Tegas Bukan Berarti Keras - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
21/07/2002

K.H. A. Mustofa Bisri: Tegas Bukan Berarti Keras

Oleh Redaksi

Tegas itu berbeda dengan keras. Kadang, kita tidak bisa membedakan antara tegas dengan keras. Tegas oke, tapi keras nanti dulu! Nabi Muhammad itu tegas sekali, tapi tidak ada yang mengatakan beliau itu keras, tapi lemah lembut.

Dinamika persoalan umat Islam selalu berkembang seiring pergantian zaman. “Islam tidaklah statis,” tegas K.H. A. Mustofa Bisri, pengasuh pondok pesantren Raudlot al-Thalibin, Rembang. Kiai yang juga dikenal sebagai penyair balsem ini juga menyoroti fenomena mengerasnya keberagamaan sekelompok umat yang dinilainya sebagai bentuk kurangnya rasa percaya diri. “Umat Islam sekarang harus tahu diri. Tahu diri bukan berarti rendah diri,” ujar Gus Mus, sapaan akrab beliau, dalam perbincangan dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK). Berikut petikan wawancaranya yang disiarkan di Radio 68 H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 11 Juli 2002.

Pak Kiai, secara doktrinal, Islam memang satu. Tapi, mengapa ada keragaman dalam model keberagamaan umat Islam; ada yang keras, sedang, dan lemah lembut. Apa faktor-faktor yang menyebabkan keragaman itu?

Ada beberapa faktor penyebab keragaman dalam keberagamaan itu: Pertama, taraf pengetahuan dan pemahaman orang terhadap Islam itu sendiri berbeda-beda. Kedua, semangat masing-masing juga berbeda. Dan yang lebih penting lagi, ketiga, karena sistem kehidupan kita selama ini tidak memungkinkan untuk berpikir serius, terutama tentang perilaku yang ideal dalam beragama. Jadi, semuanya mengalir saja seperti aliran air. Kehidupan ini diikuti begitu saja, tanpa dipimpin oleh pedoman-pedoman yang dianut.

Itu semua karena sistem budaya, pendidikan, atau politik yang berlaku, atau karena apa?

Terutama karena pendidikan. Bangsa kita ini terbiasa menganut suatu prinsip yang lantas dianggap sudah final dan sudah benar. Akibatnya, kita tidak punya semangat untuk mendalami lagi. Itu semua disebabkan pola hidup yang biasanya begitu.

Adakah faktor temperamen, di mana seorang yang bertemperamen keras akan menghadirkan pola keberagamaan yang kasar; seorang yang lembut, akan memancarkan keberagamaan yang lunak?

Memang bisa saja terjadi begitu. Tapi kita belajar dari sejarah: Temperamen Umar bin Khatthab yang keras, berbeda sama sekali dengan Abu Bakar yang lembut. Namun, karena keduanya memahami Islam secara paripurna, tidak mentah, tidak separoh-separoh, dan terus dipacu semangat untuk belajar, maka di antara mereka tidak terjadi gap, perselisihan dan pola keberagamaan yang tidak ideal. Mereka bisa memanage temperamen mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menampilkan agama yang rahmatan li al-‘âlamîn (rahmat bagi semesta, Red) sebagaimana yang diinginkan Islam itu sendiri.

Apakah Pak Kiai setuju dengan sebutan-sebutan seperti Islam keras, Islam sedang-sedang, dan Islam lembut?

Itu kebiasaan kita saja. Kita suka membikin istilah, sampai pusing sendiri. Kenapa tidak Islam titik saja? Kenapa bisa begitu? Ada memang alasan akademiknya. Orang terbiasa melihat Islam dari cerminan penganutnya; bukan pada Islam itu sendiri. Memang, lebih mudah melihat umat Islam ketimbang memahami Islam itu sendiri. Karena, memahami Islam itu, butuh keluar keringat, pemikiran dan lain sebagainya. Kita terlanjur tidak terbiasa begitu. Kita terbiasa instant, dan mengikuti saja. Mana yang cocok dengan temperamen saya, saya ikut! Mempelajari Islam itu, butuh enerji dan perjuangan yang tak terhingga.

Kadang-kadang memang perlu ada kategorisasi dalam hal ini. Lantas, kategorisasi-kategorisasi itu punya dampak positif atau tidak?

Tergantung yang melihat. Kalau yang melihat sudah mengerti Islam, biasa-biasa saja. Kadang, kita harus memahami bahwa pengetahuan orang ini memang hanya segitu. Bagi orang yang sudah mengerti Islam, gejala-gejala yang terlihat tidak positif pada orang muslim, hendaknya didoakan semoga mereka tidak mandek dalam capaian pengetahuannya. Kadang orang mandek karena merasa apa yang ia peroleh sudah paripurna: Ilmunya tentang Islam dianggap sudah pas, lantas menjajakan bentuk yang sudah dia pilih itu ke mana-mana. Sementrara, yang lain dianggap keliru semua. Kalau mereka masih terus mau belajar tentang agamanya, sebagaimana anjuran ”min al-mahdi ilâ al-lahdi” (dari ayunan sampai liang kubur [hadits]), maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dari situ orang akan berproses terus. Mungkin sekarang ini, Anda berkobar-kobar, nanti bila pengetahuan sudah bertambah, kobarannya akan meningkat atau malah menurun. Jadi bergantung pada pemahaman terhadap agama itu sendiri. Ya, semacam sekolah itulah!

Jadi sikap gemar menyalah-nyalahkan yang lain itu sebetulnya cerminan sikap puas dengan ilmu yang sudah dikantongi?

Iya! Itu karena kebodohan; Sebuah kebodohan yang komplit. Orang yang biasa menyalahkan orang lain, mungkin memang orang yang kurang ilmunya.

Gejala seperti itu tentu saja meresahkan.

Ya, meresahkan karena mereka juga mendapat dukungan orang yang tidak punya kepercayaan diri juga. Itu juga karena menganggap Islam sesuatu yang statis dan tidak besar. Kalau merasa bahwa Islam itu besar dan agung, tidak perlu rendah diri atau ngamuk sana-ngamuk sini.

Salah satu sebab “radikalisasi” umat Islam adalah isu gencarnya kristenisasi. Bagaimana menurut Anda?

Bagi saya, kristenisasi harus dipandang dari dua belah pihak. Orang Kristen Indonesia, mungkin seperti orang Islam yang ada di Eropa dan di Amerika sana; karena merasa minoritas, lalu berlebih-lebihan dalam berdakwah. Sementara kita yang mayoritas, mengalami penyakit kurang pede. Seolah-olah, keyakinan Islam bisa dikalahkan hanya oleh satu dua kilo gula, 10 kilogram beras dan lain sebagainya. Itu ‘kan namanya kurang pede! Mereka itu kadang tidak tahu (umat Islam yang kurang pede itu), kalau Islam ya’lu wa lâ yu’lâ ‘alaih (tinggi dan tidak terlampaui, Red). Ketidakpercayaan diri ini yang kadang membuat orang bertindak macam-macam.

Sebetulnya, kalau kita melihat sendiri —seperti yang saya saksikan— orang Kristen di Eropa tidak begitu “meledak-ledak” dalam menyampaikan misi. Ini karena mereka mayoritas. Sama saja dengan kondisi kita ketika berada di sana (Eropa/AS): ingin berjuang keras untuk melaksanakan dan mendakwahkan aturan atau ajaran agama kita. Semua agama mempunyai aturan dan ajaran untuk mengajak. Semuanya, ‘kan punya pengertian (pikiran) bahwa mengajak ke surga itu baik; mengajak ke agamanya, sama dengan mengajak ke surga. Namun kalau semangatnya berlebih-lebihan, itu akan menjadi bukan ajakan, tapi paksaan. Nah, ini yang tidak boleh!

Mengajak itu berbeda dengan amar makruf. Dari shîqhah-nya (kosa kata, Red) ‘amr itu berarti perintah: ajakan untuk sesama. Misalnya, untuk intra-umat Islam tugas itu bukan dakwah namanya, tapi perintah: “Kalau kamu beriman, semestinya punya kewajiban ini, ini, ayo kita laksanakan!” Seperti itu. Kalau ajakan pada orang lain (non-muslim), dakwah namanya. Makanya, dalam Alquran, dakwah itu dianjurkan dengan kelembutan, bi al-mau‘idzah al-hasanah (dengan nasehat yang baik, Red), bi al-hikmah (dengan bijak, Red). Bahkan, kata Alquran, wa jâdilhum bi allatî hiyâ ahsan; kalau perlu berbantahan, tapi berbantahlah dengan yang lebih baik. Karena apa? Karena kita mengajak.

Masak mengajak kok lebih kasar daripada calo terminal. Mana yang mau diajak? Kadang-kadang, yang begitu itu mengandung resiko adanya kelompok lain yang bereaksi dengan kekerasan. Tadi juga disinggung tentang Islam Liberal. Saran saya, janganlah ada kecurigaan dan gampang menyalahkan di antara umat Islam. Reaksi kekhawatiran kelompok Islam yang keras juga jangan sampai menimbulkan prasangka dan rusaknya ukhuwah. Jangan-jangan, yang keras ini tidak berdampak positif terhadap Islam, tapi malah merusak nilai Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn (rahmat bagi sekalian alam, Red).

Beberapa kelompok non-muslim yang tidak mendukung kristenisasi sempat mengkhawatirkan reaksi beberapa kelompok Islam yang keras itu. Bagaimana cara menenangkan hati mereka?

Karena kita hidup di negara Pancasila, —di mana ada banyak agama— mestinya kita harus bergaul dengan orang banyak. Masalah ini tidak bisa ditangani sendiri-sendiri. Artinya, masing-masing pemimpin umat beragama, menganjurkan umatnya untuk terus memperdalam agamanya sendiri. Kalau mereka memahami betul tentang agamanya, saya kira, tidak perlu ada kekhawatiran. Kadang kita melihat fenomena seperti ini dari pemimpin politik kita: mereka yang di atas itu, mangan bareng, jagongan, guyon, sementara anak buahnya yang di bawah dibiarkan berkelahi. Mestinya tidak begitu. Mengapa yang terjadi hanya rukun di atas, tidak di bawah? Ini jawabannya ada pada pemimpin-pemimpin.

Saat ini juga banyak kelompok Islam yang mengklaim dirinya paling benar. Mereka juga sering mengatasnamakan kelompok Ahli Sunnah wa al-Jamaah. NU juga sering bilang bahwa mereka adalah organisasi yang menjunjung ideologi Ahlus Sunnah. Sebenarnya siapa sih Ahli Sunnah?

Kalau diterangkan di sini, waktunya tentu tidak cukup. Akan tetapi, ada ciri umum yang dapat dipakai untuk mengenal sejarah panjang timbulnya Ahli Sunnah itu. Ciri itu dapat ditinjau dari perilakunya. Ahli Sunnah, pada permulaannya, bercirikan tengah-tengah atau moderat. Dulu, kan ada ekstrim begini dan begitu, lalu muncul ulama besar dan berpengaruh, yang kemudian menelurkan rumusan-rumusan Ahli Sunnah yang ciri utamanya sebagai penengah. Dalam teks agama kita, disebutkan berkali-kali, bahwa kebaikan itu ada di tengah-tengah; ummatan wasatha (umat pertengahan), khair al-umûr ‘awshatuhâ (sebaik-baiknya perkara/sikap adalah yang tengah, dan/atau moderat, Red), dan seterusnya. Jadi, sekarang gampang saja: kalau kita lihat suatu kelompok yang ekstrim, berarti bukan Ahli Sunnah Waljamaah, atau tidak mengerti Ahli Sunah.

Ekstrimitas di sini dalam pendapat, ucapan atau perilaku?

Ya, dalam segala macam. Bersikap, berpendapat dan berpikir ekstrim, tidak dikenal dalam konsep Ahli Sunnah Waljamaah. Contohnya, mereka yang terlalu ekstrim mencintai Sayyidina Ali dan menafikan yang lain, termasuk ekstremisme Khawarij yang menganggap semuanya tidak benar. Yang tengah-tengah atau moderat tidak begitu. Bila melihat sesuatu itu baik, ya baik; kalau buruk, ya buruk. Jadi, gampangnya kira-kira begitu: Ahli Sunnah cirinya di tengah-tengah.

Kira-kira NU dan Muhammadiyah bisa dijadikan contoh konkretnya?

Ya, saya kira NU dan Muhammadiyah dapat dikatakan Ahli Sunnah Waljamaah, Kecuali beberapa individu yang temperamental, atau tidak tengah-tengah dan itu selalu ada di mana-mana. Jadi, kalau ada kelompok yang mengaku Ahli Sunnah Waljamaah, tapi tatharruf atau ekstrim dalam berperilaku, berpikir dan bertindak, ya itu saya kira hanya klaim saja!

Bukankah umat Islam harus tegas dalam menyampaikan kebenaran?

Tegas itu berbeda dengan keras. Kadang, kita tidak bisa membedakan antara tegas dengan keras. Tegas oke, tapi keras nanti dulu! Nabi Muhammad itu tegas sekali, tapi tidak ada yang mengatakan beliau itu keras, tapi lemah lembut.

Saya kira, kita perlu bikin spanduk berbunyi “tegas, tapi tidak keras!”

Saya malah sudah bikin kaos itu: “Tegas, yes! Keras, no!” Artinya, kita berpegang pada kaidah atau memihak pada kebenaran. Kalau sesuatu itu betul, tidak bisa ditawar-tawar.

Saat ini banyak mazhab atau kelompok dalam Islam yang bersifat sektarian. Bukankah zaman Nabi Saw tidak dikenal sekat-sekat ataupun mazhab-mazhab yang sektarian itu?

Dunia itu berkembang. Sesuatu yang dulunya tidak ada, sekarang menjadi ada. Awalnya, orang Islam itu cuma nabi, lantas berkembang. Sampai di Madinah, Islam berkembang terus. Tapi sejak masa Utsman, sudah ada kelompok-kelompok umat Islam. Masa Ali juga berkelompok-kelompok, dan seterusnya. Dengan berkembangnya agama Islam ke berbagai tempat muncul lagi persoalan. Ada adat istiadat, budaya dan lain sebagainya. Lalu timbul kelompok-kelompok lagi. Perlu diingat, jarak dari Rasulullah semakin jauh. Kemudian, orang memahami apa yang diwasiatkan Rasulullah dari hadis-hadis yang diterimanya. Kalau saya menerima hadits ini, saya menganggap saya benar. Tapi ada yang berpegang pada hadts lain: dia menganggap dirinya juga benar. Itu akhirnya berbeda dengan saya. Jadi, perbedaan-perbedaan itu yang membedakan antara saya dengan kelompok lain. Belum lagi ketika menafsirkan Alquran, pasti ditemukan pula perbedaan penafsiran.

Dari awal saya mengatakan, bahwa umat beragama, terutama muslim, perlu terus belajar dan jangan lalu menyekat- nyekatkan diri. Artinya, yang harus ngerti agama itu jangan hanya orang pesantren atau yang bergerak di bidang keagamaan. Sehingga, kalau jadi polisi, ia sudah mengerti agama. Bila tidak, muncullah polisi yang mudah tergoda suap. Juga ada anggapan yang belum tentu benar, kalau jadi pengusaha, tak perlu Islamnya dalam-dalam. Tapi minimal, mereka perlu tahu prinsip utama Islam: bagaimana perilaku usaha dalam Islam. Begitu juga ketika menjadi penguasa; mereka harus tahu apa sih kekuasaan menurut Islam, dan apa sih gunanya kekuasaan itu untuk Islam?

Menurut Anda, upaya apa yang minimal perlu dilakukan umat Islam saat ini?

Orang Islam sekarang, harus tahu diri dan tidak rendah diri. Orang yang tahu diri, tidak akan rendah diri ataupun sombong. Kata Rasulullah, “mâ halaka imruun ‘arafa qadrah (tidak akan binasa orang yang tahu diri, Red). Orang yang tidak tahu diri, bila punya sedikit ilmu sudah menganggap dirinya besar. Kadang ilmunya tinggi, malah rendah diri karena dia tidak tahu ukuran kemampuannya. Orang yang tahu kemampuannya tidak akan berbuat di atas kemampuannya sehingga tidak menjadi masalah. Saya berharap, umat Islam dapat menjadi contoh dan mengusahakan bagaimana agar rahmatan li al-‘âlamîn yang bolak-balik digemborkan itu dapat direalisasikan []

21/07/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq