Salat Bilingual; Haruskah Menjadi Kontroversi? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
15/05/2005

Salat Bilingual; Haruskah Menjadi Kontroversi?

Oleh Tedi Kholiludin

Praktek penggunaan Bahasa Arab dan Indonesia dalam salat yang ia lakukan dianggap telah melecehkan agama (Islam). Ia dan istrinya pun harus rela digaruk oleh aparat keamanan dengan dalih telah menyebarkan ajaran sesat. Ini semakin meneguhkan anggapan bahwa di negeri kita ini, tafsir atas kebenaran selalu merupakan milik penguasa.

Ijtihad Muhammad Yusman Roy (Ustadz Roy) yang menggunakan dua bahasa dalam salat akhirnya harus menabrak pagar pembatas keagamaan. Praktek penggunaan Bahasa Arab dan Indonesia dalam salat yang ia lakukan dianggap telah melecehkan agama (Islam). Ia dan istrinya pun harus rela digaruk oleh aparat keamanan dengan dalih telah menyebarkan ajaran sesat. Ini semakin meneguhkan anggapan bahwa di negeri kita ini, tafsir atas kebenaran selalu merupakan milik penguasa. Dahulu kita juga disuguhkan adegan yang kurang lebih sama dengan fenomena Ustadz Roy tersebut. Contoh saja kasus Ulil Abshar-Abdalla, atau kasus “Anjing hu Akbar” di IAIN Bandung, serta banyak kasus lain yang sering dianggap sebagai bagian dari penyimpangan doktrin keagamaan, dan karenanya harus dimusnahkan. Lalu muncullah fatwa kafir, sesat, dan halal darahnya.

Cara pandang seperti ini memang bisa dikatakan sebagai imbas dari kentalnya nuansa logosentrisme dalam pemikiran keislaman. Pemikiran yang berbeda bukan dimaknai sebagai rahmah, tapi justru dianggap sebagai penyimpangan dari doktrin. Wajar jika klaim sesat selalu bermunculan terhadap pemikiran yang dianggap bersebrangan dengan pandangan umum. Begitu juga ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi ibadah yang dipraktekkan Ustadz Roy. Mereka menilai praktek tersebut sudah menyimpang dari pakem dan keluar dari rel syariat. Benarkah demikian?

Islam Sebagai Mozaik

Kelahiran Islam sebagai sebuah agama pada dasarnya sangat terkait dengan konstruksi budaya. Islam, pada kenyataannya memang cukup lentur dengan membubuhkan dimensi lokalitas pada hampir keseluruhan ajarannya. Bisa dikatakan bahwa Islam mengafirmasi konteks sosial dan budaya masyarakat Arab saat itu. Pendek kata, Islam sangat memahami kenyataan lokalitas budaya setempat serta historisitas proses pergumulan antara teks dan realitas. Saking kuatnya pengaruh lokalitas terhadap konstruksi keberagamaan umat Islam, Khalifah Umar al-Faruq, sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim, pernah menyatakan, “Arab adalah bahan baku Islam”. Artinya, bangsa Arab adalah primary resources bagi pembentukan Islam. Dengan pernyataan tersebut Umar ingin menjelaskan bahwa umat Islam harus bisa memisahkan dan membedakan antara universalitas dan partikularitas Islam. Bagaimanapun juga, terbentuknya Islam tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, produk kebudayaan Arab bisa dikatakan sebagai partikularitas Islam yang harus dipisahkan dari dimensi universal Islam.

Khalil Abdul Karim telah menggambarkan dengan baik bagaimana kebudayaan Arab diadopsi dan kemudian menjadi doktrin umat Islam. Dalam Al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syari’at al-Islamiyyah, ia melakukan analisa terhadap beberapa ajaran Islam yang menurutnya adalah warisan dari budaya masyarakat Arab pra-Islam.

Menurut Khalil, sakralisasi umat Islam terhadap Bulan Ramadan merupakan salah satu dari tradisi yang diwarisi dari bangsa Arab. Praktek lain seperti pengagungan bulan-bulan haram (Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) juga bagian tradisi bangsa Arab sejak pra-Islam. Sakralisasi bulan-bulan tersebut dimaksudkan sebagai masa untuk tidak berperang bagi bangsa Arab, karena pada bulan itu mereka menunaikan ibadah haji dan umrah. Bisa juga dicontohkan aturan pemakaian jilbab bagi perempuan. Hakikatnya, aturan ini ditetapkan sebagai bentuk pengamanan sosial bagi perempuan. (Sa’id al-Asymawi, Haqiqat al-Hijab wa Hujiyyat al-Hadits). Kedekatan antara budaya Arab dan Islam itulah yang membuat kita kesulitan memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan. Lalu bagaimana dengan salat?

Khalil memang tidak menyebutkan bahwa salat juga bagian dari kelanjutan tradisi Arab yang diislamkan. Tetapi ada komentar menarik dari Bambang Noersena (2002) yang menyebutkan bahwa hampir 90% ibadah Islam melestarikan dan meneruskannnya dari agama-agama semitik sebelumnya, khususnya kekristenan Syria yang masih mempertahankan ritusnya dari zaman rasuli (mula-mula). Satu contoh paralelitas peribadatan Islam dan Kristen (Syria) adalah salat lima waktu yang sejajar dengan salat tujuh waktu (al-sab’ush shalawat) dalam gereja mula-mula (Gereja Kristen sebelum perpecahan tahun 451). Bahkan kata salat itu sendiri, seperti yang dikatakan Bambang dengan mengutip Artur Jefferey, sebenarnya berasal dari bahasa Suryani yakni tselota. Kata tselota itu hingga saat ini masih dipakai oleh Gereja yang masih melestarikan bahasa Suryani (Gereja ortodok Syria, Gereja Assyria dll) sementara kata salat dipakai oleh umat Islam dan seluruh gereja di Timur Tengah. Tak hanya dalam istilah, dalam praktek salat itu sendiri, umat Islam sebenarnya hanya memodifikasi sedikit dari praktek yang sudah berjalan. Salat dengan berdiri, membungkuk (ruku’), sujud, tahiyyat adalah “imitasi kreatif” umat Islam dari postur ibadah orang Yahudi yang kemudian dilestarikan gereja-gereja purba dan juga umat Islam itu sendiri. Jadi, jelaslah bahwa sesungguhnya peribadatan dalam Islam sangat lekat sekali dengan ritus peribadatan dan aktivitas bangsa Arab saat itu. 

Shalat Bilingual

Perdebatan soal bahasa yang digunakan dalam salat, sebenarnya bukan masalah yang tidak ada referensi sejarahnya. Menjadi agak mengherankan ketika Ustadz Roy mendadak diamankan oleh pihak kepolisian, karena melaksanakan salat dengan bahasa Arab dan Indonesia.

Jika kita mengaca sejarah, kita akan melihat perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah yang berasal dari Parsi dan Imam Syafi’i yang berasal dari Arab keturunan Quraisy. Imam Syafi’i adalah orang yang sangat kuat berpandangan bahwa membaca al-Fatihah (dalam salat) dengan menggunakan bahasa Arab merupakan kewajiban. Orang yang tidak melakukannya, salatnya tidak sah. Sementara Abu Hanifah memperbolehkan membaca al-Fatihah dalam bahasa Parsi atau bahasa non-Arab lainnya, bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab.

Imam Abu Hanifah tidak peduli apakah mushally (orang yang salat) benar-benar tidak bisa berbahasa Arab atau sengaja tidak berbahasa Arab. Ia mengatakan bahwa salat orang yang demikian tetap dinilai sah.

Dan perdebatan soal bahasa ini sebenarnya tidak hanya pada persoalan salat. Bahasa yang digunakan dalam khutbah Jumat juga menjadi bahan perdebatan. Lagi-lagi dalam konteks ini Abu Hanifah dan Imam Syafi’i saling berhadapan. Jika Syafi’i menilai tidak sah orang yang menggunakan bahasa non-Arab sebagai media, Abu Hanifah justru berpandangan sebaliknya.

Jadi, salat yang dipraktekkan Ustadz Roy sebenarnya bukan tanpa referensi. Lalu kenapa ini dianggap sesat? Apakah kita juga akan menganggap sesat ajaran Imam Abu Hanifah karena memperbolehkan salat (membaca al-fatihah) dengan bahasa ‘ajam? Padahal beliau adalah Imam madzhab yang cukup brilian dalam mengeksplorasi produk pemikirannya.

Apa yang membuat umat Islam menjadi berang akibat “ulah” Ustadz Roy adalah karena begitu kuatnya nalar arabisme menghunjam pemikiran umat Islam Indonesia saat ini. Semua hal yang berbau Arab dianggap sebagai Islam itu sendiri. Padahal yang Arab belum tentu Islam. Di sinilah megaproyek Muhammed Abed al-Jabiry tentang Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘aqli al-‘Arabiy) mendapat signifikansinya. Artinya, kita harus bisa memisahkan mana unsur universal dan partikular dari Islam.

Salat dalam hal ini memang menjadi ketentuan yang pasti dari Tuhan (qath’iy). Tetapi ihwal praktek dan tatacara peribadatannya, termasuk doa yang ada di dalamnya adalah sepenuhnya konstruksi fuqaha. Wajar jika kemudian banyak perbedaan dalam hal ini.

Saya membuat pengandaian yang barangkali agak ceroboh, meski sebenarnya cukup masuk akal juga; jika saja Muhammad adalah orang pribumi asli (Indonesia) atau orang inlandeer, umat Islam Indonesia mungkin tidak harus kebakaran jenggot ketika melihat praktek salat Ustadz Roy. Karena pasti Muhammad akan melaksanakan salat di mana bacaannya adalah ujaran yang dipahami kaumnya. Muhammad barangkali akan melaksanakan salat persis seperti yang dilakukan Ustadz Roy.

Selain itu, bagi saya, penangkapan Ustadz Roy adalah salah satu bentuk intervensi negara terhadap agama. Jika kita berkomitmen bahwa beragama dan beribadat menurut kepercayaannya adalah urusan privat, maka sesungguhnya penangkapan terhadap Ustadz Roy adalah bentuk pelanggaran terhadap hak beragama. []

Tedi Kholiludin, Pemimpin Redaksi Jurnal Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

15/05/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (19)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sy sependapat dg Anda, Pak Tedi. Memang, bgmnpun ibadat n doa hrs dmengerti oleh umat. Sy jg amat sangat tdk setuju dg kebanyakan mslim Indonesia yg begitu mudah mnganggap sesat atau kafir orang-orang yg keluar dr arus utama--tk peduli trnyt msh ssuai hukum Allah atau tidak. Kejadian spt Ustadz Roy, atau pnyebaran aliran Syiah di Indonesia yg dianggap sesat oleh byk org snggh mmbuat hati miris. Msyarakat seolah sdh bnr2 mmahami ajaran Islam dg benar shingga mereka bs mnghakimi orang lain yg berbeda pmikirn (selain hal akidah) dan mnyatakan sesat. Lucunya, da cerita nyata d sebuah daerah d Indonesia (saya lupa d mana). Diceritakan trdpt acara silaturahim antara umat islam dan kristen setempat, dan ketika gereja tsb mmperdengarkan ayat2 Alkitab dlm bhs Arab,umat Islam yg tk tw hal tu mrespon seolah2 mrk mndengar pengajian d mn mrk mngatakan “Amin ya Rabb al alamin,” “Allahu Akbar,” dsb. Entah jk mrk sadar. Mgkn mrk akan bakar gereja tu. Intiny,org2 Indonesia mmg gmpg mnghakimi org lain. NAMUN prlu diingat jg klo bahasa Arab dan istilah2 Islam d dlmny mrpkn “bahasa persatuan” dan “bahasa liturgi” umat Islam. Dr brbagai Kitab Suci dlm brbagai bhs (Aram, Ibrani, India, dsb) yg turun sblm Alquran,sdh mnjanjikn “Nabi yang akan Datang” dr Baka yg notabene Arab. Nama Allah yg sblmny bs dpanggil El,Elohim,Hael,Akka,dsb pun dprsatukan dlm nama TUHAN dlm bhs Arab,yaitu Allah. Brbeda dg Perjanjian Lama yg d dlmny trdpt byk bahasa shngga umat Yahudi prlu mnerjemahknny k dlm bhs Ibrani modern dan umat Kristen mnrjemahknny k dlm brbagai bhs dunia,umat Islam sdh dprsatukan oleh Alquran yg dturunkn dlm bhs Arab (Yusuf 12:2, Guruh 13:37, Lebah 16:103). Ingat,sbg bhs prsatuan agar tdk trpcah blh. Mmg bkn syarat mutlak bgi umat Islam agar smw liturgi dsajikn dlm bhs Arab,trmsk salat. Tp bknkh lbh baik mngikuti pa yg dcontohkn Nabi (sunat Nabi) krn dy sndr brkt bhw umat yg plg dkt dgny dalh yg mngikuti yg dcntohknny? Mmg kt tdk tw pakh tu trmsk bhs Arab jg atw tdk. Tp jk kt mw bljr dr umat Kristen yg brbeda pndapat soal mknn haram krn pnafsiranny brbeda atas Kis 10:34, 11:18 dan surat2 Paulus--yg sbnrny lbh baik jk mrk mngikuti Im 11 yg lbh jelas drpd mngikuti kraguan, lbh baik kt pun mnghindari “dosa yg mgkn tdk kita sadari"…

Posted by Mochihotoru Sammy  on  10/10  at  07:06 AM

Tedi anda sepertinya ahli agama sehingga bicaranya melebihi nalar pikiran. Anak ingusan yang baru belajar ngaji aja ngerti yang mana yang halal yang mana yang haram. Kalo saholatnya bilingual, nanti saholatnya pake bahasa Jawa, Sunda, Lahat, Palembang, uh susah banget ngikutinnya. Allah maha besar, bijaksana dibuatnya bahasa Arab untuk memudahkan kita sholat diamanapun kita berada mau di Inggris, Amerika, Bosnia, sholat tetap mengacu ke satu bahasa Arab. Kasiahan kan kalo makmunnya nggak ngerti yang dilafaz ama imam. Jgn buat binggung orang deh..... Kalo berani bicara didepan umum jangan cuma berani dibelakang pena doank.....
-----

Posted by wira sasmita  on  03/24  at  04:03 PM

Sebenarnya gampang dibikin susah. Bahasa lokal kan bisa dipakai untuk belajar agama, dakwah, khotbah, berdoa, belajar tafsir, muamalat, dsb. Sedangkan shalat, Sang Nabi pun untuk mendapatkan regulasi dan aturan2nya harus Mi’raj yang melelahkan. Dan kita mau mengacak-acaknya?

Ampuun.. buang-buang energi saja membahasnya. Apalagi kalo alasannya karena gak ngerti bahasa Arab. Kayaknya naif deh. Sebenarnya gampang dibikin susah. Masa setiap ibadah kita bilang budaya Arab? Bahkan menutup aurat pun dibilang budaya Arab? (lihat wawancara Nia Dinata)

Ya ampuun.. Jangan-jangan Alqur’an juga cuma buat orang Arab? Ya ampuun.. Saya liberal, tapi nggak gitu-gitu amat deh. Sebenarnya gampang dibikin ruwet.

Posted by Budi Santoso  on  05/21  at  09:06 PM

Saya heran dengan redaksi yang sebenarnya bisa menolak dan konon katanya sering menolak komentar yang tidak mendukung pendapat/opini JIL.

Anehnya komentar Sdr. Duad email addressnya dari tangerang yang semangat komentarnya mengejek Nabi Muhammad dimuat oleh JIL.

Padahal redaksi kalau mau bisa menyeleksi dan menolak komentar Sdr Duad tersebut sesuai dengan haknya.

Katanya Islam koq Nabinya diejek malah senang ???

Saya yakin kalau memang fair komentar saya ini seharusnya dimuat.

Posted by Rudi Heryanto  on  05/19  at  01:05 AM

Memang sumber Agama Islam memang dari Arab dan ingat Nabi Muhammad itu keturunan Arab dan berkhotbah di kalangan orang arab, ya sudah dia buat bahasa Arab, kalau tidak bahansa arab tentu mereka tidak bisa bisa dimengerti.

Mungkin kita perlu contoh orang Kristen yang mana menerapkan Sistem Budaya Kontekstual, sehingga lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh umatnya.

Apa salahnya, jika dilakukan di sunda mungkin lebih baik dibuat bahasa sunda, dan akan lebih mengena dan bisa diresapi oleh ummat, daripada dibuat bahasa arab tapi tidak dimengerti. Dan ingat Allah kita mengerti semua bahasa di dunia ini.

Ini cuma saran kepada bapak MUI yang kelihatannya sudah menjadi wakil Allah dan kuasanya pun luar biasa sekali.

Terima Kasih

Posted by Duad  on  05/16  at  01:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq