Semua Bermula dari Cinta… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
08/09/2003

Dewi Lestari Simangunsong: Semua Bermula dari Cinta…

Oleh Redaksi

Dewi Lestari Simangunsong, atau akrab dipanggil Dee, penyanyi yang juga penulis novel best seller Supernova, menuturkan tentang pengalaman spiritualnya. Ia menceritakan perenungan-perenungannya yang ekstrem tentang Tuhan dan gereja.

Tiba-tiba, setitik sinar matahari
sore masuk ke dalam gereja. Seketika itu gereja menjadi kuning semua. Bagus
banget! Sampai-sampai saya merasa kalau tidak melihat matahari itu, saya akan
menyesal seumur hidup.

Saya keluar, minggat dari
khutbah. Saya pengin sekali melihat sinar matahari itu. Karena banyak
pepohonan, akhirnya saya tak dapat melihat sinarnya langsung. Saya pergi dan
kendarai mobil sampai jauh sekali dari gereja. Saya terhenti di sebuah rel
kereta api. Saya menyaksikan rupa matahari yang akan turun, timbul-tenggelam.
Mungkin hanya sekejap. Sekitar satu menit saja saya menikmati matahari yang
saya kagumi itu. Tapi saya merasa, satu menit di rel kereta api itu jauh lebih
berharga dari pada ibadah yang saya lakukan selama hidup saya.


Demikian nukilan cerita Dee
Lestari, penyanyi yang juga penulis novel best seller Supernova,
tentang pengalaman spiritualnya. Penyanyi bernama lengkap Dewi Lestari
Simangunsong yang tersohor lewat grup Trio RSD (Rida Sita Dewi) mengungkapkan
berbagai pengalaman keagamaannya dan persepsinya tentang agama dalam wawancara
dengan Ulil Abshar-Abdalla pada hari Kamis, 4 September 2003.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Dee,
dalam novel Anda banyak sekali dijumpai hal-hal yang bersifat renungan
spiritual. Apa yang mendorong Anda untuk melakukan renungan-renungan semacam
itu; apakah Anda pernah mengalami suatu peristiwa yang membuat terhenyak secara
spiritual?

 
DEWI LESTARI (DEE): Sebetulnya, sejak kecil saya
sudah senang melakukan perlamunan yang tendensinya ke hal-hal yang bersifat
spiritual. Sejak kecil, saya memang hobi menghayal, dan sering kali saya
terjebak ke dalam lamunan tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial-filosofis.
Misalnya lamunan itu berisi: mengapa saya ada disini? Bisakah saya punya
kehidupan yang lain? Neraka itu seperti apa, dan surga itu kayak apa?

Seringkali isi lamunan saya itu
berada di luar cerita-cerita yang pernah saya dengar, tak sama dengan
dogma-dogma yang saya pelajari, ataupun omongan orang yang umum beredar. Tapi
saya memang tipe manusia yang tidak bisa dibilangin. Artinya, saya harus
mencari jawaban itu sendiri, sehingga saya tak ingin cepat-cepat berpuas diri
ketika membaca sebuah fenomena, atau menerima mentah-mentah sesuai dengan apa
yang didiktekan orang. Saya selalu merasa bahwa pencarian spiritualitas adalah
bentuk petualangan yang bersifat individual. Untuk itu, semua orang akan
menjalaninya berbeda-beda.

ULIL: Apakah
Anda hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat disebut taat dalam beragama?

DEE: Ya. Ibu saya terhitung sebagai
anggota majelis gereja. Selagi beliau masih ada (sekarang beliau sudah meninggal),
selalu ada watchdog moral yang mengharuskan saya pergi ke gereja dan
sebagainya. Ayah saya, karena bertugas sebagai ABRI, sering berpindah-pindah
tempat, sehingga kita relatif kurang banyak bertemu. Terkadang, kita hanya
bertemu seminggu sekali. Tapi, ayah saya seorang yang moderat.

ULIL: Bagaimana
agama diajarkan kepada Anda waktu kecil? Apakah sebagai doktrin yang penuh
aturan, ancaman, horor, atau sebagai sesuatu yang menyenangkan hati anak kecil?

DEE: Sebetulnya saya tidak punya
pengalaman yang traumatis dari sisi doktrin agama. Jadi menurut saya cukup
menyenangkan, apalagi buat anak kecil. Ketika itu, yang paling menyenangkan
adalah momentum seperti perayaan Natal. Tapi, memang lebih pada hal-hal yang
bersifat seremonial ketimbang esensial. Esensi doktrin, justru saya pelajari
baru-baru ini. Dulu, semuanya masih bersifat seremoni saja.

ULIL: Dalam perkembangannya, apakah
Anda menemukan beberapa hal yang Anda anggap aneh atau janggal dalam doktrin
agama yang pernah diajarkan pada Anda semasa kecil, sehingga menuntut Anda
berpikir ulang?

DEE: Saya selalu berpikir tentang
persoalan yang kelihatannya dapat ditemukan pada semua agama meski dengan kadar
yang berbeda-beda, yaitu soal ekslusivitas. Soal itulah yang sedari dulu
mengganggu benak saya. Saya selalu tinggal dan berinteraksi dalam lingkungan
yang beragam. Teman saya datang dari agama yang bermacam-macam. Tapi ketika
saya kembali ke “sekolah Minggu” atau ke gereja, di situ saya mendengar bahwa
hanya orang Kristen yang akan masuk surga, dan bla-bla-bla. Ketika saya
bertukar pikiran dengan teman-teman dari agama yang lain, mereka juga
mengatakan hal yang sama.

Persoalan ini sama sekali tidak
masuk ke dalam akal saya. Bagi saya ini paradoks. Di satu sisi kita mengatakan
Tuhan Maha segalanya, Maha Esa, namun perjalanan menuju ke sana kok
berkesan sangat tersekat-sekat. Banyak orang yang berpikiran eksklusif
mengatakan bahwa setiap agama punya klaim kebenaran, dan di luar mereka adalah
salah.

ULIL: Lantas,
sejak kapan Anda mulai merasakan hal-hal yang Anda anggap janggal tadi itu?

DEE: Pada mulanya saya memulai
perenungan itu dari cinta. Semuanya bermula dari konsep cinta. Kebetulan saja
konsep cinta atau kasih sangat kuat dalam doktrin agama saya. Tapi kemudian
saya mempelajari lebih dalam lagi. Saya melihat banyak orang yang melandaskan
hubungan mereka atas dasar cinta, dan ketika cinta sedang mekar-mekarnya,
sepertinya segalanya bisa terobati. Tapi di saat yang sama, cinta itu juga
sangat mudah berbalik menjadi racun. Saya bingung melihat fenomena itu; kenapa
bisa begitu? Cinta yang tadinya begitu menyegarkan, di satu titik justru bisa
mematikan.

Dualitas semacam itu saya
perhatikan juga dalam pengertian kita tentang Tuhan. Jadi ada Tuhan dan ada
setan. Hanya saja, setan juga diciptakan oleh Tuhan. Bagi saya, ada hal yang
tidak masuk dalam otak saya dalam masalah ini. Saya bingung, kenapa bisa ada
dikotomi semacam itu. Sepertinya, manusia selalu saja melihat segala sesuatu
dari dualisme semacam itu. Jadi, hidup ini memang penuh paradoks. Di tengah
kebingungan semacam itu, akhirnya pada penghujung tahun 1999, saya membaca
sebuah buku yang termasuk international best-seller, berjudul The New
Revelation: A
Conversation with God karangan Neale Donald Walsch.
Terus terang, buku itu membuka wawasan saya.

ULIL: Jadi fungsinya semacam pembuka kotak pandora?

DEE: Betul. Sebelumnya, saya juga
sudah melakukakn perenungan-perenungan, bahkan sampai pada titik yang cukup
ekstrim. Saya sempat berpikir, apakah dunia memang tercipta hitam-putih, atau
jangan-jangan mata manusia saja yang melihatnya demikian, sementara Tuhan
sendiri sebenarnya abu-abu. Hanya saja, ketika Dia dihampiri lebih dekat lagi,
ada spektrum hitam dan putih.

Nah, begitulah kira-kira isi buku
yang saya baca itu. Waktu itu, saya membelinya secara instingtif saja. Ketika
itu saya sudah selesai kuliah, sebelum menyelesaikan novel Supernova yang
pertama. Terus terang, saya menulis Supernova, (juga) karena tergerak setelah
membaca buku Neale Danald Walsch tadi. Pada suatu malam saya merasakan semacam
ekstase. Soalnya, apa yang terjadi pada Neale
itu juga terjadi pada diri saya. Dari situ, saya merasa bisa berbincang-bincang
dengan Tuhan dengan begitu dekat, tidak ada jarak. Dan, hidup ini sepertinya
adalah doa. Jadi tidak ada yang tidak tergenggam dalam tangan Tuhan. Dari situ
saya merasa bahwa sebetulnya ekslusivitas dan kompartemen-kompartemen yang
selama ini saya huni, sebetulnya adalah ilusi belaka.

ULIL: Dee,
membaca beberapa kutipan novel Anda seakan membawa kita membaca sebuah risalah
filsafat, bukan sebuah novel biasa. Saya ingin bertanya lebih jauh: selain buku
The New Conversation: A Conversation With God, buku apa lagi yang
membentuk cara pandang Anda terhadap agama?

DEE: Setelah saya membaca buku itu,
saya seperti mengalami kehausan yang sangat-sangat. Berpangkal dari sana, saya
lalu mulai mencari banyak buku-buku lainnya. Saking hausnya, saya bisa membaca
tiga buku dalam satu hari. Waktu itu saya berusaha memahami semua agama.
Tiba-tiba, saya malah tertarik untuk kembali lagi ke kompartemen-kompartemen
tadi, tapi dari sudut pandang yang lain. Dulu saya memandangnya dari sudut
pandang orang yang berada di dalam kompartemen itu (insider), sekarang
saya berusaha mencari pendapat lain dengan memakai sudut pandang orang yang
sudah keluar dari sebuah kotak (outsider).

ULIL: Anda dari awal bertipe suka merenung, tapi mengapa ketika kuliah di Universitaa
Katolik Parahyangan Anda memilih jurusan hubungan internasional?

DEE: Sebetulnya, itu terjadi di zaman
ketika saya belum mengenal jati diri. Saya cuma melihat namanya yang menarik
untuk ukuran anak selepas SMA: hubungan internasional. Kalimat itu seolah-olah
mengandung magic bagi anak SMA. Baru kemudian, ketika pertama masuk
kuliah, saya sadar ternyata telah menjebakkan diri ke dalam sebuah cabang ilmu
yang mempelajari persoalan politik.

ULIL: Bagaimana
dengan pengalaman spritual-keagamaan Anda ketika itu?

DEE: Dari tahun 1993 sampai awal 1999,
dan selama kuliah, sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Tapi ada suatu momentum
menarik ketika mama saya sudah meninggal. Kala itu saya pergi ke gereja di mana
saya mendengar khutbah walau sambil terkantuk-kantuk. Waktu itu, saya merasa
akan berdosa kalau keluar dan tidak mendengar khutbah. Tiba-tiba, setitik sinar
matahari sore masuk ke dalam gereja. Seketika itu gereja menjadi kuning semua.
Bagus banget! Sampai-sampai saya merasa kalau tidak melihat matahari itu, saya
akan menyesal seumur hidup.

Akhirnya saya keluar, minggat
dari khutbah, karena saya pengin sekali melihat sinar matahari itu.
Karena banyak pepohonan, akhirnya saya tak dapat melihat sinarnya langsung.
Saya lalu memutuskan untuk melarikan mobil, pergi megejar matahari itu sampai
jauh sekali dari gereja. Saya terhenti di sebuah rel kereta api. Saya
menyaksikan rupa matahari yang akan turun, timbul-tenggelam. Mungkin hanya
sekejap, sekitar satu menit saja saya menikmati matahari yang saya kagumi itu.
Tapi saya merasa bahwa, satu menit di rel kereta api itu jauh lebih berharga dari
pada ibadah yang saya lakukan selama hidup saya.

ULIL: Anda
seperti meninggalkan rumah Tuhan demi menuju ciptaan Tuhan?

DEE: Betul. Di situ saya melihat apa
yang disebut keagungan Tuhan, kebesaran-Nya, dan lain sebagainya begitu masuk
dan meresap dalam jiwa saya selama satu menit saja, dibandingkan bertahun-tahun
saya melakukan ibadah tanpa tahu saya sebenarnya sedang berbuat apa. Saya tidak
mengerti tujuannya apa. Saya hanya merasa seperti robot yang disuruh-suruh ke
sini-ke situ tanpa adanya inner motivation yang lahir langsung dari sisi
dalam diri saya.

ULIL: Anda
telah memutuskan untuk meninggalkan khutbah gereja demi melihat keagungan Tuhan
dari sisi yang lain. Setelah melihat keagungan Tuhan yang sangat spketakuler
itu, bagaimana jadinya perkembangan dan pertumbuhan iman Anda, khususnya dalam
menjalankan kehidupan sebagai seorang Kristen?

DEE: Sekarang saya melihat iman
Nasrani saya dalam arti yang sangat luas. Mungkin, saya sudah tidak tertarik
lagi ketika melihat suatu agama dengan aturan-aturan fisiknya saja. Terus
terang, saya tidak lagi suka ke gereja, tapi saya masih suka membaca Bibel.
Sekarang saya melihat agama sebagai property pribadi. Saya juga sudah
menganggap segala hal adalah ritual, segala hal adalah ibadah. Saya menganggap
semua hidup saya adalah ibadah, termasuk menulis Supernova. Kalau ada yang
mengganggap menulis buku adalah hobi, bagi saya itu bukan lagi sekedar hobi.
Bagi saya, itu adalah suatu kebutuhan. Menulis bagi saya adalah kegiatan yang
sangat ritualistik. Ketenangan yang saya dapatkan darinya tidak bisa saya
bandingkan dengan apapun.

ULIL: Dee,
tadi Anda bercerita kalau belajar banyak agama. Apa yang Anda temukan setelah
bertandang dan mengelana melihat banyak agama?

DEE: Misi saya ketika itu adalah untuk
mencari benang merah agama-agama. Jadi, saya menyisihkan segala perbedaan, dan
langsung berusaha menemukan esensi dari agama-agama yang saya pelajari. Saya
merasa takjub, ternyata semuanya sama secara makrifat. Secara syariat memang
berlainan, dan itu menurut saya memang karena sudah adanya pengaruh
kebudayaan setempat.

Ketika misalnya Islam diturunkan
di jazirah Arab, tak ayal lagi pasti ada pengaruh budaya setempat yang masuk
dalam aturan main-aturan mainnya. Demikian juga dengan Kristen, Hindu, Budha,
dan lain sebagainya. Tetapi ketika kita menceburkan diri dan tenggelam lebih
dalam lagi ke relung-relung semua agama, disitulah kita baru akan menemukan
suatu kubangan besar di mana semuanya menjadi larut, semua menjadi sama.

ULIL: Setelah
Anda menemukan kenyataan bahwa (esensi) semua agama adalah sama, apa yang
lantas Anda rasakan; apakah Anda merasa bahwa menjadi Kristen tidak lagi
bermakna?

DEE: Justru sama sekali lain. Yang
saya rasakan adalah penghargaan pada baju-baju yang kita kenakan. Hanya saja
saya juga sadar bahwa di balik baju itu ada satu wadah yang sama. Dan, di
situlah saya merasa bahwa pertengkaran mengenai agama menjadi sangat konyol.
Sebab, di situ kita justru bertengkar mengenai effect, bukan cause.
Kita mempertengkarkan akibat, bukan sebabnya.

ULIL: Anda
tadi menyentil soal baju-baju yang dipertengkarkan banyak orang. Anda juga
telah mengelana di berbagai agama. Pertanyaan saya, siapa figur tokoh agama
atau orang bijak yang Anda kagumi?

DEE: Yang membuat saya paling terkesan
sebenarnya Khrisna Murti, karena dia juga orang yang melepaskan diri dari
denominasi. Saya juga mengagumi Gibran Khalil Gibran, dan juga Paramhansa
Yogananda.

ULIL: Tampaknya
agama Hindu sangat memikat anda. Ini terlihat dari pemakaian simbol Omkara
dalam novel sampul buku Supernova Dua.  Itu permintaan Anda?

DEE: Ya, itu memang permintaan saya.
Tapi sebenarnya saya tidak melihat Hindunya pada saat itu. Waktu itu, saya
pernah membaca salah satu penelitian sains. Dari situ, kata “om” resonansianya
berkaitan erat dengan sebuah kelenjar dalam otak kita yang menurut para saintis
berfungsi seperti konektor antara kita dengan Tuhan. Jadi “om” bisa
mengaktivasi kelenjar tersebut. Di sinilah saya melihat adanya universalisme
simbol; bahwa “om” sebetulnya tidak bisa diklaim oleh agama apapun, karena dia
merupakan suatu fenomena universal.

ULIL: Apa
perasaan Anda ketika diprotes Forum Intelektual Muda Hindu Dharma (FIMHD) di
Bali karena Anda menyantumkan simbol Omkara/Aum yang merupakan aksara suci
Brahman Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu di cover novel Anda?

DEE: Itu merupakan pengalaman yang
sangat berharga. Saya menjadi tahu, memang ada level-level dalam kesadaran
keberagamaan yang tidak bisa dihindari. Bahwa level-level kesadaran itu memang
terjadi dan ada. Bagi kalangan yang mungkin belum sampai memahami bahwa kita
ini wadah yang satu, mereka akan sulit untuk menerima pengakuan bahwa “Om” itu
bukan milik dia saja.

ULIL: Ada
pendapat mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan tidak membeda-bedakan agama. Yang
penting bagi Tuhan adalah perberbuatan baik manusia terhadap sesama. Bagaimana
konsep surga dan neraka dalam pandangan Anda?

Menurut saya, surga dan neraka
sudah kita ciptakan di dunia ini. Ada orang yang menciptakan surga di dalam
kehidupannya, dan ada yang malah menciptakan neraka bagi dirinya dan orang
lain. Kalau ada pejabat yang korup sementara masyarakatnya menderita, berarti
dia sedang menciptakan neraka. Menurut saya, jika kita justru menjauhkan surga
dan neraka dengan menjadikannya sebagai tujuan yang baru akan kita capai
setelah mati, sesungguhnya kita telah banyak menggabaikan hal-hal penting yang
mestinya harus sudah kita ciptakan dalam hidup ini.

ULIL: Apakah
Anda sedang menggemakan pemikiran Calvin?

DEE: Barangkali begitu. Menurut saya,
yang nyata ada adalah jiwa yang tersesat dan jiwa yang menemukan rumahnya
kembali. Mungkin, apa yang oleh pengertian umum disebut neraka, manifestasinya
ada dalam jiwa yang tersesat, yang ketika meninggal dia belum tahu jati dirinya
siapa: apakah dia bagian dari Sang Pencipta atau bukan. Dan soal Tuhan mungkin
tidak akan menghukum, saya sebenarnya sependapat.

Bagi saya, hakikat menjadi
manusia adalah bagaimana mampu menemukan jati diri sendiri dan memiliki manfaat
secara horisontal bagi kehidupan sosial, serta memiliki hubungan yang baik
secara vertikal dengan Sang Pencipta. Semua itu sudah terlepas dari agama (beyond
religion)
. Agama itu kan bersifat institusional. Kadang-kadang, orang-orang
yang kita sebut menganut animisme, dinamisme, bahkan ateisme sekalipun, bukan
serta merta menjadikan orang yang tidak bermoral. Orang Indian yang punya
tradisi meminta izin dulu sebelum memetik setangkai daun, bisa jadi lebih
beradab dari mereka yang doyan ngebohongin rakyat.

08/09/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (22)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya tergelitik membaca komentar sdr. Bayu. Berikut adalah tanggapan saya atas komentarnya itu:

Sdr. Bayu menulis:

-----------------------------------------------------------------
“dalam salah satu dialog, dee menuliskan bahwa beliau telah memperlajari semua agama dan pada dasarnya semua agama itu adalah sama! YANG SAYA TANYAKAN Berapa lama dee mempelajari semua agama???”
-----------------------------------------------------------------

Tanggapan:

Tanggapan saya sederhana saja sdr. Bayu, pertanyaan yang sama juga seharusnya diajukan kepada orang yang menganggap hanya ada satu saja agama yang benar: Berapa lama kalian (yang menganggap cuma ada satu agama yang benar) mempelajari agama-agama, sehingga timbul kesimpulan demikian?

Atau jangan-jangan, kalian tidak pernah mempelajari agama-agama, melainkan hanya mempelajari agama yang kalian anut saja, dan kemudian menyimpulkan demikian??

Sdr. Bayu, saya pikir problemnya bukanlah “berapa lama” seseorang mempelajari agama (atau agama-agama), tetapi apa argumentasi seseorang ketika mengklaim semua agama itu sama benarnya (atau tidak sama benarnya). Dan sepertinya anda tidak melihat/mempertanyakan argumen/penjelasannya, tapi mempertanyakan sesuatu yang tidak relevan, soal “berapa lama”.

Posted by Rinaldi  on  08/21  at  03:50 PM

Ingat, dee. kebenaran itu hanya SATU, jd mustahil jika dikatakan semua agama itu benar dan sama.

Mempelajari agama sebaik-baiknya tidak bisa dilakukan dgn hanya membaca buku sj, apalagi buku yg belum jelas riwayat kerohanian penulisnya. dan tidak bisa dilakukan dlm waktu singkat.

Tetaplah mencari kebenaran yg hanya SATU itu! Karena sungguh yg Anda pahami skrg justru membawamu semakin jauh dari KEBENARAN!!

Posted by halface_creature  on  04/08  at  08:17 AM

Kalau saya berpendapat bahwa Apapun agama yg dianut mereka mesti sadar akan tujuan nya dlm beragama bukan berarti saya membenarkan semua agama karena kita merupakan makhluk yg bebas.
Dengan pengalaman yg DEE miliki… sy rasa Dee sudah mengenali Jati dirinya.. dan apa tujuan yg akan diraihnya sesuai dgn keadaan dirinya (maaf kalo salah saya cuma menduga)
Banyak hal yg dapat terjadi di dunia ini.. baik buruknya kita yg menentukan, benar adanya kalau kita menciptakan neraka dan surga dlm hidup ini. dengan mengenali diri kita, semoga hidup ini jauh lebih bermakna,… Tak ada yg abadi, semuanya hanyalah ilusi, tak ada yg sempurna jadikanlah apa adanya diri kita..

hal yg Dee ungkapkan sangat bermanfaat bagi saya… Trims..

Banyak misteri dalam hidup ini, apapun itu semoga kita menyadari arah dan tujuan hidup kita..  semoga selalu berada di jalan yg benar dan bermanfaat bagi sesama..  Amin

Sukses selalu.

Posted by ririn_Sj  on  12/31  at  11:50 AM

Lepas dari segala pro dan kontra, dee memang memiliki sebuah pemikiran yang mengesankan dengan perbendaharaan kata-kata yang ‘dalem’. Aku salut dengan dia karena di Indonesia ini dia merupakan salah seorang penulis yang ‘cerdas’ dan ‘berisi’. Untuk mengerti apa yang ingin dia ungkapkan, mestinya dibutuhkan pembaca yang juga cerdas yang melengkapi diri dengan wawasan dan hati.

Dan kalau menurutku, masalah pandangan ttg agama, itu sih kebebasan masing2 individu untuk menginterpretasikannya. Toh dia juga ga mensyiarkan ajaran apapun lewat karya karyanya. Karyanya bs dihargai dengan berbagai kacamata : suatu prosa, puisi, ide filsafat, ilmu, dsb. Kalo ada yang melihatnya sebagai suatu penyiaran sebuah ajaran/agama, menurutku sih sah sah saja. Tapi aku yakin, hakikat dari karya karyanya bukanlah itu sama sekali.

Maju terus dee.. Dunia butuh setitik warna seperti engkau, supaya lengkaplah isi dunia ini.
-----

Posted by shinta  on  01/16  at  08:02 PM

mbak dewi,, salut banget,, buat karya2 dan pemikiran..

pandangan tentang agama,, menurut saya, mbak sudah menemukan apa itu agama sebenernya.. dan telah telah menmukan salah satu agama sbg jalan..

salute..

btw, kpn the 4th supernova..? i’ll always be waiting for..

Posted by farul  on  01/05  at  12:02 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq