Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Gagasan
21/07/2003

Potret Hukum dan Moralitas Bangsa Kita Respon Atas Kasus Goyang Ngebor dan Inulisasi

Oleh Achmad `Aly MD

Hukum tidak dapat dipisahkan dari aspek moral. bila hukum belum ada secara kongkrit yang mengatur, dan moralitas telah menuntut ditransformasikan, maka moralitas haruslah diutamakan. Kebebasan berekpresi tidak boleh bertentangan dengan moralitas, karena negara kita berfalsafahkan pancasila yang memuat nilai religious, yakni moralitas.

Assalâmu `laikum

“Sesungguhnya aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan moralitas --bangsa”

(H.R. Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal)

Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Hukum kita adalah produk warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal realism. Betapa tidak!, realitanya hukum sendiri belum banyak memenuhi tujuan tersebut. Hukum sendiri --sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965-- sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang berbeda dengan bangsa Barat. Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas bangsa.

Tetapi akhir-akhir ini, tanpa disadari ataupun disadari, telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Betapa tidak!, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama sudah diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai suatu kemajuan. Goyang Ngebor Inul Daratista dianggap sebagai aset bangsa tanpa memperhatikan dampak negatifnya. Inul bahkan oleh seorang advokat --sebagaimana dikemukakannya dalam segmen Debat Minggu Ini dengan tema “Goyang Inul-Inul digoyang” di SCTV beberapa minggu yang lalu-- dianggap sebagai pahlawan dangdut. Ironisnya lagi Inul akan dijadikan perangko. Dengan berbagai alasan, diantaranya karena ia dinilai sebagai seorang artis yang melejit secara spektakuler. Suatu alasan yang irasionil dan non-filosofis. Tidakkah ini berarti melegalkan goyang ngebor dan mempahlawankan Inul?

Mengapa tidak, seorang Da`i muda yang kondang, Aa Gym yang dijadikan perangko, karena peranannya yang sangat besar dalam membangun moralitas bangsa ini?. Kenapa pula tidak Megawati Sukarno Putri sebagai salah seorang presiden perempuan pertama di negara ini?. Citra perempuan akan terangkat, sebagaimana yang dikehendaki oleh gerakan feminisme, yang ingin menghilangkan diskriminasi gender. Mengapa pula tidak Rhoma Irama yang telah mengangkat musik Dangdut dari musik kelas rendah, musik mesum ke pentas musik dakwah dan go out Internasional?.

Jika kita cermati dengan seksama, maka terlihat jelas bahwa goyangan ngebor dan Inul itu sendiri adalah dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi dengan kemasan yang indah di TV. Inulisasi adalah salah satu program yang terkemaskan. Di balik itu, tanpa sadar atau disadari umat Islam sedang dihancurkan secara halus lewat penghancuran moralitas (akhlak). Padahal akhlak adalah sesuatu yang utama. Secara tegas dengan taukîd Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan moralitas --bangsa”

Di samping itu, bagi wanita yang berpikiran jeli akan merasakan hal ini, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap wanita, bukan malah mengangkat derajat wanita --sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini dan rekan-rekannya. Problem goyang ngebor Inul cs, telah menimbulkan kontroversi antara hukum dan moral. Dua hal ini memang akan selalu menarik perhatian. Di satu pihak bangsa kita adalah bangsa yang berkedaulatan atas hukum, dan di satu pihak bangsa kita menjunjung tinggi moralitas bangsa. Ketika terjadi perbenturan antara keduanya, bagaimana sikap kita? Bahkan problem inipun juga tidak lepas dari aspek politis. Secara politis, partai-partai sangat membutuhkan massa yang besar. Inul dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini. Sehingga, melarang goyangan Inul berarti juga akan kehilangan massa yang telah gandrung dengan Inul tersebut.

Dalam menyoroti problem tersebut, hendaknya segera dicarikan solusi pemecahannya yang mencerminkan terpenuhinya keadilan terhadap hak-hak asasi manusia, tanpa mengorbankan moral sebagai religious values (nilai-nilai agama). Inilah tanggung jawab kita bersama terutama para pemimpin, yang tentunya harus responsif terhadap problem tersebut. Jika hukum belum ada secara jelas, sedangkan moral telah menuntut ditransformasikan, seyogyanya moralitas menjadi perhatian dan diutamakan. Dengan segera pemerintah dan para dewan menanggapi problem tersebut.

Kita memang tidak dapat menghindari modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Media elektronika menempati posisi dan peranan yang sangat signivikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi di sisi lain, ia membawa dampak negatif yang harus dihindarkan. Upaya yang mesti dilakukan adalah menyeleksi berbagai acara yang dapat menimbulkan rangsangan atau birahi. Betapa tidak, TV misalnya, dapat diakses oleh semua kalangan, baik anak-anak maupun orang tua. Tiadanya batasan terhadap segala tayangan di TV mengindikasikan bahwa hal itu tidak bertentangan atau direstui oleh negara. Padahal negara kita, berfalsafahkan Pancasila yang memuat nilai-nilai agamis, moralitas. Dalam Islam sendiri, telah sangat gamblang bahwa misi Nabi SAW adalah menyempurnakan moralitas umat/bangsa.

Hukum sebagaimana disebutkan di muka, harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban, moral dan aturan. Hukum itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi sebagai tool untuk menuju tujuan yang tinggi, yakni maqâshid al-syarî`ah. Maqâshid al-syarî`ah ini tidak bertentangan dengan HAM, bahkan meliputi HAM itu sendiri. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa hak-hak individu itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak agama, yakni tidak boleh mengabaikan aspek moral. Apa jadinya, jika setiap orang diberi kebebasan berkreasi dimana malah akan merusak bangsa?. Tidakkah sebenarnya inilah yang bertentangan dengan HAM apalagi maqâshid al-syarî`ah di atas?. Karenanya sikap MUI yang secara tagas melarang goyangan Inul sangat tepat. Selain alasan karena maksiat, juga menutup pintu (sadd al-dzarî`ah) agar tidak terlalu jauh membawa dampak negatif, menghancurkan moralitas bangsa.

Oleh karena itu, hendaknya para pemimpin insyaf (sadar), bahwa apapun bisa dipolitisasi, tetapi jelas politisasi yang mengabaikan sisi moralitas tidaklah terhormat. Kampanye dengan menampilkan goyang ngebor, goyang ngecor cs adalah kemaksiatan yang harus dihindari dengan kaidah Dar’ al-mafâsid muqaddam `alâ jalb al-mashâlih (menghindarkan kemafsadatan [dampak negatif, berupa degradasi moralitas bangsa] itu lebih diutamakan daripada menarik kemanfaatan/massa). Yang dibutuhkan sekarang adalah profesionalitas dan kredibilitas moral dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan, baik keterpurukan ekonomi, moneter, kepercayaan, hukum hingga keterpurukan moralitas. Hanya kesadaran dan political will para pemimpin untuk mengambil kebijakan yang maslahat (tasharruf al-imâm manûth bi al-mashlahah). Wa Allâh al-Musta`ân.

Wassalâm

Bagaimana respon JIL terhadap problematika tersebut ?

Tebuireng, Jombang: Kamis, 22 Mei 2003

21/07/2003 | Gagasan | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

bismillah
salam

moral dan hkum satu kesatuan bukankah ini merupakn sarana dalam mendapatkan tujuan akhir keadailan dan kemanusiaan yang beradap.’ ingat dalam setiap langkah yang terpanting adanya ketegasan yang berdasar semoga kita semua dijernihkan dari kesalahan dan mencoba trus kearah perbaikan..wassalam

Posted by mady  on  03/07  at  05:18 PM

Goyang inul adalah mungkin sebagai ekspresi jiwa yg dilanda kepapaan ekonomi sosial yg telah direnggut oleh segolongan orang-orang yang tidak mau bertanggung-jawab dan peduli atas ekonominya rakyat demi menyambung hidup-hidup mereka sehingga terinspirasilah banyak cara dari masyarakat yang ingin menyambung dan mencerahkan suasana hidup mereka kearah yang lebih baik. Akibatnya malah menjadikan kebrutalan moral-moral bangsa kita dengan berbagai aspek baik dari kalangan remajanya sampai kepada orang-orang tua yang hampir mencium liang tanah. lebih-lebih goyang inul itu sangat memberi pengaruh pada jiwa2 remaja sehingga menjadikan mereka sangat menganggap enteng atau sex itu sebagai hal yang biasa saja untuk dilakukan tanpa ada ikatan suci tali pernikahan. Sepatutnya kita banyak-banyak berinterpreksi diri guna memajukan generasi-generasi bangsa ini yang dilanda dengan krisis kepercayaan.
-----

Posted by ibrahim murad  on  07/21  at  11:07 PM

Ass,wr,wb

Secara umum garis-garis moral adalah demikian adanya, seperti yang menjadi tujuan ajaran Islam, bahwa Nabi Muhammad diutus untuk “memperbaiki prilaku yang luhur”, untuk seluruh umat manusia melalui risalah Nya (uswatun hasanah), berarti keluhuran akhlaq dasarnya telah available sebagai fitrah insaan.

Banyak kalangan & orang-orang yang nyinyir dikala moral dibicarakan, tetapi bila tidak disampaikan adalah kurang bijak, dan bila tidak dg referensi agama, dengan referensi yg mana lagi ?, dan Islam telah menjelaskan segamblang-gamblangnya perihal kemanusiaan(dari sejak penciptaan manusia hingga kembali ke asal).

Demikan pula pelanggaran manusia pertama(Adam) terhadap perintah Tuhan karena hal tsb, sehingga hal itu menjadi “the big capital” bagi musuh agama & moralitas, siapapun pelakunya.

Kita tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa unsur birahi dengan segala aplikasinya, menjadi mudah terpampang didepan mata, walaupun Sdr Arief Rahman El-Katiri mengatakan :  “ Iman macam apakah yang mudah runtuh hanya karena menyaksikan “goyangan” Inul? Padahal sebagian yang lain tidak merasakan tarikan-tarikan badaniah tersebut kala menyaksikan “tarian Inul”.”

Saya bersyukur bila seluruh bangsa Indonesia telah seperti Sdr. Arif, tapi Allah yang Maha tahu atas ciptaan-Nya yang “beragam cara pandangnya”, telah mencukupkan nikmat, serta meridhoi Islam menjadi tatanan hukum bagi seluruh umat manusia.

Hamba yang menyadari hal itu tentu akan menjadikan Islam sebagai tolok ukur untuk di aplikasikan, bagi dirinya dan yg lainnya (kuu anfusikum……..).

Demikian pula Tuhan telah menjadikan “Inul” dengan segala keluguan dan talentanya sebagai “seleksi moral” (Aku ilhamkan keburukan dan kabaikan untuk menguji hambaku) sekaligus yang menjadi tujuan utama atas hadirnya seorang Nabi, Muhammad SAW.

Sekarang setelah semuanya jelas dan nyata, bahwa “Inul” dengan segala kontroversi dan seabreg analisa, tentu telah dicapai kesimpulan, dimana kesimpulan tsb menjadi point yang harus di selesaikan oleh komponen anak bangsa, bila hanya mengandalkan & menunggu-nuggu elit penguasa tanpa kita berbuat kenyataan di lapangan, tentu tidak akan menyelesaikan persoalan.

Masing-masing kita mempunyai haq & kewajiban untuk berbuat sesuatu tanpa saling menyalahkan sesuai kemampuan yg dimiliki, bahwa peng-amalan tatan moral yang kongkrit dilapangan dalam bentuk apapun, merupakan sesuatu yang ‘mutlaq’. 

Sekaligus merupakan koskwensi dari pengakuan atas definisi “keimanan” (diyakini dlm hati, diucapkan dg lisan, diamalkan oleh anggauta badan), demikan pula dg ayat Alquran & hadis, selain qoriah, tilawah, juga ditadaburi & diamalkan.

Yang menjadi tujuan utama bukanlah hasil, tapi sejauh mana masing diri merealisasikan Islam sebagai tatanan hidup “amar ma’ruf nahi munkar” dengan cara yang ma’ruf.  Siappun bisa memulai dari detik ini untuk bersama, bersatu dalam segala perbedaan, dengan menyingkirkan idealisme kelompok, golongan, faham, firqah, partai, ormas dll, memulai kebersamaan dalam kemaslahatan.

Kami semua saat ini lemah bagai sebuah LIDI, namun kami faham & pandai ber-argumen, Ya “Allah” Engkau Maha Kuasa & Berkehendak bawalah kami dalam keridhaan-Mu ber-himpun hingga sebuah SAPU LIDI.

Wasslam, Mulad.

Posted by Mulad Hadi Negoro  on  07/13  at  01:07 PM

Salam, syallom, shaanty, shaadu, peace!

Inul bukanlah sebuah nama, saya kira. Ada banyak Inul-Inul di negeri ini. Inul-inul ini telah menelanjangi bopeng-bopeng kemunafikan manusia yang acapkali gemar membungkusnya dengan moralitas dan agama. Semenjak para elit dan para tokoh sebuah bangsa mulai lupa akan kewajibannya melayani rakyat, maka Inul-Inul akan selalu muncul. Inul merupakan sindiran. Ia menyindir tentang perilaku manusia yang belum apa-apa sudah merasa menjadi pemimpin umat, belum mengalami, sudah cepat-cepat berdagang ayat-ayat suci dimana-mana. Maka yang terjadi adalah upaya mereka untuk mendiskreditkan sosok Inul yang begitu pedas menelanjangi mereka, tarian Inul mampu memicu kesadaran birahi mereka untuk tampil keluar. Yang salah bukanlah Inul, yang salah adalah cara pandang manusia terhadap “tarian” Inul. Tarian Inul kaya akan seni yang indah. Sebagian manusia mengapresiasinya sebagai seni. Jika ada yang merasa terstimuli berahinya, ini menunjukkan betapa kesadaran mereka masih berada pada tingkat kesadaran badaniah. Mereka tidak mampu menghargainya sebagai ekspresi seni. Rasa terdalam mereka belum berkembang. Keimanan mereka baru sebatas bibir. Iman macam apakah yang mudah runtuh hanya karena menyaksikan “goyangan” Inul? Padahal sebagian yang lain tidak merasakan tarikan-tarikan badaniah tersebut kala menyaksikan “tarian Inul”. Lalu mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Inul, akan berupaya mendiskreditkannya dengan dalih melanggar moral, agama dan etika. Ironis sekali. Padahal takaran dan ukuran moralitas itu sendiri sangat relatif. Semuanya bergantung pada individu yang memaknai apa “tarian Inul” itu. Kejujuran dan kepolosan Inul merupakan sebuah nilai plus, dimana dia menari untuk menghibur dan mencari nafkah. Ia tidak senang mengklaim bahwa ia menari dan menyanyi untuk berdakwah keagamaan. Ia sangat polos dan lugu. Keluguan ini, kepolosan ini, rasa tanggungjawab ini harus pula dimiliki oleh para tokoh bangsa ini yang sudah melupakan kewajibannya melayani rakyat. Mulailah untuk berbenah diri, jangan hanya ingin dilayani rakyat, tetapi berupayalah sekarang tanpa pamrih mendekati mereka, menyapa mereka, melayani mereka yang tidak beruntung dan dirundung penderitaan.

Allah Haafiz, A. R.

Posted by Arief Rahman El-Katiri  on  02/07  at  02:02 PM

Saya sepakat atas apa yang telah ditulis. Akan tetapi apa yang harus dilakukan ketika kita menolak hal tersebut dan ketika jawaban dari Inul adalah karena ia mencari nafkah? Memang, ketika hal tersebut kita baca dari perspektif agama benar, akan tetapi kita juga harus melihatnya dari sudut pandang yang lain sehingga tanggapan kita atas suatu masalah bisa solutif-kontributif.

Sebenarnya yang perlu kita kritisi adalah bagaimana negara mampu mamakmurkan bangsa (baca: rakyat) sehingga rakyat tidak lagi akan neko-neko melakukan hal yang menurut kacamata agama adalah salah. Saya yakin bahwa jikalau bukan karena masalah ekonomi Inul tidak akan melakuka hal tersebut. Ngomongin masalah hukum di negara ini jangan lantas mengaitkannya dengan agama (Islam) karena negara ini bukan bahkan tidak mungkin berasaskan Islam, melihat pruralisme agama yang ada. Kalau masalah Inul kita kaitkan engan hukum negara saya rasa no problem.

Posted by khoirun nasihin  on  07/24  at  10:07 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq