Pluralisme bukan Sekadar Toleransi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
06/09/2005

Pluralisme bukan Sekadar Toleransi Diskusi Buku Milad Hanna

Oleh Umdah El-Baroroh

Buku Milad Hanna ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan menguatnya gejala fundamentalisme dan penolakan terhadap pihak lain yang berbeda di Mesir. Seperti halnya penulis-penulis Mesir lain, Hanna tampak sedang merindukan iklim demokratis dan liberal di dunia Mesir.

Pluralisme belakangan menjadi isu aktual yang ramai dibicarakan oleh banyak orang menyusul adanya fatwa MUI yang melarang faham tersebut bagi umat Islam. Alasan klise yang mendasari fatwa MUI adalah anggapan dalam pluralisme yang menyamakan semua agama. Anggapan sepihak MUI ini sangat berlawanan dengan makna pluralisme yang diangkat oleh Dr. Milad Hanna dalam bukunya, “Qabulul Akhar: Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat,”.

Buku yang menjadi buah karya seorang Kristen Koptik ini menjadi bahan kajian diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, 10 Agustus lalu. Hadir sebagai pembicara pada kesempatan itu Trisno S. Sutanto, aktivis Madia (Masyarakat Dialog Antar Agama), dan Novriantoni, aktivis Jaringan Islam Liberal.

Pluralisme dalam penuturan Trisno malam itu justru bertentangan dengan penyeragaman. “Istilah penyeragaman atau penyamaan sungguh tidak dikenal dalam paham pluralisme, papar Trisno. “Karena pluralisme sesungguhnya adalah ingin merawat keberbedaan dalam kehidupan yang sangat ringkih dan terancam mati.” Sementara keragaman dan keberbedaan sendiri menurut penulis buku yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh JIL dengan judul “Menyongsong yang Lain Membuka Pluralisme” adalah sebuah keniscayaan. “Sesuai dengan fitrah manusia, perbedaan-perbedaan itu tidak pernah bisa ditolak, dan telah menjadi hal lumrah dan harus diteima!” (Hal. 61). Tetapi pluralitas yang menjadi fitrah manusia itu bagi Trisno tidak serta merta melahirkan pluralisme. Karena menurutnya perbedaan warna kulit, etnis, adat, budaya, maupun keyakinan keagamaan, dapat pula berujung “menolak yang lain” (rafdlul akhar). “Apalagi jika kesadaran akan perbedaan itu diwarnai dan dibentuk oleh pengalaman traumatis di masa lampau yang bertumpuk-tumpuk”, sambungnya.

Adanya sikap terbuka untuk rela menerima dan merawat keberbedaan dan keragaman kehidupan, menurut Trisno, jelas harus diupayakan. Di sinilah istilah “qabulul akhar” yang dipakai oleh Hanna menemukan makna yang sebenarnya. Bagi Hanna sikap untuk menerima perbedaan dan keragaman tidak bisa sekadar diungkapkan dalam bahasa toleransi atau al-tasamuh. Karena toleransi atau al-tasamuh, bagi Hanna hanya bermakna tenggang rasa terhadap pihak lain ketika mereka bersalah. Sedangkan qabulul akhar bermakna lebih aktif untuk menerima dan menyongsong yang lain, bukan sekadar tenggang rasa. Qabulul akhar lebih jauh menyeberang melampaui toleransi untuk menyongsong sang liyan.

Pemilihan istilah qabulul akhar dari pada al-tasamuh ini bagi Trisno memiliki arti tersendiri, bukan sekadar persoalan semantik belaka, tapi juga menyangkut visi, perspektif, dan arah.

Buku Milad Hanna yang berbicara cukup panjang tentang pluralisme, oleh anggota ICRP ini, dianggap tidak mewakili suara dari tradisi Kristen Koptik. Karena Hanna sendiri bukanlah seorang teolog, tapi lebih sebagai kolumnis dan aktivis HAM. Kapasitasnya sebagai seorang kolumnis ini juga tampak sekali dalam cara menuliskan buku yang menjadi bahan diskusi malam itu. “Banyak sekali konsep dasar tentang qabulul akhar tidak dielaborasi secara lebih tajam dan sistematis dalam bukunya”, kritik Trisno. Sehingga masih banyak persoalan yang bertebaran di mana-mana dan masih tampak menjadi jargon dan slogan belaka.

Kritik ini diamini pula oleh Novriantoni, aktivis JIL, yang menjadi editor pada edisi Indonesia buku tersebut. Sementara Guntur Ramli, alumni Al Azhar, Mesir, yang malam itu menjadi moderator diskusi, justru menganggap kekurangan itu sebagai kelebihan dari buku Hanna. Pasalnya, dengan gaya bahasa yang sederhana dan kurang dalam serta tanpa catatan kaki itu menjadikan buku tersebut dapat dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat awam. Sekaligus juga menghilangkan kesan bahwa wacana pluralisme hanyalah konsumsi kelas elit. Sementara orang awam hanya mampu menonton perdebatan mereka.

Bagi Novriantoni yang juga lulusan Al Azhar, Cairo, buku Milad Hanna ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan menguatnya gejala fundamentalisme dan penolakan terhadap pihak lain yang berbeda di Mesir. Seperti halnya penulis-penulis Mesir lain, Hanna tampak sedang merindukan iklim demokratis dan liberal di dunia Mesir. Karena sejak tahun 60-an berbarengan dengan munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin yang dimotori oleh Hasan Albanna, Mesir nyaris kehilangan ruang kebebasannya..

Selain melihat latar belakang dan konten buku Hanna, Novri yang malam itu menjadi pembicara kedua, juga mencoba mengkontekstualisasikan buku Hanna ini dengan situasi di Indonesia pasca fatwa MUI. “Buku ini menarik untuk membuka kerangka dan memotret masyarakat kita”, papar Novri. Bagi pria berdarah Riau ini masyarakat kita sekarang sedang mengarah pada apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai masyarakat tertutup. Tanda-tanda itu paling tidak bisa dibaca dari empat kecenderungan, yaitu kembali menguatnya kekuatan magis, tribalisme dan pengelompokan-pengelompokan yang eksklusif, serta anti ilmu. Fatwa MUI terakhir yang menolak paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme telah sedikit banyak membuktikan itu. “Dan ini tentu sangat berbahaya”, tambah Novri. Oleh karena itu konsep qabulul akhar Hanna perlu menjadi istilah dalam mempromosikan pola keberagamaan baru. []

06/09/2005 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq