Syariat Islam Yes, Isinya Nanti Dulu! - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
06/03/2006

Jajang Jahroni: Syariat Islam Yes, Isinya Nanti Dulu!

Oleh Redaksi

Kencangnya isu formalisasi syariat di beberapa kota di Jawa Barat memang punya akar tunggang sejarah sampai ke gerakan DI/TII. Namun, antusiasme memperjuangkan isu-isu yang tak langsung memenuhi hajat hidup masyarakat bisa mengalami involusi. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (22/02) lalu, dengan Jajang Jahroni, peneliti PPIM, UIN Jakarta, yang meneliti perkembangan isu syariat di 10 kota di Jawa Barat.

Kencangnya isu formalisasi syariat di beberapa kota di Jawa Barat memang punya akar tunggang sejarah sampai ke gerakan DI/TII. Namun, antusiasme memperjuangkan isu-isu yang tak langsung memenuhi hajat hidup masyarakat bisa mengalami involusi. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (22/02) lalu, dengan Jajang Jahroni, peneliti PPIM, UIN Jakarta, yang meneliti perkembangan isu syariat di 10 kota di Jawa Barat.

NOVRIANTONI (JIL): Mas Jajang, apa isi penelitian kualitatatif ICIP Oktober-November 2005 lalu terhadap 20 pesantren di 10 kota di Jawa Barat?

JAJANG JAHRONI: Judul penelitian kami itu menyangkut pandangan pesantren-pesantren di Jawa Barat terhadap beberapa isu menyangkut syariat Islam, seperti formalisasi syariat, toleransi, pluralisme, fatwa MUI, dan lain sebagainya. Fokus penelitian bukan spesifik pada formalisasi dalam arti melakukan gerakan-gerakan stuktural untuk menegakkan syariat Islam. Jadi, lebih fokus pada pandangan dunia pesantren, karena pesantren-pesantren di Jawa Barat memiliki karakter yang berbeda dengan pesantren-pesantren semisalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

JIL: Apa poin-poin menarik dari penelitian kualitatif tersebut?

Sejak tahun 1970-an, di Jawa Barat sudah lama terbentuk organisasi atau forum antar pesantren, yaitu BKSPP (Badan Kerja Sama Pondok Pesantren). Dari tahun 1970-1980-an, BKSPP merupakan badan kerjasama pondok pesantren se-Jawa Barat. BKSPP rajin melakukan kegiatan pengembangan masyarakat (community depelopment) bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing, nasional dan lokal, untuk menjalankan proyek-proyek seperti pengadaan air bersih. Itu dilakukan BKSPP mengingat di tahun 1960-an, ada kesan kalau pesantren itu jauh dari masyarakat, sebab tokoh-tokohnya sibuk dengan urusan politik.

Pada era Sukarno, semuanya serba politik, sehingga pesantren Jawa Barat yang bisa dikatakan lebih berafiliasi pada Masyumi terkena imbas. Mereka jadi relatif jauh dari masyarakat. Di era Orde Baru, beberapa tokoh kyai Jawa Barat menggagas agar pesantren go back to the community atau kembali ke komunitas, dan karena itu mereka mendirikan BKSPP. Jadi BKSPP berusaha mendekatkan kembali dunia pesantren dengan masyarakat. Karena itu, pada tahun 1980-an-1990-an BKSPP terlibat dalam beberapa projek pengembangan masyarakat.

Namun setelah tahun 1990-an, khususnya setelah wafatnya salah seorang pendiri BKSPP yang sangat berpengaruh, yaitu KH. Soleh Iskandar, peran BKSPP diambil-alih oleh tokoh-tokoh yang relatif lebih eksklusif. Pak Iskandar memang dikenal moderat, karena itu, BKSPP sepeninggal beliau jadi ekslusif. BKSPP mulai memutuskan sejumlah kerja sama dengan lembaga-lembaga asing. Mereka mulai menolak bantuan Barat, kemudian lebih berkiblat ke Timur Tengah. Guru-guru pesantren di Jawa Barat dijanjikan berbagai beasiswa untuk studi di Timur Tengah. Jadi, ada perubahan orentasi BKSPP dari yang tadinya moderat menjadi semakin ekslusif.

JIL: Apa dampak perubahan kiblat itu tadi?

Dulu BKSPP sempat bekerjasama dengan Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Inggris, dan juga beberapa LSM dari Jepang dan Amerika dalam pengadaan proyek air bersih pesantren. Sebab, di tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang, banyak pesanten yang masih bermasalah dengan air, sanitasi, dan lain sebagainya. Nah, BKSPP menggagas perlunya pesantren punya sumber air bersih yang baik dan aktif melakukan itu.

Namun, sejak Pak Soleh Iskandar wafat, BKSPP memutuskan kerja sama dengan lembaga-lembaga donor dari luar. Mereka beralih kiblat ke Timur Tengah, dan terjadilah proses Arabisasi dan lain sebagainya. Guru-guru pesantren lalu banyak yang sekolah di Timur Tengah dan orientasi kegiatannya berubah. Sejak tahun 1990-an sampai sekarang, banyak pesantren Jawa Barat yang mendapat beasiswa untuk studi ke Timur Tengah. Tapi, lama-lama kesempatan makin terbatas, bahkan habis. Akhirnya BKSPP vakum dan tidak ada kegiatan sama sekali. Pengaruhnya lalu makin mengecil.

Sementara itu, pimpinan BKPSS setelah Pak Soleh Iskandar, lebih cenderung mendekatkan BKSPP pada kelompok Islam politik, ICMI, dan beberapa jenderal yang dianggap muslim taat. Itu di satu sisi baik, tapi di sisi lain merugikan usaha-usaha yang telah digagas Pak Soleh Iskandar yang telah lama mendekatkan pesantren dengan masyarakat.

JIL: Apa pandangan tokoh-tokoh pesantren di Jabar tentang wacana formalisasi syariat Islam lewat kekuatan negara?

Dalam wawancara dengan beberapa tokoh pesantren, saya menyimpulkan kalau pandangan mereka tentang penerapan syariat cukup beragam. Ada yang memahaminya sebagai hukum-hukum formal yang diperkenalkan Alqur’an, seperti potong tangan, rajam, dan lain sebagainya, tapi ada juga yang memahaminya sisi substansinya. Tapi saya kira, cukup banyak yang memahami syariat dari sisi yang pertama.

Syariat Islam misalnya dipahami sebagai kewajiban berjilbab atau menutup aurat bagi perempuan, kewajiban salat berjamaah, penutupan tempat-tempat maksiat pada bulan Ramadan, dan hal-hal sepert itu. Jadi lebih pada simbol-simbol Islam.

JIL: Seberapa kuat aspirasi yang mendukung agenda formalisasi syariat ini?

Menurut pengamatan saya, sebenarnya dukungannya tidak begitu kuat. Gerakan yang mendukung formalisasi, sebagaimana yang saya amati, cenderung elitis. Aspirasi tersebut hanya digagas oleh tokoh-tokoh agama atau politik yang sedang memainkan isu-isu agama. Jika dibandingkan dengan masyarakat yang lebih luas, kelompok ini dapat disebut kecil. Tapi mereka vokal dan cukup artikulatif dalam menyuarakan ide-idenya. Mereka pandai memainkan media massa, sehingga bersedia memblow-up isu-isu yang mereka angkat. Dengan begitu, kelompok mereka terkesan besar sekali.

Tapi perlu diketahui, kata syariat itu sendiri memang mengandung pengertian yang ambigu. Ada yang memahami syariat pada tingkat konsep besarnya saja, dan ada yang lebih detil. Jadi kalau ditanya “apakah Anda setuju penerapan syariat?”, masyarakat akan banyak yang setuju. Begitulah kalau pertanyaannya konseptual dan general. Tapi kalau pertanyaannya kita breakdown seperti “Apakah pemerintah perlu mewajibkan jilbab bagi semua perempuan?”, jawabannya akan menurun.

Artinya, pemahaman akan syariat itu memang tidak monolitik. Masyarakat memiliki penafsiran yang berbeda soal apa itu syariat. Karena itu, kalau dukungan atas syariat di suatu daerah itu cukup besar, itu tidak perlu membuat para pendukung agenda formalisasi syariat bergembira dulu. Sebab, ketika di-breakdown dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih teknis, mereka biasanya tidak setuju.

Karena itu, yang mendukung pewajiban jilbab bagi semua perempuan akan lebih kecil daripada dukungan terhadap syariat secara umum. Dukungan atas hukum potong tangan tentu akan lebih kecil lagi. Artinya, masyarakat mungkin hendak mengatakan, “Syariat, yes! Isinya, nanti dulu!” Syariat Islam yes, potong tangan nanti dulu. Persis seperti itu. Syariat Islam yes, berjilbab nanti dulu.

JIL: Apakah gerakan-gerakan pro-syariat di Jawa Barat cukup berakar secara historis?

Seperti yang kita tahu, di Jawa Barat dulu pernah terjadi pemberontakan Darul Islam (DI/TII), sebuah gerakan politik yang berupaya memperjuangkan berdirinya negara Islam. Jadi dari segi historis, Jawa Barat memang punya kekhasan tersendiri. Itu agak berbeda dengan Islam di Jawa Timur, atau tempat-tempat lain di Indonesia. Jadi alasan historis memang ada.

Nah, ketika melakukan penelitian ini, kita sempat bertemu dengan beberapa anak-cucu aktivis atau pengikut-pengikut DI. Mereka-mereka ini merasa adanya keterpanggilan sejarah atau semacam itu untuk bergerak. Sekarang, mereka ada yang telah jadi kyai, politisi, agamawan, dan seterusnya. Jadi ada aspirasi untuk memperjuangkan cita-cita lama. Aspirasi itu diperkuat oleh kenyataan bahwa pengaruh NU dan Muhammadiyah di Jawa Barat memang kurang kuat.

Bahkan, meski yang secara kultural mengaku NU, aspirasi sosial politiknya tetap tidak disalurkan ke PKB, tapi ke PPP atau PAN. Di zaman Orde Lama, aspirasi sosial-politik mereka disalurkan ke Masyumi, bukan ke NU. Jadi secara historis, pesantren-pesantren Jawa Barat memang punya kekhasan yang berbeda dengan pesantren-pesantren Jawa pada umumnya.

JIL: Ada pemetaan tentang partai-partai di Jawa Barat yang kini mendukung agenda formalisasi syariat?

Penelitian ini tidak sampai memetakan itu. Tapi kita tahu, ada beberapa partai Islam yang mendukung formalisasi syariat, seperti PBB, dan mungkin juga separuh PPP. Kemudian ada partai Islam kecil-kecil yang juga mendukung. Mereka-mereka itu kemudian berkolaborasi dengan tokoh-tokoh masyarakat atau para kyai yang memang setuju dengan agenda penerapan syariat lewat jalur negara. Jadi di situlah bertemunya dua kepentingan antara kepentingan politik dengan kepentingan penegakan syariat.

JIL: Bagaimana sikap dunia pesantren?

Seperti saya jelaskan tadi, pandangan masyarakat, tidak kecuali dunia pesantren tentang isu ini memang sangat beragam. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa orang yang setuju syariat otomatis akan setuju penerapan bentuk-bentuk hukuman yang ada dalam Alquran atau hadis. Kita pernah punya penelitian tentang apa yang dimaksud masyarakat dengan syariat. Jawabannya juga sangat beragam, mulai dari yang memahami sebagai hukum potong tangan, sampai yang memahaminya sebagai salat jamaah. Karena itu, kita tak bisa mengatakan kalau syariat itu harus bermakna begini atau begitu. Di dalam masyarakat, makna syariat itu diperebutkan.

JIL: Bisa digambarkan peta dukungan atau penolakan penerapan syariat di Jawa Barat dalam bentuk angka?

Sebetulnya, pendukung formalisasi syariat di Jawa Barat lebih sedikit dibanding yang menolak. Ini dapat dilihat dari perolehan pemilu partai-partai yang menyuarakan isu syariat yang tetap kecil dan tak punya pengaruh apa-apa. Maksud saya, kalau mayoritas masyarakat Jawa Barat mendukung formalisasi syariat, harusnya perolehan partai-partai yang mendukung agenda syariat akan besar. Tapi kenyataan tidak demikian. Pada tingkat nasional pun, partai-partai yang mendukung isu syariat seperti PBB tetap kecil, bahkan tak berpengaruh apa-apa di pentas politikan nasional. Jadi, gejala ini nasional, tidak terbatas Jawa Barat saja. Dalam angka, masyarakat Indonesia sebetulnya tidak mendukung agenda formalisasi syariat. Buktinya, partai-partai yang tak mengusung agenda formalisasi syariat justru jadi besar, seperti Golkar, PDIP, dan partai-partai Islam yang tidak berideologi Islam seperti PAN dan PKB.

JIL: Pernah tahu dampak isu formalisasi syariat di suatu daerah terhadap masyarakat setempat atau daerah lain?

Belum. Ini mungkin masukan penting. Kita memang perlu meninjau bagaimana dampak penerapan syariat di beberapa daerah di Indonesia terhadap sentimen masyarakat di propinsi-propinsi lain yang mayoritas nonmuslim seperti NTT, Ambon atau Papua. Selama ini, survai kita belum pernah menanyakan itu. Mungkin lain kali perlu juga ditanyakan item seperti ini: ”Kalau di wilayah tertentu diterapkan syariat Islam, apakah Anda akan memisahkan diri dari NKRI atau bagaimana?”

Kalau kita melakukan survei lagi, pertanyaan seperti itu perlu kita masukkan. Pertanyaan seperti itu sangat penting untuk melihat dampak penerapan syariat, baik bagi masyarakat setempat ataupun sentimen masyarakat lain. Selama ini, kami memang baru fokus pada pertanyaan soal setuju-tidak setuju isu penerapan syariat.

JIL: Bagaimana prediksi Anda terhadap prospek formalisasi syariat yang selama ini berkembang di beberapa daerah di Indonesia?

Sebagai isu, menurut saya kampanye penerapan syariat sejak zaman reformasi memang punya daya tarik. Waktu zaman Orde Baru, kita memang tidak mungkin berbicara soal formalisasi syariat dan isu-isu keagamaan lainnya. Sejak reformasilah syariat Islam kembali mengemuka sebagai isu yang punya daya tarik tersendiri. Namun ibarat sebuah produk, ia juga tak bisa lama-lama bertahan hanya sebagai sebuah citra atau image, tapi perlu menunjukkan kualitasnya. Karena itu, meski isu syariat punya daya tarik, ia tetap sangat terbatas. Orang mungkin lebih membutuhkan sesuatu yang lebih kongkret, nyata, dan bisa dirasakan langsung.

Kini, masyarakat memang masih ramai membicarakan isu syariat, apalagi setelah ada butir-butir fatwa MUI yang membuat isu-isu semacam itu seakan menguat. Tapi mungkin lama-lama akan bosan juga. Saya kira, masyarakat lebih butuh hal-hal lebih mendasar, seperti agenda pemberantasan korupsi, pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan lain sebagainya.

Menurut saya, partai-partai politik yang menyuarakan agenda-agenda yang lebih mendasar seperti itulah yang nantinya akan mendapat hati di masyarakat. Jadi, suara masyarakat tidak mesti akan mengalir kepada mereka-mereka yang teriak syariat Islam. Sebab, isu syariat itu sendiri sangat bergantung pada apa isinya. Kalau isinya hanya pewajiban jilbab, baju koko, harus salat jamaah, itu tak akan terlalu menarik.

Itulah kenyataan yang diketahu oleh partai Islam seperti PKS. Mereka menerapkan strategi yang agak berbeda dalam menanggapi isu syariat. PKS itu partai Islam, tapi tak pernah, paling tidak secara formal, menggembar-gemborkan isu syariat. Sebab mereka tahu, sekali mereka terjebak di dalam isu-isu seperti itu, konstituen mereka akan meninggalkan mereka. Saya yakin itu.

JIL: Kelompok pro formalisasi syariat sering menyebut yang kontra terjebak apriori belaka. Syariatnya belum diterapkan, kok sudah distigma dan divonis gagal. Padahal, bagi mereka, sistem yang lain sudah benar-benar terbukti gagal. Tanggapan Anda?

Di lapangan, kita memang menghadapi pernyataan seperti itu. Tapi kan, kita hanya ingin tahu persepsi masyarakat tentang apa itu syariat. Jadi kita tidak sedang memaksakan persepsi kita tentang syariat kepada masyarakat, tapi justru menggali persepsi mereka. Ternyata yang kita jumpa, pemahaman mereka tentang syariat memang beragam. Dan kita tak bisa memaksakan syariat itu artinya harus begini atau begitu.

Karena itu, kalau ada yang menyebut syariat memiliki pengertian yang luas, menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan publik, saya sangat setuju. Bagi saya, salah jika ada yang memahami syariat sebatas ikon-ikon seperti tadi. Dalam hidup ini, bukan hanya ikon yang kita perlu. Kita tidak hanya butuh pajangan.

Apakah penerapan syariat harus persis seperti yang terjadi di Aceh dengan cara menyambuk penjudi atau pezina pada hari Jumat dengan ditonton oleh banyak orang, lalu selesai? Apa seperti itu yang kita mau? Saya kira tidak. Karena itu, marilah kita pikirkan bersama soal ini. Mungkin ini tantangan bagi kita untuk mengetengahkan apa yang indah dari pemahaman tentang syariat.

JIL: Bagi Anda, apakah syariat perlu diformalisasi lewat kekuatan negara?

Tergantung apa yang kita pahami tentang syariat. Yang jadi perdebatan di masyarakat seperti itu. Ketika mereka ditanyakan tentang syariat, mereka bilang oke. Tapi soal isinya, nanti dulu. Masyarakat memang tak punya pemahaman yang sama tentang apa itu isi syariat. Karena itu, saya lebih setuju dengan ungkapan bahwa yang lebih kita perlu adalah agenda pemberantasan korupsi, menanggulangi ketidakadilan, wabah penyakit seperti flu burung, bencana alam, dan lain-lain. Itulah yang sebenarnya diperlukan negeri ini, bukan gembar-gembor tentang formalisasi syariat. Banyak juga orang yang memahami inti syariat seperti itu.

Ringkasnya, pemenuhan kemaslahatan masyarakat itulah inti dari syariat. Tapi kita memang tak bisa mengatakan semua orang akan seperti itu, karena memang ada orang lain yang memahaminya dalam bentuk hukum-hukum yang telah diperkenalkan dalam Alqurn maupun hadis. Mungkin, makna syariat tak akan pernah selesai diperdebatkan masyarakat.

JIL: Apa evaluasi Anda terhadap objek penelitian di Jawa Barat?

Saya kira sebagai isu, syariat Islam cukup menarik, terutama bagi kalangan islamis yang menyebut syariat sebagai solusi. Bagi mereka, Indonesia yang didera perbagai krisis ini disebabkan oleh enggannya kita menerapkan syariat. Jadi, syariat dijadikan sebagai isu. Saya kira, karena dipompa sedemikian rupa oleh para pendukungnya, suatu saat nanti isu ini akan menggelembung, sehingga syariat seolah-olah akan menjadi obat mujarab yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Tapi karena menggelembung, dia juga bisa kempes suatu saat nanti, sehingga menjadi biasa saja.

Saya sudah melihat adanya kecenderungan seperti itu dari penelitian-penelitian yang pernah saya lakukan. Yang jelas, masyarakat sekarang sudah mulai makan dua kali sehari, seperti terjadi di NTB. Itupun nasinya dicampur jagung. Ini kan permasalahan yang amat konkret. Lalu pertanyaan kita, apa solusi syariat untuk masalah seperti itu? Bagi saya, solusinya adalah melakukan sesuatu yang sangat konkret. Kita harus membuat sistem politik, hukum dan ekonomi yang lebih berkeadilan dan berkemakmuran.

Itu solusi yang harus segera diterapkan di tengah masayarakat, bukan an sich syariat Islam. Isu-isu formalisasi syariat, dalam 1-2 tahun ke depan, menurut saya akan kempes dan tidak akan menarik lagi. []

06/03/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ghirah kaum muslim untuk memformalkan syariat islam di indonesia sesungguhnya, menurut saya, hanya upaya segelintir elit islam dan parpol islam untuk memelihara basis konstituen mereka dalam pemilu nanti. dan ini lagi-lagi hanyalah masalah ‘struggle of power’, bukan masalah bagaimana kita mengupayakan kesejahteraan bersama rakyat indonesia.

Ke depan, menurut saya, akan selalu ada kontestasi antara Islam dan nasionalis kebangsaan dalam wilayah perpolitikan indonesia. Walaupun pada saat ini dan beberapa tahun ke depan upaya formalisasi syariat dengan menggunakan isu otonomi daerah akan semakin menguat, namun pada saatnya akan ada reaksi balik dari kaum nasionalis kebangsaan untuk mengcounternya, mungkin dalam bentuk revolusi kebudayaan dan revolusi politik yang berdarah-darah. bukankah sejarah bangsa -bangsa dunia yang telah maju kebanyakan dimulai dari suatu peristiwa revolusi yang banyak memakan korban?

Dan itulah negara bangsa Indonesia modern. Ia tidak akan bisa dijadikan negara komunis, tapi juga tidak akan bisa dijadikan negara agama tertentu (teokrasi). Karena founding fathers kita dan akar sejarah bangsa kita telah menerima bahwa pancasila adalah pandangan hidup bangsa indonesia. pancasila memiliki prinsip ‘bhinneka tunggal ika’ dengan segala konsekuensinya, dan itu merupakan sunnatullah.
-----

Posted by roni adi  on  03/08  at  01:03 AM

Ya saya setuju dgn pendapat bung Jajang (bukan setuju dalam penerapan Syariat Islam). Tapi fenoma isu2 penerapan Syariat Islam tsb belakangan ini memang sering menggelembung, karena sering diteriakkan oleh bbrp pihak yang bersuara “keras”, meski kita tidak tahu bagaimana kondisi masyarakat sebenarnya. Apalagi ditambah dgn beberapa organisasi Islam yg sudah ada, seperti yg pernah diungkapkan dalam artikel2 sebelumnya sebagai “puritan”. Ya mungkin saja dalam tahun2 depan isu2 bisa kempes dengan sendiri sebagai konsekuensi dinamika sosial-politik bangsa. Tetapi kita tidak tahu apabila tokoh berpengaruh namun moderat dan berwawasan kebangsaan seperti Gus Dur sudah tidak ada lagi, apa yg akan terjadi.

Yang perlu kita sadari dan memaklumi adalah Indonesia adalah negara kebangsaan yg berdasarkan Pancasila dan konstitusi UUD 1945, bukan negara agama, bukan negara sekuler.

Posted by Budi S  on  03/08  at  12:03 AM

Pokoknya penegakkan syariat, yes. Orang Islam mesti mendukung penegakkan syari’at Islam.

Posted by khairul amri  on  03/07  at  07:03 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq