Sayang, Gaung Reformasi Internal Tidak Kuat di Dunia Arab - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara,
01/05/2005

Hamid Basyaib: Sayang, Gaung Reformasi Internal Tidak Kuat di Dunia Arab

Oleh Redaksi

Semilir angin reformasi atau yang lazim disebut ishlah sudah cukup terasa, baik di Mesir, Palestina dan Lebanon, maupun di Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Bahrain. Pertanyaannya adalah: apakah gaung reformasi itu semata-mata respons atas desakan Paman Sam yang baru menjelang, atau disebabkan desakan kondisi-kondisi internal yang sudah lama menyesakkan?

Tuntutan reformasi kini berhembus kencang di banyak negeri muslim, terutama negeri-negeri Timur Tengah. Semilir angin reformasi atau yang lazim disebut ishlah sudah cukup terasa, baik di Mesir, Palestina dan Lebanon, maupun di Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Bahrain. Pertanyaannya adalah: apakah gaung reformasi itu semata-mata respons atas desakan Paman Sam yang baru menjelang, atau disebabkan desakan kondisi-kondisi internal yang sudah lama menyesakkan? Hamid Basyaib (peneliti Yayasan Aksara dan salah seorang direktur The Indonesian Institute) memantau kecenderungan itu pada konferensi internasional US-Islamic World Forum, yang berlangsung tanggal 10-13 April lalu di Doha, Qatar. Kepada Ulil Abshar-Abdalla dari JIL, Hamid mereview kembali isu-isu mendasar yang diulas dalam forum itu pada Kamis (21/4) kemarin. Berikut petikannya.

ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Bagaimana kesan Anda tentang Qatar ketika mengikuti konferensi internasional, US-Moslem World Forum kemarin?

HAMID BASYAIB (HB): Kesan saya, Qatar jelas sekali sebuah negeri Teluk yang sangat mengerti apa yang mesti dia lakukan. Qatar adalah negeri kecil yang tahu kekecilannya, tapi sangat kaya, berpenduduk sangat minim, tidak sampai setengah juta orang. Mungkin, penduduk asli Qatar hanya sekitar seratus lima puluh ribu orang. Separuhnya mungkin terdiri dari polisi dan tentara. Jadi negerinya kecil saja, duitnya banyak sekali, dan dia tahu apa yang ia mau.

UAA: Anda bisa gambarkan kencangnya tuntutan reformasi di dunia Islam saat ini dari forum seperti itu?

HB: Mungkin lebih khusus tuntutan reformasi di dunia Arab. Konferensi yang saya hadiri itu berbicara tentang US-Islamic World Forum atau hubungan Amerika dan dunia Islam. Tapi sebetulnya namanya saja dunia Islam, sebab forum itu hampir seratus persen didominasi oleh orang-orang Timur Tengah, lebih spesifik lagi orang Arab. Jadi, forum itu tidak juga bisa disebut forum dunia Islam, karena orang Pakistan dan India juga protes dan mempersoalkan; kenapa Amerika Serikat dan Dunia Islam? Sebab faktanya, yang muncul adalah orang-orang Arab. Saya kira, jawaban yang jujur justru muncul dari seorang sosiolog besar berkebangsaan Mesir, Sa’ad Eddin Ibrahim. Pemimpin Pusat Studi Pembangunan Ibnu Khaldun yang pernah dipenjara beberapa tahun oleh rezim Hosni Mubarak di Mesir itu mengatakan, “Betul forum ini bernama US-Islamic World Forum. Tapi sebetulnya yang bermasalah bukan dunia Islam secara keseluruhan, tapi sebagian saja.” Dalam istilah dia, yang bermasalah itu hanya “an Arab part of the Islamic world”, atau bagian yang Arab dari dunia Islam.

UAA: Bisa digambarkan seberapa parah kondisi Arab, sehingga Sa’ad Eddin Ibrahim perlu menspesifikasi persoalan di sana?

HB: Problem pertama adalah soal sirkulasi kekuasaan. Dalam demokrasi, persoalan itu merupakan indikator penting. Artinya, salah satu indikator demokrasi adalah ketika sirkulasi kekuasaan berlangsung lancar, dalam periode yang pasti, reguler, dan ditentukan oleh pemilihan umum yang jujur, adil, dan lain sebagainya. Semuanya itu sudah ada kriterianya. Kalau ukurannya itu saja, bisa dikatakan seluruh dunia Arab—sekali lagi, seluruh dunia Arab tanpa kecuali—bahkan seluruh kawasan Timur Tengah, termasuk yang non-Arab seperti Iran, berjumlah sekitar 22 negara, tiada satupun yang memenuhi kriteria demokratis. Masih banyak negara yang berbentuk Monarki-Absolut ataupun Monarki-Konstitusional yang tetap sangat meragukan. Artinya, dia menganut Monarki-Konstitusional, tapi jauh di bawah penampilan Belanda, Inggris, Swedia, Belgia, atau bahkan, Muangthai. Jadi dari segi itu saja, dunia Arab yang kebetulan dunia Islam, betul-betul terbelakang.

Dari sudut politik modern, kita juga masih melihat banyaknya rezim di sana yang bersifat dinastik, atau sepertiganya masih berbentuk dinasti. Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara kecil seperti Bahrain, Dubai, Uni Emirat Arab, bahkan Yordania, masih berbentuk dinasti atau Monarki-Absolut. Sementara yang berbentuk Republik pun masih juga berwatak dinastik; negaranya dipimpin presiden, bentuknya Republik, tapi semua orang juga tahu kalau pemilunya sudah diatur, sehingga hasilnya tidak pernah demokratis.

Dalam kasus Syria, yang menggantikan mendiang Hafez Asad tak lain anaknya sendiri, Bashar Asad. Padahal, dia sedang asyik menjadi dokter mata yang tidak berhubungan sama sekali dengan soal kekuasaan politik. Tiba-tiba saja, dia didaulat menjadi presiden melalui proses amandemen undang-undang, karena ketika ayahnya mangkat, umurnya belum lagi cukup untuk menjadi presiden menurut aturan hukum. Fenomena yang sama kini hampir terjadi di Mesir. Presiden Hosni Mubarak itu, dulunya “tidak sengaja” naik ke tampuk kekuasaan, karena Anwar Sadar (presiden sebelumnya) mati terbunuh. Meski tidak sengaja, tapi dia bisa berkuasa sebegitu lama (20 tahun lebih), dan mungkin akan mewariskan kekuasannya kepada anaknya, Gamal Mubarak.

UAA: Anda melihat harapan perubahan di negara-negara yang Anda sebutkan tadi?

HB: Ini yang menarik. Sekarang sudah ada gerakan kifayah, atau cukup sampai di sini. Saya pernah menulis soal itu. Tapi dari forum di Qatar kemarin, saya menangkap nada umum yang mengalun adalah ambiguitas masyarakat Arab dalam melihat peran Amerika Serikat dalam reformasi. Negeri sebesar Amerika yang memang punya kepentingan luas, dan sejak dahulu kala sampai sekarang merupakan satu-satunya negeri super power, mustahil sekali diabaikan perannya. Amerika itu benar-benar besar, punya program yang luas, karena itu dalam konteks Timur Tengah perannya sulit diabaikan. Tapi para pakar dan kalangan politisi di forum itu juga sangat keberatan dengan apa yang mereka sebut hard power-nya Amerika. Ini terlihat dalam bentuknya yang paling telanjang dalam penyerbuan atas Irak dan Afghanistan.

Invasi seperti itu jelas sekali ditentang dengan alasan-alasan yang sangat gamblang, sehingga tidak usah diungkap lagi. Tapi di sisi lain, mereka (negara-negara Timur Tengah itu) juga sangat mendambakan campurtangan Amerika dalam bentuk kekuatan yang lunak, atau yang mereka sebut soft power. Konsep soft power ini adalah konsepnya Joseph S. Nye dari Universitas Harvard. Bentuknya bisa bermacam-macam. Suguhan entertainment atau hiburan dalam bentuk film dan lainnya, bagi S. Nye adalah bagian dari soft power. Itulah yang dia anjurkan, ketimbang penggunaan hard power yang berharga mahal dan selalu menelan banyak korban.

UAA: Apakah para intelektual Timur Tengah itu tidak bisa berharap lagi pada perubahan dari dalam?

HB: Sialnya, tidak ada gaung perubahan dari dalam. Saya kira, soal ini betul-betul perlu kita renungkan. Karena itu, kita tidak bisa begitu saja menuduh mereka sebagai pemohon campurtangan asing. Sebab faktanya, sumber-sumber perubahan dari dalam memang tidak ada. Tidak ada usaha perubahan dari dalam rezim, sementara masyarakat sipil pun juga sangat lemah. Tentu sangat baik kalau ada angin perubahan dalam negeri, atau harapan perubahan itu menyembul dari rezim. Dan sudah semestinya, kesadaran perubahan itu muncul dari rezim atau setidak-tidaknya dari dissident dalam tubuh rezim, baik melalui pola revolusi ataupun reformasi. Di mana-mana kan begitu?!

UAA: Kini mulai muncul pekikan “kifayah!” atau “cukup!” sebagai protes atas rezim penguasa. Apa makna tuntutan ini?

HB: Artinya “cukup”. Dalam bahasa Italia biasanya digunakan kata basta! Dulu, ketika memprotes dominasi atau agresivitas para mafia, orang Italia turun ke jalan sembari meneriakkan “basta!”, atau “enough!”. Artinya, cukuplah semua penderitaan ini, dan cukup sudah keberingasan kalian yang telah menyengsarakan kami! Nah sekarang, teriakan yang bergema di hampir seluruh kawasan Timur Tengah adalah “kifayah!”, seperti yang dicatat oleh Robin Wright dengan bagus dalam editorial Washington Post. Itu tidak hanya terjadi di Mesir, tapi terjadi juga di Kuwait, bahkan Arab Saudi, negeri yang paling resisten terhadap perubahan.

UAA: Tapi Bung Hamid, saya menduga saat ini juga menguat suara yang mengatakan, “Apa perlunya demokrasi yang sistem kafir itu di Timur Tengah”?

HB: Suara seperti itu saya kira patut dicurigai sebagai kilahan untuk mempertahankan status quo saja. Sebab mereka itu juga mengerti betul pentingnya demokrasi. Dalam keadaan yang jernih, mereka juga mengajukan konsep syura atau musyawarah. Tapi mereka lupa, konsep syura itu juga bagian dari istitusi pra-Islam yang bagus dan luhur, karena itu diadopsi Islam. Karena itu, meskipun secara retorik mereka menolak demokrasi, di sisi lain mereka juga membanggakan syura sebagai bentuk demokrasi Islam. Karena itu saya berhak curiga kalau itu sebetulnya hanya dalih untuk mempertahankan status quo.

UAA: Mengapa banyak orang yang menentang proses perubahan sistem politik dengan mengatasnamakan agama di sana?

HB: Saya kira, faktor yang juga penting adalah faktor Amerika Serikat. Jadi, mereka begitu bencinya pada Amerika, sehingga semua yang berbau Amerika akan ditentang. Pokoknya, asal bukan Amerika. Jadi penentangannya sebetulnya sudah tidak rasional lagi. Dulu waktu masih dijajah Belanda, semua yang berciri-ciri Belanda juga kita tentang. Makanya kita getol belajar bahasa Arab, bukan bahasa Belanda atau bahasa Inggris. Kita tidak mau pakai dasi, dan tidak sudi memakai pantalon. Sistem belajar di sekolahan juga tidak mau pakai kelas. Kita baru mendadopsi sistem kelas sejak tahun 1906. Sebelumnya, kita sorogan, karena kelas dianggap cara Belanda. Rupanya, selalu ada impuls untuk menentang kolonialisme dari semua sumber.

Karena itu, kalau saya boleh menyarankan, mestinya orang Islam di seluruh dunia bertanya ketika sedang mengadopsi sistem dari luar Islam atau lebih spesifik sistem yang telah diterapkan Barat: apa sebetulnya yang hilang dari mereka? Dalam pemahaman sementara saya, sebetulnya tidak ada yang hilang sama sekali. Karena tidak ada yang hilang, maka tidak perlu ada yang digentarkan. Buat saya, Islam adalah suatu agama yang bisa menyerap banyak sekali sumber, dari manapun datangnya.

UAA: Kalau begitu ada dilema: di satu sisi penolakan sistem Barat begitu kuat, sementara di sisi lain sistem politik yang otoriter juga sangat bermasalah!

HB: Ya. Karena itu, saya selalu mengatakan bahwa peradaban itu datang sebagai satu paket. Karena itu, sistem politik yang bobrok juga akan berimbas pada yang lain. Ambillah contoh dari negara-negara Timur Tengah. Konon, nilai ekspornya sangat rendah. Forum Doha kemarin menunjukkan data bahwa keseluruhan ekspor Mesir dalam jangka satu tahun, sebanding dengan ekspor Korea Selatan dan Taiwan dalam dua hari. Itu perbandingan negara per negara. Tapi ada angka yang lebih mengejutkan lagi. Konon, Growth Domestic Product atau GDP seluruh anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang sekarang paling sedikit berjumlah 51 negara, hanya sekitar 5,4% GDP dunia. Sementara, GDP Jepang sendirian mencapai sekitar 15% GDP dunia. Coba anda bayangkan betapa jauhnya! Jepang yang sendirian itu, GDP-nya 4 atau 3 ½ kali lipat di atas gabungan seluruh negara Islam.

UAA: Anda percaya keterbelakangan di bidang pembangunan dan lainnya itu terkait dengan sistem politik yang otoriter?

HB: Sudah pasti. Lebih jauh dari itu, mungkin sudah saatnya kita juga dengan jernih berpikir bahwa ini jangan-jangan juga bersumber dari pemahaman agama yang keliru. Karena itu, jangan buru-buru apriori menegaskan bahwa persoalan agama atau penafsirannya sudah begitu beres. Karena itu, mari dengan jujur kita melakukan koreksi diri. Usaha ini penting sekali, karena fakta-fakta yang ada memang sangat menyakitkan untuk kita abaikan begitu saja. Kita juga tidak bisa taken for granted mengatakan bahwa yang ada dalam agama ini sudah beres semua.

UAA: Bagaimana dengan problem Israel yang dianggap telah melupakan pembahasan tentang cacat internal di tubuh mereka?

HB: Kalau Israel ikut disinggung juga, maka demi kelengkapan pembahasan, menjadi penting membahas persoalan Arab sebelum Israel berdiri. Apa yang terjadi sebelum itu? Seluruh dunia Islam dijajah! Itu saja fakta yang tidak ada hubungannya dengan Israel. Justru pertanyaannya perlu dibalik: kenapa sebuah negara bernama Israel bisa berdiri di situ? Inilah sebuah anakronisme sejarah, karena negeri Yahudi bisa berada di tengah lautan Arab. Jadi, anggapan tentang adanya hal yang tidak beres pada samudera Arabnya menjadi logis. Bahwa kemudian persoalan mereka diperkental oleh faktor Israel, barangkali betul. Tapi kita juga harus melihat kasusnya satu per satu. Beberapa negara Arab, saat ini sudah tidak bermasalah, bahkan sudah punya hubungan baik dengan Israel. Qatar sendiri punya hubungan dengan Israel, dan Yordania bahkan sudah lama menjalin hubungan diplomatik. Jadi kalau bicara faktor Israel, maka kita mestinya bicara pengaruhnya atas negara per negara.

UAA: Bagaimana dengan kepentingan Amerika dalam kaitannya dengan Israel?

HB: Kalau kita bicara soal pendirian Israel pertama kali, sebetulnya dia lebih banyak terkait dengan kepentingan Inggris. Baru di masa kemudian masuk kepentingan Amerika. Karena itu, kita mengenal Deklarasi Balfour (tahun 1917), ketika Arthur James Balfour menjadi Menteri Luar Negeri Inggris. Tapi yang aneh sebetulnya, baik pihak Islam maupun pihak Yahudi sama-sama menggunakan argumen agama, baik untuk menentang ataupun mendukung negara Israel. Orang Islam mengemukakan perspektif Alqur’an tentang Palestina, sementara orang Isreal mengajukan klaim Biblikal yang lebih keras. Sampai kini, masih banyak kalangan Yahudi fundamentalis yang tidak mau menyebut kata Israel ataupun Palestina. Mereka lebih suka menyebut keduanya Judea dan Samaria, untuk menghidupkan lagi kenangan lama mereka tentang tanah itu, dan itu sering didukung oleh politisi sayap kanan di sana.

UAA: Mas Hamid, reformasi politik penting, tapi reformasi pemahaman agama tak kalah penting, atau mungkin lebih penting. Soalnya, banyak orang yang anti perubahan dan setia mengerangkeng kebebasan sipil dengan dalih agama. Di Arab Saudi, sampai kini perempuan tidak dibolehkan menyupir karena dianggap tidak sah atau tidak dibolehkan agama. Jadi, ada hal-hal yang hakikatnya remeh-temeh, tapi akibatnya begitu serius.

HB: Ini memang sangat serius, karena pada akhirnya menyangkut martabat manusia. Besar sekali pertaruhannya kalau sebuah agama sudah sampai menggangu atau mengusik tidak kurang dari martabat manusia itu sendiri. Karena itu, ini sudah pasti sebuah persoalan serius. Dalam kasus Saudi, jelas sekali kalau martabat wanita diinjak-injak hampir lumat. Luar biasa! KTP saja mereka tidak punya dan masih harus mengikut suami atau keluarga. Anda bisa bayangkan, di abad ke-21 ini, dan di sebuah negeri yang begitu makmur, kaya raya—sekalipun bukan buah kerja keras mereka—persoalan seperti itu masih saja ada. Orang-orang kelas atasnya punya vila bagus-bagus di Swiss, Hollywood, dan di mana-mana, tapi untuk kaum perempuan, KTP-pun mereka tak punya. Soal nyetir mobil mungkin sudah tahap selanjutnya yang sudah lebih canggih. Tapi ini soal KTP; persoalan identifikasi diri yang paling mendasar.

UAA: Sialnya, hal-hal yang tidak membanggakan dari tanah Arab itu memberi pengaruh cukup kuat di negeri kita, karena Arab terlanjur diasosiasikan dengan Islam!

HB: Terus terang saja, itulah sialnya. Khusus dalam kasus Arab Saudi, kaum perempuannya mesti dibungkus cadar hitam dan ditetapkan kekangan-kekangan lainnya, seakan-akan mereka dianggap benda yang menjijikan. Tapi di sisi lain, sebetulnya itu juga bentuk penghinaan atas kaum lelaki. Karena asumsinya: ketika kaum lelaki berurusan dengan perempuan, yang muncul tak bisa lain urusan seks belaka. Karena itu, perempuannya harus dibungkus rapat-rapat. Bagi saya, itu sebetulnya termasuk bentuk penghinaan terhadap kaum lelaki. Tapi sialnya, di Arab Saudi terdapat haramain atau dua situs suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karena itu, produk pemikiran apa saja yang berasal dari sana dianggap identik Islam dan lebih otentik dibanding produk pemikiran keislaman kita. Padahal jelas sekali mereka belum tentu identik Islam.

UAA: Kalau terjadi reformasi, baik pada level politik ataupun ajaran agama dari Timur Tengah, saya rasa akan banyak membantu usaha kita, ya?

HB: O, ya! Sebab, kita rakyat Indonesia dengan populasi yang tak kurang dari 220 juta ini, masih saja dianggap Islam pinggiran. Buktinya, dalam forum Qatar kemarin, yang identik dengan sebutan dunia Islam masih saja mereka. Padahal kalau kita lihat dari sisi demografis, orang Islam di dunia Arab tak lebih dari 15-20% orang Islam di dunia. Di Cina saja ada sekitar 100 juta umat Islam. Di Rusia juga banyak, apalagi di kita. Jadi sebetulnya mereka sedikit, tapi seperti yang dikatakan orang Jawa, awu atau wibawanya itu tinggi. Jadi kita ini kalah wibawa, karena mereka ada di pusat. Hanya memang harus pula kita akui bahwa produk intelektual dari dunia luar Arab memang sangat sedikit. Anda tentu lebih tahu soal itu. Karena itu, perjalanan kita memang masih panjang. []

01/05/2005 | Wawancara, | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sayang, Gaung Reformasi Internal Tidak Kuat di Dunia Arab, disebabkan:

1. At Taubah (9) ayat 97: Orang-orang Arab paling kafir dan paling munafik.
2. Ali Imran (3) ayat 80: Bersifat ARBABAN/KULTUS/MENUHANKAN nabi, bershahadatain anti shahadat tauhid sesuai Az Zumar (39) ayat 45.
3. At Taubah (9) ayat 31: Bersifat ARBABAN pemuka agama selain Allah.
4. Al Hajj (22) ayat 31: ARBABAN menyimpang dari jalan lurus, alias musrik:
a. At Taubah (9) ayat 5: Musrik bunuh dengan hujjah Allah.
b. At Taubah (9) ayat 28: Musrik najis.
c. At Taubah (9) ayat 36: Musrik perangi dengan hujah Allah.
d. At Taubah (9) ayat 113: Musrik jangan dido’akan untuk tidak musrik.
e. An Nisaa (4) ayat 48,166: Musrik tidak ada ampunnya untuk tidak musrik.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  11/03  at  04:43 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq