Puasa dan Nilai Kemanusiaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
05/09/2008

Puasa dan Nilai Kemanusiaan

Oleh Kautsar Azhari Noer

Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan. 

Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (QS, 2:183). Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (Q 49:13). Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya kesalehan individual, yang berguna untuk diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang berguna bagi orang banyak. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukan kesalehan sejati.

Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang saleh yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).

Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah cara negatif (negative way): meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, smendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki. 

Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan, adalah “cara negatif”: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya. “Cara negatif” adalah sifat hakiki puasa. Karena itu, Ibn ‘Arabi (w. 1264), mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). “Ciri negatif” inilah yang menghilangkan kemiripan (mitsliyyah) puasa dengan ibadah-ibadah lain. Allah, kata Ibn Arabi, meninggikan puasa dengan menafikan kemiripannya dengan ibadah lain. Ibn Arabi merujuk hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (lā mitsla lahu).”

Puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktūbah), yang berlawanan dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, mengatakan bahwa orang harus adakalanya menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Seperti dinyatakan dengan tegas oleh perkataan Taois, kata Nasr, ruang kosong rodalah yang membuatnya menjadi roda. 

Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Orang seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan.

Melalui puasa, para penganut agama-agama lain dan pengamal spiritualitas, sebagaimana kaum Muslim, dapat pula melakukan pembersihan diri dari sifat-sifat buruk dan penahanan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.

Cara puasa Islam jelas berbeda dengan puasa Gandhi, tetapi keduanya mempunyai titik-temu: pengendalian diri. Kaum muslim tidak perlu meniru cara puasa Gandhi dan para penganut agama-agama lain. Yang penting bagi kaum muslim adalah agar puasa yang dilakukan mencapai tujuannya: ketakwaan. Apalagi ketika bangsa kita sedang besiap menghadapi pemilu 2009, ketakwaan sangat diperlukan, terutama bagi para pencari kursi kekuasaan, agar mampu mengendalikan diri dengan menjauhi perilaku yang tidak bermoral. Jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan melalui jalur politik yang bermoral. Nabi Muhammad pernah berpolitik dan menjadi kepala negara di Madinah. Jangan kalah dengan Gandhi yang berjuang untuk keadilan dan kepentingan kemanusiaan melalui jalur politik yang bermoral.[]

05/09/2008 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (28)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

islam adalah agama yang sangat rasional, jadi setiap perintah atau larangan ya harus di kaji atau diteliti secara mendalam apa yang diperintahkan dan dilarang. sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari ciptaan Allah. akan tetapi Allah selalu mengulang kata-kata :أفلا تعقيلون...أفلا تتدبّرون
jadi sudah kodrat kita yang mengaku muslim harus mempertanyakan apa yang diberikan kepada kita!

Posted by gusti  on  04/15  at  11:41 AM

gw setuju sama pak Adit,
kenapa nih penulis???mau merusak islam?

apa ga mau susah??karena islam memerintahkan seperti itu??ga usah ngaku islam deh...klo mau membolak balik peraturan Allah dan Rasulnya.

dengan semua berkah dan rizki yang diberikan Oleh Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, masa kita ga bisa menjadi hambanya yang mengikuti perintahnya dengan ikhlas??toh buat kebaikan kita juga klo kita menjalankannya dengan benar. Allah Maha Adil, segala sesuatu yang diperintahkannya dalah untuk kebaikan umatnya.

Mudah2an Pak Azhari mendapatkan hidayah...dan diberikan Jalan yang lurus.

Posted by Kretta  on  11/28  at  04:03 PM

Puasa pada intinya adalah pengendalian hawa nafsu. Ya hawa nafsu, nafsu untuk berbuat kecurangan, nafsu untuk berbuat kebohongan, nafsu untuk berbuat kemunafikan, nafsu berbuat zinah, nafsu berbuat kerusakan di muka bumi, dan banyak lagi nafsu lainnya. Namun pada intinya penguasaan nafsu memang identik dengan puasa, karena dengan berpuasa orang selalu diingatkan bahwa dia sedang menjalankan perintah Tuhannya untuk mengekang hawa nafsu itu sendiri. Jadi orang yang berpuasa itu dalam keadaan sadar dia mengontrol dirinya akan segala perbuatannya. Memang benar yang dikatakan oleh rekan kita, bahwa Mahatma Gandhi berpuasa untuk mengekang segala perbuatannya, dari perbuatan keji dan munkar. Karena seringnya beliau berpuasa, sehingga dengan mudah mengontrol perilakunya dengan sebaik-baiknya.

Tambahan pembendaraan kata untuk puasa, yaitu perilaku. Yang membedakan orang satu dengan yang lainnya adalah perilaku. Perilaku seseorang mencerminkan jati dirinya sebagai seorang yang saleh atau saleha. Dan sebutan ini berlaku untuk semua umat di muka bumi ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun di utus menjadi seorang Rasul Allah SWT adalah untuk memperbaiki perilaku orang-orang Quraish Mekkah waktu itu yang terkenal sangat bobrok akhlaqnya. Jadi pada intinya puasa itu mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki perilaku atau akhlaqnya, siapapun dia.

Memang lain halnya kalau kita orang Timur yang terkenal kental dengan ilmu-ilmu mistiknya, yang kebanyakan orang berpuasa untuk tujuan selain memperbaiki perilakunya itulah yang menyimpang dari ajaran agama, terutama agama Allah SWT yang begitu indah “Dinul Islam”.

Akhirnya pada suatu kesimpulan, di sini penulis ingin menggarisbawahi bahwa sebenarnya puasa sudah ada sebelum bumi dihuni oleh manusia sebagai penghuni terakhir di planet ketiga ini (kalau tidak salah ya, saya lupa-lupa ingat), yaitu para malaikat hingga binatang-binatang dan tumbuhan-tumbuhan zaman purbakala pun telah melaksanakan puasa yang pada intinya adalah memperbaiki perilakunya kehadapan Allah SWT, yang terus meningkatkan nafsu mutmainah yang tentunya sesuai dengan zamannya masing-masing.

Kalau dikaitkan dengan negara kita yang sangat korup (katanya), tentunya himbauan MUI untuk selalu berpuasa senin-kamis yang ditujukan untuk mengekang hawa nafsunya mungkin perlu dicanangkan sebagai suatu Perda barangkali, biar Indonesia ini lebih cepat maju dan lebih cepat makmur, kan.. Indonesia ini katanya lagi 90% mayoritas rakyatnya adalah Islam atau Muslim. Gimana ya…

Posted by Daniel Dillah  on  11/28  at  06:03 AM

Pa JIL pny struktur sampe di kota-kota? Pngen skali jd anggota JIL. Thanks…

Posted by MH Lutfi  on  11/24  at  07:38 PM

Assalamu’alaikum “Mengambil sesuatu hal yang positif dari siapa pun sah2 saja. Tetapi ketika dalam konteks beribadah dan bersosial bagi kita umat ISLAM Nabi Muhammad adalah contoh dan suri tauladan yang PALING dan SANGAT BAIK, karena hati, ucapan, tingkah, laku Nabi Muhammad sangat dijaga oleh ALLOH. Dan kita sebagai Hamba ALLOH dan Umat Nabi Muhammad harus memiliki prinsip dan keyakinan yang kuat dan mendalam bahwasannya apa-apa yang datang dari ALLOH dan ROSUL NYA sudah pasti paling benar yang harus kita dengar dan kita laksanakan. Kalau ada perintah,petunjuk yang belum kita pahami jangan kita memainkan peranan akal fikiran kita, karena kita tidak akan pernah sanggup dengan Ilmu ALLOH, maka pasrahkan semua kepada ALLOH berdo’a dan memohon petunjuklah kepada NYA. Amiin

Posted by Sumurung  on  11/24  at  02:33 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq