Problem Perbauran Muslim Australia - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/12/2005

Problem Perbauran Muslim Australia

Oleh Pradana Boy ZTF

Komunitas muslim Australia didominasi kalangan imigran. Sampai hari ini, populasi muslim di Australia sudah mencapai sekitar 250.000 orang; berasal dari sekitar 37 latar belakang etnis. Meski demikian, fakta di atas bukan jaminan bagi komunitas muslim untuk bisa berbaur secara baik dengan masyarakat dan budaya Australia. Di dunia akademis, persoalan perbauran itu telah lama menjadi bahan perdebatan.

Kondisi komunitas muslim di negara-negara mayoritas berpenduduk bukan muslim, selalu bersoal. Australia bukanlah pengecualian. Bukan hanya dari sikap masyarakat, kebijakan politik Australia juga seringkali menimbulkan perasaan tak nyaman bagi komunitas muslim. Setelah lahirnya Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme, ketidaknyamanan itu jadi makin berlapis-lapis.

Namun, di luar soal eskalasi politik, sosial dan budaya pada tingkat domestik dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme yang diajukan Pemerintah Federal Australia, ada juga persoalan mendasar lain yang muncul sebagai konsekuensi tak terelakkan situasi itu. Salah satu isu terpenting adalah soal perbauran komunitas muslim di Australia.

Komunitas muslim Australia didominasi kalangan imigran. Data website sebuah lembaga Islam di Negeri Kanguru ini menyebutkan, jumlah terbanyak muslim imigran Australia adalah warga Lebanon, disusul Turki, Asia Tenggara, lalu Indo-Pakistan. Dalam hitungan sejarah, Islam di Australia sendiri sudah ada cukup lama. Sejak pendudukan Eropa di wilayah ini, Islam sudah hadir lewat sejumlah imigran asal Afghanistan yang nantinya memberi pengaruh kuat bagi perkembangan Islam di Australia.

Namun, imigran Afghanistan bukanlah kelompok pertama yang membawa Islam ke daratan Australia. Jauh sebelum mereka, Islam sudah diperkenalkan oleh para nelayan muslim Bugis, Sulawesi, yang berkelana dengan perahu layar untuk mengumpulkan tripang (semacam siput laut) dari teluk Carpentaria selama abad ke-17. Selama masa kontak yang tak lama dengan penduduk Australia Utara itulah, nelayan muslim Bugis bergaul dengan warga Aborigin dan memberi sedikit pengaruh terhadap seni, budaya organisasi, dan agama mereka.

Sampai hari ini, populasi muslim di Australia sudah mencapai sekitar 250.000 orang; berasal dari sekitar 37 latar belakang etnis. Sebagian besar komunitas muslim Australia tinggal di ibukota berbagai negara bagian, seperti Canberra, Brisbane, Adelaide, Perth, Darwin, Sydney dan Melbourne. Di kedua kota terakhir inilah berdiam 80% komunitas muslim Australia. Selain itu, ada juga komunitas kecil di sejumlah wilayah Shepparton, Katanning, Hedland, Geraldton, Townsville, Mareeba, dan kota tambang, Newman.

Meski demikian, fakta di atas bukan jaminan bagi komunitas muslim untuk bisa berbaur secara baik dengan masyarakat dan budaya Australia. Di dunia akademis, persoalan perbauran itu telah lama menjadi bahan perdebatan. Untuk menunjukkan sikap positif terhadap Islam, Profesor James Fox, akademisi dari the Australian National University (ANU), bahkan berambisi menjadikan universitas ini sebagai pusat kajian Islam. Hanya saja, gairah dan sikap positif itu tidak dibarengi dengan sikap serupa dari kalangan masyarakat.

Di sisi lain, sosiolog Michael Humphrey, yang tahun 1980-an meneliti pengungsi Lebanon di Sydney, pernah menyebutkan bahwa komunitas muslim di Australia sebenarnya bersikap defensif terhadap segala hal yang dianggap sebagai kritik langsung dan tekanan negatif bagi mereka. Dalam pandangan Humphrey, komunitas muslim di Australia lebih banyak bicara dengan istilah-istilah etnis mereka ketimbang berbicara soal Islam yang lebih lokal. Artinya, perujukan kepada akar etnis Timur Tengah sebagai basis etnis lahirnya Islam, lebih banyak mereka kedepankan. Hampir tidak pernah ada usaha misalnya, untuk menciptakan suatu model Islam yang khas Australia. Padahal model-model pendekatan seperti itulah yang diyakini akan membuka jalan pembauran yang lebih utuh.

Karena itu, secara kebudayaan, perbauran yang diharapkan memang sulit dicapai dalam waktu singkat. Pandangan masyarakat Australia sendiri menyangkut hakikat Islam, serta sikap muslim Australia sendiri, telah menjadi penghalang bagi proses pembauran itu. Kalau merujuk apa yang terjadi dalam pergaulan di masyarakat, perbauran itu tampaknya mengandung pesimisme. Dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa muslim di the Australian National University (ANU), Canberra, vice-chancellor (rektor) Prof. Ian Chubb, menyadari betapa sulitnya mengubah budaya dan cara pandang masyarakat yang telah dihinggapi stereotipe-stereotipe.

Seorang mahasiswa muslim pernah menceritakan seringnya muslim Australia mendapat perlakuan diskriminatif di sektor pelayanan publik. Menanggapi itu, Prof. Chubb menegaskan bahwa mengubah keputusan politik dalam soal itu cukuplah mudah. Namun, jika keputusan politik tidak diikuti dengan perubahan budaya, maka kebijakan politik itu akan tidak bermakna. Artinya, ketika Prof. Chubb bisa menjamin iklim yang menganggap mahasiswa muslim di ANU sebagai bagian yang utuh dari dunia akademis, hal yang sama serta-merta akan didapat dari pergaulan di luar kampus.

Pada posisi inilah persoalan perbauran itu menjadi makin sulit. Ada perbedaan pandangan dan sikap antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Problem itu jadi berlapis, akibat sulitnya perbauran pada tingkat budaya di masyarakat, plus kebijakan politik yang justru tidak mendorong ke arah perbauran itu. Keputusan-keputusan politik Australia dewasa ini, justru terkesan melebarkan jarak antara komunitas muslim dengan masyarakat lokal.

Kebijakan seperti itu misalnya dapat dilihat dari pendirian Australian Federation of Islamic Councils yang lebih banyak difungsikan sebagai lembaga kontrol yang bertanggungjawab atas pernyataan-pernyataan para imam dan khatib di masjid-masjid, ketimbang menyuarakan kepentingan komunitas muslim Australia. Kuat anggapan, pendirian lembaga itu tidak didorong oleh pertimbangan sosiologis dan kebudayaan, tepi lebih bermotif politis dan keamanan.

Kritik lain juga muncul. Dalam lembaga itu, tidak semua kelompok muslim Australia terwadahi, sebab faktanya ia hanya menghimpun kelompok Islam-Sunni sembari mengabaikan Islam-Syiah. Di luar persoalan itu, lembaga ini juga lebih banyak menguntungkan pemerintah, sekaligus memicu disintegrasi sesama muslim.

Meski begitu, belakangan ada sinyal perubahan cara pandang masyarakat Australia terhadap kelompok pendatang. Alih-alih memandang sebagai imigran, ada idealisme kuat untuk merasakan inklusi, sehingga status sebagai imigran dan masyarakat lokal itu tidak lagi menjadi halangan bagi proses perbauran. Gejala ini tentu menjadi pertanda baik jika didukung secara utuh secara akademis, kebudayaan, dan politik. Jika ketiga komponen ini bisa berjalan seimbang, maka proses perbauran komunitas muslim di Australia tidak lagi akan mengalami hambatan berarti.

Hanya saja, sejauh mana idealisme ini dapat berkembang dalam percaturan politik global yang mempersepsi Islam dan kaum muslim sebagai entitas yang menyebabkan kekacauan global (global disorder) dan karena itu mesti dijadikan common enemy oleh setiap pecinta kedamaian?

* Pradana Boy ZTF,Dosen FAII-UMM Malang dan aktivis JIMM. Sedang studi di the Australian National University (ANU), Canberra, Australia.

19/12/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya telah membaca artikel sdr Pradana tentang pembauran Muslim diaustralia , terus terang saya sangat menghargai pandangan saudara tentang muslim dinegara australia. tetapi saya bertanya kepada saudara dan semua yang baca surat saya, 1. apakah saudara yakin bisa diselamatkan dan masuk surga.
2. Siapakah yang bisa menyelamatkan saudara
3. hari kiamat bukanlah yang harus kita takutkan karena orang yang sudah percaya adanya keselamatan bukannya kiamat bertobatlah dan mau percaya adanya keselamatan didalam Yesus Kristus
jadi jangan pernah takut bagi yang percaya adanya keselamatan . ok!!!

Posted by salyna Missionary  on  12/13  at  02:36 PM

.................Assalammualaikum Wr..Wb...................

ISLAM LIBERAL, kenapa harus ada istilah islam liberal.... kapan islam bersatu kalau umat nya sendiri membuat gap-gap atau jurang pemisah........

......................Wassalam.............................
-----

Posted by Fandi  on  09/29  at  09:10 AM

Komentar Fun Haaz menandakan dia bertindak melebihi Allah SWT. Tolong baca lagi Quran bung, sudah jelas bahwa yang tahu kapan kiamat datang hanya Allah SWT, bukan elo!!! Komentar ini juga menandakan dia masih berada pada jaman kegelapan di mana kebodohan manusia masih menjadi hal yang jamak terjadi, dimana bodoh = sesat juga..

Posted by Hendra Adi  on  09/28  at  08:09 PM

Kalo saya perhatikan, di Indonesia, minoritas sudah menyadari dan memiliki suatu konsep untuk melakukan pembauran. Contoh di Gereja Katolik menerapkan suatu pemahaman kepada umatnya untuk menjadi Gereja Diaspora (gereja yang menyebar dan membaur dengan masyarakat Indonesia lainnya), tidak berkumpul menjadi Kristen Town, jikapun pada suatu daerah baru terjadi pengelompokan,cenderung karena alasan-alasan ekonomis. Gereja Katolik juga menanamkan ajaran kepada umatnya untuk menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, menjadi seorang katolik dan totalitas sebagai warga bangsa Indonesia. Kosekwensi negatif bagi umat Katolik dengan sikap membaur (satu contoh) adalah Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat karena alasan teknis jumlah umat per-wilayah. Jika ibadat harus dilakukan satu waktu yang sama seperti teman2 muslim lakukan, tentunya ibadat akan sangat merepotkan karena harus meluber ke luar gedung dan bahkan halaman gereja. Tapi nampaknya bagi Gereja, bukan menjadi soal yang menghambat untuk terus mengembangkan sikap untuk membaur dan mem-bumi, walaupun harus mendapatkan efek negatif dari sikap tersebut (seolah gereja membuat perangkapnya sendiri). Kalo di Australia, umat muslim merasa di cap/stereotipe negatif mayoritas warga australia (teroris, ekslusif, ajaran yang tidak toleran), hal yang sama terjadi pada minoritas di Indonesia (khususnya cap yang paling mudah diberikan adalah “penyebaran agama"). Sudut pandang pemberian stereotipe antara mayoritas Australia berbeda dengan mayoritas Muslim Indonesia. Saya tidak tahu, sentimen Masyarakat Australia terhadap muslim (yang rata-rata imigran) karena apa? apakah hanya karena orang Australia beragama “Kristen” atau karena orang Australia memang menganut LIBERAL (dimana menempatkan ke-kristenan mereka hanya konsumsi pribadi bukan untuk dipaksakan ke publik)?  Semua pihak harus punya satu pandangan yang sama dulu, mengenai hidup bersama (yang PLURAL), saling menghormati/menghargai Hak orang lain, Hak individu, Tujuan Nasional Negara, dsb. Indah bukan hidup bersama secara damai? Peace

Posted by Sujana  on  09/27  at  11:09 PM

saya sangat tertarik dengan apa yang telah diungkapkan sdr. pradana. sayapun mungkin berkata seirama dengan saudara. saya ingin mencoba menanggapi mengapa bisa terjadi kurangnya keharmonisan umat muslim demgan umat lainnya. telah kita pahami, islam mempunyai banyak sekali pemahaman. Ada istilah menakutkan seperti konservatif maupun fundamentalis. maka banyak sekali paras islam yang kejam yang ditampakan oleh mereka. maka selayaknya kita lebih menananggapi kembali pendapat-pendapat yang menjaga kemurnian islam sendiri. saya ga habis fikir mengapa umat muslim, lebih menghormati seorang ulama yang instan ketimbang ulama yang intelek dan mengalami atau melakukan proses pemikiran. contoh dekat ungkapan sdr.fun haaz.27/09/06. saya kira islam liberal merupakan bukti nyata bahwa islam bukanlah agama yang malas berfikir. maka ungkapan beliau itu tak pantas diungkapakan. karena sesat tidaknya islam liberal tuhanlah yang menentukan. apa anda tidak ingat ungkapan muhammad saw “man kafaro musliman fahuwa kaafir”. karena saya yakin seseorang tidak akan berani mengemukakan pendapat tanpa suatu analisa terlebih dahulu. dari saya yang mendukung pemikiran dan kemajuan

Posted by ridwan  on  09/27  at  11:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq