Spiritualitas Naguib Mahfouz - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
18/09/2006

Spiritualitas Naguib Mahfouz

Oleh Muhammad Nugroho

engalaman Mahfouz yang berwarna itu barangkali tuntutan yang wajar dari gairah untuk menangkap nuansa hidup yang lebih hidup; bagian dari tuntutan alami seorang sastrawan. Karena itu keberagamaan Mahfouz tak bisa ditangkap secara hitam putih. Mahfouz sendiri mengakui bahwa agama sangat penting untuk kehidupan seseorang, namun juga mengandung potensi berbahaya.

Naguib Mahfouz (1911-2006), sastrawan Mesir yang meninggal 30 Agustus lalu, pernah disebut wartawan majalah New Yorker sebagai seorang muslim sekuler. Secara harfiah, label sekuler yang menempel di belakang predikat muslim berarti orang yang berpaham pemisahan antara Islam dan negara. Fakta sejarah memang mengungkapkan bahwa Mahfouz pernah menjadi pengikut Saad Zaglul Pasha, pemimpin partai Wafd yang berhaluan nasionalis. Keterlibatan politik itu diakui dengan nada bangga oleh Mahfouz dalam wawancaranya dengan wartawan majalah Eropa, dan diakuinya juga sebagai langkah hidup yang sangat berarti.

Dalam perjalanan hidup berikut, Mahfouz pun belum pernah terlibat dalam organisasi-organisasi Islam seperti al-Ikhwan al-Muslimun, organisasi Islam yang didirikan Hasan al-Banna di tahun 1928, yang belakangan menjadi kekuatan politik besar di Mesir. Padahal organisasi ini termasuk gerakan nasionalis melawan penjajahan Kerajaan Inggris pada masa revolusi. Garis demarkasi antara Mahfouz dengan kalangan Islam sayap kanan menegas, setelah novelnya Children of Gebelawii (1959) dilarang Universitas al-Azhar—kampus yang dianggap mewakili otoritas penafsiran Islam—karena dinilai menghujat Tuhan dan kepercayaan agama, khususnya Islam.

Melalui sekitar 34 novel dan lebih dari 350 cerita pendek, Mahfouz yang menjadi sastrawan pertama dunia Arab dan Islam yang menerima hadiah Nobel bidang sastra (1998), tercitrakan sebagai seorang muslim liberal. Maklum, karya-karyanya lebih banyak mengangkat problema hidup masyarakat menengah ke bawah di perkotaan dengan pendekatan dan gaya realis. Pendekatan seperti ini, yang memotret realitas sosial apa adanya, tak pelak mengangkat juga tema-tema yang sensitif dan tabu bagi kalangan puritan. Dengan membaca karya Mahfouz, anda jangan berharap memperoleh cerita-cerita “pembangun jiwa”, istilah untuk cerita dakwah.

Tokoh-tokoh yang diceritakan novel-novel Mahfouz adalah manusia-manusia dengan huruf m kecil. Tokoh utama novel Midaq Alley (Lorong Midaq) yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan pernah diangkat ke layar lebar dengan bintang Salma Hayek, adalah seorang pelacur. Manusia-manusia dengan huruf m kecil bagi sastrawan sebesar Mahfouz, lebih menarik untuk dinovelkan dibandingkan manusia-manusia dengan huruf m besar. Bahkan dalam cerita pendek berjudul Zaabalawi (The Time and the Place, Anchor, 1991), tokoh utamanya adalah seorang manusia suci yang misterius—semestinya manusia dengan huruf m besar—yang sering masuk bar.

Memang, melongok keberagamaan seseorang tak semudah melirik telepon genggam di etalase toko. Keberagamaan seseorang sejatinya tak mudah dikotak-kotakkan dalam sebuah kanvas yang statis. Itu juga yang terjadi jika kita hendak melongok keberagamaan Mahfouz yang sebetulnya bisa diakses melalui karya-karyanya. Tapi, penafsiran terhadap karyanya bisa saja salah, seperti yang terjadi pada novel Children of Gebelawi yang dinilai melecehkan Islam. “Bagaimana mungkin saya melecehkan agama yang saya anut?” kata Mahfouz menanggapi hujatan terhadap dirinya.

Budayawan Nadine Gordimer dalam pengantar untuk buku Echoes of an Autobiography karya Naguib Mahfouz (Doubleday, 1997) telah mencoba menelisik keberagamaan Mahfouz. Kata Gordimer, kalau kita ingin mencari buku yang tepat untuk melacak posisi Mahfouz dalam kaitan dengan iman (agama), kita harus mengingat Kamal, tokoh yang secara brilian digambarkan dalam novel Trilogi Kairo. Di situ ia menyatakan: “Pilihan terhadap keimanan belum ditentukan. Hiburan menarik yang kumiliki, ya seperti ini, belum berlalu.” (“The choice of a faith still has not been decided. The great consolation I have is that it is not over yet”.)

Hal itu menggambarkan kehidupan Mahfouz sendiri merupakan sebuah pengembaraan tatkala seseorang harus mencari sendiri papan arahnya. Teks yang menunjukkan hal ini adalah cerita pendek Zaabalawi. Cerita ini mengisahkan seorang berpenyakit yang menjelajahi kawasan Kairo kuno demi mencari kesembuhan dari seorang tokoh suci bernama Syaikh Zaabalawi. Tokoh ini misterius. Setiap orang yang mengenal Zaabalawi menginformasikan tempat yang berbeda-beda untuk bisa menemuinya. Hingga akhirnya dia datang ke sebuah bar—Negma Bar—untuk menemui Hagg Wanas al-Damanhouri, seorang pemabuk yang diketahui paling sering bertemu Zaabalawi belakangan ini.

Sebelum bisa menanyakan soal Zaabalawi, si tokoh aku dalam cerpen ini dipaksa menenggak minuman keras hingga mabuk. Setelah siuman, dia merasakan kepala dan bajunya basah. Siapa yang menyiraminya? Si Wanas mengatakan bahwa Syaikh Zaabalawi datang ke bar dan berusaha menyadarkannya dengan guyuran air. Setelah itu Syaikh Zaabalawi meninggalkan mereka entah ke mana. Si tokoh aku pun menyesal karena kehilangan kesempatan untuk bertemu Syaikh Zaabalawi, dan dia harus melanjutkan pengembaraan untuk mencari sang misterius. 

Pada akhirnya, pengalaman hidup Mahfouz juga tampak cukup berwarna. Dalam sebuah wawancara, Mahfouz mengatakan bahwa ketika berusia kanak-kanak, dia rajin salat dan selalu melaksanakan kewajiban salat Jumat bersama ayahnya. Ayahnya adalah seorang yang relijius, namun tak pernah memaksanya salat. Itulah masa yang menurut Mahfouz sangat relijius. Di usia remaja, Mahfouz mengaku menjalani hidup seperti sejumlah seniman Barat yang cenderung memilih kehidupan pribadi yang menyimpang, ya mabuk, pengalaman seks yang tak biasa, dan kecenderungan merusak diri. Namun kehidupan pribadi Mahfouz tak sejauh itu. “Saya melakukan semua itu di masa muda: mabuk, menikmati seks yang wajar (gentler sex), dan lain-lain,” kata Mahfouz. Di usia tua, dia menjalankan kewajiban salat kadang-kadang, karena kendala fisik. Hingga wafat, Mahfouz belum menunaikan ibadah haji, konon, karena takut pada kerumunan.

Pengalaman Mahfouz yang berwarna itu barangkali tuntutan yang wajar dari gairah untuk menangkap nuansa hidup yang lebih hidup; bagian dari tuntutan alami seorang sastrawan. Karena itu keberagamaan Mahfouz tak bisa ditangkap secara hitam putih. Mahfouz sendiri mengakui bahwa agama sangat penting untuk kehidupan seseorang, namun juga mengandung potensi berbahaya. Sufisme? Menurut Gordimer, Mahfouz terpengaruh sufisme. Dalam cerita pendek dan catatan harian di buku Ehoes of an Autobiography, Mahfouz banyak menyebut dan mengisahkan tokoh bernama Syaikh Abd-Rabbih al-Ta’ih, tokoh sufi imajiner. Dialog-dialognya tentang hidup cenderung liberal. “Cinta pada dunia adalah salah satu tanda rasa syukur, dan bukti sebuah keinginan agar segalanya menjadi indah,” kata Syaikh tentang hujatan orang padanya yang mencintai kehidupan dunia; sesuatu yang tak lazim untuk seorang sufi. Memang Sufisme, yang menurut Mahfouz adalah ibarat puisi, memiliki penafsiran tersendiri di benak Mahfouz. “Mahfouzf adalah Zaabalawi itu sendiri,” kata Gordimer. *

*) Muhammad Nugroho adalah mahasiswa Islamic College for Advanced Studies, Paramadina, Jakarta.

18/09/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq