Perempuan Harus Keluar dari Pusaran Penindasan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
04/07/2005

Dr. Asma Barlas: Perempuan Harus Keluar dari Pusaran Penindasan

Oleh Redaksi

Perjuangan kaum perempuan untuk meraih kesetaraan gender selalu terbentur tembok berlapis. Aspek-aspek tertentu dari unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, turut membentuk pusaran penindasan (circle of opressions) yang tak berkesudahan bagi kaum perempuan.

Perjuangan kaum perempuan untuk meraih kesetaraan gender selalu terbentur tembok berlapis. Aspek-aspek tertentu dari unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, turut membentuk pusaran penindasan (circle of opressions) yang tak berkesudahan bagi kaum perempuan. Demikian sekelumit perbincangan Novriantoni dan Ramy El Dardiry dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Dr. Asma Barlas, feminis muslim asal Pakistan yang kini bermukim di Amerika Serikat, Minggu (26/5) lalu.

JIL: Bu Asma, ide-ide Anda dalam buku Cara Qur’an Membebaskan Perempuan tidak sekontroversial gagasan Nasr Hamid Abu Zaid yang mempersoalkan sisi ontologis Alquran. Anda tidak lagi melihat Alquran sebagai produk sekaligus produsen budaya, tapi langsung bergulat dengan tafsir Alquran itu sendiri. Mengapa Anda mengambil posisi itu?

DR. ASMA BARLAS: Sebagai seorang muslim yang beriman, saya tidak meyakini bahwa Alquran itu sendiri adalah sebuah masalah. Saya tidak akan pernah mempertanyakan Alquran melebihi posisi logis Alquran sebagai kalam ilahi. Anda mungkin mengatakan bahwa ada banyak pendapat tentang itu, tapi saya tetap bertolak dari premis bahwa Alquran adalah kalam Tuhan. Jadi bagi saya masalahnya tidak terletak pada wujud kalam atau teks Tuhan yang suci itu sendiri, tapi pada bagaimana kita menafsirnya. Bagi saya, masalahnya bukan pada eksistensi teks itu sendiri, tapi bagaimana pendekatan manusia atas teks itu. Dan saya juga tidak melihat problemnya datang dari soal kesucian itu sendiri, tapi konsep tentang yang dianggap suci. Isi dari kesucian itu yang bermasalah, bukan ide tentang yang suci itu sendiri. Ide dan isi adalah dua hal yang berbeda.

Tapi dalam buku itu, saya lebih fokus pada fakta bahwa tidak mungkin bagi muslim untuk memiliki satu model bacaan atau tafsir saja atas Alquran seperti yang dikatakan Fazlur Rahman. Mengatakan ya dan tidak atas sebuah tafsiran adalah baik, karena itu akan menghasilkan sintesis yang membuat percakapan menjadi lebih hidup dan kita tetap mampu berpikir dengan menggunakan nalar. Kita tidak pernah harus berusaha menuju keseragaman, karena itulah pertanda fundamentalisme yang paling nyata. Mengatakan Alquran bukan teks suci juga tidak serta merta akan memecahkan problem dan membuat kita hidup bahagia. Bagi saya, yang lebih penting adalah bagaimana mencermati politik penafsiran atas Alquran itu sendiri.

JIL: Kalau begitu, Anda tentu tidak akan melihat apa yang dimuat Alquran tentang warisan dan poligami sebagai refleksi budaya Arab ketika Alquran turun?

DR. ASMA BARLAS: Ada dua komentar soal itu. Saya selalu mengatakan, Alquran diwahyukan secara partikular dan universal. Karena secara partikular Alquran diwahyukan pada abad ke tujuh, tak seorang pun patut menganggap bahwa seperti itulah seharusnya hukum Islam yang diterapkan saat ini. Saya tidak akan mengatakan semua itu relevan untuk kehidupan saat ini. Tapi seperti dikatakan Fazlur Rahman, Alquran juga bersifat universal, seperti dalam konsep kesopanan seksual, sekalipun model pakaian yang disebut Alquran memang bentuk partikular budaya Arab. Karena itu, kita harus dapat membedakan mana yang partikular dan mana yang universal dari Alquran.

Kedua, sangat penting melihat konsep poligami dari sudut pandang sejarah. Kita tahu, tidak seorang Nabi pun melakukan monogami kecuali Nabi Isa. Nabi Daud, rajanya bangsa Israel, memiliki 900 harem. Dalam Islam, praktek poligami juga sudah dibingkai dalam syarat-syarat yang ketat. Saya termasuk orang yang meyakini bahwa persetujuan Alquran pada poligami, secara spesifik hanya diperuntukkan bagi perempuan yatim yang ada dalam pengasuhan, disertai dua-tiga persyaratan lagi. Itu sangat sulit dilakukan. Tapi bagi saya, kebanyakan muslim yang memiliki lebih dari satu istri sangat tidak Qurani, karena mengabaikan ajaran Alquran yang menyebutkan bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan demi nafsu itu sendiri. Beritahu pada saya lelaki yang menikahi lebih dari satu istri demi untuk menggapai kesalehan! Lebih dari itu, pernikahan bukan hanya untuk memuaskan birahi laki-laki. Dalam Quran tidak pernah disebutkan bahwa lelaki diberi karunia nafsu atau libido yang lebih dari perempuan.

JIL: Anda optimis pendekatan kalangan feminis terhadap Alquran kelak dapat menjadi wacana yang dominan di dunia Islam?

DR. ASMA BARLAS: Saya memilih untuk tidak menyebut diri sebagai feminis, karena konsep itu sendiri harus diberi klarifikasi dulu. Banyak kaum feminis yang mengutuk Islam sebagai agama yang patriarkhis. Saya kira, di dalam komunitas muslim sendiri banyak pertanyaan mengenai apa itu feminisme. Karena itu, saya hanya menyebut diri saya seorang perempuan beriman. Saya sebenarnya tidak begitu optimis bahwa pendekatan seperti ini akan dominan karena begitu kuatnya dominasi kalangan konservatif. Tapi saya juga sering melihat perubahan yang fundamental dalam pemikiran masyarakat muslim. Karena itu, saya tetap berjuang dan melakukan apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu kapan pendekatan seperti ini akan berdampak dan sejuah mana dampaknya akan tersebar. Yang jelas, saya tetap akan melakukan banyak komitmen pribadi dalam soal agama saya.

JIL: Anda yakin bisa berpikir seperti saat ini kalau tidak bersentuhan atau terlibat dalam wacana feminisme di Barat?

DR. ASMA BARLAS: Saya sangat berutang-budi pada pemikiran feminisme dan selalu mengakui hal itu. Ketika tidak mau dilabeli sebagai seorang feminis, itu tidak berarti saya tidak terpengaruh sama sekali oleh para feminis. Saya sangat dekat dengan kalangan feminis dan banyak terpengaruh mereka. Tapi saya juga bersikap kritis terhadap jalan yang ditempuh kebanyakan feminis. Sebagian mereka mengatakan, kalangan feminis Islam seharusnya tidak perlu mengambil mandat Alquran untuk mencari keadilan gender. Saya kira jika itu yang dianggap sebagai feminis Islam (masih peduli dengan tafsiran Alquran, Red), maka saya benar-benar tidak ragu menyebut diri seorang feminis. Tapi sayangnya, di kalangan muslim tidak pernah jelas apa yang mereka sebut sebagai feminis.

Lantas apakah saya akan berpikir demikian jika bukan karena produk pemikiran, pendidikan atau budaya tertentu? Mungkin saja tidak, karena setiap orang tidak pernah berpikir di luar konteks pendidikan dan budayanya. Tapi perlu juga saya tegaskan bahwa, saya juga datang dari budaya hibrida, karena pendidikan saya di Pakistan sangat kebarat-baratan. Bahasa utama saya Inggris dan kami berbicara dengan bahasa itu di dalam keluarga. Jadi, saya adalah produk dari sensibilitas Islam dan model pendidikan Barat.

JIL: Beberapa bulan lalu, Amina Wadud membuat gebrakan dengan mengimami salat Jumat sekaligus memberi khotbah di Amerika. Apakah gebrakan itu akan memberi kontribusi penting pada wacana kesetaraan gender?

DR. ASMA BARLAS: Kasus ini adalah masalah rumit. Banyak orang mengritik Wadud ketika melakukan hal itu. Secara pribadi, saya tidak pernah mau jadi imam di dalam salat. Tapi orang-orang yang menjadi makmum Wadud memang telah memilihnya secara demokratis. Bagi saya, imam tidak sama dengan pastor atau paus dalam soal otoritas. Jadi dengan hanya menjadi imam, tidak berarti semua orang dapat dipaksa menaati kemauannya. Posisi imam dapat diberikan pada siapa saja yang dapat menjadi imam. Jika orang-orang mau salat di belakangnya, why not? Jika dialah satu-satunya orang yang paling mampu mengimami salat dan mau, why not?

JIL: Bagi saya, otoritas ulama Islam itu terkadang tidak kalah kuatnya dari otoritas pastor.

DR. ASMA BARLAS: Kita harus tetap menentang otoritas ulama, karena di dalam Islam tidak ada yang berhak mengatakan bahwa hanya mereka saja yang tahu arti Alquran dan hanya mereka yang dapat mendefinisikan arti keberagamaan. Saya menentang ulama yang mengatakan bahwa salat orang yang bersama Wadud tidak diterima. Bagi saya, mereka tidak berhak mengatakan salat siapa yang diterima dan salat siapa yang tidak diterima.

Kita tahu, selama ini ada banyak perempuan dewasa yang salat di belakang anak mereka yang masih berumur antara 6-10 tahun hanya karena jenis kelamin mereka. Lalu mengapa kita terus terpaku pada kasus Wadud? Bagaimana dengan ribuan perempuan yang salat di belakang anak laki-laki mereka hanya karena mereka laki-laki? Bagi saya, kontroversi ini sebaiknya diakhiri. Tapi ini juga tantangan Wadud terhadap wacana yang dominan saat ini. Saya membela hak setiap muslim untuk membuat ketetapan tersebut.

JIL: Di Indonesia kini sedang muncul kegairahan untuk menerapkan syariat Islam. Anda pernah hidup di bawah rezim Dzia ul Haq yang menerapkan syariat Islam secara kenegaraan di Pakistan. Dapatkan syariat diterapkan sembari membela hak-hak perempuan?

DR. ASMA BARLAS: Sepanjang yang saya baca, penerapan syariat di Aceh betul-betul telah mendiskriminasi perempuan. Syariat yang seperti itu, biasanya tidak pernah menyediakan ruang bagi keadilan gender. Saya percaya, hukum Islam pada akhirnya adalah produk pemikiran manusia sehingga dapat dipikirkan dan ditinjau ulang.

Sepanjang pengalaman saya, penerapan syariat di Pakistan sangat mengecewakan. Ada pembantu rumah tangga yang diperkosa lalu dihukum rajam, padahal sanksi rajam sendiri tidak terdapat dalam Alquran untuk kejahatan apa pun. Tapi orang-orang yang pro-syariat akan mengeluarkan ratusan hadis dan mengklaim diri setia mempraktekkan ajaran Nabi. Ujungnya, perbincangan melantur ke tingkat lain. Bagi saya, kita sebagai mukmin tidak harus yakin 100% dengan apa yang ada di hadis, tapi perlu yakin 100% pada apa yang ada di dalam Alquran.

Tapi kalau kita menyanggah semacam itu, mereka yang pro-syariat akan segera berpindah argumen dari Alquran ke hadis, lalu ijma’ atau konsensus ulama. Ketika Anda mengatakan Alquran dapat ditafsirkan lebih dari satu cara, mereka segera memindahkan kancah perdebatan ke hadis. Ketika Anda dapat mematahkan argumen hadis karena ia lebih banyak diriwayatkan bil ma’na dan merupakan salah satu refleksi kebijakan Nabi saja, mereka akan berdalih dengan ijma’. Padahal, konsep ijma’ itu tidak dapat diterima, karena tidak datang dari langit. Ijma’ sudah jelas konstruksi sosial manusia yang tidak sakral sama sekali. Tapi mereka akan kukuh dengan itu, dan akan mencecar Anda keluar dari kesepakatan ulama. Bagi saya, itulah bentuk pusaran penindasan (circle of opressions) yang selama ini kita hadapi. Dan selama ini, sulit bagi perempuan untuk lari dari pusaran tersebut.

JIL: Jadi Anda tegas membedakan antara kedudukan Alquran dan hadis?

DR. ASMA BARLAS: Bagi seorang mukmin, Alquran adalah kalam ilahi, sementara hadis tidak demikian. Hadis adalah hasil kompilasi manusia, dan tak seorang pun dari mereka mengklaim diri tak mungkin bersalah atau infailable. Selama ini, banyak ulama Islam yang berdalih dengan hadis karena mereka tidak suka dengan prinsip kesetaraan gender yang tertuang dan dimungkinkan oleh Alquran. Akibatnya, apa pun tabir yang telah disingkap Alquran, ada saja hadis yang mereka keluarkan untuk menutupnya kembali.

JIL: Bu Asma, Anda yakin kaum feminis dapat mewarnai corak fikih yang selama ini masih didominasi corak yang konservatif?

DR. ASMA BARLAS: Ada banyak perempuan yang telah terlibat dalam studi fikih dan coba memperbaruinya. Di Amerika kita punya Azizah al-Hibri. Saya sungguh tidak tahu apakah produk fikih yang mereka ajukan akan mampu mengubah corak yang dominan. Tapi bagi saya, ketika orang awam melihat syariat Islam yang dirumuskan dalam buku-buku fikih tidak mampu memberi rasa keadilan sebagaimana yang dianjurkan Alquran, maka itu akan efektif sekali mengubah perilaku mereka melebihi kemampuan proposal yang diajukan kaum feminis. Secara keseluruhan, kaum muslim harus mulai aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Reformasi atau perubahan memang akan sangat sulit.

JIL: Apa yang ingin Anda sampaikan pada umat Islam Indonesia yang sedang bergairah menerapkan syariat Islam dengan kekuatan negara?

DR. ASMA BARLAS: Saya tidak datang ke Indonesia untuk memberi pesan. Saya datang terlebih untuk belajar dari Indonesia. Jika pun saya harus berpesan, saya berharap Islam di Indonesia mampu memberi alternatif real dari corak Islam radikal yang muncul dari negara lain. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat mengembangkan corak Islam yang lebih liberal. Meskipun sering dianggap pinggiran, saya tetap berharap buku-buku intelektual Indonesia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa dunia. Dengan begitu, Anda tidak hanya akan melihat buku dari satu negara tertentu saja. Itulah satu pertanda pluralisme dan liberalisme.

Tapi sayang, di Amerika Serikat sendiri, buku yang banyak dijual adalah buku kalangan konservatif dan radikal yang suaranya kencang. Saya kira, kalangan liberal selama ini menderita dan karena itu tidak mampu mengorganisasi diri secara lebih baik. Sementara, kalangan radikal dan fundamentalis--bukan saja di dalam Islam, tapi juga dari kalangan Kristen--sangat terorganisir. Ini mungkin juga disebabkan kalangan liberal itu tidak pernah bersifat tunggal dan selalu punya ide plural. Jadi mereka tidak seperti kaum fundamentalis yang fokus pada satu hal. Karena itu, kita butuh lebih banyak lagi organisasi kaum liberal, karena apa yang dihadapi kini bukanlah individu yang tunggal. Tokoh-tokoh radikal dan fundamentalis selalu datang dari beragam organisasi.

JIL: Bagaimana Anda melihat peluang berkembangnya wacana agama yang progresif dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia?

DR. ASMA BARLAS: Saya kira demokrasi Indonesia membuka banyak kesempatan untuk itu. Biasanya saya tidak selalu banyak berharap, tapi saya punya banyak harapan terjadinya perbaikan wacana agama di Indonesia. Hampir semua kelompok perempuan yang saya temui di sini sadar betul akan perlunya menggunakan kesempatan demokrasi. Dan perempuan muslim di sini bagi saya berbeda dengan perempuan muslim di negeri Barat. Jika Anda menemukan perempuan berjilbab di Barat sana, itu adalah pertanda bahwa dia memisahkan diri dari ruang publik. Tapi di Indonesia, saya melihat perempuan berjilbab yang sangat aktif; naik sepeda motor, serta berjabat tangan dan berhubungan secara wajar dengan laki-laki.

Dua tahun lalu, saya berkunjung ke masjid al-Azhar di Kairo dan punya perasaan yang lain ketika berjalan di dalam masjid. Di sana, ruang perempuannya (zawiyatun nisâ` atau women’s corner) sangat eksklusif dan gelap. Saya sempat diteriaki karena berjalan di tempat yang tidak harus saya tapaki. Tapi di masjid Istiqlal Jakarta, suasananya jauh berbeda. Kaum perempuan di sini bisa mengambil tempat di tengah masjid atau salat menyendiri di tepi. Kaum laki-laki dan perempuan juga bisa saling bincang di samping masjid. Fenomena itu tidak pernah Anda dapatkan di al-Azhar Kairo atau di Pakistan sana.

Secara kultural, di Indonesia ada banyak sinkretisme, pluralisme dan sekularisme. Negara tidak terlalu banyak mencampuri urusan agama dan pribadi rakyatnya. Bagi saya, itulah yang diinginkan Imam al-Ghazali ketika menyatakan bahwa penguasa tidak dapat mencampuri urusan agama rakyatnya. Maka saya berkesimpulan, di dalam komunitas Islam Indonesia terdapat banyak harapan dan perjuangan. Saya kira, tantangan terbesar Indonesia kini adalah bagaimana mempertahankan demokrasi, karena ia mendapat tantangan dari banyak penjuru. []

04/07/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Artikel ini pada dasarnya membicarakan masalah jender dgn agama (khususnya agama islam) Bicara masalah gender di bidang agama, saya melihat masalah ini tidak hanya di kalangan umat muslim saja. Tetapi juga di agama monoteis yg lainya yaitu Nasrani dan Yahudi. Bagi saya masalah gender seperti diskriminasi terhadap perempuan dgn dalil agama tidak lebih dari sekedar permainan politik patriaki yg dominan dlm segala hal. Banyak sekali contoh2x penindasan kaum perempuan dgn alasan agama yg sampai jaman skrg ini msh berlaku dan bahkan cenderung ekstrim (seperti politik patriaki rezim TALIBAN misalnya)

Di kalangan umat nasrani pernah juga terjadi penindasan terhadap perempuan dgn alasan agama seperti misalnya pada abad 16 penyanyi lagu rohani untuk ibadah di grerja hanya laki2x saja sedangkan perempuan tidak boleh jadi penyanyi gereja. Alasannya kalau ada perempuan yg bergabung di kelompok penyanyi gereja itu brg cowok maka bisa merusak konsentrasi penyanyi pria (siapa suruh ya nyanyi sambil ngeliatin pantat cewek ? hahaha becanda doang kok)

Begitu juga di kalangan umat yahudi, perempuan boleh keluar rumah tanpa ditemani keluarga/muhrimnyanya. Tetapi barangsiapa yg bukan muhrimnya tidak ada yg boleh berbicara dengannya sama sekali apalagi bersentuhan dengannya. Jadi kalau misalnya perempuan itu tiba2x dirampok, diperkosa, dan pingsan di tengah jalan tidak ada laki2x yg boleh menyentuhnya sekalipun dgn alasan menolong kalau bukan muhrimnya. 

Bicara soal feminisme dan kaitannya dengan agama memang selalu menjadi persoalan sensitif. Di satu sisi kaum wanita berjuang demi keadilan untuk ingin diperlakukan sejajar dengan kaum pria dan percaya bahwa itulah yg diajarkan di setiap agama, tapi di sisi lain bagi kalangan konservatif yg patriaki mereka dicap wanita pendosa yg mengkhianati Allah & agama serta dipercaya sebagai wanita penggoda kemaksiatan secara terselubung.

Memang kaum feminis cenderung berontak dengan adanya penindasan kaum wanita dgn dalil agama. walaupun berontaknya tidak sampai se ekstrim teroris yg menghalalkan kekerasan.

Tetapi kaum feminisme itu sendiri berjuang dengan sikap dan ekspresi yg berbeda.

Bagi kaum feminis radikal mereka berani menyalahkan ALLAH, atau minimal protes dgn ALLAH. Apakah anda pernah bertanya2x “Kenapa yg namanya NABI & Rasul itu laki2x semua ? Apakah krn ALLAH itu juga laki2x ?”

Tapi lain lagi dengan Black Feminism (feminisme Hitam) dari Afrika. Mereka cenderung pasrah apa adanya. Mereka berkata bagaimana perempuan bisa diperlakukan manusiawi kalau pihak laki2x aja mudah ditindas ?

Namun banyak pihak wanita itu sendiri melemahkan dirinya sebagai wanita yg seharusnya punya hak untuk hidup sejajar dgn laki2x. Misalnya ada perempuan dipaksa untuk melayani suaminya berhubungan sex, sementara sang istri sedang lelah. Sang istri menolak tangan suami melayangkan kekerasn. Namun sang istri diam saja dgn pasrah. Ketika ditanya “kenapa kamu tidak membela diri pada saat dipukul suami ? dia kan melakukan tindakan yg membahayakan diri lo ?” sang istri menjawab “saya kan perempuan ! saya gak mampu membela diri” Contoh seperti ini yg memberi bukti bahwa pihak perempuan itu sendiri yg melemahkan dirinya.

Ribut2x masalah erotisme, pornografi, & kemaksiatan pasti akan menjadi persoalan sensitif bagi kaum wanita krn cenderung takut dijadikan biang kerok masalah yg berbau sex tersebut.

Saya ingat dengan komentar masalah goyang ngebor Inul yg sempat menjadi berita besar di tanah air. Beliau berkata “Kalau laki2xnya yg doyan berpikiran ngeres dan gak bisa mengendalikan dirinya kenapa perempuan yg disalahkan ?”

Saya melihat umat muslim saat ini sedang mengalami transisi dalam memahami ajaran agama islam khususnya berkaitan dgn masalah gender. Mungkin sampai skrg ini masih byk terjadi penindasan dan diskriminas perempuan dgn menggunakan dalil agama. Di mana saya lihat ada perempuan muslim yg ingin kawin dengan pria beda agama tidak ditoleransi dgn alasan wanita itu sudah melakukan kemaksiatan, sementara ada pria muslim ingin kawin sampai punya istri 10 tidak diributin.

Saya harap saudara2x muslim selalu diberi pemahaman yg lebih benar dan terbuka oleh ALLAH.
-----

Posted by Aswino Vitus Sumopawiro  on  07/06  at  11:07 PM

Menarik untuk ikut nimbrung masalah Perempuan dan Pornografi sebagaimana dimuat di KIUK (Jum’at, 24 Juni 2005 dan Jum’at, 1 Juli 2005). Berkaitan dengan masalah ini, menurut penulis yang perlu kita lakukan pertama adalah memulai dari titik awal yang sah. Kiranya titik awal itu adalah beberapa ciri mendasar kita sebagai manusia.

Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang mana eksistensi mendahului esensi. Menurut Satre, ini berarti pertama-tama manusia menuntut eksis dulu, kemudian menghadapi dirinya, menghadapi dunia baru mendefinisikan dirinya sendiri. Disinilah letak eksistensi, bahwa manusia adalah milik-Nya dan dirinya merupakan tanggungjawab sendiri sebab yang mempunyai kekuasaan untuk memilih yang terbaik adalah diri sendiri. Dan mungkin karena kebebasan ini Allah melengkapi manusia dengan akal, sebab bagaimanapun juga kebebasan menuntut kehendak dan kekreativan manusia yang menjadi tanggungjawabnya.

Pada manusia, kenikmatan yang ditambah dengan larangan-larangan berlangsung dalam suatu sirkuit dunia batin sehingga angan-angan atau imajinasi ikut berperan didalamnya. Kenikmatannya terangsang oleh angan-angan, artinya kadang-kadang tindakan terlarang akan menjadi “lebih” manakala ditambah dengan kesadaran melanggar suatu larangan. Hanya, yang menjadi masalah adalah bagaimana merumuskan larangan (baca pornografi) secara gamblang yang memenuhi sifat-sifat sensoris atau inderawi berupa visual, auditif, taktil atau olfaktoris. Yang mana semua itu menuntut adanya proses peningkatan synestesia (melibatkan semua indera) yang luas, penghayatan yang mendalam tidak hanya menyangkut organ seks.

Kembali pada ciri manusia berkaitan dengan perempuan (bahasa ketubuhan) yang dikaitkan dengan moralitas, yaitu adanya tatanan larangan disatu pihak dan dipihak lain munculnya perasaan yang menghantui kesendirian seiring dengan nostalgia mendalam untuk mencapai “keakraban” yang secara fisik hanyalah ilusi dan desilusi. Satu hal yang harus dihadapi bersama berkenaan dengan sifat tersebut, yaitu tubuh dianggap memalukan sehingga harus ditutupi dan beberapa fisiologis pun harus ditutupi karena dikaitkan dengan rasa malu. Hal tersebut berlaku tidak saja untuk tubuh dengan cacat tetapi juga tubuh yang indah. Rasa malu melindungi kita sebagai tubuh dan pribadi, dan rasa malu pula yang harus dihadapi ketika menginginkan “keakraban” yang bersifat fisik. Hal ini yang menjadi sumber masalah, selama kesendirian dan sifat ketubuhan itu tidak disadari sebagai basic fact, maka seseorang akan selalu kecewa, dan selalu mengejar “kebersamaan” yang tidak sempurna dan bersifat sementara. Perempuan dengan segala keterbatasannya telah melakukan pengorbanan berkenaan dengan ini. Itu menunjukkan bahwa tubuh merupakan salah satu elemen penting dari perempuan dalam menghadapi situasi dirinya. Namun, itu tidak cukup untuk mendefinisikan dirinya sebagai perempuan, tidak ada fakta realitas yang begitu saja tanpa pengaruh masyarakat. Ilmu pengetahuan sendiri tidak cukup untuk menjelaskan mengapa perempuan begitu.

Dengan kata lain, perempuan adalah lebih dari sekedar tubuh, ia tidak dapat direduksi menjadi etre-en-soi -meminjam istilahnya Freud- pada dirinya karena dia merupakan etre-pour-soi bagi dirinya sendiri yang aktif dan merupakan “arsitektur” dari dirinya sendiri. Jadi pengkajian terhadap perempuan harus dilakukan lebih mendalam lagi yang tidak hanya terbentur pada masalah biologi dan fisik sebagaimana RUU Pornografi.

Pembangunan yang identik dengan modernisasi dianggap sebagai jalan paling optimis menuju perubahan. Kondisi yang sebelumnya memarginalkan perempuan berangsur-angsur berhasil dikikis dan hampir dalam tiga dasa warsa terakhir berhasil melakukan perubahan menyangkut perempuan. Dengan demikian, memperjuangkan perbaikan posisi dan kondisi perempuan tidak hanya sebatas pengesahan RUU pornografi, sebab penindasan dan pelecehan terhadap perempuan lebih banyak berasal dari sistem dan struktur keadilan masyarakat yang timpang. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih strategis menyangkut perubahan asumsi, konsepsi, keyakinan dan persepsi masyarakat tentang perempuan khususnya menyangkut pornografi. Upaya itu harus merupakan suatu proses transformasi yang bertujuan untuk menciptakan hubungan yang secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.

Munculnya dukungan dari sekelompok orang yang mengartikan moral menurut sudut pandang mereka sendiri merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Dan lebih memprihatinkan lagi, sikap ini dimotori oleh kelompok-kelompok tertentu yang sangat kental dengan simbol-simbol agama (Islam). Fenomena ini menunjukkan agama hanya sebagai simbol-simbol pencerahan moral dan etika umat yang mengajak pemeluk untuk mengedepankan aspek kesalihan pribadi dan kesalihan sosial. Namun melupakan nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya menjadi pegangan dalam menciptakan masyarakat bermoral.

Dalam Islam, keberadaan perempuan sederajat atau setara dengan laki-laki. Jadi masalah Perempuan tidak akan berpengaruh pada masalah kehidupan sosial manakala pemeluk Islam benar-benar memahami hak, dan kewajiban sebagaimana yang diajarkan Islam. Selain itu emansipasi tidak akan termasuk suatu kasus yang mungkin terjadi didalam kehidupan Islam.

Karena itu, perlu ditekankan bahwa mewujudkan masyarakat yang bermoral tidak ada relevansinya dengan penerapan undang-undang yang menyangkut masalah pornografi. Tetapi moralitas suatu masyarakat ditentukan oleh kesadaran dan komitmen masyarakat untuk terus-menerus mengubah dan menciptakan lingkungan bermoral berdasarkan nilai-nilai fundamental yang diyakini.

Pada akhirnya, sensor terhadap pornografi dan sejenisnya adalah bersifat absurd, sehingga jika mengalihkan tanggungjawab terhadap apa yang dilihat, apa yang dibaca atau didengar pada orang lain (sebagaimana RUU tersebut) berarti melemparkan tanggungjawab sebagai anggota masyarakat yang bermoral. Karena itu, munculnya RUU tersebut berarti merendahkan kualitas moral masyarakat yang mampu menyeleksi dan menyaring sendiri bentuk-bentuk pornografi. Lebih parah lagi, penerapan undang-undang tersebut hanya akan memunculkan kembali budaya paternalis.

Posted by Sujito  on  07/06  at  06:07 AM

Saya setuju dengan pandangan Dr. Asma Barlas bahwa perlu lebih banyak lagi dibentuk organisasi-organisasi liberal, untuk membendung gerakan-gerakan kaum radikal yang semakin banyak saja. Sayangnya banyak organisasi liberal di negeri kita (termasuk JIL) yang hanya terdiri dari kalangan tertentu / terpelajar saja, semestinya mereka juga membuka keanggotaan dari semua kalangan yg peduli akan kebebasan dan demokrasi.

Posted by Haryo S. Pinandito  on  07/05  at  07:08 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq