PKB itu Terlalu Meniru Golkar… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
02/05/2004

KH Mustofa Bisri: PKB itu Terlalu Meniru Golkar…

Oleh Redaksi

Dinamika politik menjelang pemilu presiden betul-betul menempatkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama (NU) menjadi “bunga desa”. Inti persoalannya menurut Gus Mus terletak pada struktur PKB sebagai partai berbasis massa NU yang terlalu persis meniru Golkar era Orde Baru, dan sekaligus kondisi internal NU sebagai ormas warga nahdliyyin yang tak kunjung menjam’iyyah.

Dinamika politik menjelang pemilu presiden betul-betul telah menempatkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sosok-sosok di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merepresentasikan ormas terbesar di Tanah Air menjadi “bunga desa” yang menjadi primadona banyak pihak untuk dipersunting. Hanya saja, dinamika internal di PKB maupun NU membuat pesona sang primadona menjadi terlampau rumit untuk ditangkap. Inti persoalan terletak pada struktur PKB sebagai partai berbasis massa NU yang terlalu persis meniru Golkar era Orde Baru, dan sekaligus kondisi internal NU sebagai ormas warga nahdliyyin yang tak kunjung menjam’iyyah.

Itulah yang terungkap dari perbincangan Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan KH Mustofa Bisri, kiai-penyair yang sehari-hari mengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin, Rembang. Apa saja kriteria pimpinan nasional yang ideal menurut kiai yang akrab disapa Gus Mus itu? Berikut petikan wawancara yang berlangsung Kamis, 29 April 2004 kemarin. 

JIL: Gus Mus, sebagai figur masyarakat, apakah Anda punya kriteria bagi seorang pemimpin nasional yang ideal?

KH. MUSTOFA BISRI (GUS MUS): Kriteria saya sederhana saja. Saya menginginkan pemimpin nasional yang takut pada Tuhan, dan punya rasa kasihan pada rakyat. Itu yang paling pokok. Kriteria lain, jika tidak punya rasa takut pada Tuhan dan tidak sayang pada rakyat tidak akan ada gunanya. Kemudian, tentu ada kriteria mampu mengetahui masalah-masalah pokok bangsa ini. Dia harus seorang negarawan, bukan politisi saja. Mampu saja juga tidak cukup, tapi juga harus mau melakukan yang terbaik untuk Indonesia.

JIL: Bagaimana mengukur kriteria takut pada Tuhan dan sayang pada rakyat itu, Gus?

GUS MUS: Itu terlihat, dong! Kalau Tuhan melarang bertindak zalim, tapi kita justru bertindak zalim, itu artinya kita tidak takut pada Tuhan. Tuhan melarang korupsi, tapi kita justru korupsi, itu artinya tidak takut Tuhan. Itu saja.

JIL: Apakah dari sudut ajaran Islam terdapat kriteria tertentu?

GUS MUS: Kalau kriteria diambilkan dari kitab-kitab kuning, mungkin semua tidak ada yang memenuhi syarat. Tidak ada yang ideal. Makanya sekarang kita dalam posisi memilih yang terbaik dari yang jelek-jelek. Kalau memakai ukuran-ukuran yang standar dalam kriteria (calon presiden), maka tidak ada yang memenuhi standar. Kalau memilih yang terbaik dari yang baik-baik mungkin mudah saja. Tapi sekarang kita harus memilih yang agak jelek dari yang jelek-jelek, ha-ha-ha.

JIL: Tapi mereka kan diklaim sebagai putra-putri terbaik bangsa?

GUS MUS: Yang mengatakan itu kan hanya mereka. Kita ini sebetulnya dalam kondisi darurat. Bagaimana tidak darurat, toh mereka yang dulunya melarang pempinan negara dari kalangan perempuan juga sudah meralat sikapnya, dan itu atas pertimbangan darurat. Padahal tidak hanya perempuan saja, tapi kalau (pemimpinnya) laki-laki juga masih darurat.

JIL: Apa komentar Anda tentang hadirnya hampir semua calon presiden dalam pertemuan para kiai di Surabaya beberapa hari lalu?

GUS MUS: Saya tidak tahu karena saya tidak datang. Tapi konon, mereka-mereka juga bingung karena merasa NU dibutuhkan banyak orang, capres-capres berdatangan. Ini mungkin karena NU merupakan organisasi yang besar. Makanya, karena sekarang pilihan langsung, soal suara menjadi sangat penting; dan NU mempunyai suara yang cukup besar. Hitungannya kan begitu. Lalu para kiai bertanya-tanya: “Yang meminang sudah banyak, tapi siapa yang dipilih?” Kira-kira begitulah! Jadi, kalau misalnya orang-orang itu meminang Hasyim Muzadi, Pak Hasyim akan memilih siapa? Makanya, mereka yang memilih itu akan kesulitan juga.

JIL: NU betul-betul menjadi primadona, ya?

GUS MUS: Ya, setiap kali membutuhkan banyak suara, NU tentu diperhitungkan. Cuma sekarang NU-nya itu siap atau tidak untuk diperhitungkan.

JIL: Di dalam sebuah surat kabar nasional, Anda menulis soal persinggungan NU dengan politik. Di situ Anda mengibaratkan NU seperti satpam, pendorong mobil mogok, dan lain sebagainya. Apa Anda ingin mendorong NU tampil di tampuk kemimpinan nasional lagi?

GUS MUS: Tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ada masalah yang lebih besar dari pada itu. Soal negoro adalah soal reformasi, sedangkan soal NU adalah soal penataan diri. Inti tulisan saya adalah kalimat terakhir yang secara sinis menyebutkan, “untuk urusan penataan NU dan reformasi negoro, kita bahas nanti-nantilah.”

JIL: Sekarang terjadi kebingungan dari mereka yang ingin meminang figur dari kalangan NU. Mereka ngotot, kalau tidak lewat jalur PKB akan menelikung lewat jalur NU. Komentar Anda?

GUS MUS: Bagi saya, sekarang ini NU apakah akan tergiur dengan pinangan-pinganan itu atau bagaimana? Orientasinya yang perlu dipertegas. NU itu adalah organisasi kemasyarakatan Indonesia yang menyadari bahwa khidmahnya bukan hanya untuk orang NU saja, tapi juga untuk bangsa atau negara ini. Karena itu, saya menulis agar orang-orang NU sadar juga tentang apa yang bisa mereka berikan kepada negeri ini; apa cukup sebagai satpam, pendorong mobil mogok, atau sebagai apa? Nah itu terserah mereka. Bukan ditentukan orang lain yang ingin menghargai mereka sebagai tukang dorong atau satpam. Orang NU yang harus menentukan: banyak berkiprah dalam khidmahnya itu, atau begini-begini saja.

Saya mengingatkan dalam tulisan itu bahwa NU mempunyai potensi besar. Ibaratnya seperti pisau cukur, tapi sejauh ini hanya digunakan untuk mengiris bawang. Memang enak buat mengiris bawang, tapi kan nggak cucuk dan nggak sumbut dengan potensinya. Nah, saya ingin orang-orang NU menyadari itu, agar potensi ini dapat dioptimalkan perannya, terutama buat negeri ini.

JIL: Anda sendiri menginginkan potensi NU itu diarahkan ke mana?

GUS MUS: Sebelum saya cenderung ke mana-mana, saya perlu jelaskan kalau dari dulu saya punya obsesi agar NU itu berul-betul menjadi jam’iyyah, bukan jemaah saja; menjadi organisasi yang sebenar-benar organisasi. Karena dengan itulah potensi yang dimiliki akan bisa diabdikan secara optimal kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sebelum itu ditata dengan baik, jadinya akan seperti pisau cukur yang digunakan untuk mengiris bawang tadi. Kalau NU ditata dengan baik, maka NU akan menjadi kekuatan yang luar biasa.

JIL: Artinya usaha untuk menguatkan jam’iyyah itu belum optimal?

GUS MUS: Betul. Itulah yang menyebabkan orang luar tahu kekuatan dan kelemahan kita, tapi kita tidak sadar. Orang NU tidak tahu kekuatan dirinya, karena melihat lahirnya yang tidak kunjung men-jam’iyyah. Makanya NU hanya melayani mereka-mereka yang ingin mempergunakan NU sendiri. Mereka yang menginginkan dukungan datang ke NU. Kalau NU-nya (secara institusional) tidak bisa (diminta dukungan), maka mereka lagi ke kiai-kiainya.

JIL: Menurut Anda, kenapa NU belum berhasil menjadi sebuah jam’iyyah?

GUS MUS: Itu panjang ceritanya. NU lahir tidak seperti organisasi-organisasi lain. Golkar, HMI dan organisasi lain lahir dari sekelompok orang yang punya tujuan, misi dan visi yang sama. Mereka berkumpul, lalu sepakat mendirikan organsisasi. Tapi NU tidak demikian. Dulu sebelum tahun 1926, di mana-mana sudah ada komunitas santri dan kiai-kiai. Mereka mengabdikan diri, mengawani, mengasihi, membantu dan menyayangi masyarakat. Lalu dulunya kiai-kiai sepuh itu berpikir, kalau ini ditanzim atau ditata menjadi sebuah organisasi modern, potensi ini akan menjadi tertib; lebih sangkil dan manqus apa yang mereka lakukan.

Lalu diwadahilah dengan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Jadi ada dualisme di sini, ada dua dimensi yang sulit dipahami orang. Di sana ada isinya yang bersifat tradisional, yaitu jemaah tadi, dan wadahnya yang modern berupa jamiyyah. Nah, antara wadah dan isinya itu mau dijembatani untuk kemudian diatasi oleh almarhum Kiai Mahfudz Siddik dan Kiai Wahid Hasyim. Tapi mereka semua meninggal muda. Makanya misi itu tidak bisa dilanjutkan apalagi dengan kehadiran Jepang dan faktor lainnya. NU jadi tambah terbengkalai. Mereka keburu besar dan tidak sempat ditata dengan baik. Makanya setiap muktamar saya selalu mengatakan agar soal itu diprioritaskan.

JIL: Sekarang NU bermain politik lagi. Bagaimana sikap para jamaahnya?

GUS MUS: NU itu besar sekali seperti Indonesia, maka kesenangannya macam-macam. Ada yang senang politik karena dulu tahun 1955 memang pernah sukses berpolitik. Makanya mereka ini masih kental sekali jiwa politiknya. Tapi ada juga yang tidak suka politik, bahkan antipolitik. Jadi macam-macam, karena banyak orang. Tapi sebetulnya kalau itu diorganisir dengan baik, akan bisa ditata dengan baik pula. Ini sama saja dengan fenomena pemikiran di NU; ada yang masih sangat konservatif, ada juga yang sudah sangat maju dan bahkan ada yang liberal. Nah, ini semua kalau ditangani oleh organisasi yang baik tidak akan menyebabkan friksi-friksi di dalam. Sekarang kan tidak. NU itu lain dengan HMI yang dengan enaknya dapat membagi orang-orangnya; ke Golkar, ke PDI-P, dan lain sebagainya. Di NU tidak bisa begitu; mereka akan dicomot-comot sendirian oleh partai-partai.

JIL: Apa Anda punya evaluasi terhadap kiprah politik orang NU seperti di PKB?

GUS MUS: PKB itu jelas dikemudikan Gus Dur. PKB itu juga mau meniru Golkar, tapi terlalu persis menirunya. Makanya ada dewan tanfiz yang sekarang diketuai Alwi Shihab. Itu analog saja dengan posisi Harmoko dulunya. Ada juga dewan syuro atau dewan pembina seperti di Golkar. Dulu di Golkar ada sosok Pak Harto, sekarang di PKB ada Gus Dur, he-he-he. Jadi sekarang ini, peran Alwi Shihab itu seperti Harmoko yang sebetulnya tidak berfungsi apa-apa. Semuanya tergantung Gus Dur. Sama saja dengan Golkar dulunya; Harmoko tidak berfungsi apa-apa, tergantung petunjuk Pak Harto.

JIL: Itu internal PKB, bagimana dengan persinggungannya dengan partai-partai politik lain; apakah sudah terlihat sebagai driver?

GUS MUS: Sama saja. Tergantung apa yang akan dilaksanakan PKB; akan memperkuat sistem atau terus begitu. Kalau masih begitu saja, maka orang luar juga akan menganggap begitu, dan mereka akan selalu ngebut langsung ke Gus Dur, tidak perlu melalui Alwi Shihab dan lain-lain.

JIL: Tapi kan, meski PKB identik dengan Gus Dur, di sana masih ada peran kiai-kiai yang sering disebut-sebut Gus Dur sebagai rujukannya!

GUS MUS: Kiai-kiai itu kan macam-macam juga modelnya, karena banyak orang. Di atas dewan pembina –kalau di Golkar dulunya tentara-- ada A dan B. Ada kelompok birokrat dan ada juga ABRI. Di atas PKB itu juga ada NU yang (syuriahnya) diketuai oleh KH Sahal Mahfudz, dan ada juga kiai-kiai yang jalan sendiri-sendiri secara kultural. Nah, dari sini Pak Harto atau Gus Dur tinggal ngambil salah satunya, sukur-sukur kalau bisa memegang dua-duanya. Kalau tidak bisa keduanya, mungkin bisa salah satunya.

JIL: Jadi kalau Gus Dur mengklaim sudah dapat restu atau mandat kiai, itu masih perlu dicek ulang, ya?

GUS MUS: Mengklaim itu kan sudah pekerjaan orang Indonesia, dan Gus Dur hanya bagian di dalam tradisi itu.

JIL: Gus Mus, tiap kiai kan punya pengikut masing-masing. Bagaimana mereka menyikapi pergulatan politik di kalangan elit NU?

GUS MUS: Karena persoalannya NU itu organisasinya para kiai-kiai dan umatnya, maka kenyataan ini kemudian mengundang orang-orang yang menghajatkan sesuatu --seperti meminta dukungan-- untuk datang ke NU. Kalau NU (sebagai organisasi) tidak bisa dipegang, mereka langsung ke kiai-kiai. Yang mereka tidak tahu, para kiai itu pada akhirnya juga akan kembali menanyakan pelbagai persoalan itu kepada PBNU. Hanya saja, persoalan itu tidak begitu perlu diperhatikan bagi orang yang punya kepentingan tadi. Bagi yang berkepentingan, yang paling penting mereka bisa ketemu dengan kiai ini dan kiai itu, lalu bilang kepada wartawan, “kami ketemu kiai ini dan kiai itu; didukung ini dan didukung itu.” Jadi tidak terlalu perlu apa isi pertemuannya. Yang penting bagi mereka, sudah terjadi pertemuan dan berita itu disiarkan di pers. Itu satu.

Kedua, kiai-kiai itu tidaklah homogen. Ada yang tidak mengerti persoalan, bahkan lugu, dan ada juga ngerti betul (permainan politik). Kalau Anda perhatikan misalnya kiai-kiai Buntet yang dikatakan mendukung Gus Dur, nanti di Tebuireng yang katanya tidak mendukung Gus Dur, orangnya akan itu-itu juga, ha-ha-ha. Jadi itu yang tidak diperhatikan orang. KH Abdullah Faqih misalnya, di Buntet ikut, tapi di Tebuireng juga ikut. Kita juga tahu itu. Itu dikarenakan mereka ikhlas saja. Kalau dibilang untuk urusan umat, mereka akan semangat semua. Tapi apakah itu soal umat betul atau tidak, klaim saja atau memang sebenarnya untuk umat, itu persoalan mereka yang membuat skenario.

JIL: Tapi dalam suasana politik yang memanas, kiai-kiai tampak sangat terlibat!

GUS MUS: Tepatnya dilibatkan! Jadi mereka itu dilibatkan karena persoalannya tadi: kepentingan-kepentingan di luar yang membutuhkan dukungan. Makanya, kiai lantas dilibatkan.

JIL: Apakah para kiai itu juga tidak punya kepentingan?

GUS MUS: Saya katakan lagi berulang-ulang, kiai itu seperti orang Indonesia juga, seperti orang NU juga. Maka ada juga yang berkepentingan. Ada yang polos, lugu, ikhlas, tapi juga ada yang ngerti ini-itu. Ada yang kalau ditipu cuek saja, yang penting dapat, dan macam-macam, he-he-he. Jadi kita tidak bisa bicara dengan cara menggeneralisir. Kita harus jeli betul. Orang sering keliru melihat fenomena kiai, karena mereka menggeneralisir kiai NU itu homogen. Ini persis ketika orang yang melihat pesantren dan menyangka pesantren itu satu; padahal pesantren itu banyaknya sebanyak kiainya. Di NU ada kiai yang bernama kiai kunci, dan ada juga kiai yang ikut kiai lain saja. Makanya, peta tentang kiai-kiai ini tidak banyak yang tahu.

JIL: Berarti para politisi yang kemarin rajin berkunjung ke pesantren-pesantren dengan maksud tertentu itu banyak juga yang kecele, ya?

GUS MUS: Ya. Jelasnya, mereka tidak akan mendapatkan semua yang mereka inginkan. Karena itu tadi: para kiai itu ada yang rangkap. Kalau Anda datang ke mereka, Anda akan diperlakukan sehormat mungkin, persis seperti anjuran di kitab kuning. Tapi, kalau Anda membawa agenda macam-macam dia tidak mau tahu. Tapi banyak juga yang pintar; sudah bisa tawar menawar. Sudah dididik selama 32 tahun, masak mereka tidak ngerti juga. Rakyat kecil saja sudah tahu soal itu, kok!

JIL: Bagaimana sikap kiai-kiai terhadap perseteruan internal tokoh politik NU?

GUS MUS: Dalam memandang Gus Dur, kiai-kiai itu juga berbeda-beda. Bahwa mereka mencintai Gus Dur, itu sudah jelas. Hanya saja, implementasi cintanya juga berbeda-beda. Ada yang sangat sayang dengan Gus Dur, sehingga tidak mau membantah karena takut menyakiti hatinya, ada juga yang tidak manut, malah menasehati, menjelaskan sikapnya kalau suatu persoalan itu dianggap bisa merugikan Gus Dur sendiri. Semua itu dalam konteks rasa sayang. Ada juga yang mengagumi Gus Dur dalam satu hal, tidak dalam hal lain. Tapi rata-rata mereka menyayangi Gus Dur meski dengan ungkapan berbeda-beda.

Misalnya sikap mereka soal Gus Dur yang ingin menyalonkan diri menjadi presiden. Banyak juga yang tidak setuju --bukan karena yakin Gus Dur tidak mampu, tapi kasihan pada Gus Dur-- karena waktu jadi presiden dia tidak ada yang ngawani dan membantu. Makanya capek sendiri dan menimbulkan rasa kasihan. Selain itu, ada juga yang menganggap Gus Dur terlalu kecil untuk jabatan presiden. Cocoknya jadi guru bangsa saja.

JIL: Bagaimana posisi Anda dalam hal ini?

GUS MUS: Hubungan saya dengan Gus Dur tidak seperti yang diduga orang. Hubungan saya itu merupakan hubungan persaudaraan yang kekeluargaan. Jadi tidak ada hubungannya dengan politik, NU dan lainnya. Keluarganya baik dengan keluarga saya. Dia tahu semua anak saya, dan saya juga tahu semua keluarga dia. Jadi begitulah. Kalau ngomong, kita juga ngomong keseharian yang ringan-ringan saja. Tapi orang menduga, karena Gus Dur tampil sebagai budayawan, maka saya juga budayawan; kalau tampilannya sebagai politisi, saya juga dianggap begitu.[]

02/05/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Tanggapan Tentang JIL

Saya sangat setuju dengan kawan-kawan yang berada dikajian Jaringan Islam Liberal, karena memberikan wacana yang baik untuk pencerahan umat. Hal seperti ini tidak akan ada lagi seorang pemeluk agama yang merasa dirinya paling benar tanpa adanya argumen yang kuat. Tapi yang menjadi permasalahan banyak sekali kawan-kawan yang memiliki agama yang sama, tetapi membenci keras adanya JIL ini. Saya berjharap kawan-kawan di kajian JIL dapat memberi pengertian kepada kawan-kawan kami yang tidak mengerti agar tidak berfikir eklusif. Apalagi islam adalah agama yang universal dan inklusif.

Tito Suwarno, di Batam
-----

Posted by Tito suwarno  on  06/08  at  12:06 PM

Jadi ingat pesen pak Alwy dulu, perbedaan antara ulama dan politikus

Ulama : Boleh salah tapi ga Boleh Bohong Politikus : Boleh bohong tapi ga boleh salah

dan disni banyak para kyai kita yg maunya aktif di politik tapi tidak atau kurang paham bagaimana permainan politik di Indonesia, mereka masih berpegang teguh jujur (dan itu baik sekali) akan tepai malah dikacangi oleh lawan politiknya. Bener ungkapan Gus Mus banyak kyai kita yg masih sangat lugu dalam permainan Politik. Gus Dur yg relatif bisa malah dicap keblinger, sebuah resiko jika figur agama main dipolitik

Posted by Fathony Ma'shum  on  05/13  at  01:06 PM

BAGI SAYA GUS MUS TDK HANYA SEORANG KIAY, TAPI JUGA SEORANG FILSUF SEKALIGUS PENYAIR. SAYA SGT SETUJU NU DITATA ULANG SHG BETUL2 MENJADI ORG YG SOLID.  NU TDK BOLEH LAGI TERGANTUNG PADA SEORANG FIGUR. NU TDK IDENTIK DGN GUSDUR. GUSDUR HANYA SLH SATU KIAY DIANTARA RATUSAN KIAY2 NU LAINNYA. MASA DEPAN NU TIDAK BOLEH DILETAKKAN DIPUNDAK SATU ORANG SAJA. BGMANAPUN GUSDUR HANYALAH SEORANG MNS BIASA LENGKAP DGN PLUS-MINUS ATRIBUT2 KEMANUSIAANNYA. BRAVO GUS MUS!.

Posted by agam  on  05/07  at  11:06 AM

Saya salut pada gus mus. Saya berharap ada banyak tokoh NU yang seperti beliau. Saya sendiri juga heran kenapa NU sekarang kok berantem sendiri. Tapi saya juga bingung gimana sih realisasi menjamiyyah itu? Tapi asal warga NU tetap saling menghormati saya yakin NU akan tetap jaya.

Posted by imam syafii  on  05/06  at  08:05 AM

Assalamualaikum wr wb

Saya cukup salut pada Pak Mustofa Bisri, Karena sering mengkritik orang, tapi kali ini saya mau mengkritisi saudara, memang mudah memberikan komentar, termasuk adanya PKB yang berdirinya dibidani oleh NU, saya setuju kalo mirip dengan golkar, Tapi sebenarnya Gusdur sendiri sudah bisa membedakan di saat dia sebagai orang NU atau dia sebagai seorang politisi. Mungkin saja karena nama besar gusdur, besar pada saat dia memimpin NU, sehingga Gusdur ya NU ya PKB. Padahal dia sendiri bisa menempatkan dirinya saat itu. makanya dia tidak merestui Hasyim Muzadi karena dia tidak melalui Partai politik tetapi melalui dirinya sendiri karena (pak muzadi menggangap dirinya sudah punya nama besar) makanya gusdur tidak merestui, secara kepartaian, lain dengan pak sholah dia meskipun berkecimpung di NU dia tetap minta restu dari gusdur, yg mana gusdur sebagai pimpinan PKB. Seandainya gusdur tidak memberikan restu mungkin saja dia tidak akan maju. Kalau Pak Muzadi minta restu ke Pak Sahal, itu jelas salah karena NU sudah kembali ke khitahnya. Makanya Pak sahal tidak saling mendukung semua capres atau cawapres, dalam arti secara keorganisasian, tetapi secara pribadi dia jelas merestui, karena dianggap untuk kepentingan bangsa. Seperti juga Bapak bapak lainnya( kata orang Kyai-kyai). Saya sendiri mengartikan kyai itu, tidak seperti kata bahasa, atau seorang yang dituakan, atau seorang guru, menurutku semua orang sama (apalah artinya sebuah panggilan), hanya keimanan dimata Allah lah yang membedakannya. Dan dibilang kyai kalo sudah ada pada dirinya pakaian kebesarannya berupa rasa malu dan tunduk pada perintah Allah serta menjauhi larangannya, dan merasa kecil dihadapan Allah. pakaian itu sudah menyatu pada dirinya. Sehingga hanya Allah lah yang mengetahui Wali-walinya di muka bumi ini. Sebenarnya memang NU harus netral, seperti khitahnya secara keorganisasian, tidak untuk pribadi-pribadi. Saya punya tanggapan bahwa pak Hasyim Muzadi tidak sebesar nama gusdur, sehingga pada saat di dicalonkan menjadi capres PDIP, setelah dia dikeluarkan dari PBNU, kemungkinan besar orang NU tidak memilih dia, karena tidak dapat restu dari NU. Untuk Pak Mustofa, banyak-2 lah meminta ampun pada Allah, karena tidak ada orang yang sempurna, dan manusia itu kecil sekali, dan kita merasa kecil di hadapan Allah itu sangat sulit pak, ngomong gampang. tapi pelaksanaan nya sangat sulit, karena nafsu masih bergelayutan pada diri kita. Saya setuju kreteria seorang pemimpin, harus punya rasa malu dan jujur. dan untuk kepentingan bangsa. Dan Allah itu tidak akan menghitung setinggi Apa ilmunya tetapi seberapa banyak orang itu melakukan perbuatan baik buruknya.

Kalo benar kata-2 ini itu semata hanya milik Allah, kalo salah memang karena itu kekilafan pribadi saya.

wassalam

Posted by Suprijanto  on  05/06  at  07:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq