Qur’an Abu Zayd - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
30/08/2004

Qur’an Abu Zayd

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Dalam membaca Alquran, Abu Zayd berseru agar mengambil posisi yang benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan ideologi dan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga tidak mudah terjerembab pada sikap pemutlakan. Seorang pembaca tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang dalam memaknai sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi teks ke dalam kehendak-kehendak si pembaca. Hubungan antara teks dan pembaca tak terpisahkan.

Tanggal 28-29 Agustus 2004 ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) bekerja sama dengan International Center for Islam and Pluralism (ICIP) menyelenggarakan workshop pemikiran bertitel “Kritik Wacana Agama”. Workshop ini dihadiri Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual muslim asal Mesir yang kini tinggal di Leiden, Belanda. Dalam forum ini, Abu Zayd secara langsung akan mempresentasikan pikiran-pikirannya yang selama ini terlanjur dianggap keluar pakem alias melenceng.

Oleh sejumlah ulama Mesir, Abu Zayd memang telah divonis murtad (keluar dari Islam). Vonis tersebut disebabkan pandangannya yang dianggap “terlampau berani” dalam soal Alquran. Misalnya, Alquran menurutnya adalah teks linguistik yang bersifat kemanusiaan, betapapun ia memiliki unsur keilahian.Alquran, ketika diujar dengan menggunakan piranti kultural dalam bentuk bahasa, diakui atau tidak telah bermetamorfosa menjadi teks yang terkena hukum sejarah. Makanya, Alquran adalah produk budaya, tandasnnya dalam buku Mafhûmun Nash. Dengan demikian, Alquran tak bisa diposisikan pada hirarki transendental, dilucuti dari konteks budaya yang melingkupinya.

Dalam membaca Alquran, Abu Zayd berseru agar mengambil posisi yang benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan ideologi dan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga tidak mudah terjerembab pada sikap pemutlakan. Seorang pembaca tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang dalam memaknai sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi teks ke dalam kehendak-kehendak si pembaca. Hubungan antara teks dan pembaca tak terpisahkan. Selalu ada jalinan yang dialektis antara teks dan pembaca. Bagi Abu Zayd, relasi antara teks dan pembaca bersifat dialektis (jadaliyah), bukan penundukan (ikhdha’). Dengan cara ini, subyektivisme dalam proses pemaknaan diharapkan dapat diminimalisasi.

Berbeda dengan Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Hassan Hanafi, dan lain-lain, Abu Zayd masih meyakini adanya makna obyektif di balik suatu teks. Baginya, makna obyektif yang bersembunyi di balik teks-teks Alquran, mungkin ditemukan setelah proses obyektifikasi melalui piranti hermeneutika. Ia mengusulkan agar hermeneutika selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan suatu teks (al-ma’nat târîkhî) dan pengertian atau interpretasi baru (al-maghzâ) yang ditarik dari makna kesejarahan-obyektif tersebut. Menurutnya, makna historis itulah yang pertama-tama harus diungkap seorang penafsir, dengan pembacaan pada struktur internal dan dimensi historis (al-bu’dut târîkh) teks tersebut. Setelah itu, baru dilakukan penafsiran yang mungkin menjawab problem-problem kehidupan masa kini. Metode tafsir ini memungkinkan Alquran terbuka untuk makna-makna yang baru (qâbil litajaddudil fahm).

Abu Zayd telah memberi perspektif lain tentang kedudukan Alquran, plus cara membaca dan memahaminya. Setiap kita bisa bersetuju atau menolak. Penerimaan dan penolakan suatu pemikiran tentu hal yang lazim dalam dunia akamedis-intelektual. Yang tidak lazim adalah penolakan atas orang yang berbeda pikiran dengan kita, disertai caci maki, lebih-lebih vonis kafir atau murtad. [Abd Moqsith Ghazali]

30/08/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kontroversi tentang al-Qur_an adalah produk budaya sebenarnya sudah dimulai sejak awal mula turunnya al-Qur_an. Seperti dalam Surah Al-Haaqqoh ;
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43
Dimana secara tegas menyanggah bahwa Al-Qur_an bukan ucapan penyair (tapi untaian katanya indah tak tertandingi)
dan bukan pula jampi2 dukun (tapi nyata tak terlawan).

Posted by Zaky Hasbullah  on  11/02  at  01:44 AM

Saya setuju dengan sdr. Kholid Fuadi. Kebenaran mutlak hanyalah milik ALLOH. saya meyakini bahwa Alqur’an adalah kalam Alloh. Muhammad rosullah adalah sang penyampai kalam tersebut kepada manusia apa adanya tanpa pengurangan atau penambahan. Namun Alqur’an pun mengajarkan kita untuk berfikir. Ini berkaitan dengan upaya kita menafsirkan alqur’an. Beberapa sahabat Rosullah dikala menuliskan firman ALLOH yang terucap melalui Muhammad rosul Alloh tidak bisa dikatakan sebagai orang yang sedang menafsirkan, karena penafsiran akan dikembalikan kemasing-masing kita. Dan untuk itu, yang kita perlukan bukanlah hanya akal saja, tetapi juga hati. Menafsirkan Alqur’an dengan hati akan mencegah kita untuk saling menyalahkan untuk saling claim kebenaran. Didalam menafsirkan, apakah kita merujuk ke Alqur’an itu sendiri, hadist-hadist atau yang lainnya, semua tetap kembali kehati kita. Maka kepada diri saya sendiri dan saudara-saudaraku ke seiman sekalian, marilah rasalah, lihatlah, dengarlah, lakukan apapun dengan hati
-----

Posted by ferdian arie candra  on  10/12  at  07:11 AM

Saya tertarik sekali dengan pendapat Kholid, bahwa pemilik kebenaran mutlak hanyalah Allah semata. Pendapat yang tepat sekali. Yang dapat kita lakukan hanyalah berputar-putar mendekati limit kebenaran mutlak tersebut tanpa mampu menyentuhnya. Karena itu, bagi yang berijtihad dengan hasil benar pahalanya berganda dibanding yang berijtihad dengan hasil yang salah. Artinya, salah saja dihargai oleh Allah. Yang tidak benar, menurut saya, adalah sikap menganggap dirinya atau kelompoknya sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran mutlak.

Sepengetahuan saya, perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat Allah biasa terjadi di masa para Imam mahzab. Dan meeka itu tetap saling menghormati satu sama lain. Imam Hanbali dan Imam Syafi’i saja saling berguru satu sama lain dan saling memuji kelebihan satu sama lain. Demikian juga para imam yang lain. Hanya saja, berbeda ceritanya ketika pengaruh kekuasaan memasuki wilayah ini. Demikianlah, sejarah selalu berulang, mengambil bentuk yang baru dengan isi yang sama.

Hanya Allah yang memegang kebenaran mutlak.

Posted by Daru hagni  on  09/27  at  01:09 PM

Pemosisian Abu Zayd kepada Qur`an sebagai produk sejarah dan produsen sejarah merupakan akumulasi dari proses perjalanan intelektual dan riwayat hidupnya. Menjadi hal yang wajar jika kajian murninya atas teks Qur`an menggiringnya untuk ‘bertempur’ dengan iklim yang berkembang di sekitarnya. Jika kemudian sejarahnya harus dimulai di negeri yang lantas melindunginya menjadi lahan yang subur bagi perkembangan intelektualnya ketimbang di mana ia merintisnya di Mesir.  Post factum tradisi kritis keilmuan harus bergulat dengan kenyataan. Qur`an sendiri penuh dengan tamsil sejarah eksistensialis, ketika seseorang yang berangkat dari keyakinan dan keilmuannya harus berjuang memanifestasikan diri dan mewujud pada sekumpulan postulatnya. Isi Qur`an mengungkap banyak sejarah dan kemudian menyejarah dalam sedimentasi sejarah hingga sampai pada saat ini. Message Qur`an adalah analisa kritis sejarah dan memang telah menyejarah. Justru itulah yang ingin dikatakan oleh Abu Zayd bahwa dimensi sejarah sangat kental dengan Qur`an. Sesuatu yang sangat eksperimentalis ala Aristoteles.  Kita mendapati ujaran Qur`an yang berbentuk kalimat aktif dialogis baik antara subyek Allah, Malaikat, iblis, Muhamad, dan kaum. Hal itu bisa dimaknai bahwa sejarah Qur`an adalah dinamis. Meminjam ucapan Arkoun sebagai ‘pengalaman mekkah-madinah’ sebagai korpus terbuka atau menurut hermeneutika adalah pengalaman orang pertama.  Abu zayd adalah muslim modern yang sedang berada pada dimensi Mekkah-Madinah. Gagasannya adalah meminjam ucapan Roger Garaudy ‘mengambil apinya bukan abunya sejarah’.  Karena konteksnya adalah muslim saat ini sangat idealis mempertahankan keyakinan yang terbentuk dari sejarah Islamnya, maka tiada lain yang harus dilakukan adalah kritik sejarah itu tadi. Dan sejarah Islam Muhammad berpangkal pada otentisitas Qur`an. Maka dimensi nalar Abu Zayd adalah kritik teks sejarah quran. Menjadi tidak fair ketika otoritas ilmu harus berhadapan dengan otoritas kekuasaan. Ingat, yang menghakimi abu zayd adalah otoritas kekuasaan Mesir. Artinya, ia harus diekslusikan bukan oleh perdebatan akademis tapi kekuasaan. Apakah sejarah Galileo dengan otoritas Paus telah terjadi di dunia Islam. Hal ini semakin mengekalkan pemosisian ilmu dan kekuasaan.

Posted by daniel zuchron  on  09/24  at  03:09 PM

Tak ada ujaran yang bisa difahami di luar konteks, jika ujaran difahami di luar konteksnya hasilnya adalah ngaco. Nashr Hamid menawarkan pembacaan teks suci dengan memperhatikan konteks-konteks kultural, konteks eksternal, konteks internal, juga konteks penafsiran. Hasilnya luar biasa.

Bahkan ulama klasik pun dalam batas tertentu menggunakan konteks untuk memahami Qur`an, munasabah bain as-suwar, munasabah bain al-ayat, asbabun nuzul, juga konsep makki-madani adalah usaha menafsirkan al quran secara kontekstual

Menentang Nashr berarti juga menentang usaha keras ulama klasik dalam menafsir Qur`an. Hanya orang bodoh yang mengannggap ilmu berhenti, metode menafsir Qur`an berhenti di zaman kuno. Adalah bodoh jika kita menganggap bahwa metode tafsir sudah paripurna.

Posted by joko supriyadi  on  09/12  at  08:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq