers yang dari Indonesia Timur, beliau dengan ikhlas mencoretnya.

Demi persatuan?

Bondan Gunawan:
Bukan hanya demi persatuan. Mungkin pikiran KH. Wahid Hasyim itu Islam harus rahmatan lil ‘alamin, bukan sekadara demi persatuan. Ada sebuah kesadaran ketauhidan pada kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi agama samawi, jelas asal usulnya sama. Kalau Konfusianisme mungkin boleh dianggap berbeda. Dan nyatanya oleh Amerika dianggap beda.

Tapi belakangan ini justru penganut-penganut agama samawi, yang katanya bersaudara itu, justru sering berselisih

Bondan Gunawan:
Menurut saya yang berantem organisasinya. Saya sendiri muslim, tapi sahabat orang Kristen, Katholik. Bahkan saya bersama almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat yayasan dan pengurusnya kami bersama (ada dari Islam, Kriten dan lain-lain). Jadi persoalan itu harus kita bedakan. Apakah ini persoalan agama? Itu harus kita lihat secara jernih. Nyatanya agama apa pun tidak pernah menganjurkan berantem, tapi tetap saja ada yang berantem. Pasti ada yang keliru. Yang keliru bukan agamanya.

Ada juga informasi bahwa sebagian pemuka agama menyebarkan kebencian terhadap agama lain. Yang sangat disayangkan pemerintah tidak menyadari konflik itu disebabkan karena ulah sebagian pemuka agama. Bagaimana Anda memandang hal ini?

Bondan Gunawan:
Maka dari itu kita melihatnya harus lebih dalam. Ketika persoalan masyarakat, kita tidak usah mengundang pemerintah. Pemerintah juga tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang begitu luas. Mengurusi dirinya sendiri saja pemerintah belum rampung. Jadi, dalam persoalan ini bukan semata-mata pemuka agama, tapi ada tangan-tangan tidak kelihatan yang bermain. Sekali lagi, ini soal kepentingan. Saya kira tidak pada tempatnya kita bicara hal itu dalam rangka Global Peace ini. Tapi mari kita lihat bahwa yang bermusuhan bukan hanya antar agama. Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok beberapa waktu yang lalu. Korbannya siapa? Dua yang meninggal kalau tidak salah itu justru pemuda yang memang tinggal di tempat yang dekat dengan lokasi makam Mbah Priok. Dia waktu itu jadi SATPOL PP. Jadi siapa yang nggebukin orang-orang di situ, itu mesti dipertanyakan. Seperti tadi disampaikan, mengapa dalam hal ini tidak ada urusan yang lebih dalam. Mari kita tanyakan ke Polisi dan Kejaksaan. Kenapa tidak diurus secara tuntas? Selama itu tidak diselesaikan secara tuntas, akan timbul lagi masalah-masalah yang lain.

Jadi salah satu yang perlu disiapkan adalah soal peran masyarakat sipil untuk berperan lebih jauh, untuk menciptakan yang namanya perdamaian di tengah perbedaan-perbedaan in?

Chandra Setiawan: Kami meyakini kalau masyarakat sipil ini diperkuat perannya, mereka artinya memperkuat diri. Sebetulnya ada tiga pilar yang harus diperkuat: interfaith cooperation. Kita harus membangun kerja sama beyond dialogue. Dengan aksi bersama kita saling mengenal. Kalau saling mengenal, kita bisa bekerja sama. Kedua adalah memperkuat institusi perkawinan dan keluarga. Family as a school of love. Dalam keluarga harmonis ini harus terus menerus diperjuangkan, dalam satu keluarga. Apa yang disampaikan oleh Pak Ali tadi yang menelpon kita menceritakan bagaimana di Tanah Abang ternyata bisa lho hidup rukun karena mereka biasa ngobrol. Sejak dari dulu kan memang sudah kita lihat harmoni itu. Misalnya di Tasikmalaya Kelenteng dan Masji d berdekatan, nyatanya hidup sampai sekarang juga rukun, damai.  Pilar ketiga, kita harus membangun culture of service, budaya untuk melayani. Jangan selalu berpikir take baru give. Kita harus balik itu, give baru take. Nah jadi kita harus meyakini bahwa hidup kita ini berarti untuk orang lain, living for the sake of others.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa kita ini?

Bondan Gunawan: Sebetulnya bangsa ini kehilangan jati dirinya. Ketika kita sudah tidak merasa bangga lagi, banyak orang sudah tidak merasa bangga lagi sebagai bangsa Indonesia, ya terus kemudian jadi terurai tidak karu-karuan. Bahkan tidak usah dipecah-pecah, kita ini sekarang mengalami proses ionisasi. Jangan lagi di dalam lingkup nasional, di dalam pemerintahan juga begitu, di organisasi juga begitu, bahkan di institusi pemerintah juga begitu, di kelompok kecil pun selalu terjadi.

Aspek kesamaan mana dari kita yang harus ditonjolkan?

Chandra Setiawan: Kita harus melihat kemanusiaan kita. Jadi perasaan cinta kasih itu ada dalam setiap diri manusia. Yang membedakan kita dengan makhluk lain itu adalah kita punya rasa cinta kasih. Nah kita ingin dicintai, dan kita memiliki kemampuan untuk mencintai sesama. Itu luar biasa kan. Dan kita punya kebijaksanaan yang membedakan kita dari makhluk lain. Oleh karena itu manusia itu menjadi makhluk yang paling mulia.

Bondan Gunawan: Kalau saya boleh turunkan ke wujud yang konkret mas, orang itu butuh keamanan dan kepastian. Kalau dia ada kepastian dan keamanan, maka segala rasa cinta, kasih, damai itu akan muncul dari dalam. Tapi kalau dia tidak merasa aman maka nomor satu ya dia ingin mencari keamanan diri. Ketika dia memproteksi diri maka terjadilah benturan dengan kelompok lain yang juga memproteksi diri.

Itu tugas siapa?

Bondan Gunawan: Tugas kita sebagai masyarakat bangsa. Karena kalau kita ngomong pemerintah lagi menurut saya banyak orang sudah ngomong bahwa pemerintah sering absen. Padahal kehidupan harus ada, kita harus makan. Maka marilah kita sementara ini, bukan kita berarti terserah pemerintah, tapi marilah kita membantu pemerintah yang sedang tidak mampu ini.

15/10/2010 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

apakah negara qta da damai???????
cba lihat semua penuh kekrisisan
mulai dri krisis perdamaian
krisis kasih dan peduli
ekonomi
sosbud
sampei krisis persaudaraan

coba saudara byangkan
apa ithu nama nya damai dan tentaram,
ksenjangan sosial yg lbih nampak.......
dimana indonesia yg mempunyai agama?
dmana peduli pemerintah?

Posted by lerma  on  11/03  at  03:44 PM

ga liat
bagaimana kaum yahudi israel membantai warga palesina

damai seperti apa yang anda ingin kan

Posted by BAYU  on  10/19  at  10:04 PM

Assalamu’alaikum..

8 Juta masarakat Islam Amerika yang terdiri dari bermacam keyakinan menafsirkan al quran dan Hadits2 dapat hidup dengan damai. sedangkan di negerinya sendiri mereka diperlakukan dgn zolim dan diskriminasi;seperti muslim Syiah, Sufi, ahmadiyah, dan keyakina2 lain2nya.

Kenapa ini bisa terjadi?;
1 pemerintah tidak ikut campur masalah agama.
2 pemerintah berlaku adil kpd semua warga tanpa melihat agama ,suku dan gender.

3.pemerintah melindungi semua warganya dari tyrani mojoritas

4. ada undang2 anti diskriminasi melindungi golongan minoritas.

Agama islam akan bercahaya bukan di negeri2 Islam tapi di Amerika...insya ALLAH.

http://latifabdul.multiply.com/journal/item/791/Seri_15Muslim_Amerika_menjadi_Peranan_Model_Yang_Terbaik_Masa_Kini.

Posted by alatif  on  10/18  at  01:20 AM

kekerasan demi kekerasan akan selalu mewarnai kehidupan manusia. hasil “penerawangan” malaikat sejak perencanaan penciptaannya memang mengatakan demikian. kita sebagai mahluk berakal budi mestinya malu bahwa apa yang dikhawatirkan malaikat terbukti adanya. mulai saat ini marilah kita bersama menggalang tekad untuk menciptakan kedamaian dunia. mulailah dari diri kita dengan melepas ego mnasing-masing serta mengubur fanatisme buta.

Posted by roni  on  10/16  at  08:41 AM

Kekerasan menjadi budaya di negeri ini, padahal Indonesia bukanlah negara yang mengamini kekerasan. Impunitas negara menjadi salah satu sebab mudahnya kekerasan itu muncul. Seharusnya negara berbenah agar meminimalisir kekerasan, sehingga masyarakat bisa hidup berdampingan tanpa ada rasa curiga kepada kelompok manapun. Salah kaprah dalam pemahaman agama menjadi pemicu kedua, ini merupakan tugas para ulama dan cendekiawan untuk mereduksi benih-benih perpecahan, ketiga yaitu kita bersama, menghadang agar kekerasan itu tidak merebak kemana-mana maka hal penting yang mesti kita lakukan adalah lindungi keluarga masing-masing dari pemahaman yang keliru.

Posted by Ilman Nafian  on  10/16  at  12:36 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq