Puasa dan Transformasi Multikultural - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
10/10/2005

Puasa dan Transformasi Multikultural

Oleh Choirul Mahfud

Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya.

“Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”, begitulah kira-kira pesan pendek lewat pesan pendek (SMS) yang saya terima dari sahabat saya non-muslim Tionghoa. Kata-kata tersebut mungkin biasa, tapi setelah saya hayati terkandung makna yang cukup universal dan selaras dengan nilai-nilai multikultural. Karena, selama ini penyelenggaraan ritual keagamaan, seperti puasa, hari raya Idul Fitri, dan Natal, seolah hanya menghadirkan kegembiraan subyektif atau sektoral. Puasa dan Idul Fitri hanya menjadi kebanggaan umat Islam, Natal menjadi milik umat Nasrani, dan begitu seterusnya. “Budaya” saling menyapa, menghormati kebebasan beragama di negeri ini masih “sepi”. Padahal negeri ini katanya “bhineka tunggal ika”. Ironis memang.

Dalam konteks lebih luas, seolah agama hanya dipahami sebagai persembahan untuk Tuhan. Pada titik ini Tuhan dibingkai sesuai dengan keyakinan masing-masing. Padahal Tuhan “memproklamirkan” dirinya sebagai penebar cinta kasih untuk semua umat manusia dalam keragaman budaya (multikulturalisme) tanpa merendahkan satu budaya dan mengagungkan budaya lainnya, anti-dominasi.

Sebagai bulan suci, puasa hendaknya bisa dijadikan titik tolak untuk menyemaikan nilai-nilai multikultural. Dahulu kala, dalam menyebarkan misi Islam di Indonesia, para Wali Songo pernah memakai metode dakwah multikultural. Yaitu agama lintas budaya tanpa membedakan ragam budaya, lintas etnik tanpa mengagungkan etnik tertentu, dan lintas jender tanpa memuliakan jenis kelamin tertentu. Apalagi kaya-miskin. Pendek kata, agama dihadirkan di ruang publik sangat humanis-multikulturalis.

Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani budaya minoritas. Semuanya tumbuh bersama dan memiliki peluang yang sama untuk menggapai kesejahteraan bersama (achieve of welfare). Masing-masing budaya memiliki kesempatan yang sama untuk menampakkan eksistensinya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap seluruh potensi yang ada dalam masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial budaya.

Dimensi multikulturalisme ini sebenarnya tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis, tetapi sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah, juga sangat menghargai eksistensi pluralitas budaya dan agama.

Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).

Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Praktek puasa Nabi Daud sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya yang dikenal dengan Puasa Daud. Nabi Muhammad SAW Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Refleksi Esoteris

Secara teoritik, multikulturalisme mengandaikan adanya kesadaran internal yang inklusif dan mengejawantah dalam perilaku sosial. Ritual puasa, idealnya mengantarkan para pelakunya menemukan kesadaran hati nurani yang bersifat universal sehingga memiliki daya pandang egaliter terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi terbangunnya kecerdasan relasi-rasional antar-sesama.

Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa ini, maka refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan yang berlangsung selama Ramadhan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Maksudnya, puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.

Puasa sebagai tradisi agama-agama yang memiliki makna universal harus dijadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah). Transformasi spiritual dan semangat multikultural yang dicapai lewat puasa idealnya bisa dinikmati dan dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis.

Dalam rangka itu, maka pemahaman terhadap agama-agama harus dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan. Universalitas ini tidak akan mematikan potensi-potensi khas yang ada dalam agama maupun budaya yang beragam. Justru potensi-potensi tersebut bisa tumbuh bersama dalam keragaman (multikultural). Dan ini hanya akan terselenggara apabila ada komitmen dan kesungguhan semua komunitas atau jamaah budaya dan agama baik sebagai mayoritas maupun minoritas untuk bersikap inklusif dan toleran secara setara untuk kepentingan bersama. Inilah semangat dalam pelaksanaan puasa, yaitu sebuah semangat keagamaan yang ramah terhadap ragam budaya. Dengan demikian, agama bisa tampil sebagai milik semua untuk bersama. Semoga!. []

Choirul Mahfud, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya, penulis buku ‘Pendidikan Multikultural’,Pustaka Pelajar, 2005, Yogyakarta.

10/10/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq