Pluralisme Agama di Indonesia: - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
11/03/2010

Pluralisme Agama di Indonesia: Masihkah Kita Bisa Berharap?

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

Seseorang tak bisa dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementerian Agama tak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan misalnya karena di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia.

Banyak orang pesimis dan putus pengharapan perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Pesimisme ini biasanya didasarkan pada beberapa indikator utama. Pertama, telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, sementara tokoh baru dengan militansi yang sama dengan para pendahulunya tak segera matang dan dewasa. Meninggalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Eka Darmaputra, TH Sumartana, Mangunwijaya, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain tak jarang dianggap sebagai pertanda matinya pluralisme agama di Indonesia. Di lingkungan umat Islam, kepergian Almarhum Gus Dur dipandang sebagai pukulan telak bagi gerakan pluralisme. Mereka berpendirian, dengan wafatnya Gus Dur, maka langit pluralisme akan kian kelam dan buram.

Kedua, terjadi surplus kekerasan berbasis agama dan teologi. Seperti dilansir the WAHID Institute, Setara Institute, CRCS UGM, dalam laporan akhir tahun 2009 tentang indeks kebebasan beragama dan kekerasan berbasis agama, ditemukan fakta tentang kian meratanya kekerasan dan diskriminasi terhadap (umat) agama dan (pengikut) sekte tertentu. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari individu sampai kelompok organisasi keagamaan tertentu. Mulai dari dipersulitnya ijin pendirian rumah ibadah sampai pada pembakaran dan penghancuran rumah ibadah. Ada gereja yang dibakar. Juga ada kelompok Ahmadiyah yang hak-hak sipilnya sampai sekarang masih dirampas. Tak sedikit dari mereka yang tinggal di tempat-tempat pengungsian.

Ketiga, masih dipertahankanya sejumlah kebijakan dan perundang-undangan yang tak toleran terhadap kelompok minoritas dan agama-agama lokal. UU PNPS/I/1965 yang mengandung pasal diskriminatif itu hendak dipertahankan oleh beberapa tokoh agama yang bertahta dalam organisasi keislaman besar seperti NU dan Muhammadiyah dan tak sedikit juga dari kalangan akademisi (perguruan tinggi). Alih-alih dihapuskan, bahkan peraturan-peraturan daerah yang bias dan diskriminatif terus bermunculan di beberapa wilayah di Indonesia. 

Sebagai generasi muda Islam, saya berpendirian bahwa ketiga faktor tersebut tak cukup dijadikan alasan untuk pesimis menatap masa depan pluralisme agama di Indonesia. Ketiga pokok soal tersebut sebenarnya lebih merupakan tantangan bagi pejuang pluralisme agama untuk mensolidkan dan mensinergikan gerakan. Ada banyak hal yang menyebabkan kita boleh optimis dan berpengharapan tentang cerahnya pluralisme agama di Indonesia di masa-masa yang akan datang.

Memang benar bahwa Gus Dur dan Pak Eka sudah tidak ada, tapi pikiran-pikiran pluralis keduanya sudah terlembagakan ke dalam berbagai institusi dan diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih terstruktur dan sistematis. Misalnya ada Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta, MADIA Jakarta, the WAHID Institute Jakarta, ICRP Jakarta, ICIP Jakarta, ICIP Jakarta, Dian-Interfidei Yogyakarta, YPKM Mataram, LK3 Banjarmasin, Pusaka Padang, LAPAR Makasar, Jakatarup Bandung dan lain-lain. Beberapa hari lalu baru saja terbentuk Forum Pluralisme Indonesia, sebuah forum yang dibentuk oleh sejumlah intelektual muda lintas agama untuk memperbanyak pangkalan pendaratan pluralisme agama di Indonesia. Kini sebenarnya tokoh-tokoh muda yang gigih memperjuangkan pluralisme agama kian tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka bekerja biasanya tanpa sorotan kamera dan publisitas media, sehingga tampak kurang populer. Tapi, memperhatikan kerja-kerja advokasi mereka sangat mencengangkan. Melihat mereka, saya cukup optimis prihal gerakan pluralisme di Indonesia.

Selanjutnya, dalam proses transisi menuju demokrasi, sebagian negara kerap tidak stabil dan mudah goyah. Dalam konteks itu, negara biasanya tak bisa berperan secara efektif untuk melinduangi setiap warganya dari tindak ketidakadilan oleh warga yang lain. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Sejumlah kekerasan berbasis agama tak bisa segera dihentikan oleh pemerintah (aparat kepolisian). Pemerintah gamang untuk bertindak dan menghukum pelaku kekerasan berbasis agama karena khawatir dianggap anti-agama, persisnya anti-Islam. Citra sebagai pendukung agama (Islam) dan sekte mayoritas inilah yang tampaknya hendak ditampilkan pemerintahan Yudhoyono, dalam dua periode pemerintahannya. Dia misalnya selalu memilih menteri agama yang cenderung tidak pluralis. Aparat kepolisian pun tak sigap menangkap para “preman berjubah” karena takut divonis sebagai pelanggar HAM atau pendukung kemaksiatan. Polisi tak dilengkapi dengan jaminan undang-undang untuk menghukum para pelaku kekerasan agama.

Kelak, ketika transisi demokrasi ini sudah berakhir, negara akan kembali normal. Di situ kiranya tak ada satu warga negara pun yang hak-haknya boleh dirampas oleh warga lain, termasuk hak untuk memilih dan menjalankan ajaran agama dan keyakinan. Bahwa seseorang tak bisa dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementerian Agama tak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan misalnya karena di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia.

Diakui bahwa sekarang banyak bermunculan Perda-Perda (bernuansa) syariat Islam. Namun, kita tak boleh ciut nyali dan berkesimpulan bahwa diskriminasi agama yang ditopang dengan struktur negara atau pemerintah akan dengan sendirinya bisa berjalan efektif. Sejumlah riset dan penelitian menemukan kelemahan dan keterbatasan dari Perda-Perda Syariat itu. Bahkan di sejumlah daerah banyak masyarakat sipil yang menentang Perda-Perda tersebut. Ibu-Ibu muslimah di Bandah Aceh marah ketika dirinya ditangkap karena menggunakan celana ketat, misalnya.

Yakinlah bahwa sejauh yang bisa dipantau, Perda-Perda itu hanya proyek partai politik demi sebuah kekuasaan. Persis di situ partai-partai politik salah melakukan diagnosa. Bahwa dengan membuat perda-perda syariat itu, partai politik akan mendulang banyak suara. Padahal, berkali-kali pemilu yang diselenggarakan di Indonesia membutikan bahwa partai politik yang menjual agama ke khalayak tak pernah menang. Bukan hanya dalam periode dulu, namun juga dalam periode sekarang. Sejumlah partai berasas agama keok dalam pemilihan umum. Saya yakin bahwa ketika kesadaran tentang tidak lakunya berdagang agama dalam ranah politik itu nanti muncul, semua partai akan berbalik haluan. Inilah yang kini terjadi misalnya di PKS juga PPP. Sungguh warga negara Indonesia makin cerdas. Mereka tak mendasarkan preferensi politiknya pada sentimen primordial agama. Berbagai survey menunjukkan tentang matinya politik aliran di Indonesia, dan pembunuhnya adalah warga negara Indonesia sendiri. 

Dengan alasan-alasan itu, kita masih berhak untuk optimis bahwa langit-langit pluralisme agama di Indonesia akan makin cerah. Bahwa ada mendung yang sedikit menggantung, iya. Tapi, yakinlah bahwa mendung itu akan hilang ditiup angin perubahan dan pluralisme. []

11/03/2010 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (51)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya sangat bersyukur ditengah-tengah carut-marutnya politik di negeri ini dan setelah meninggalnya Nurcolish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Pdt. DR. Eka Darmaputra yang telah membawa dan mendengungkan roh pluralisme di Bumi Indonesia (sekarang seolah-olah telah sekarat dan menunggu saat terahirnya). Tenyata kita harus syukuri masih ada kaum intelektual yang memahami dan menebarkan semangat pluralisme ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang demikian heterogen dan beragam, dimana satu individu berbeda dengan individu yang lain, satu kelompok berbeda dengan kelompok lainnya.Dan yang lebih melegakan lagi, terbukti sudah Politik sektarian primordialis yang membawa dan mengatasnamakan bahkan menyalahgunakan label agama tertentu ternyata tidak populer dan tidak sepenuhnya didukung sampai ke grass root.

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan ditengah-tengah masyarakat pluralis,bahkan setiap individu di muka bumi ini tidak ada yang persis sama, kembar identik sekalipun tidak. Oleh karenanya, kita harus menjadikan perbedaan menjadi kekayaan yang dimanfaatkan secara positif untuk membangun bangsa Indonesia yang maju, modern dan beradab ditengah-tengah pergaulan dunia. 

Oleh karena itu, pluralisme hendaknya tidak dipahami sebagai pencampuradukan ajaran, dogma atau akidah masing-masing agama, tetapi lebih kepada cara pandang dan sikap yang memahami perbedaan-perbedaan tersebut (toleransi) tanpa harus terjadi proses saling mempengaruhi secara akidah, doktrin, teologi antar kelompok agama, budaya, falsafah hidup ataupun assimilasi diantara kelompok-kelompok tersebut dan lebih lagi, membuat pluralisme menjadi kekuatan untuk memperkokoh fondasi NKRI.

Pluralisme tidak mengajarkan semua agama sama, karena mengajarkan kebaikan. Karena kalau semua agama sama, kenapa semua agama dilebur menjadi satu saja? Tetapi bagaimana bersikap memahami perbedaan teologi, dogma atau akidah agama lain dan aktif memperjuangkan kebebasan yang paling dasar tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945. Bahwa semua individu sama dalam hukum, memiliki kebebasan untuk menganut agama ataupun mengekspresikan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab dan etis.

Jadi, menurut hemat saya tidak perlu mencurigai atau phobia dengan Pluralisme. Justru Jadikan Pluralisme menjadi harta karun yang sangat berharga untuk membangun Indonesia.

Posted by Maruhum Napitupulu  on  09/27  at  01:26 PM

Alangkah baiknya “tdk lagi ada!!!” kata pluralisme dlm agama/ menyatakan bahwa semua agama SAMA, semua agama yg ada di dunia ini adalah JELAS sgt amat tdk sama!!!, jadi jgnlah se-kali2 utk diperbandingkan atau dipersamakan, yg sama adalah bahwa kita MANUSIA ciptaan Allah SWT, yg juga semuanya berhak hidup di muka bumi ini, yg juga bebas memiliki agama masing2 yg berbeda, lakum dinukum waliyadin, tdk ada saling mengganggu/ mempengaruhi akidah thd suatu agama thd agama yg lainnya. Agama tujuan pokoknya adalah petunjuk/ ilmu mengolah hati dan kalbu sbg cara jalan kembali ke Surga, jadi Islam adalah KELEMBUTAN bukan KEKERASAN apapun itu!!!

Posted by Mohamad Effendy  on  08/09  at  01:59 PM

ternyata definisi pluralisme dlm agama tdk menggunakan bahasa yg sederhana. harusnya: Pluralisme dlm agama adalah setiap agama adalah paling benar bagi penganutnya masing2, jadi semua agama setara paling benar (hanya menurut penganutnya saja), jadi semua agama mmg masing2 paling benar, utk itu haruslah diupayakan berusaha saling kenal, saling dialog, dan toleransi terus menerus.

Posted by KOPET  on  08/02  at  08:04 AM

Assalamu’alaikum wr. wb tentu tidak semua komentar dibaca dan ditanggapi oleh penulis, tapi semoga tulisan saya termasuk yang beruntung untuk dibaca dan ditanggapi secara langsung oleh penulis. saya telah sedikit membaca tulisan desertasi panjenengan yang berjudul “Argumen Pluralisme Agama”. sedikit pemahaman yang saya tangkap, Pluralisme agama merupakan sebagai suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (Sunnah Allāh) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dimaksudkan positif karena kemajemukan tersebut bukanlah suatu kemungkaran yang harus dienyahkan ataupun menilai agama lain menurut perspektif agamanya, dan dikatakan optimis maksutnya bahwa kemajemukan tersebut sesungguhnya merupakan potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.
saya dapat menerimanya, karena semua agama berhak mendapatkan tempat yang sama, khususnya dalam konteks bernegara. namun sebagai seorang santri, saya juga menemukan kebingungan dalam memposisikan diri saya sebagai orang Islam, jikalau perbedaan agama-agama tersebut bukanlah sesuatu yang harus dimusnahkan, lantas bagaimanakah mas Moqsith memandang dakwah untuk masuk ke dalam agama kita?? apakah hal tersebut menjadi tidak wajib lagi bagi kita dalam konteks yang seperti ini? ataukah bagaimana? saya tidak bisa menjadi seorang pejuang pluralis ketika saya sendiri bingung atas benturan-benturan gagasan dalam kepala saya..
mohon bantuannya.. kalau bisa kirim lewat email saya mas:abdie.elqodiry@gmail.com

Posted by mahasiswa UIN  on  07/10  at  04:28 PM

saya memahami Allah yang dimaksud jil adalah sebagai fakta Tuhan bukan simbol fakta Tuhan, sehingga fakta Allah sebagai Tuhan semua penganut agama atau Tuhan semua manusia bisa dimengerti. kebenaran (hukum kehidupan) dalam kitab suci adalah fakta kebenaran dalam kehidupan ini, faktanya ada dalam kehidupan yang bisa kita sadari ini. Dari pemahaman ini pluralisme sebagai faham sah sah saja keberadaannya.

Posted by heru  on  05/22  at  05:24 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq