Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali? - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
20/09/2007

Tadarus Ramadan JIL 1428 H sesi I Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali?

Oleh Malja Abror

“Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

20/09/2007 07:15 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Dari tulisan diatas dapat saya pahami mengapa terdapat kemunduran umat Islam di segala bidang. Tapi saya tetap yakin akan momen kemajuan umat Islam terwujud dimasa datang. Saya juga merasakan selama ini kenapa umat islam ini menjadi tidak ada yg berkualitas dan maju dalam dunia pengetahuan.

Artinya karena ada pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan,menjadikan agama tidak memberi nafas pengetahuan dan pengetahuan menjadi kebablasan atau amoral. menurut saya, agama sebenarnya adalah sebagai sumber dasar ilmu pengetahuan. Agama tidak hanya bersifat atau bertujuan untuk akhirat namun tujuan dunia dalam menggapai ilmu pengetahuan sangat penting perannya untuk mengantar kita kepada pengetahuan tentang kebenaran-kebenaran Illahi.

Jadi bila agama menjadi sumber ilmu pengetahuan, bukan tidak mungkin ulama-ulama yg dinginkan (alm) Cak Nur, Pak Zainun atau yg lainnya atau saya juga menginginkannya adalah Ulama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd atau Aljabar. Yang menjadi masalah siapkah kita Kaum muslim mempersiapkan calon2 ulama teknologi tersebut.

Dan saya berkesimpulan entah benar atau tidak, Agama memang harus dipahami dengan Ilmu Pengetahuan. Karena pengetahuan akan mengantar kepada proses kebenaran dan kebenaran akan mendekati pemahaman akan keberadaan NYA. Makanya tidak usah heran orang non-muslim masuk islam biasanya berlatar belakang S2 atau S3 terutama di AS dan Eropa, karena apa ? Karena Islam hanya bisa di pahami orang yang berilmu pengetahuan tinggi. kalau dipahami orang berpengetahuan rendah islam tak bermakna.

#1. Dikirim oleh Daniel  pada  06/02   05:02 AM

saya salut akan tulisan ini....ya, Dunia Islam memang saat ini sedang mengalami kemunduran. saya kira memang “warisan” sikap al-ghazali masih terasa hingga saat ini, bahkan di kalangan umat Islam Indonesia sendiri, yaitu sifat yang bernafsu untuk menyatakan sesat terhadap mereka yang “lain”, yang tidak bersedia untuk mengikuti “arus” utama. menarik sekali ketika dikatakan bahwa penjajahan Barat terhadap ISlam adalah ibarat penjajahan intelektual oleh ibnu Rusyd terhdap Al-Ghazali. saya kira jelas mengapa Umat Islam saat ini sulit untuk maju, yaitu karena mereka lebih sering “tunduk” kepada hal-hal yang berbau ushul fiqih, sehingga takut untuk mengeksplorasi akalnya. Benar memang bahwa akal manusia itu ada batasnya, tapi kita semua juga tidak tahu kan batas-batas itu berada di mana???

Kenyataan yang terjadi adalah, bahwa umat Islam seakan begitu jauh tertinggal dalam penguasaan teknologi dibandingkan dengan Barat. masih mending kita bisa melihat contoh yang baik dari Iran, sebuah negeri Syi’ah dimana pengembangan teknologi justru lebih maju, ketimbang negeri2 Sunni yang kolot semacam Arab Saudi, yaman, Jordania, Uni Emirat Arab, dan (mungkin juga) Indonesia.

akhirul kata, bukankah kita semua tahu ayat pertama yang difirmankan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu “Iqra...”, saya kira ini berarti bahwa umat Islam itu harus terus belajar dan mengembangkan kemampuannya!!!!! bukan bersandar pada doktrin2 dogmatis Fiqih yang sudah usang sembari mengharap berkah turun dari langit....

Wassalam G.I.

#2. Dikirim oleh galih imaduddin  pada  14/02   04:02 AM

Fenomena apa pun dalam sejarah, hendaknya tidak diapresiasi an sich dari fenomena itu sendiri. Terlebih lagi peristiwa kesejarahan, penafsiran kita atas sejarah dimasa lalu pastilah tidak sama persis dengan penafsiran orang yang hidup pada masa fenomena itu berlangsung. Demikian pula, munculnya tokoh-tokoh sejarah, tidak bisa diapresiasi begitu saja dari kekinian yang kita miliki. Al Ghazali, betapa pun, merupakan antithese dari kejayaan filsafat yang, dalam konteks keislaman, telah menjauhi doktrin pokok yang digariskan Rasulullah SAW. mungkin, kita dapat berkilah dengan berbagai macam dalil atas jalan kefilsafatan yang kita ambil, namun sejarah memiliki sunnatullah yang telah ditetapkan padanya. Ketika filsafat berjaya,dan hampir-hampir tanpa penyeimbang, Allah munculkan penyeimbang. Ini sunnatullah, dan ketika fiqh berjaya hampir-hampir tanpa penyeimbang, Allah juga munculkan penyeimbang. Maka, tidak ada yang salah dengan Al Ghazali, wajar-wajar saja. Ia hanya melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuannya. Bagi saya posisinya mewakili, posisi yang seharusnya diambil oleh kaum muslimin, baik yang berfilsafat atau tidak. Karena berfilsafat itu tidak lain hanya memanfaatkan sumberdaya yang kita miliki, sama dengan berlari, berjalan membangun rumah dll. berfilsafat hanyalah menggunakan sarana berpikir, tidak lebih dari itu. Dan karenanya, seperti sarana lainnya, berpikir itu punya batas. Tidak semua fenomena dapat dipikirkan secara tegas hitam putihnya. ada hal transenden yang tidak pernah bisa dipikirkan dan bagi saya sudah cukup untuk menyebutnya sebagai tak terdefinisi. Kekacauan para filosof dan para pemikir pada umumnya karena mereka tidak pernah menyadari akan konsep tak terdefinisi dalam konteks nyata.
-----

#3. Dikirim oleh Lukman Hakim  pada  25/03   08:03 PM

dulu saya suka dengan pemikiran2 al-ghazali,tapi setelah saya ketahui bahwasannya dia itu orang plinplan dan tidak tahu malu,saya mulai tidak menyukainya,saya tidak suka dengan pemikiran mistisnya,seolah2 dia tidak pernah tahu,oleh karna itu saya berpendapat bahwa buku tahaffut al-falashifah adlh akal2n utk mengelabui org2 di jamannya,dan seolah olah dia itu org yg paling suci pemikirannya,padahal dia sudah terjermus kedalam lubang hitam,dan ia terkubur di dalam lubang yg hanya ada angan2 belaka,dan itu lah kegagalan dan kekalahan algazali dalam berfikir,sehingga ia hanya bisa berhayal dengan angan2 kosong,mistis dan sangat jauh dari kebenaran,

#4. Dikirim oleh .IRFAN KURNIA N I  pada  27/08   05:50 PM

saya kira semua harus belajar lagi dengan lebih baik,reputasi deorang imama gozali sudah teruji dengan baik,pemikiran al-gozali masih relepan dengan situasi dan kondisi sekarang ini,terus terang saya salut dengan tulisan ini.

#5. Dikirim oleh ardani  pada  11/10   01:17 AM

sejarahlah yang sudah berbicara. sejarah mengajarkan pada kita bahwa polemik itu akan selalu ada! jadi tak masalah siapa yang benar atau siapa yang salah.
kaum syi’ah menganggap bahwa mu’awiyah berdosa besar karna telah menipu ali. lalu siapayang salah???? kaum khowarij juga demikian. yang penting kita semua sudah tahu bahwa mereka memberi kontribusi yang tidak sedikit pada islam. dan lagi ijtihat yang salah kan gak dapat dosa.
lagian sejarah yang telah memberti julukan al-ghazali dengan hujjatul islam

#6. Dikirim oleh nawa  pada  07/11   03:40 PM

kehancuran dalam masyarakat muslim kini umumnya merupakan akibat dari kelangkaan kaum intelektual yang benar-benar independen dan berdedikasi. islam butuh intelektual sejati yaitu seseorang yang tahu berbagai hal dengan pikirannya yang tajam dan metodologi interdisipliner yang bisa memahami berbagai disiplin keilmuan, persoalan dan tingkat pengetahuan manusia.Seorang intelektual muslim harus menghargai dan memahami unsur-unsur utama dari pandangan-dunia, budaya, sejarah, pemikiran Islam, dan melakukan lebih dari itu yaitu menjadi sarjana interdisipliner sejati.apakah jalan pendidikan sekularis mampu memenuhinya, Saudara??

#7. Dikirim oleh r andri  pada  08/11   12:50 PM

Secara ainul yakin Al-Qur’an membimbing pemahaman manusia tuk melihat dirinya dengan sangat pragmatis.... manusia diibaratkan wadah (nafs) Dan sudah barang tentu dalam sebuah wadah dapat diisikan dengan berbagai komponen. Penalaran filisofis adalah salah satu isi yang dapat dituangkan kedalam wadah alam pikiran manusia. Jika saja wadah tersebut hanya berisi nalar filosofis maka dapat dipastikan manusia yang diisikan hal itu akan menjadi filosof ulung. Namun tak pernah dipikirkan secara kritis oleh banyak orang. Apakah wadah alam pikiran hanya perlu diisi oleh satu komponen aja… jawabnya bisa diukur dengan fenomena Al-ghazali… janganlah liat keunggulan aspek filosofis yang menjadi kemampuan utama beliau...tapi liatlah kelemahan2 gaya hidupnya akibat tiada senjata lain dalam dirinya selain keunggulan filosofis semata… sehingga kesanggupan beliau mengarungi hidup menjadi terbatasi. Sebab hidup tidak bisa hanya mengandalkan aspek filosofis, tetapi dibutuhkan aspek2 lainnya. Maka jangan heran jika mau jujur menilai maka dapat terkuak kelemahan dan penderitaan hidup Al-Ghazali dibanding manusia normal lainnya dengan aspek kemampuan dan konten alam pikiran yang merata. Mohon diketahui oleh kita semua bahwa tak ada tuntutan tuk jadi ahli filosofis dengan cara meninggalkan aspek lainnya demi menjulangkan kemampuan filosofis yang hanya bisa dimaknai oleh orang lain ....padahal untuk diri Al-Ghazali sendiri menjadi bumerang dalam mengarungi hidup akibat kelemahan dan ketiadaan aspek lainnya yang sanagt diperlukan dalam mengarungi segala nikmat yang mestinya dapat pula diraih dalam kehidupannya. Inilah fenomena “keblinger” yang dipuja orang dengan tidak bersandar pada uswah suci dari Rasululloh sebagai insan cemerlang dengan beragam aspek kemampuan yang merata dalam wadah (nafsiah) dirinya yang selalu menonjolkan keunggulan fitrahi dari racikan proporsional berbagai kelengkapan aspek nafsiah tuk keberkahan arungi lika-liku kehidupan di dunia dan akhirat

#8. Dikirim oleh kabayanist  pada  26/11   09:51 AM

kalo menurut aku sih apa yang dikatakan al ghazali, ibnu rushd, dan ibnu sina tentang penciptaan adalah sama sekali tidak rancu sebab al qur’an menceritakan tentang 3 jenis penciptaan yang berbeda :
1. al ghazali mengatakan kalo penciptaan alam ini berasal dari ketiadaan (hampa), dan al ghazali menggunakan al qur’an sebagai referensi, dan apa yang dikatakan al ghazali pun sesuai dengan iptek modern. seperti yang dijelaskan dalam teori dentuman besar, bahwa jagad raya ini tercipta dari ketiadaan.
2. ibnu rushd mengatakan kalo penciptaan alam ini berasal atau menggunakan elemen uap (asap), dan ibnu rushd menggunakan al qur’an sebagai referensi, dan apa yang yang dikatakan ibnu rushd sebenarnya juga sesuai dengan ilmu pengetahuan. seperti yang dipercaya oleh banyak ilmuwan bahwa penciptaan benda2 langit seperti matahari, bintang, bumi, bulan, dll adalah berasal dari asap.
3. ibnu sina mengatakan kalo penciptaan alam ini berasal atau menggunakan elemen air, dan ibnu sina menggunakan al qur’an sebagai referensinya juga, dan apa yang dikatakan ibnu sina sebenarnya juga sesuai dengan ilmu pengetahuan. seperti temuan arkeologis selama ini bahwa makhluk hidup tertua banyak yang hidup di air atau bermula dari air.
jadi kalo begitu ketiga orang diatas berkata benar dan tidak ada perbedaan dalam al qur’an tentang penciptaan, karena al qur’an bicara tentang 3 penciptaan yang berbeda yaitu :
1. tentang penciptaan makhluk hidup (air): ibnu sina
2. tentang penciptaan isi jagad raya (uap): ibnu rushd
3. tentang penciptaan jagad raya itu sendiri (kehampaan/ketiadaan): al ghazali

berdasarkan ilmu pengetahuan modern, ketiga penciptaan itu telah dipelajari disekolah smp dan sma di indonesia sebenarnya. tentang penciptaan makhluk hidup yang berasal dari air, tentang penciptaan isi jagad raya(bulan, bintang, bumi, matahari, dll) yang berasal dari uap(asap), dan penciptaan jagad raya itu sendiri yang dari ketiadaan menjadi ada (dentuman besar/big bang).

“manusia tak bisa obyektif jika dia seorang fanatis”

#9. Dikirim oleh intelijen  pada  06/02   11:29 AM

Hemat saya, tidak ada yang keliru kecuali orang-orang yang tertipu hawa nafsunya dan terpedaya oleh bisikan setan yang senantiasa ingin merusak amal baik manusia dengan aneka ‘modifikasi’ kesombongan, sok gagah, sok intelektual, dan sok-sokan lainnya sehingga amal manusia tidak ikhlas. Ingat, duhai Saudara-saudaraku, janganlah membikin setan bertepuk tangan dengan sepenuh hati atas ‘kepiawaian’ kita. Semua ulama baik apabila bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan tujuan mencari ridha Allah Swt. semata. “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab kelak di akhirat.” Demikian sabda Nabi Saw. Hisablah lintasan hati, ketajaman pikiran, ucapan, dan seluruh perbuatan kita baik yang disadari maupun yang tidak disadari.Apabila terbersit rasa takut akan murka dan azab Allah Swt., maka di sanalah kita telah menganiaya diri kita sendiri. Nah, tentu pula kita tidak akan saling menuduh (bersuuzan) yang tidak-tidak terhadap orang lain. Hisablah diri kita sebelum Allah Swt. menghisab kita. Yang patut Anda catat, Anda boleh jadi belum mengenal sosok Al-Ghazali dari dekat. Lihatlah pembelaannya terhadap Islam sehingga ia layak disebut sebagai ulama, filosof (istilah yang sering dituduh sebagai ahli pikir; semua Muslim diperintahkan berpikir dan Al-Ghazali sangat menggunakan pikirannya sebab tiada Islam tanpa berpikir), dan sufi. Itulah kehebatan Al-Quran: dapat dipahami orang awam dan kaum intelektual. Sejujurnya Al-Ghazali hendak berdialog dengan kita secara intelektual. Jangan pernah lantas menuding dia menyingkirkan akal (pikiran) yang sungguh-sungguh ia kedepankan sebagai ajaran Islam yang benar. Lihatlah kembali, di dalam Al-Quran ditemukan banyak perintah dari Allah Swt. agar kita mengoptimalkan akal kita. Jangan terjebak secara argumentatif dengan mengatakan Islam ‘kuno’ menolak akal, tapi menggelembungkan hati. Sekali-kali tidak. Justru kita diupayakan agar menggunakan secara optimal potensi akal, hati, dan fitrah keimanan kita dibarengi dengan petunjuk kebahagaian dunia dan akhirat yakni Al-Quran. Tidak semua hal terjangkau akal. “Akal hanyalah sebagai rakit. Baik yang dapat berenang maupun yang tidak keduanya perlu ALAT yang lebih besar apabila tejadi ombak besar menyerang,” kata Abdul Halim Mahmud, yang dijuluki Al-Ghazali abad 20. Wallahu ‘alam.

#10. Dikirim oleh Mr. Naruto  pada  18/05   04:57 PM

Orang yg mengeritik hasil karya orang yang udah lama hidupnya biasanya ia belum paham/tidak paham dengan jalan fikrannya.dan sese orang harus bisa mengambil yg baik dan meninggalkan sesuatu yg tidak baik dari apa yg dikritik tersebut dari pada mengeritiknya.

#11. Dikirim oleh Seorang hamba Allah  pada  11/09   11:04 AM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq