Tentang Batas - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
08/02/2010

Tentang Batas

Oleh Anick HT

Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa selama ini pembatasan tersebut pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan juta penganut Sikh, Bahai, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang selama ini menjadi korban pembatasan ini.

Menanggapi pengajuan Judicial Review UU PNPS No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, reaksi yang sangat keras dan menggebu-gebu muncul dari Menteri Agama Suryadharma Ali. Bukan hanya berkomentar secara nyinyir terhadap pengajuan itu, ia juga sangat berkepentingan dan menyiapkan segala energinya menghadapi proses ini. Konon, bahkan beliau mengumpulkan ormas-ormas Islam, termasuk ormas yang anti-demokrasi, untuk menyiapkan perlawanan terhadap upaya memperjuangkan kesetaraan warga negara.

Terkait dengan respon Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM, ada dua hal menarik yang perlu ditanggapi, terutama menyangkut batas. Tentu pernyataan ini perlu ditanggapi bukan karena kedua menteri tersebut adalah manusia beragama. Tentu karena mereka adalah pejabat negara, yang berbicara atas nama pemerintah. Dus, pernyataan mereka ada dalam koridor relasi antara warga dengan pemerintahnya, antara masyarakat dengan negara.

Batas Agama

Pemerintah, kata Suryadharma, telah menetapkan enam agama yang sah di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. [Republika, Rabu, 27 Januari 2010].

Pernyataan ini sangat bermasalah, karena: pertama, tidak pernah ada keputusan pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi. UU PNPS sendiri tidak menyebutkan istilah agama yang sah atau agama yang diakui. Yang ada, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Itupun—seperti diungkap Mahfud MD--punya masalahnya sendiri. Surat Edaran Mendagri seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan, dan petunjuk tindakan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri. (Mahfud MD, 2009).

Kedua, jika dihubungkan dengan prinsip kebebasan beragama yang sudah seharusnya kita adopsi sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), maka pembatasan jumlah agama ini merupakan masalah serius. Karena, pembatasan agama berarti pembatasan hak memilih agama sesuai hati nuraninya. Padahal, jutaan orang di negeri ini merasa tak satupun dari enam agama itu sesuai dengan hati nuraninya.

Ketiga, pembatasan jumlah agama ini melawan fitrah agama, sekaligus fitrah negara dalam sistem demokrasi.

Menteri Agama mengkhawatirkan lahirnya agama baru jika UU PNPS ini dicabut. Agama adalah sesuatu yang menyejarah, dan sejarah meniscayakan perubahan yang tak pernah berhenti. Apalagi agama secara substansial terkait dengan pikiran dan keyakinan manusia. Tidak ada yang tahu kapan pergerakan pikiran manusia ini akan berhenti dan terhenti. Bagaimana cara membatasi pikiran dan keyakinan manusia? Jadi mengapa harus khawatir dengan lahirnya agama baru? Bukankah semua agama pernah baru?

Di lain pihak, fitrah negara adalah berdiri di atas semua golongan. Negara harus netral agama, netral suku, netral ras. Favoritisme, pengutamaan satu kelompok tertentu di atas kelompok yang lain sudah jelas diskriminatif.

Keempat, pembatasan jumlah agama yang sah/diakui ini melawan realitas yang sudah terlanjur ada dalam negara ini. Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa selama ini pembatasan tersebut pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan juta penganut Sikh, Bahai, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang selama ini menjadi korban pembatasan ini.

Pembatasan ini juga mengingkari fakta bahwa kelompok mayoritas di satu negara, bisa menjadi minoritas di negara lain. Jika semua negara menerapkan kebijakan ini atas dasar jumlah penganut, tentu saja ada jutaan warga muslim yang terdiskriminasi di negara lain.

Batas Kebebasan

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga mengemukakan, permintaan pihak LSM tersebut sama saja dengan menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa adanya pembatasan. (Suara Merdeka, 4 Februari). Benarkah demikian? Tidakkah belau berpikir bahwa tidak ada yang disebut dengan kebebasan tanpa batas? Bukankah pernyataan ini justru terlihat sebagai tuduhan membabi buta dengan memosisikan kelompok pemohon judicial review dalam wilayah imajinatif yang bahkan tak terpikirkan oleh mereka?

Saya sangat yakin bahwa Menteri Hukum dan HAM kita tahu betul bahwa kebebasan beragama dapat dibatasi oleh pemerintah, sebagaimana tercantum dalam ICCPR dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembatasan yang mensyaratkan melalui Undang-undang itu dapat dilakukan untuk melindungi ketertiban umum, keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, dan pembatasan untuk melindungi kebebasan mendasar dan kebebasan orang lain.

Saya juga sangat yakin bahwa Pak Menteri tahu bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan yang masuk wilayah non-derogable rights. Juga bahwa wilayah pembatasan kebebasan beragama ada pada ekspresi keberagamaannya, bukan pada keyakinannya.

Jika kita keluarkan pembahasan ini dari logika hukum di atas, kita juga akan sampai pada kesimpulan ketidakmungkinan kebebasan tanpa batas itu. Kebebasan yang berbasis individu akan bertabrakan dengan kebebasan individu yang lain. Itulah salah satu batas penting yang berjalan sesuai kodrat alam, meski hukum manusia tidak dibuat sekalipun.

Jadi, marilah kita berpikir ulang tentang batas.[]

08/02/2010 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (23)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pertama: Ini membahas tentang pembatasan agama atau penodaan agama. Sepertinya masalah penodaan agama. Apakah penodaan agama? Contoh paling gampang, bila Islam “lama” mengakui Muhammad sebagai rosul terakhir, dan Islam “baru” punya rosul lagi itu namanya penodaan agama. Islam “baru” tidak mengaku bahwa dia adalah Islam maka bukan penodaan. Itu mah terserah orang kalau mau mengakui dia agamanya x,y,z, smpe 1000 jenis baru jg negara tidak akan menganggap penodaan. apa yg Anick HT bahas tidak ada hubungannya dengan batas2. batas2 TIDAK SAMA dengan penodaan

Kedua: Anggap lah penodaan agama sama dengan tulisan Anick HT tentang batas2 agama. Negara TIDAK membatasi agama seseorang. Jd yang diutarakan Anick HT SALAH BESAR. Negara hanya mensupport agama yang diakui. dalam arti, memberi bantuan finansial,memberi bantuan perlindungan, dst utk agama yg diakui. Diluar agama yg diakui negara TIDAK MELARANG. Jd di KTP mau ditulis agama = aliran kepercayaan, animisme, dinamisme dll, negara juga tidak akan melarang.

Ketiga: mengapa saudara Anick HT bisa menghubungkan penodaan agama dengan batas agama? Ataukah memang sebenarnya sudah tahu dan sudah tahu pula resiko yang dihadapi bila UU ttg penodaan agama ini dihilangkan = kehancuran agama. Bila di negeri ini Islam mayoritasnya, maka tak lain tak bukan agama ini yang disasar kehancurannya.

Posted by Ndarsup  on  06/29  at  06:38 PM

Kalo campur-aduk, itu namanya sinkretisme, yaitu paham yg mencampur-adukkan berbagai keyakinan sbg satu keyakinan. Namun pencampur-adukan ini berbeda dgn topik/subyek yg sedang dibahas diatas, yaitu tentang perlu atawa tidak adanya pembatasan jumlah agama & keyakinan di negeri ini.

Kalo saya, pembatasan jumlah agama itu bertentangan dgn statement “SETUJU DALAM PERBEDAAN”,......Lho, lha wong setuju dalam perbedaan, koq musti pakai pembatasan jumlah agama segala?.

Alasan lebih mendasar lagi, memeluk agama/keyakinan sesuai dgn pilihan hati-nurani masing-masing, itu adalah HAM. Kita ini negeri yg mau menghormati HAM apa tidak?

Tentang kafir, kalo saya berpendapat sih, biar lah Tuhan Allah sendiri yg menentukan apakah seseorang itu kafir, sesat, menyimpang dari kehendak Allah.

So, kita jangan lah mengkafirkan sesama kita. Di mata Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta seisinya ini, manusia adalah ibarat sebutir debu dibelah tuju ribu, dibandingkan dgn seluruh kebesaran alam semesta,......

Jadi, jangan suka mengkafirkan sesama manusia. Itu sombong namanya.

Posted by Anton Isdarianto  on  02/23  at  04:35 PM

Waktu saya masih di sekolah rakyat, dalam KTP ada butir “Suku/Bangsa” yang tidak ada lagi dalam KTP sekarang. Kalau itu bisa hilang, mengapa butir “Agama” juga dihilangkan saja?

Statistik agama telah digunakan para politisi untuk kepentingan pribadinya, misalnya, si jenggot putih Baasir selalu menyatakan “minta maaflah kepada seluruh warga Muslim di Indonesia” padahal hanya segelitir yang mengangkat dia sebagai amir yakni JMMI. Kalau butir “Agama” ini hilang, pekuburan umum pun tidak perlu ada kawasan per agama. Biarlah agama kepunyaan tiap-tiap warga yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Lagi pula, selama ini tidak ada kok manfaat butir “Agama” dalam KTP itu, kalau mau perpanjang sama saja bayarannya tanpa memperhatikan apa agamanya.Oleh sebab itu, singkirkan saja dia karena untuk apa merame-ramekan butir-butir KTP kalau memang tidak perlu?

Zul

Posted by zulkifli harahap  on  02/22  at  03:40 PM

Menurut saya agama itu memang harus mempunyai pembatasan, bagaimana yaaa kalau tidak ada batasnya bagaimana bisa mmbedakan orang kafir dengan dengan yang bukan, orang sekolah aja ada pembatasannya kok, kalau saya lebih sependapat untuk mengatakan “SETUJU DALAM PERBEDAAN” jadi tidak dicampur aduk, gado-gado kali yaaa.

Posted by Sukamto Nuri  on  02/20  at  07:04 PM

agama adalah HAM

Posted by akmal  on  02/20  at  09:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq