Perlu Debat Publik yang Rasional - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
25/11/2001

Francisco Budi Hardiman: Perlu Debat Publik yang Rasional

Oleh Redaksi

Agama yang seperti apa, karena agama mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Misalnya ada dimensi moral, dimensi metafisika, dimensi nilai-nilai, psikologi sosial dan politik dan lain-lain. Nah agama dari segi dimensi moralnya, tentu memberikan sumbangan yang besar untuk publik dalam hidup bernegara.

Pemiskinan agama terjadi ketika ia direduksi menjadi sebongkah ideologi. Agar tidak terjadi ideologisasi agama, perlu substansiasi nilai-nilai universal agama pada tataran publik. Demikian “terapi” yang ditawarkan Francisco Budi Hardiman, Doktor der Philosophie pada Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman. Dalam kasus remoralisasi ruang publik yang sering terjadi pada bulan Ramadan ini, Franki —demikian beliau kerap disapa— mengharapkan ada debat publik yang rasional yang melibatkan seluruh komunitas Muslim dan non-Muslim. Berikut ini petikan wawancara Franki yang juga aktif sebagai dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dengan Herman Heizer, kontributor Jaringan Islam Liberal (JIL) beberapa waktu lalu.

Bagaimana merumuskan ruang publik di Indonesia yang sekarang ini terkesan kacau balau dan cenderung ada pemaksaan oleh norma-norma tertentu?

Pertama-tama, yang dimaksud dengan ruang publik bukan hanya berbentuk fisik seperti taman kota atau pusat perbelanjaan atau gedung-gedung kesenian. Ruang publik yang dimaksud adalah arena atau tempat dimana civil society atau warga masyarakat bisa berkomunikasi atau merumuskan masalah-masalah publik. Ruang publik semacam itu mempunyai tradisi yang panjang dan penciptaan ruang publik lewat kultur politik tertentu yaitu demokrasi. Jadi tidak mungkin terbentuk begitu saja lewat kebijakan pemerintah.

Pemerintah bisa membantu dalam arti membiarkan proses demokrasi itu terjadi dengan diikuti “rambu” lalu lintas. Namun kegiatan masyarakat itu sendiri berguna untuk menciptakan ruang publik yang sehat dan kuat dan otonom yang tidak dikooptasi oleh pemerintah, yaitu dengan memperbanyak kelompok-kelompok masyarakat yang mandiri seperti LSM, gerakan sosial dan peningkatan kualitas pendidikan kita. Ruang publik mengandaikan tampilnya individu-individu sebagai pribadi.

Bagaimana idealnya peran negara dalam pembentukan ruang publik?
Negara adalah sistem politiknya. Peran negara adalah sebagai penegak hukum. Artinya, negara mendukung terbentuknya ruang publik, tidak dalam arti pengontrolan. Dia tidak menjadi aktor, yang menjadi aktor dalam pendirian ruang publik itu adalah publik itu sendiri. Negara hanya memberikan ruang supaya aktor-aktor itu bisa bergerak bebas untuk memenukan otonominya.

Anda menyebut soal ‘bergerak bebas”. Ada kecenderungan ketika masyarakat menuju pada kebebasan, para elitnya justru khawatir karena takut menjadi kebablasan atau anarki. Bagaimana tanggapan Anda?

Itu sebuah proses. Kalau ketakutan itu akan dibiarkan dia akan membesar, artinya ada tendensi kembali seperti orde baru. Aksi sweeping buku kalau dibiarkan akan mengarah ke sana, tetapi kalau ada anggota masyarakat lain yang tidak setuju dengan itu lalu terjadi dialog, maka ketakutan itu akan direlativisasi. Artinya orang tidak terobsesi oleh ketakutannya sendiri.

Jadi bila ada aksi sweeping, diharapkan muncul kelompok-kelompok lain yang tidak setuju. Sebab kalau semua diam akan memberikan kesan bahwa semua masyarakat setuju dengan hal itu. Ini berbahaya karena masyarakat tidak identik dengan orang yang melakukan aksi sweeping buku. Sangat menarik bahwa masyarakat itu sendiri yang takut akan kebebasan itu. Pertanyannya, apakah masyarakat yang belum siap untuk itu, atau apakah kita masih butuh seorang diktator yang menunjukkan pikiran mana yang sah, atau mimpi mana yang sah dan tidak.

Tanggapan Anda terhadap kelompok keagamaan tertentu yang mendesakkan agendanya ke ruang publik agar bebas “maksiat” dengan menggunakan kekerasan?

Pada prinsipnya umat Islam sebagai mayoritas mempunyai hak untuk menciptakan suasananya sendiri. Pertanyaannya, apakah hal tuntutan penutupan tempat hiburan pada bulan ramadhan itu mendidik atau tidak? Karena orang akan mengatakan oke kalau ramadhan tutup tapi setelah ramadhan boleh dong. Menurut saya cara mendekati supaya itu ditutup seharusnya menjadi tradisi. Katakan tradisi untuk menghargai umat Islam. Tapi untuk mentradisikan itukan faktornya macam-macam, misalnya ekonomi. Kalau itu ditutup merusak ekonomi nasional atau tidak. Jadi pertimbangan rasionalnya harus ada.

Saya tahu persis di Jerman misalnya, hari Minggu di daerah Bayern Selatan minta supaya semua toko ditutup, tapi yang di utara yang Protestan tidak. Itu menjadi perdebatan, tapi tidak dengan kekerasan dan pemaksaan. Dijelaskan bahwa hari Minggu penting untuk istirahat dan akhirnya pintu ditutup, tapi suatu ketika suara agama tersebut kalah akhirnya toko dibuka lagi dan kalangan agama menerima itu dengan baik tanpa ada kekerasan.

Apakah kultur semacam ini mungkin di negara kita. Misalnya ada kelompok yang menginginkan tutup, kemudian orang yang memiliki warung kenikmatan itu tahu sedikitlah untuk menghormati orang Islam. Masalahnya ekonomi memang, kalau tutup mereka kerjanya apa, termasuk umat Islam yang bekerja di sana. Ini masalah yang pelik di negeri kita yang harus dipecahkan dengan damai sehingga orang yang menutup tempat hiburan itu menutup dengan sukarela.

Bagaimana kedudukan agama ketika dihubungkan dengan ruang publik?

Agama yang seperti apa, karena agama mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Misalnya ada dimensi moral, dimensi metafisika, dimensi nilai-nilai, psikologi sosial dan politik dan lain-lain. Nah agama dari segi dimensi moralnya, tentu memberikan sumbangan yang besar untuk publik dalam hidup bernegara.

Tapi dimensi politiknya, dengan menjadikan agama sebagai legitimasi untuk menduduki jabatan tertentu, tidakkah itu mempermiskin agama itu sendiri seperti yang terjadi pada rezim Afganistan. Jadi pemiskinan agama muncul pada saat agama direduksi pada ideologi. Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya tampil dengan segala kemajemukannya dan wajahnya. Yang bersangkut paut dengan dunia publik ialah aspek moralnya. Anggota DPR yang Kristen atau Islam boleh mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan moral agamanya bila itu dianggap untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan demi kepentingan agamanya.

Partai yang berorientasi agama itu wajar-wajar saja, tapi ketika akan mengambil keputusan di parlemen dia harus berfikir tentang Indonesia secara keseluruhan yang terdiri dari macam-macam agama, dia tidak egois dengan mementingkan agamanya saja. Karena keputusan yang partikularistik mempunyai dampak universal dalam kehidupan.

Bagaimana Anda melihat hubungan ruang publik dan agama ditinjau secara teoritis?

Sebenarnya kalau mengikuti diskursus dewasa ini tentang ruang publik dan privat, terutama tentang dasar-dasar negara modern, agama termasuk dalam komunitas, bukan masyarakat. Di dalam masyarakat ada orientasi politik, ada orientasi nilai tertentu, ada orientasi estetik dan orientasi religius. Agama adaalah hanya salah satu dari itu semua. Dalam kemajemukan itu, agama seperti juga orientasi komuniter lainnya, bisa mempengaruhi ruang publik lewat diskursus publik yang rasional yang tidak dikooptasi oleh penguasa dan tidak dikendalikan secara finansial oleh pelaku ekonomi kapitalistik tertentu.

Intinya, betul-betul lahir dari kesadaran warganegara sendiri. Nah orang yang mendesak untuk menutup café-café pada bulan Ramadhan dengan alasan agama, sangat kompleks permasalahannya. Pertama, bagaimana menjelaskan bahwa hal itu adalah murni alasan agama. Apakah seluruh anggota religius yang ada di Indonesia khususnya kalangan umat Islam sendiri setuju dengan alasan itu. Ini membutuhkan penelaahan hermeneutis yang komprehensif untuk memahami rasional-tidaknya dalih tersebut. Lalu dari segi fungsional apakah memaksakan kehendak semacam itu mempunyai fungsi tertentu. Sebenarnya siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Pada tataran kritik semacam kita bisa banyak berbicara. Dalam kerangka demokrasi, tidak ada jalan lain kecuali memasukkan hal itu sebagai tema perdebatan publik yang plural, baik dalam kalangan Islam maupun di luar Islam. Kalau misalnya komunitas muslim sudah membicarakannya dalam berbagai levelnya tanpa ada kooptasi dari penguasa dan terjadi kesepakatan, mau apa lagi?.

Sekadar perbandingan, adakah contohnya dalam pengalaman masyarakat Jerman?

Sewaktu saya masih ada di sana, banyak salib yang ditempel di sekolah-sekolah di Bayern, Jerman selatan. Orang-orang Turki yang beragama Islam merasa terganggu dengan salib karena ia simbol keagamaan dan bertentangan dengan keimanan mereka. Lalu dimasukkan dalam debat di ruang publik, di koran, majalah, televisi dan radio tentang ketidaksetujuan dari orang Turki tadi. Ketidaksetujuan dari orang Turki di masyarakat liberal Jerman memungkinkan hal semacam itu menjadi tema ruang publik.

Yang menarik adalah muncul reaksi dari mayoritas warga Jerman, yakni penganut Katolik. Mereka demo dengan sangat sopan dan tidak ada kekerasan. Mereka memakai pakaian yang rapi dan simbol lencana yang bagus. Intinya, bahwa salib-salib itu tetap tergantung dan jangan diturunkan. Lalu alasan mereka adalah bahwa salib di Eropa bukan lagi simbol religius. Oleh karena itu tidak ada alasan yang cukup berarti untuk menurunkan salib itu. Salib adalah simbol kultural sebagaiamana bulan sabit dan assalamu’alaikum di kalangan Muslim.

Alasan lainnya adalah mereka mengatakan sebagai mayoritas bisa toleran kepada orang Turki yang muslim. Diharapkan orang Turki yang minoritas juga bisa toleran terhadap mayoritas dalam hal simbol salib. Demo itu terjadi di beberapa tempat sampai minister presidennya juga berbicara untuk mengatakan itu. Yang menarik setelah itu tidak ada masalah dan salib tetap tergantung dan orang Turki bisa menerima dan tidak memprotes karena mereka memakai logika demokrasi. Lalu yang terakhir rupanya mayoritas katolik akhirnya juga berfikir kenapa pelajaran agama Islam tidak diajarkan di sekolah tentu saja setelah ada desakan dari orang-orang Turki yang muslim. Ternyata setelah itu ada diskusi mengenai itu sampai saya kembali ke tanah air. 

Bagaimana Anda menyimpulkan fenomena itu?

Yang penting menurut saya aspirasi dari komunitas manapun, agama, etnis atau budaya lokal tertentu itu sah-sah saja tapi untuk menjadi suatu ketetapan publik harusnya diproses dulu dalam perdebatan publik yang menampung kemajemukan pandangan. Jadi ada hak bagi setiap individu untuk berbeda pendapat. Dan itu harus merupakan debat yang rasional tanpa tekanan dari manapun.[]

25/11/2001 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq