Tak Ada yang Miliki Hak Paten Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
17/11/2002

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA: Tak Ada yang Miliki Hak Paten Agama

Oleh Redaksi

Ya, itu sebuah kesadaran yang historis dan agak klise. Masalahnya, memang tak ada di antara kita yang mempunyai lisensi untuk menggunakan Islam sebagai apa. Tak ada yang mempunyai hak paten sehingga harus muncul orang yang mengontrol. Agama merupakan “barang gratis” yang digunakan untuk apa saja. Untuk damai juga bisa dan untuk radikal juga bisa.

Sebagai desain asli Tuhan, pluralisme menyediakan pondasi yang kukuh bagi beragam aspirasi dan ekspresi keagamaan yang meriah. Kemarakan ekspresi religiusitas ini menjadi sirna ketika paralogisme kultural-sosial-keagamaan ditarik menjadi monologisme semata. Ironisnya, acapkali agama dipakai sebagai media pemersatu opini dan emosi untuk menghancurkan selebrasi kebhinnekaan itu.

Demikian sedikit uraian Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dosen Pascasarjana UIN Jakarta, berbicara tentang pluralisme dan agama dalam wawancaranya dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu pada 14 November 2002. Berikut petikan lengkapnya:

Mas Komar, berita terakhir tentang peledakan bom di Legian Bali begitu cepat dan mengagetkan. Tudingan ke arah gerakan Islam radikal makin menemukan “pembenaran.” Nah, sebenarnya ada tidak akar-akar potensial berkembangnya radikalisme agama di Indonesia?

Pertama, ada memori kolektif-historis yang kuat bahwa Islam di Indonesia pernah diyakini sebagai suatu kekuatan perlawanan terhadap imperialisme (baca: Belanda). Memori ini mungkin masih kuat bersemayam dalam imajinasi gerakan Islam di Indonesia sehingga kekerasan menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri.

Kedua, akhir-akhir ini yang namanya gejala euforia atau kebingungan itu tampak kentara sekali. Sejak Pak Harto turun terjadi euforia. Isu cepat sekali berubah. Pergantian presiden dari B.J Habibie ke Gus Dur juga euforia yang meriah. Kemudian, silih berganti muncul skandal-skandal perbankan, kasus Tommy, dan sekarang tragedi pengeboman.

Nah, serial radikalisme di Indonesia mendapatkan pupuk dari berbagai aspek tersebut. Hanya saja, begitu agama tampil, ia paling mampu menyedot dan menyatukan opini dan emosi. Tapi bentuk-bentuk radikalisme dan perlawanan itu memang muncul dari berbagai segi, etnis, agama dan lain-lain.

Radikalisme yang berhimpit dengan kekerasan telah muncul sejak lama. Dalam peta pemikiran keagamaan di Indonesia, adakah jalur intelektual yang mengarah ke radikalisme?

Ditinjau dari segi historis, gerakan intelektual Islam sejak Muhamad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al-Afghani dan Abduh, secara implisit mendorong sebuah gerakan yang radikal, yaitu perlawanan terhadap the other outsider. Di Indonesia, seperti saya sebut tadi, ada gerakan melawan imperialis. Fase selanjutnya, radikalisme muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap negara: kekecewaan terhadap pemerintah dan politisi yang dianggap menindas agama.

Jadi, ada serial fenomena yang mengekspresikan bentuk radikalisme di Indonesia. Sekarang ini radikalisme muncul karena kekecewaan terhadap pemerintah yang rapuh. Itu juga ditambah pengaruh pemberitaan media asing, seperti yang ketidakadilan di Palestina, misalnya. Yang terakhir ini, juga memberikan dampak, nuansa atau stimulasi sehingga masyarakat terbiasa mendengar dan melakukan bentuk-bentuk radikalisme.

Dalam Islam sendiri, adakah doktrin yang potensial digunakan untuk menjustifikasi gerakan yang radikal?

Saya pernah menjadi pembahas dalam diskusi hasil penelitian tentang konflik di Maluku. Dari penelitian itu ditemukan adanya berbagai ayat di Bibel yang digunakan untuk mengedepankan solusi melalui sword (pedang). Pihak Islam juga melakukan itu. Akibatnya, terjadilah radikalisme agama, baik Islam maupun Kristen di dalam konflik Maluku.

Nah, beberapa kawan yang radikal, dalam obrolan saya dengan mereka, juga menggunakan ayat dan hadits yang mendukung pandangan radikal. Itu mungkin sah-sah saja. Hanya saja, kok itu dianggap sebagai satu-satunya dimensi untuk mengekspresikan keislaman. Mungkin di dalam pemikiran mereka itu sudah ada muatan-muatan ideologi, subjektivisme kelompok dan lain-lain. Tapi, bukankah agama selalu seperti itu sepanjang zaman?

Maksud Anda, kemungkinan agama disalahgunakan sebagai pembenaran dalam konflik itu selalu ada?

Ya, itu sebuah kesadaran yang historis dan agak klise. Masalahnya, memang tak ada di antara kita yang mempunyai lisensi untuk menggunakan Islam sebagai apa. Tak ada yang mempunyai hak paten sehingga harus muncul orang yang mengontrol. Agama merupakan “barang gratis” yang digunakan untuk apa saja. Untuk damai juga bisa dan untuk radikal juga bisa.

Bagaimana meletakkan pemikiran yang radikal itu dalam bingkai kebangsaan yang plural?

Saya bertemu beberapa teman yang lelah dengan radikalisme yang tak memberikan solusi. Mereka akhirnya mengatakan: “Ya sudahlah, mengikut paham sekuler saja!” Sebab, beberapa negara yang terbebas dari korupsi dan konflik, justru terjadi ketika supremasi hukum positif dikedepankan. Semakin agama dikedepankan, seperti terjadi di Lebanon, Pakistan dan India, ternyata berdampak menimbulkan radikalisme.

Ada juga suatu aspirasi yang menunjukkan bahwa orang tetap punya apresiasi terhadap agama, tapi tak mau menjadikan agama sebagai suatu pranata politik karena tak cocok dan tak mampu. Dikatakan tak mampu karena selama ini, baik politisi, elit politik, partai politik agama, juga dianggap gagal mewujudkan janji-janji manis seperti kedamaian, kemakmuran dan keadilan. Ini akhirnya menimbulkan sikap pesimisme.

Agaknya ada gejala frustasi yang ditunjukkan sebagian gerakan Islam atas kegagalan sejumlah ideologi yang diajukan selama ini. Lalu mereka menawarkan solusi Islam sebagai alternatif. Persoalannya, apakah solusi itu masuk akal?

Saya jadi ingat sesuatu. Dalam sebuah seminar, --Anda juga ikut serta—muncul persoalan bagaimana kita memandang negara modern (state). Apakah state ini merupakan anak kandung atau kelanjutan gerakan sosial Islam selama ini; atau anak kandung westernisme sekuler yang mesti dimusuhi; atau hanya suatu wadah? Ada yang mengatakan, negara ini sudah bertabrakan dengan aspirasi agama sehingga muncul sekelompok orang yang ingin mendirikan negara (berbasis) agama. Tapi ketika itu Anda mengatakan: “Cari saja tanah kosong!” Tapi masalahnya, mana ada tanah kosong karena semua tanah sudah dimiliki negara, dimiliki dinasti atau dimiliki negara lain ha..ha..

Akhirnya, mau tak mau kita dihadapkan pilihan: pertama, apakah kita akan menganggap negara ini sebagai lahan untuk memperjuangkan aspirasi keislaman, sementara negara ini dalam kenyataannya adalah negara-bangsa yang plural? Atau, kedua, kita kudeta saja negara ini?

Saya melihat negara ini merupakan rahmat Tuhan; ini kelangsungan dari perjuangan. Kalau negara kita anggap sebagai rahmat Tuhan, mestinya negara ini merupakan kelanjutan aspirasi Islam yang harus kita benahi secara baik-baik. Bahwa realitas bangsa ini sangat pluralistik, baik dari segi flora, fauna, agama dan budaya dan lain-lain semua itu mestinya kita terima sebagai suatu rahmat.

Artinya, aspirasi untuk menerjemahkan nilai-nilai agama merupakan bagian dari agenda membangun negara ini? Aspirasi itu juga tidak untuk mengeksklusikan negara, tapi membangun negara yang sudah ada.

Ya, itu bagian dari kelanjutan tadi, dan karenanya, harus kita terima. Begitu negara modern ini lahir, maka anatominya, pergaulannya, pranatanya memang berbeda dan beragam. Persoalannya, kita siap atau tak menerima kenyataan dalam evolusi perkembangan sosial seperti ini?

Dalam desain negara plural seperti di Indonesia ini, aspirasi keagamaan macam apa yang paling tepat untuk diajukan sebagai konsep untuk nation-building?

Kalau kita membaca sejarah, dari sejumlah agama yang ada, Islam sudah mengenalkan paham kosmopolitanisme dan pluralisme. Kalau merujuk ke periode Nabi Saw di Madinah, terlihat sekali bahwa Piagam Madinah sangat apresiatif pada paham pluralisme dan kosmopolitanisme. Secara pribadi, saya menikmati pluralisme sebagai sebuah keindahan; sebagai realitas sosial-historis-antropologis; bahkan pluralisme itu sendiri merupakan desain Tuhan.

Akhir-akhir gejala yang agak menggangu muncul dalam bentuk sensitivitas keagamaan yang berlebihan. Gejala ini di satu sisi membuat orang mudah curiga terhadap kelompok lain. Bagaimana menghadapi fenomena semacam itu?

Saya cenderung mengangap ini bukan sebagai esensi ajaran. Ini lebih merupakan dinamika sosial, mungkin problem psikologis orang yang terancam. Teorinya, orang bisa toleran manakala pendidikannya tinggi, secara ekonomi kuat, punya rasa percaya diri dan lain-lain. Mengapa umat Islam dulu itu relatif amat toleran? Sebab, mereka tak merasa terancam secara psikologis.

Kalau hanya bersifat psikologis, apakah sebagai gejala ia tidak riil ada dalam kenyataan?

Itu riil, tapi sesaat. Suatu saat itu akan berubah. Saya cenderung menganggap hal itu sebagai gejala yang fenomenal dan situasional saja. Suatu saat, gejala ini akan berakhir. Sebagai renungan saja, jangankan dengan agama lain, sesama partai Islam saja mereka merasa saling terancam dan mengancam, kok! Jadi, ini ‘kan fenomena kultural?! Agama itu diperuntukkan bagi manusia, bukan manusia untuk agama. Artinya, manusia lebih dulu ada baru kemudian agama. Lantas, karena Allah Maha Kasih, maka Ia memberi manual berupa petunjuk agama.

Apakah manual Tuhan itu sedemikian detailnya?

Ya, semacam petunjuk umum saja. Karena manusia hidup dalam zaman dan tempat yang berbeda, maka agama juga beragam bahasanya dan wujudnya. Nah, jangan-jangan, selama ini kita terkurung oleh keragaman itu: oleh wadah-wadah dan sampul-sampul agama, sementara esensinya tidaklah demikian. Jangan sampai, bahasa agama membikin kita lupa esensinya. Jangan sampai karena berbeda gelasnya, kita menganggap airnya juga mesti berbeda. Bahwa tiap agama berbeda-beda, itu betul adanya. Tapi persoalannya, mengapa kita tak mencari persamaannya saja untuk memperkaya? Beda bahasa, itu pasti. Berbeda dalam rukun-rukun, itu pasti. Tapi, pada hakikatnya banyak sekali yang sama. Nah, saya cenderung mencari yang sama, sebab yang sama itu bersumber dari Tuhan yang satu.

Pandangan semacam itu acap tenggelam oleh kecenderungan menjadikan bahasa agama sebagai paling yang penting sehingga esensinya dianggap kadaluarsa. Kenapa itu terjadi?

Karena ada sakralisasi, pensucian bahasa. Ini sejajar dengan pandangan bahwa ibarat mata uang, yang paling terakhir yang mesti berlaku. Sementara yang lama tidak laku lagi. Pandangan itu betul kalau mata uangnya berupa kertas. Sebab nilainya ekstrinsik. Kalau mata uang itu berupa emas, nilainya tetap intrinstik ‘kan? Pertanyaannya kemudian, berupa apakah agama lain itu: mata uang kertas atau mata uang emas? Ya..dicek saja. Dalam agama Yahudi, ada sepuluh perintah Tuhan (ten commandments atau al-washâyâ al-asyr, Red). Sembilan di antaranya ada dalam Islam, kecuali doktrin hari Sabtu. Agama Kristen juga banyak kesamaannya dengan Islam. Oleh karena itu, saya berpandangan karena sumbernya satu (dari Allah), pantas saja kalau banyak persamaannya. Saya mengapresiasi yang sama.

Anda merasa terganggu dengan kelompok-kelompok yang sering menggunakan kata-kata kasar untuk mengritik orang-orang yang seagama dengan mereka?

Kadang merasa terganggu, dan kadang saya anggap tantangan. Sebab, mungkin itulah fenomena dan ekspresinya. Tapi, saya cenderung percaya bahwa rakyat juga kritis. Saya yakin, rakyat juga sebel kalau ada orang Islam menggunakan cara-cara kekerasan. Buktinya, ketika sebagian mereka ditangkap polisi dan diadili, ‘kan tak ada yang membela berlebihan.

Konon di Bali juga ada kecenderungan radikalisme Hindu yang serupa dengan gejala yang muncul dalam Islam. Radikalisme itu muncul dalam bentuk makin meningkatnya kesadaran bahwa orang Hindu harus kembali ke ajarannya dan menolak sejumlah praktik-praktik yang dianggap menyeleweng. Saya bertanya, mengapa umat beragama kini merasa semakin perlu untuk “beragama”? Apakah gejala ini berpotensi mengganggu desain kita ke depan untuk membangun negara yang plural?

Kalau dari perspektif Islam, paham pluralisme sebagai doktrin sudah lama kita kenal dalam kandungan Alquran. Tapi sebagai sebuah pengalaman historis-sosiologis, ini fenomena baru. Sesungguhnya, baru kali ini seluruh agama mulai mengenal apa yang dimaksudkan dengan pluralisme. Karena relatif baru, maka kita kaget.

Dulu masyarakat hidup dalam suatu komunalisme, berjarah jauh, belum terhimpun dalam sebuah state dan berkumpul dalam kelompok yang cenderung homogen. Hubungan internasional juga belum kuat, juga belum ada internet. Jadi, pluralisme itu menjadi relatif baru.

Tadi Anda melihat bahwa gejala radikalisme itu wajar dan bisa dipahami secara sosiologis-historis. Tapi tetap saja ada efek negatifnya, bukan?

Negatifnya jangan sampai aset-aset perjuangan Islam selama ini, dengan berdirinya negara modern yang terhubung dengan masyarakat dunia sehingga bisa lebih kaya, bisa bersilaturrahmi dan sharing, kemudian menjadi tertutup oleh pandangan-pandangan yang eksklusif.

Saya ingin mengambil contoh kongkret. Kemarin ada majalah Islam yang menyebut IAIN --sebagai aset intelektualisme Islam-- telah merusak ajaran Islam. Nah, apakah Anda terganggu dengan deskripsi minor seperti itu?

Tidak, saya tak merasa terganggu. Sebab, saya menganggap itu gejala sesaat saja. Suatu saat nanti, mana pihak yang benar dan mana yang salah akan ketahuan. Sebab, gerakan yang bersifat reaktif itu ‘kan cendrung tanpa konsep, hanya retorika belaka.

Tapi kecenderungan mengeksklusi orang lain yang berbeda dari pandangan kelompoknya tampak makin menguat. Tanggapan Anda?

Di beberapa negara yang maju, baik ekonomi dan hukumnya, perbedaan menjadi sah-sah saja, dan itu tak merusak tatanan sosial. Di Indonesia, yang seperti itu ‘kan muncul ketika supremasi hukum lemah, negara gagal mengatur lalu lintas dinamika sosial, atau katakan belum berhasil. Kalau berhasil, itu bisa diatasi, kok! Sebab, itu bagian dari dinamika.

Negara harus mampu menciptakan tatanan sosial yang berkeadilan. Kalau negara bisa menjamin keadilan yang transparan, agama takkan menjadi alat radikalisme, tapi menjadi subordinate, bahkan koordinat untuk menegakkan keadilan. Kalau negara kurang berhasil mewujudkannya, maka peran agama bukan menjadi kekuatan pencerahan, tapi malah mengambil peran kemarahan.

Bagaimana Anda melihat prospek menegakkan sistem yang adil di Indonesia?

Menurut saya, umat Islam sendiri pertama-tama harus menyadari sebagai citizen, warganegara yang ber-KTP. Artinya, kita punya tanggung jawab untuk menyukseskan misi republik ini. Negara ini juga pluralistik sehingga umat Islam harus mendukung itu. Di lain pihak, pemerintah juga harus sadar kalau mereka punya kewajiban dan tugas untuk memajukan rakyatnya.

Jadi, radikalisme itu muncul karena kegagalan pemerintah. Saya juga mengakui kalau umat Islam juga banyak yang nggak bener. Tapi, jangan disalah-salahkan melulu! Jangan sampai, kegagalan pihak lain ditimpakan pada umat Islam. Ke depan, saya agak pesimis sekiranya mekanisme rewards dan punishment tak ditegakkan, sampai kapanpun, reformasi akan gagal!

Sekarang ini banyak orang nggak bener, tapi tak dihukum. Sebaliknya, orang baik juga tak mendapat insentif yang wajar. Inikan menjadi absurd. Jika ini berlanjur, nanti tak ada kaderisasi, seleksi yang baik tidak terjadi. Selama pemerintah membiarkan hal begini, takkan terjadi suatu proses peningkatan berbangsa secara kualitatif.

Bisakah Anda mengelaborasi lebih lanjut soal umat Islam sebagai citizen?

Kalau ditanya: kita lebih loyal pada kelompok pengajian, partai, etnis, bangsa atau apa? Masing-masing loyalitas itu ada tempatnya. Tapi, di atas semua itu, kalau kita berbicara sebagai anggota masyarakat, yang paling atas peringkatnya ‘kan kenyataan bahwa kita ini warganegara. Maka dari itu, kita harus menjaga rumah Indonesia ini. Kalau kita lupa rumah dan berebut kamar, lama-lama rumah kita bisa ambruk. Nah, saya khawatir itu terjadi.

Kesimpulannya, loyalitas kebangsaan perlu dihidupkan kembali?

Ya, sebagai rumah Indonesia. Sebab, jika rumah ini bagus, yang paling untung adalah penduduknya, dan tentu saja kebanyakan adalah umat Islam. []

17/11/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq