Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
18/07/2005

Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama

Oleh M. Dawam Rahardjo

Tapi seandainya akidah Ahmadiyah dianggap berbeda, orang Ahmadiyah pun masih berhak “menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Selama ini, Ahmadiyah tetap konsisten menjalankan program kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Mestinya, unsur Ahmadiyah justru perlu dimaksukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu dikucilkan.

Indonesia selalu digambarkan sebagai negara dengan pemeluk agama Islam yang toleran. Toleransi juga diperlihatkan agama-agama dominan sebelum Islam, yakni Hindu dan Buddha, terhadap ajaran baru: Islam. Para ulama penyebar Islam dulunya juga bersikap toleran terhadap ajaran agama sebelumnya, bahkan menyerap beberapa unsur budayanya. Karena itu, masuknya Islam di Indonesia selalu disebut “panetration pacific”.

Toleransi itu pulalah yang tampak ketika Ahmadiyah yang lahir di Pakistan pertama kali dan disebarkan di Indonesia oleh dua mubalig Ahmadiyah aliran Lahore, Mirza Wali Ahmad Baiog dan Maulana Ahjmad, lewat kunjungan mereka ke Yogyakarta, 1924. Sementara Ahmadiyah aliran Qadian masuk ke Indonesia tahun 1925 atas undangan beberapa orang Indonesia yang pernah belajar di perguruan Ahmadiyah di Pakistan.

Masuknya Ahmadiyah di Indonesia ternyata juga disambut para pejuang pergerakan nasional, khususnya Bung Karno, karena mereka mendukung perjuangan Indonesia merdeka. Karena sambutan yang hangat itu, Bung Karno pernah dituduh telah masuk Ahmadiyah, yang kemudian dibantahnya melalui sebuah artikel. Namun ajaran-ajaran Ahmadiyah (khususnya Ahmadiyah Lahore) telah ikut memengaruhi para pemimpin pergerakan Indonesia seperti H.O.S Tjokroamninoto, Agus Salim, dan Bung Karno sendiri, melalui tafsir The Holy Qur’an, buku the Religion of Islam, dan Sejarah Nabi Muhammad Saw.

Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris. Dari latar belakang sejarah, munculnya Ahmadiyah mirip kelahiran Muhammadiyah.

Muhammadiyah lahir antara lain untuk pemurnian akidah dan praktik ibadah Islam tradisional yang dianggap telah dirasuki “penyakit” TBC; Tachayul, Bid’ah dan Churafat (ejaan lama). Dakwah Muhammadiyah yang membawa faham Wahabisme ini lalu menimbulkan persinggungan dengan kalangan Islam tradisional, sehingga menimbulkan reaksi balik dengan berdirinya NU. Ahmadiyah tampil dengan penafsiran Alqur’an dan Sunnah secara liberal, sekalipun tidak setuju dengan aliran modernis pimpinan Ahmad Khan yang dianggap telah ditunggangi westernisasi. Ahmadiyah yang menentang pendekatan rasional aliran Aligarh, justru bercirikan rasional dan liberal dalam penafsirannya. Tapi yang sebenarnya menjadi sasaran utama Ahmadiyah adalah kristenisasi dan westernisasi yang melanda benua India saat itu.

Di Indonesia, ajaran Muhammadiyah diterima luas masyarakat yang tertarik faham modernisasi Islam. Tapi penerimaan seperti itu tidak terjadi pada Ahmadiyah di Pakistan. Ahmadiyah justru ditentang ulama tradisional maupun modernis India. Salah satu faktor penentangannya adalah klaim Ghulam Ahmad sebagai penerima wahyu dan sebagai nabi. Islam tradisional dan modernis percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul penutup. Karena “wahyu” yang diterima Ghulam Ahmad sempat dibukukan, maka kaum Muslim umumnya menganggap Ahmadiyah mempunyai kitab suci sendiri.

Padahal bagi Ahmadiyah, nabi pungkasan tetaplah Nabi Muhammad. Status “nabi” dan “rasul” pada kasus Nabi Muhammad ditafsirkan Ahmadiyah sebagai nabi dan rasul pembawa syari’at. Ghulam Ahmad tidak pernah mengklaim diri sebagai pembawa syari’at, bahkan misi utamanya adalah “menghidupkan kembali syari’at” yang telah ada, tapi dengan penafsiran yang rasional, sehingga kemajuan Islam tidak memerlukan modernisasi, apalagi kolonialisme, karena Islam sendiri mengandung idea of progress.

Atas dasar kepercayaan bahwa Islam membawa rahmat bagi sekalian bangsa, maka Islam bagi Ahmadiyah tidak perlu disebarkan lewat perang. Karena itu, Ahmadiyah menurut Wilfred C. Smith menjelma menjadi gerakan intelektual dan konsisten melakukan “dakwah intelektual”. Inilah yang memesona Bung Karno, sekalipun ia menolak percaya bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi. Bagi Ahmadiyah, perang adalah “jihad kecil”, sedangkan “jihad akbar” adalah menaklukkan hawa nafsu. Karena itu Ahmadiyah selalu tampil sebagai gerakan sipiritual, tapi bukan dalam bentuk yang tradisional, melainkan “spiritual modern”. Akhir-akhir ini Islam berkembang di Afrika Hitam melalui Ahmadiyah.

Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami banyak penganiayaan. Mereka dikucilkan, tidak boleh menjadi makmum dalam salat ja’maah atau salat Jum’at, masjid-masjidnya dirusak dan dibakar, bahkan mengalami pembunuhan sangat kejam dari umat Islam fanatik di Pakistan. Karena itu, gerakan Ahmadiyah hijrah ke Inggris dan menyebar ke negara-negara Eropa Barat. Orang-orang Inggris dan Eropa tertarik pada Ahmadiyah karena ajaran spiritualnya memang menyerupai Kristen, tetapi rasional.

Tak ayal lagi, berkembangnya Ahmadiyah di Inggris menimbulkan tuduhan bahwa Ahmadiyah adalah “proyek kolonialisme Inggris” untuk melanggengkan kekuasaannya di India. Ahmadiyah juga dituduh mendapat dana dari Pemerintah Inggris, padahal mereka tidak pernah menerima dana satu sen pun darinya. Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri yang swadaya dan mendapat dana dari para anggotanya. Banyak sekali jenis iuran yang berlaku di lingkungan Ahmadiyah.

Karena Ahmadiyah dikucilkan umat Islam dan tidak diakui sebagai bagian dari Islam, maka Ahmadiyah cenderung atau dirongrong menjadi komunitas tertutup. Namun, komunitas Ahmadiyah juga dikenal sebagai komunitas yang damai, karena doktrinnya mengajarkan perdamaian. Dakwah Ahmadiyah tidak pernah menyinggung, apalagi menyerang mazhab-mazhab Islam lain. Ahmadiyah juga tidak melakukan serangan balik atas para pengritiknya. Dakwah Ahmadiyah didukung program-program kemanusiaan, yang terkenal adalah program “Humanity Firs” yang menolong masyarakat tanpa pandang kepercayaan.

Ahmadiyah juga organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan legal itu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Atas dasar itu, Depag RI maupun MUI mestinya melindungi Ahmadiyah dari serangan pihak luar. Tapi pada 11 Agustus 2002, MUI yang seharusnya melindungi dan mengayomi semua golongan umat Islam, justru menyelenggarakan seminar sehari yang menampilkan pembicara-pembicara yang secara sepihak menghasut agar Ahmadiyah dibubarkan. Inilah yang memicu tindak kekerasan umat Islam, antara lain berupa pembakaran rumah-rumah, masjid dan sekolah oleh massa di Manislor, Kuningan Jawa Barat, dan Pancor, Lombok Timur, dan terakhir pengrusakan dan teror atas pertemuan tahunan Ahmadiyah di kampus Mubarok, Parung. FPI dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) berada di balik teror yang melanggar HAM itu.

Sumber terorisme itu sebenarnya berasal dari Keputusan Munas MUI No.  05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai “jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. SK MUI inilah yang “menghalalkan darah” jama’ah Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah menganut rukun iman dan rukun Islam sebagaimana umat Islam lain.

Tapi seandainya akidah Ahmadiyah dianggap berbeda, orang Ahmadiyah pun masih berhak “menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Selama ini, Ahmadiyah tetap konsisten menjalankan program kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Mestinya, unsur Ahmadiyah justru perlu dimaksukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu dikucilkan. Dalam kerangka Negara Hukum RI, mereka tetap berhak memperoleh hak-hak asasi mereka, khususnya dalam menjalankan agama menurut kepercayaan mereka sendiri. 

Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim, mantan Rektor Unisma Bekasi.

18/07/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (18)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Tahukah apa saja pengakuan Mirza Gulam Ahmad tentang dirinya ?
Mirza Gulam Ahmad adalah penjelmaan dari pada Tuhan
Mirza Gulam Ahmad selaku pencipta alam semesta termasuk dalamnya telah menciptakan Manusia dan Adam.
Mirza Gulam Ahmad mengaku sebagai anak Tuhan
Mirza Gulam Ahmad mengaku sebagi Rasul utusan Allah.
Diluar pengikut Mirza Gulam adalah terlaknat dan kafir.
Pengakuannya itu adalah bertentangan dengan akidah islam.

Posted by Koesnindar  on  08/14  at  03:17 PM

Kenapa harus Ahmadiyah yang dibubarkan!!! Yang Jelas-Jelas banyak menyumbangkan untuk kemanusiaan tanpa pandang kepercayaan orang ditolongnya. Kenapa gak bubarin aja tuch!! Ormas Islam yang selalu berbuat Anarkis alias Teroris yang gak lain Adalah PREMAN BERJUBAH!! Yang jelas-jelas jadi Perusak Islam BUKANNYA “pembela”.Yang gak jelas gitu cuma bisa ngerusak...!! Kebanyakan yang ditangkap karna pengrusakan oleh polisi cuma dimintai keterangan, terus dilepas lagi dech… jelas - jelas dah ketauan ngerusak, karna ada jaminan dilepas lagi. bagaimana preman maw jera...??!!abiz Tindakannya diLegalkn apa lagi kalau SKB keluar!!bisa jadi bukan teror lagi tapi bener-bener Kriminal. Herannya Negara malah melindungi Kriminal… Sungguh Tragis.... Sabar Teman-teman Ahmadiyah!!Kalian tetap dari bangsa ini.Kita semuanya saudara…
-----

Posted by Alice Rahmania Madani  on  05/15  at  12:06 AM

Beberapa teman aktivis ahmadi yang saya kenal, fasih sekali membaca kalimat dua kalimat toyyibah La ilaha Illah, Wa ashadu anna Muhammad Rasulullah. Ketika kesaksian atas nama Tuhannya dan Nabinya sama dengan keyakinan yang selama ini saya pegang, bahwa siapapun yang mengakui keberadaan “Allah Swt” sebagai Tuhannya yang satu dan Muhammad Saw sebagai Rasulullah, saya merasa wajib hukumnya sebagai umat islam lain untuk membela dan melindungi mereka dari segala ancaman apapun termsuk ancaman pembubaran baik oleh lembaga agama seperti MUI, Bakor Pakem yang nota bene bentukan negara.

Menurut hemat saya, pelarangan terhadap aliran apapun yang tidak sama dengan keyakinan mayoritas bukanlah hak manusia. salah dan benar tentang keyakinan adalah hak Allah Swt.  Tetapi SKB tiga mentri sedang menunjukkan kepada kita bahwa para penyelenggara negara menunjukkan sikapnya yang tidak cerdas dalam menyikapi fenomena perbedaan tafsir mengenai kebenaran.

Bahkan sepertinya argumen pembubaran ahmadiyah belakangan ini lebih mempertimbangkan pada “aliran islam yang gandrung dengaan kekerasan.” Posisi MUI seakan melegitimasikan ormas islam garis “serem” seperti FPI untuk melakukan tindakan kekerasan.

Sejarah sudah membuktikan bahwa ideologi apapun yang tidak sesuai dengan nafas pluralisme dan multikulturalisme sebagaimana kultur islam nusantara tidak akan bertahan lama. Islam Indonesia adalah islam yang cinta damai dan cinta dialog, bahkan juga menghargai beragam perbedaan.

Kata nenek moyang kami, pada tahun 1930-an Ahmadiyah, NU dan Muhammadiyah sama sama menghargai perbedaan pandangan termasuk menyangkut kenabian Isa Al-Masih, tetapi belum pernah kami menyaksikan pertikaian apalagi sampai membakar Masjid (Rumah Tuhan) yang suci.  Ketiga ormas di kota dingin itu cukup menjadi barometer penting bagi penyelenggaran negara, bahwa kearifan lokal lebih cerdas menyikapi perbedaan tafsir agama dibandingkan pemerintah yang nota bene orang-orang yang berpendidikan tetapi dungu dari sisi kemanusiaan.

Posted by Nurul Mubin  on  05/13  at  02:05 AM

Sebagai bagian masyarakat awam saya hanya ingin bertanya pada pembaca. Adakah pencekalan atau pelarangan ini hanya trik politik untuk menggapai massa disaat pemilu dekat? Dimana letak manusia sebagai hamba Tuhan ketika hablu minallah sudah dinilai oleh manusia, dengan segala fatwa yang hanya dipetik secara sepintas. satu hal yang kiranya patut dicermati adalah mengapa protes dan caci maki ini muncul setelah sekian puluh tahun hidup dan berkembang di Indonesia, bukan ketika mendapat pengesahan atau sehabis pemilu kemarin? adakah kekhawatiran bahwa organisasi atau aliran ini akan menggusur eksistensi dari organisasi atau aliran yang sudah ada? saya pernah mendengar bahwa islam akan terpecah menjadi 73 golongan, jika itu benar mengapa harus dikhawatirkan. mungkin saja ini adalah salah satu golongan. jika terpecahnya islam ini tidak benar mengapa sering kali didengungkan dalam khutbah jumat?.

Posted by KARTIKA SETYA  on  05/11  at  09:05 PM

Persoalan aqidah Islam adalah persoalan sensitif, dan mengapa kemudian ummat bereaksi, bukan berarti brutalisme, fanatisme dll sedang membakar jiwa muslim, tetapi persoalan sesungguhnya adalah Ahmadiyah, telah mencemari aqidah ajaran islam itu sendiri, dan ceritanya akan lain seandainya Ahmadiyah bukan beragama Islam, tetapi jika masih memakai label islam, maka tidak ada kebebasan beragama disana. Oleh karenanya aqidah islam yang murni mutlak dipertahankan dari berbagai penyimpangan, terserah kemudian kalau Ahmadiyah keluar dari agama islam. Aqidah Islamiah yang saya maksud bahwa Ummat Islam mengaku bertuhan hanya kepada Allah, nabi muhammad utusan Allah yang terakhir dan jadi nabi penutup dan hal ini tidak bisa ditawar, termasuk keagungan kitab suci Alquran, arah kiblat dan peraturan dasar lainnya, bahwa peraturan yang menyangkut keyakinan dinamakan Aqidah, soalan hubungan dengan Allah Swt, ibadah, hubungan sesama manusia muamalah.

Posted by Wendi, SH, M.Hum  on  05/07  at  01:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq