Tragedia Bali dan Perlunya “Mental Switch” - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
15/10/2002

Tragedia Bali dan Perlunya “Mental Switch”

Oleh Redaksi

Tak usah kita meneruskan sikap menyalah-nyalahkan orang lain untuk kejahatan yang ada dalam tubuh kita sendiri. Kita perlu melakukan “mental switch,” banting setir mental, dan berpikiran yang lebih dewasa: apa yang salah pada diri kita, pada umat kita; apakah kita telah begitu sucinya sehingga tak mungkin berbuat salah?

Saya baru saja selesai menyampaikan ceramah mengenai “Isu-Isu Kontemporer Islam di Indonesia” di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar, ketika ledakan di samping Konsulat AS itu terjadi sekitar pukul 11 pm, malam Minggu tanggal 12 Oktober 2002. Saya tidak mengira kalau ledakan itu adalah seri kedua dari tiga ledakan yang terjadi hampir bersamaan di kota Denpasar. Begitu suara ledakan itu terdengar, saya langsung teriak, “Ini bom,” sementara teman-teman lain belum percaya dan tersenyum saja. Mungkin mereka masih beranggapan bahwa Bali adalah “sorga” turisme yang paling aman di Indonesia, dan tak akan tersentuk oleh “tentakel” kekerasan yang sudah merambah lebih dahulu daerah-daerah yang lain.

Esok harinya, di kantor majalah Latitude (majalah berbahasa Inggris yang dirintis oleh Degung Santikarma dan menurut saya bagus sekali; nomor terakhir majalah itu menurunkan sebuah liputan yang bagus tentang Pesantren Ngruki asuhan Abu Bakar Ba’asyir berjudul “School of Jihad”), seharian saya menonton kanal lokal, TV Bali, menyaksikan puluhan jenazah diangkat dari antara reruntuhan bangunan, dalam latar musik Peter Gabriel yang menyayat. Sambil menyaksikan “tontotan” yang sarat duka dan kesedihan itu, saya hanya meneriakkan satu kata yang saya ulang-ulang, “Kejam!”. Untuk sementara, saya menghentikan pikiran saya. Saya sengaja menghindar untuk menganalisa kenapa peristiwa itu terjadi, dan kenapa mesti di Bali, ‘sorga’ turisme yang menjadi andalan satu-satunya dunia turisme Indonesia yang sudah nyaris sekarat. Saya ikuti peristiwa itu dengan perasaan yang mendalam, dengan kesedihan yang menusuk-nusuk.

Sore harinya, saya berangkat ke bandara Ngurah Rai untuk kembali ke Jakarta. Saya sudah siap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan: penundaan pesawat, proses pengecekan keamanan yang akan berbelit-belit dan lama, serta antrian orang-orang yang buru-buru meninggalkan “pulau dewata” itu. Ternyata perkiraan itu keliru. Wajah orang-orang di bandara tidak memperlihatkan kesedihan atau panik, sementara petugas bandara juga tidak nampak “on alert”. Yang agak mengagetkan adalah bahwa di bandara itu tidak terlihat tanda bahwa Propinsi Bali benar-bendar sedang dirundung musibah. Saya berharap ada semacam spanduk, poster, bendera, atau tanda-tanda lain yang memperlihatkan bahwa suatu tragedi sedang terjadi, dan “kita” layak untuk berduka bersama-sama. Sore tanggal 12 Oktober di bandara Ngurah Rai itu, saya merasakan bahwa tak ada sesuatu yang berubah, seolah-olah keadaannya seperti mau membiarkan “kafilah berlalu” saja; atau tepatnya: businness as usual.

Saya meninggalkan Bali dengan kesedihan yang mendalam. Sejumlah hal berkecamuk dalam pikiran saya. Pertama-tama yang membayang: tragedi ini pasti akan membuat prospek pemulihan ekonomi kita yang sudah berjalan seperti siput ini akan makin “menyiput” lagi. Kejadian ini juga akan menempatkan umat Islam dalam kedudukan yang makin terpojok lagi. Sejak dari menit pertama, insting saya sudah menuntun bahwa arah pemboman ini adalah dalam kerangka “protes” terhadap kebijakan-kebijakan Amerika yang terlalu unilateral atas Irak. Jika serangan itu benar-benar terjadi, saya sudah membayangkan bahwa “chain of violence” akan makin panjang lagi. Saya membayangkan, jika kekerasan seperti ini menerjang kembali Jakarta, apa yang akan terjadi. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, pikiran saya dipenuhi oleh gamabaran-gambaran apokaliptik yang agak mengerikan. Saya megira-ngira, jika pemerintah tidak tegas dan “firm” dalam satu kasus ini, maka rangkaian kekerasan serupa akan sangat mungkin terjadi di tempat-tempat lain. Jika pemerintah tak becus mengatasi keadaan ini, maka sebuah sinyal telah dikirimkan ke masyarakat: bahwa begitu buruknya sistem pengamanan di negeri kita ini, sehingga setiap orang dengan mudah bisa berbuat hal-hal yang mengancam keamanan umum tanpa harus khawatir diborgol dan diadili. 

Hari Senin pagi, saya dikejutkan oleh komentar Abu Bakar Ba’asyir dan beberapa tokoh agama di Solo yang dimuat oleh beberapa media ibu kota. Komentar itu kira-kira mau mengatakan bahwa ledakan ini adalah upaya AS untuk mengesahkan tuduhan selama ini bahwa Indonesia benar-benar merupakan sarang terorisme, dan dengan demikian AS mempunyai alasan untuk campur tangan di negeri kita. Komentar ini merupakan sesuatu yang “janggal” di tengah-tengah “chorus” kesedihan dan kutukan yang dikemukakan oleh semua pihak dan tokoh-tokoh masyarakat atas ledakan itu. Saya baru sadar bahwa pandangan semacam itu juga meluas di beberapa kalangan masyarakat, bukan saja di kalangan masyarakat awam tetapi juga kalangan terdidik. Sejumlah media ibu kota juga memuat komentar beberapa tokoh yang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan oleh Ba’asyir itu. Bahkan ada tokoh yang masih mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada terorisme, dan bahwa terorisme adalah buatan negara asing untuk merusak citra Indonesia dan Islam.

Saya benar-benar geram mendengar pernyataan semacam itu. Selama ini, orang seperti Abu Bakar Ba’asyir menyatakan bahwa tuduhan AS terhadap Al Qaeda sebagai pelaku serangan atas WTC tidak didukung oleh bukti yang memadai. Menurut saya, hal yang sama juga dilakukan oleh Ba’asyir dan kawan-kawan: menuduh tanpa bukti bahwa AS sengaja merekayasa ledakan di Bali itu untuk mengesahkan pandangan bahwa di Indonesia memang benar terdapat jaringan terorisme internasional. Menurut saya, komentar semacam ini tidak pantas dikeluarkan oleh “tokoh agama” seperti Ba’asyir dan kawan-kawan yang sepikiran dengan dia. Ledakan di Bali itu seharusnya menjadi “wake up call”, bel yang membangunkan kita yang selama ini bersikap “burung onta” bahwa potensi terorisme itu tak ada di Indonesia. Sikap menolak kenyataan semacam itu (saya menyebutnya “self -denial”) akan menjadi “selimut” yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok yang selama ini memang mengesahkan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Sikap itu akan menciptakan suasana politik yang tidak menguntungkan bagi pemerintah untuk menegakkan hukum dan menindak tegas kelompok-kelompok yang cenderung kepada kekerasan. Bagaimanapun, kita perlu memberikan dorongan dan “vote of confidence” kepada pemerintah untuk menegakkan keamanan, dan dengan demikian menjaga agar proses transisi menuju demokrasi tidak dibajak oleh ‘anarki’. Ledakan di Bali itu, bagi saya, merupakan bab baru yang tak main-main dalam proses penyelenggaraan negara kita ini. Jika sikap yang berkembang dalam masyarakat dan pemerintah adalah sedemikian “lembeknya”, dan masih menganggap, “Oke, keadaan masih baik-baik saja, jangan khawatir, sebentar lagi juga akan normal lagi,” atau, “Jangan tuduh kami dong, ini kan perbuatan negara asing untuk menjatuhkan citra Islam,” maka saya khawatir, keadaan akan makin terpuruk lagi. Sudah sering kritik dilancarkan oleh masyarakat kepada pemerintah karena terlalu “dermawan” dan baik hati kepada kelompok-kelompok pro-kekerasan yang merajalela di pelbagai tempat. Pemerintah seperti takut manakala menindak kelompok-kelompok semacam itu, maka dia akan kehilangan kredibilitas di mata umat Islam. Sementara, sebagian tokoh-tokoh Islam juga bersikap terlalu sensitif, seolah-olah tindakan penegakan keamanan oleh pemerintah akan mencemarkan nama Islam secara keseluruhan. Menurut saya, diskursus masyarakat Islam telah berjalan begitu rupa, sehingga Islam mengalami “overpolitisasi” yang amat berbahaya.

Saya mengkritik keras kecenderungan selama ini yang seolah-olah hendak menyamakan Islam dengan kelompok-kelompok tertentu. Setiap tuduhan diarahkan kepada Al Qaeda, tokoh-tokoh Islam langsung naik pitam dan menganggap hal itu akan mencemarkan nama Islam secara keseluruhan. Menurut saya, tidak ada untungnya Islam disamakan dengan organisasi Al Qaeda pimpinan Osama ben Laden itu. Islam lebih besar dari sekedar satu dua kelompok yang selama ini berkoar-koar mengatasnamakan diri sebagai “pembela Islam”. Sikap paling berbahaya sekarang ini adalah menempatkan Islam sejajar dengan Al Qaeda, dan dengan demikian “pengejaran” atas jaringan kelompok ini dianggap sebagai perang atas Islam itu sendiri. Ini sama dengan membiarkan Islam identik dengan agama kekerasan.

Tokoh-tokoh Islam harus mengembangkan diskursus baru yang lebih sehat, yaitu mengakui tanpa malu-malu bahwa potensi Islam (dan juga agama-agama lain) diselewengkan sebagai pengesah tindakan terorisme sangat sangat sangat mungkin. Atas dasar sikap ini, perlu dikembangkan suatu kritik tajam atas wacana keagamaan yang hendak mengesahkan penggunaan kekerasan sebagai jalan menuju penegakan nilai-nilai agama. Kelompok-kelompok keagamaan yang pro-kekerasan harus dikritik terus-menerus sehingga kehilangan legitimasinya sebagai “wakil” tunggal umat Islam. Sudah saatnya kita meninggalkan sikap apologetik yang menjengkelkan bahwa Islam adalah agama yang sedemikian suci dan tingginya sehingga tak bisa diselewengkan oleh para pengikutnya sendiri. Dalam era kebebasan yang sangat “murah” ini, barang dagangan yang cepat laku di mata publik adalah agama; barangsiapa bisa mengemas “agama” untuk menarik perhatian publik, maka dia akan dapat menguasai pendapat umum.  Pada dasarnya, semua agama bisa dan berpotensi untuk ‘diperdagangkan’ sebagai komoditas politik, sebagai pengesah kekerasan, sebagai alat untuk memonopoli kebenaran. 

Pandangan bahwa ledakan di Bali adalah merupakan “rekayasa” negara asing untuk mengesahkan citra Indonesia sebagai sarang terorisme, merupakan pertanda adanya sikap mental yang menurut saya kacau: seolah-olah rakyat Indonesia (dan khususnya umat Islam) begitu baik dan luhur budi pekertinya, sehingga tak mungkin berbuat hal-hal yang bodoh. Semua tindakan yang jahat adalah kreasi dan fabrikasi orang luar untuk menghancurkan citra Indonesia dan Islam. Sikap mental yang “sok suci” semacam ini tidak akan banyak membantu mengatasi bahaya kekerasan yang sudah membayang di langit-langit negara kita. Bangsa Indonesia perlu belajar dari bangsa Jerman yang tanpa malu-malu mengakui bahwa Hitler adalah anak kandung mereka sendiri, dan tidak usah enggan untuk “mengamputasi” gejala-gejala ke arah munculnya kembali hitlerisme. Bangsa Indonesia tak usah malu untuk mengakui bahwa di bumi nusantara ini sangatlah mungkin muncul orang-orang yang menyalahgunakan agama untuk mengesahkan kekerasan. Umat Islam tak usah ragu-ragu untuk mengakui bahwa dari rahimnya bisa muncul “anak-anak” yang melakukan tindakan terorisme dan mengabaikan nilai-nilai dasar Islam itu sendiri.

Tak usah kita meneruskan sikap menyalah-nyalahkan orang lain untuk kejahatan yang ada dalam tubuh kita sendiri. Kita perlu melakukan “mental switch,” banting setir mental, dan berpikiran yang lebih dewasa: apa yang salah pada diri kita, pada umat kita; apakah kita telah begitu sucinya sehingga tak mungkin berbuat salah?[]

15/10/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya sempat terkejut sekali membaca artikel ini, karena saya tidak menyangka, bahwa ternyata, diantara masyarakat Indonesia yang terlalu sensitif dengan masalah agama, masih ada juga orang yang berpikiran terbuka dan mau mengoreksi diri sendiri. Orang-orang seperti inilah yang sangat kita perlukan dalam usaha memperbaiki keadaan negara. Saya pribadi, sangat mendukung “mental switch” dan “self-correction” yang seharusnya sudah dilakukan, paling tidak sejak pemboman Bali pertama, yang telah mengorbankan ratusan manusia (Ingat!! Manusia, apapun warnanya, mereka adalah ciptaan Tuhan). Jangan biarkan Islam dijadikan topeng untuk menutupi kejahatan, berantas orang-orang yang mencoba menggunakan nama Islam demi untuk kepentingan diri sendiri, apapun derajat dan jabatannya.

Terima Kasih atas tersedianya kolom tanggapan, Wiwik
-----

Posted by Wiwik Sudiar  on  03/27  at  02:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq