Revisi KUHP Bias Gender dan Bias Kelas - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
13/10/2003

Nursyahbani Katjasungkana: Revisi KUHP Bias Gender dan Bias Kelas

Oleh Redaksi

Rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Menteri Kehakiman dan HAM menuai kontroversi. Pasalnya, rancangan ini dinilai terlalu memberi kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk masuk dan mengatur ruang privat warganya. Begitu juga dalam hal delik pers. Alih-alih mengondusifkan kebebasan pers dan kebebasan ekspresi, malah ada penambahan pasal untuk mengekangnya.

Nursyahbani Katjasungkana, aktivis Solidaritas Perempuan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, menilai revisi ini bias gender dan bias kelas serta bertentangan dengan konstitusi dan HAM. Berikut penuturannya kepada Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) pada hari Kamis, 9 Oktober 2003.

NONG DAROL MAHMADA: Mbak Nur, apa tanggapan Anda terhadap rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digagas oleh Menteri Kehakiman dan HAM?

NURSYAHBANI KATJASUNGKANA: Sebetulnya, secara keseluruhan, KUHP itu bukan hanya berisi bab soal kesusilaan menuai kontroversi, yang dari segi penamaan bab saja bisa kita persoalkan panjang lebar. KUHP memang mengurus relasi antara warga dengan negara dan warga dengan sesama anggota warga lain. Makanya, dia menyangkut persoalan relasi dan kepentingan publik. Berdasarkan itu, visi yang mestinya dibangun adalah penghormatan terhadap HAM dan sekaligus difungsikan untuk membangun demokrasi.

NONG: Kalau dilihat dari sisi itu, apakah rancangan revisi KUHP ini sudah mencerminkan visi tersebut?

NURSYAHBANI: Jauh sekali. Dikatakan jauh, karena pertama, terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan pers. Sisi represinya bukan malah berkurang dari KUHP lama yang sudah kita perjuangkan. Hal-hal yang bersifat represi seperti itulah yang digunakan untuk menjerat Tempo, Goenawan Mohammad dan harian Rakyat Merdeka. Pasal yang bermasalah adalah mengenai kejahatan makar terhadap negara. Di situ terlihat masih represif. Mungkin itu bisa dipahami, karena sebetulnya rancangan ini sudah selesai dibuat dalam kurun waktu antara tahun 1982-1992, di masa Soeharto masih sangat berkuasa. Pemikiran atau aspirasi orang untuk revisi undang-undang, memang sangat terpengaruh pada situasi politik saat itu.

Kedua, dalam persoalan yang berkaitan dengan relasi domestik. Di sini kita mencermati, revisi KUHP ini bukan semakin menghormati hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Sebetulnya, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan pribadi, rumah tangga dan keluarga, sebagaimana ditegaskan baik dalam UUD maupun UU mengenai HAM Nomor 39 Tahun 1999. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam bab mengenai kejahatan kesusilaan itu, hendak mengatur hal-hal yang bersifat persoalan atau relasi domestik. Hukum pidana boleh saja mengurus soal relasi domestik, sejauh ada unsur kekerasan, paksaan atau ancaman, atau bila dilakukan terhadap anak-anak, khususnya dalam masalah hubungan seksual.

Ketiga, sudah lama sekali kelompok perempuan merasa bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP, khususnya yang berkenaan dengan soal perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, dan pornografi, tidak sesuai dengan prinsip perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Sebab, isinya sangat menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Oleh karena itu, pasal-pasal demikian dituntut untuk dikeluarkan dari KUHP menjadi UU khusus yang tersendiri, dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan atas korban, di samping pemberdayaan masyarakat.

NONG: Nah, menurut Anda, bagaimana seharusnya revisi KUHP ini?

NURSYAHBANI: Berdasarkan prinsip tadi, seharusnya pasal 310 dan 311 yang tertuang dalam KUHP lama, yang pada umumnya digunakan untuk merepresi dunia pers dan insan pers dikeluarkan dari KUHP, dan dijadikan undang-undang perdata saja. Persoalan itu lebih banyak diatur oleh kode etik pers, sehinga lebih menuju pada peningkatan profesionalitas pers dan sekaligus menjunjung prinsip freedom of the press dan freedom of the expretion yang berguna bagi pembanguan demokrasi.

Hal lain, ketentuan-ketentuan yang ada dalam bab tentang kesusilaan, khususnya pasal-pasal yang penuntutannya digantungkan pada pihak-pihak yang dirugikan, juga hendaknya keluar dari KUHP. Misalnya, pasal perzinahan yang dalam rancangan undang-undang KUHP baru memakai istilah permukahan. Ini tidak perzinahan dalam artian umum, yaitu hubungan seks di luar pernikahan, tapi permukahan adalah hubungan seksual di antara pihak-pihak yang sudah terikat oleh ikatan perkawinan. Penuntutannya hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Pasal yang kini dikenal sebagai pasal kumpul kebo dalam RUU KUHP, penuntutannya juga hanya bisa dilakukan kalau ada pengaduan dari keluarga, kepala adat atau lurah/kepala desa. Nah, suatu peristiwa pidana atau peristiwa hukum yang digantungkan penuntutannya pada kerugian pihak-pihak orang perseorang yang terkait dalam relasi itu, sebetulnya termasuk karakteristik dasar hukum perdata. Karena itu, dia tidak bisa menjadi perbuatan pidana. Percuma saja KUHP dinyatakan sebagai perbuatan kriminal, akan menjadi kriminal terus tanpa ada penuntutan, kecuali pihak yang dirugikan menuntut. Dari pada begitu, lebih baik menjadi hukum perdata, sebagaimana yang sudah dilakukan di Timor Leste. Mereka mengadopsi semua KUHP kita, tapi khusus pasal-pasal yang digantungkan penuntutannya pada kerugian orang perseorangan atau individu, dikeluarkan dari KUHP dan dinyatakan sebagai civil procedure.

NONG: Sejauh mana dampak rancangan KUHP ini untuk persoalan domestik jika dikaitkan dengan isu HAM tadi?

NURSYAHBANI: Sejauh tidak ada unsur kekerasan, tidak dilakukan terhadap anak-anak, tidak merupakan objektivikasi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya sehingga menjadi komoditi, seperti perdagangan orang, perempuan dan anak, sebaiknya tidak dikriminalkan. Justru ketentuan-ketentuan di sana harus didekriminalisasi. Dampaknya memang dalam kehidupan sosial akan besar sekali.

Pertama, dari segi law emforcement, seberapa jauh kemampuan polisi untuk dapat membuktikan hal-hal yang ada di tempat tidur warganya. Jadi ada problem implemantasi. Kedua, juga akan meng-create hal yang menurut masyarakat tidak bisa dijalankan dengan hukum pidana karena lemahnya law emforcement, lalu mereka main hakim sendiri, seperti yang banyak terjadi. Ketiga, sebetulnya KUHP tidak bisa digunakan atau difungsikan sebagai penjaga moral, misalnya dalam hal kumpul kebo. Saya kira, lebih baik --misalnya-- pendidikan seks diberikan sejak dini, sehingga mereka tahu bagaimana melakukan hubungan seks yang bermoral, responsible atau bertanggung jawab dan aman.

NONG: Seandainya pasal-pasal yang kontroversial ini disetujui, tentu akan ada problem implementasi. Menurut Anda, apakah nanti akan ada polisi-polisi syariat yang masuk pada wilayah-wilayah privat, atau polisi moral seperti di Malaysia?

NURSYAHBANI: Itu soal teknis saja kalau udah disetujui. Nanti pemerintah akan bilang, itu soal teknis saja; kalau bisa, kenapa tidak? Tapi bagi saya masalahnya bukan semata soal teknis. Ini masalah prinsip. Seberapa jauh sebetulnya negara punya otoritas atas privasi atau kehidupan pribadi warganya yang dijamin, baik oleh UUD maupun undang-undang mengenai HAM.

NONG: Artinya, rancangan KUHP ini potensial untuk bertentangan dengan UUD dan UU- HAM?

NURSYAHBANI: Ya. Sejak awal saya sudah menegaskan dalam pernyataan Koalisi Perempuan Indonesia bahwa UU KUHP itu inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam konstitusi. Ini khususnya berkenaan dengan bab soal hak-hak asasi manusia dan UU HAM itu sendiri. Di situ dinyatakan bahwa setiap warga negara tidak boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya. Dan untuk itu, setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap semua gangguan dan pelanggaran tersebut.

Nah, implementasiya dalam KUHP bagaimana? Justru negaralah yang seharusnya memberi perlindungan terhadap warganya, kalau ada gangguan dari luar. Bukan justru negara yang melakukan intervensi terhadap urusan itu.

NONG: Ada yang mengatakan revisi KUHP ini kental nuansa Syariat Islamnya. Bagaimana tanggapan Anda?

NURSYAHBANI: Sebetulnya, dalam proses pembentukan hukum, itu biasa. Pembentukan UU mesti menyerap nilai-nilai adat, agama, konvensi hukum, dan lain-lain, agar produk hukum itu bisa efektif, karena merupakan pantulan dari aspirasi dan kesepakatan masyarakat. Cuma masalahnya, masyarakat kita kan tidak hanya plural, tapi juga multikultur, multietnik, dan dengan segala macam variasinya. Ini terkait dengan soal nilai-nilai agama, atau adat di dalam suatu konteks tertentu. Bagaimana bisa mengangkat satu nilai yang bisa berlaku umum.

Seperti ketentuan mengenai pasal kumpul kebo yang bisa terjadi perbedaan mencolok. Di Bali, Mentawai dan Irian, hal itu dianggap sesuatu yang biasa. Di beberapa komunitas tertentu, hidup bersama di luar perkawinan adalah hal biasa. Tapi masalahnya, apa yang dimaksud dengan di luar perkawinan itu? Kalau kita mengacu pada UU Perkawinan, perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang sama. Ayat kedua menyatakan, setiap perkawinan harus dicatatkan.

Kita tahu, banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Nah, apakah itu termasuk dalam kategori delik aduan, atau semata-mata hidup bersama saja. Bagaimana kalau hidup bersama disahkan oleh agama atau adatnya; apakah itu masuk ketegori kumpul kebo? Nah, dengan demikian, perkawinan-perkawinan yang selama ini ditolak pencatatannya, seperti perkawinan agama Konghucu, kawin beda agama, perkawinan orang Kaharingan, mau masuk kategori yang mana?

NONG: Dengan adanya ketidakjelasan seperti itu, sebetulnya apa yang terjadi dengan rancangan KUHP ini?

NURSYAHBANI: Sebetulnya, secara umum hal tersebut membuktikan bahwa KUHP kita itu tidak punya visi ke depan, tidak punya visi tentang law emforcement, ataupun visi tentang realitas Indonesia sesungguhnya. Misalnya tentang prostitusi yang dalam rancangan sekarang ini juga dikriminalkan. Dalam KUHP lama dijelaskan, hanya orang-orang yang menyediakan atau memudahkan perbuatan cabul yang dihukum. Tetapi dalam rancangan sekarang ada pasal baru tentang prostitusi yang menurut saya tidak hanya gender bias tapi juga class bias. Kenapa? Di pasal 434 bahwa setiap orang yang bergelandangan, berkeliaran di jalan, di tempat-tempat umum, dengan tujuan melacurkan diri akan dipidana denda.

Jelas sekali, yang kita tahu bergelandangan hanya orang kelas bawah. Dan lebih dari itu, konotasi melacurkan diri selalu mengena pada perempuan. Padahal, kalau menurut tata bahasa Indonesia yang baik, yang disebut pelacur adalah lelakinya. Dan di sini tidak ada kriminalisasi bagi para pelanggan atau user mereka. Ini kenapa saya menyebut adanya gender bias dan diskriminasi.

13/10/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya pikir, cara pandang Nursyahbani ini hanya lipstik saja di tengah ketidakmampuan dia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia hanya bisa berkoar-koar saja tanpa pernah berbuat. Buktinya, perjuangan dia terhadap nasib para wanita yang tertindas adalah nol besar. Malah yang ada hanya kendali kuda saja; dimana isu perempuan diangkat untuk mendapatkan kursi di DPR.

Isu-isu itu hanya tunggangan saja. Padahal dari dulu juga banyak wanita yang jadi pejabat, tapi pada akhirnya tidak pernah menyuarakan kepentingan perempuan. Bukankah presiden sekarang ini perempuan? Jadi saya berharap kepadanya, tolonglah perempuan-perempuan yang ikhlas berjuang di tanah lumpur itu jangan dieksploitasi oleh anda hanya dengan ditukar kursi.
-----

Posted by Dadang A. Fahmi  on  01/15  at  10:02 AM

Betul sekali , jika Undang-undang ini diterapkan , pasti pekerjaan aparat negara akan lebih banyak, dan dengan demikian , apakah akan efektif Undang-undang ini , mengingat beberapa masalah yg penting , medasar, besar , tidak pernah terselesaikan oleh perangkat hukum kita ..., ibaratnya kita belum bisa menambal kapal yg bocor , kita sudah memasukkan penumpang lagi ke kapal kita ..., dan apakah maksudnya diterapkan Undang-undang ini , apakah akan mencoba menunjukkan agar masyarakat berbuat baik , dan mengatur kehidupan pribadi masyarakat , saya ingat apakah , kita akan dijadikan seperti taliban (lama-kelamaan), Harus piara jenggot, Tutup cadar, Wanita tidak boleh bekerja dll, apakah kita akan dibawa kesana ...?, krn kehidupan pribadi masyarakat mulai disentuh oleh Negara , tanpa negara mau peduli dengan Keadaan masyarakatnya , apakah kita merasa kita memebela ALLAH..., dengan menerapkan Undang-undang ini .

Salam Nano

Posted by nano  on  10/24  at  02:11 PM

Saya pernah kagum membaca disertasi doktoral Yusril Mahendra mengenai Fundamentalisme dan Modernisme Islam. Tapi mengapa kini Yusril menjadi Fundamentalist? Heran!

Kita boleh saja tidak setuju kumpul kebo, atau boleh saja kita tidak kumpul kebo, namun negara tetap tidak boleh ikut campur terlalu jauh dalam ruang privat warganya. Saudara dan saya cukup dewasa untuk memutuskan kumpul kebo atau tidak, bukan wewenangnya Yusril!

Posted by M. Taufik Harrisakti  on  10/21  at  04:10 PM

Pejual Seks Komersial (PSK) mempunyai dua pengertian; yaitu germo yang menjadi bandar yang mengkoleksi para penjaja seks, dan orang yang secara langsung menjajakan seks itu kepada yang membutuhkan. Mengapa praktek bisnis mereka dilarang? alasannya karena mereka menjualbelikan (memperdagangkan) manusia, atau bagian tubuh manusia. Kalau mengikuti pandangan para pembela dan pengagum hukum positif yang mengusai wacana hukum di Indonesai saat ini, itulah jawaban satu-satunya, dan tidak ada alasan lain tentang mengapa bisnis seks dilarang.

Lucu, satu sisi bahwa di era “kapitalisasi” ini masih ada hal-hal tertentu yang bersifat bisnis dilarang. Atau, praktek bisnis seks dilarang, karena seks semacam itu dianggap a-susila? tidak juga, buktinya mereka dengan mati-matian membela agar parktek seks yang bersifat zina tidak dijerat hukum..... lantas APA. satu jawabannya, mereka tidak dewasa berfikir, menerima konsep-konsep dari luar 100 persen. Mengapa bisa begitu, karena mereka menerima itu dalam kondisi nol, tanpa pengetahuan dan penguasaan atas prinsip-prinsip etika tertentu.

Akibatnya, apa yang datang ke pikiran mereka ditangkap semuanya sebagai prinsip. Apa yang bersifat lokal dianggap universal, apa yang bersifat temporal dianggap abadi, dan lain sebagainya. Hal itu, sesungguhnya merupakan cara pandang ekstrem dan fundamental. Untung saja deklarasi HAM tidak mengandung siasat perang. Seandainya saja demikian, maka para pembela HAM yang hobinya “ngomongin” soal hukum positif (dalam pengertian yang sangat dangkal atau teknis) akan jadi tukang bom, karena wataknya yang teknis.

Liberal sih liberal tapi bukan diawali dengan ting kosong… nanti bunyinya nyaring terus kropos!!! saya salut dengan JIL asal di masa mendatang tidak terpengaruh kelompok-kelompok ekstrem pandangan tersebut. Jika harus berpihak saya lebih memilih JIL dibanding gerakan-gerakan liberal yang berangkat dari nol ... udah begitu enggak mau belajar lagi!

Posted by Zamzami M  on  10/20  at  09:10 AM

Apa yang menjadi batasan masalah sosial dan privat? dari pada dijawab bahwa memang ada batasan yang jelas untuk mendeteksi dua persoalan itu, sepertinya orang akan lebih setuju, bahwa masalah tersebut kontroversial. Artinya, tidak ada otoritas apapun yang berhak memberi batasan tentang yang “privat” dan yang “publik”, kemudian memaksakan agar masyarakay menerima hal itu.

Tetapi bahwa ada perilaku-perilaku tertentu yang dianggap melanggar norma atau tata etika tertentu, termasuk agama, akan banyak kesepakatan dalam komunitas masyarakat.

Lagi-lagi sebelum bicara soal teknis, tentang perdata atau pidana, bicarakalh dulu apakah sebuah tindakan itu melanggar norma atau tidak? kalo ya, bagaimana mungkin pikiran kita tidak bisa membuat formulasi atau unifikasi hukum untuk menjratnya. Lagi pula, jika kita bicara soal pengaruh tindakan terhadap kehidupan sosial, tidak saja dalam tataran praksis (aksi) tatpi juga tingkat konformitas terhadap tindakan tersebut, tindakan-tindakan a-susila yang dilarang agama (yang oleh pandangan orang-orang yang “tidak paham” agama dinilai privat) sangat berdampak pada kehidupan sosial, palig tidak tingkat konformitasnya. Itulah sebabnya kemudian ada degradasi nilai yang demikian cepat dalam kehidupan sosial bangsa kita.

Ada pertanyaan menarik : “mengapa hukum belanda tidak menjerat perzinaan sebagaimana yang sedang direncanakan sekarang ini”? itu karena dalam bangsa Belanda tidak dikenal norma yang melarangnya, kalaupun mereka beragama kristen, tingkat implementasi mereka sudah sedemikian menurun dengan bersikap konformis terhadap tindakan-tindakan yang sesungguhnya oleh agama sangat dilarang. kecuali yang sifatnya permekosaan atau merugikan salah satu pihak. Itu lah sebetulnya jawaban mendasarnya. bukan karena persoalan itu menjadi urusan privat atau publik. Tetapi kalau kemudian bangsa Indonesa meniru unufikasi hukum belanda, maka tidak akan ada jawaban yang bersifat prinsip untuk menjawab mengapa di Indonesia zina tidak dilarang? padahal pada saat yang sama masyarakat melihatnya sebagai hal yang tabu. Pandangan masyarakat inilah yang harus dihormati. Bukan deklarasi HAM yang bisa dijadikan alat untuk mencari PROYEK.

Masalah publik dan privat punya sumber tersendiri dari rasa keadilan suatu masyarakat. Jadi tidak ada masalah teknis yang bersifat universal seperti yang sering dikemukakan para corong konsep HAM. dasar tukang JUAL NEGARA!

Posted by Zamzami M  on  10/20  at  09:10 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq