Puasa dan Rekonstruksi Makna Jihad - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
23/10/2005

Puasa dan Rekonstruksi Makna Jihad

Oleh Zacky Khairul Umam

Distorsi makna jihad sebagai melulu fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Alhasil, implikasi negatif itu tak lain hanyalah sebuah beban psikologis-historis umat yang malah menambah persoalan, bukan solusi itu sendiri yang cenderung digembor-gemborkan.

Terorisme pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai luhur keagamaan. Secara eksplisit, Bom Bali jilid II di Jimbaran dan Kuta (3/10) dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dikelindankan dengan keagungan ajaran agama. Agama, oleh pengusung ideologi terorisme, hanya legitimasi teologis dan justifikasi yang sebenarnya sama dengan memolitisasi dan memonopoli tafsir agama (Religious Uuthoritarianism, Abou Fadl).

Kasus bom bunuh diri (suicide bombing) dalam Bom Bali jilid II, sekaligus deretan pemboman lain di wilayah nusantara dengan kentalnya sentimen agama dalam lima tahun terakhir, selalu berakar pada konsep “jihad” di dalam Islam. Jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut pada penghalalan atas penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain (the others). Muara problematika epistemologis jihad sebagai sikap ofensif adalah sebuah krisis keagamaan, bahkan krisis nurani kemanusiaan.

Kalau diperhatikan secara seksama, terorisme dalam bentuk yang ultim seperti kasus bom bunuh diri di Bali, hanyalah sisi parsial dari ekstremisme beragama. Potensi ekstremisme beragama yang dengan banal ditunjukkan sekelompok umat beragama melalui pemaksaan otoritas kebenaran tunggal (kasus Ahmadiyah), penutupan tempat ibadah (kasus penutupan gereja), dan terorisme terhadap aktivis liberal-pluralis, dan seterusnya, amat membahayakan kehidupan umat beragama. Meskipun prosentase kelompok ekstrim-radikal tidak besar, namun opini publik yang menyebar akan membangun eksklusivisme secara evolusionis.

Kecenderungan masyarakat elite dan awam yang masih parokial dalam beragama (dangkal pemikiran dan kesalehan) dengan sikap ekstrim dan eksesif dalam beragama tidak bisa dipungkiri. Indikator dari ekstremisme beragama, menurut Yusuf al-Qardhawi (1981) antara lain: Pertama, fanatisisme dan intoleransi sebagai akibat dari prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan kepicikan pandangan (lack of insight). Hal itu membuahkan reperkusi terhadap orang lain, baik dalam bentuk terorisme intelektual dengan fitnah dan tuduhan penganut bid’ah, kafir, fasik, murtad dan sebagainya.

Kedua, berlebih-lebihan atau melampaui batas. Yakni mengambil garis keras (hardliners) yang eksklusif dengan gaya demonstrasi berupa penghakiman sepihak dan bahkan ancaman kekerasan. Ketiga, membebani orang lain tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Dan terakhir, keras dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain, sehingga misalnya, asas praduga tak bersalah tidak pernah dihiraukan. Semua ciri yang bersifat tiranik (tughyan) dan tidak egaliter ini jelas membahayakan hak-hak orang lain, terutama berkaitan dengan hak asasi untuk hidup dan kebebasan beragama.

Sikap-sikap yang ditunjukkan sebagai bagian dari klaim identitas dan solusi agama itu, selalu saja diembel-embeli dengan jihad dalam makna yang sesungguhnya amat parokial, rigid, dan literal. Tindakan semacam itu adalah bagian dari anakronisme sejarah yang akut. Dengan telanjang, penggunaan makna jihad sebagai ideologi kekerasan (bukan pembelaan yang dibenarkan Qur’an) seringkali dikaitkan dengan romantisme sejarah Islam masa lalu yang gemilang dan eksotis. Sebagai sebuah upaya mengembalikan kemenangan, justru penggempuran atas pihak lain yang dianggap sebagai representasi modernitas yang hegemon (baca: kafir) dihalalkan. Di sisi lain, makna-makna progresif dan dinamis dari ajaran Islam yang selalu mengajarkan the idea of progress secara universal-kosmopolitan dipungkiri.

Distorsi makna jihad sebagai melulu fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Alhasil, implikasi negatif itu tak lain hanyalah sebuah beban psikologis-historis umat yang malah menambah persoalan, bukan solusi itu sendiri yang cenderung digembor-gemborkan.

Kalau tidak disadari betul, bahaya perjuangan jihad yang ofensif cenderung membawa arus zaman umat yang resisten terhadap kemajuan peradaban dalam dimensi kini dan masa depan. Sebab, jihad sebagai ideologi kekerasan akan terus menutup ego-kreatif umat (ala Iqbal) dan ijtihad kultural dalam pemberdayaan masyarakat madani.

Secara teologis, Tuhan selalu tidak membenarkan tindakan kekerasan sebagai perjuangan membela agama (lii’lai kalimatillah) yang destruktif dan tanpa sebab. Bukankah dalam Kitab Suci disebutkan bahwa “membunuh jiwa orang lain, hakikatnya sama dengan membunuh seluruh umat manusia.” Sebuah ajaran yang humanis! Dalam kerangka filosofis, Camus dan Popper mewanti-wanti sejak awal bahwa penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mulia, yakni ultimate goal beragama untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan dan penderitaan, mutlak tidak dapat dibenarkan.

Karena itu, jihad selalu harus direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial. Misalnya, pertama, membebaskan makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit. Jihad harus diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Hermeneutika terhadap jihad adalah pencarian akar atau episteme makna yang ditujukan berdasarkan kemaslahatan umum (bonum commune).

Dalam konteks itu, kata jihad dalam bahasa Arab erat sekali relasinya dengan makna dalam ijtihad yang secara definitif diartikan sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk mencari solusi keagamaan dan persoalan sekular. Upaya pemaknaan ini lebih tepat disebut sebagai jihad dalam bidang kultural dan intelektual sebagai energi kehidupan umat menuju kemajuan peradaban.

Kedua, rekonstruksi jihad dalam konteks ibadah puasa. Yakni, jihad sebagai reformasi moral-spiritual, sebagaimana penyebutan “jihad al-akbar” oleh Nabi Muhammad. Momentum puasa adalah saat tepat memperbarui corak keberagamaan kita. Corak yang menunjukkan teror dan kekerasan publik (wacana maupun fisik) mesti didekonstruksi sebagai religiusitas yang illicit. Sebaliknya, jihad mesti dibangun sebagai militansi konstruktif ke arah toleransi nirkekerasan yang menggunakan ekspresi halus dan toleran, serta berimplikasi positif dalam memperlakukan yang lain.

Bentuk-bentuk toleransi tanpa kekerasan ialah seperti yang diteladankan Muhammad dan Yesus (ajaran damai), perjuangan Martin Luther melawan kejahatan sebagai kewajiban agama dengan non-violent resistance, atau ajaran ahimsa Mahatma Karamchand Gandhi.

Tentu, yang utama ialah penghayatan terhadap pesan takwa, sebagaimana tujuan hakiki puasa sebagai arena kembali ke kesucian fitrah (nurani) dan penyucian diri (purgatorio, meminjam Dante Alighieri) menuju kemenangan moral-spiritual. Kemudian, penggapaian ibadah transendental (paradiso) direfleksikan secara horizontal ke tengah-tengah kehidupan manusia dalam bentuk keberagamaan yang toleran, lapang, dan tidak eksklusif (al-hanifiyyah al-samhah).

Sejatinya, kesalehan sejati membawa pada keberagamaan yang toleran, moderat, solider, beradab, dan tidak membelenggu. Dengan demikian, tujuan teleologis agama adalah memanusiakan manusia melalui pembebasan yang fitrah secara universal tanpa kecuali. Di situlah makna jihad mesti diletakkan.[]

Zacky Khairul Umam, Ketua Umum KSM Eka Prasetya Universitas Indonesia, mahasiswa Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya UI

23/10/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq