Tuhan Tidak Otoriter… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
09/02/2003

Wardah Hafidz, MA Tuhan Tidak Otoriter…

Oleh Redaksi

Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan, kalau salat itu bukan (sekadar) soal surga-neraka, sebagaimana dipahami secara konvensional. Salat juga bukan untuk Tuhan sebenarnya, tapi untuk manusia sendiri. Kalau kita renungkan apa yang kita ucapkan (dalam ritual salat), mulai dari takbir sampai salam, itu ‘kan sebetulnya merupakan upaya untuk mengingatkan diri kita atau refleksi ke dalam tentang siapa sebetulnya kita, dan apa tugas dan peran kita sebagai manusia yang sedianya harus ada dalam jalan yang benar.

Dalam memandang Tuhan, Wardah Hafidz lebih menitikberatkan aspek keadilan Tuhan (ahlu al-adli wa al-tauhid) ketimbang kaum Sunni kebanyakan yang menekankan aspek kemahakuasaan Tuhan (tanzih). Akibatnya, Wardah yang dulu aktif mempelopori feminisme dalam Islam, melihat Tuhan dalam perspektif kasih dan sayang terhadap makhluk-Nya. Bagi Wardah yang dikenal sebagai tokoh LSM ini, Islam tidak boleh berada di pinggir lapangan dalam menyuarakan hak-hak kaum dhuafa.

Berikut ini petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK dengan Wardah Hafidz, koordinator Urban Poor Concorcium (Konsorsium untuk Masyarakat Miskin Kota) pada Kamis, 6 Februari 2003:

Mbak Wardah, bagaimana proses sosialisasi agama berlangsung pada diri Anda sewaktu kecil?

Saya dari Jombang. Biasanya orang mengasosiasikan kota Jombang dengan pesantren. Dulu, tahun 1950-an, ‘kan ada Masyumi. Ketika (Masyumi) pecah, NU keluar. Nah, keluarga saya termasuk keluarga besar yang homogen, Islam semua. Pecahnya Masyumi turut membawa “perpecahan” di keluarga kami; ada yang NU, Muhammadiyah, dan yang tetap Masyumi. Hal itu sempat membuat ketegangan di keluarga besar kami. Tapi kami, sebagaimana ayah saya katakan, termasuk yang Masyumi.

Nah, dari kecil, memang saya disosialisasikan dengan ritual-ritual agama. Artinya, sejak sebelum sekolah dasar (SD) pun, saya sudah puasa. Dulu saya tidak mengenal puasa setengah hari, tapi langsung satu hari penuh, plus salat lima kali sehari. Jadi, keluarga saya termasuk keluarga santri dan kuat secara ritual.

Dulu sewaktu kecil apakah Anda bersekolah di sekolah agama?

Kakek saya dulu punya pesantren. Ketika perang kemerdekaan, para santrinya ikut berperang. Akibatnya, pesantren kakek tutup. Ada juga madrasah yang sampai sekarang masih bertahan. Nah, pertama kali saya masuk sekolah yang di lingkungan rumah (kakek) itu, yaitu madrasah. Mulai dari kelas satu, lantas terus lompat ke kelas dua di sekolah negeri. Pelajaran agama, dalam hal ini bacaan Alquran, diajarkan sendiri oleh ayah saya, tiap sore hari. Dulu ‘kan saya tinggal di kecamatan yang belum ada listriknya. Jadi kita makan malam jam lima sore; salat maghrib berjamaah, lalu diajarkan mengaji bersama-sama.

Kalau kini Anda melakukan flashback, bagaimana kesan Anda tentang Islam yang ditampilkan pada diri Anda sewaktu kanak-kanak?

Saya kira, ada dua sisi. Satu sisi adalah Islam yang indah dan hangat. Misalnya dalam bulan puasa. Setelah sahur, lalu menunggu subuh, paman atau ayah saya selalu mendongeng dengan duduk bersama-sama. Sebetulnya, dongeng itu (siasat) untuk memperkenalkan doa-doa; seperti doa masuk kamar mandi, melintasi kuburan dan lain-lain. Tapi (itu diajarkan) lewat medium cerita atau dongeng.

Sisi lain adalah hal yang dianggap prinsip. Yaitu hal-hal yang membedakan orang Islam dan yang bukan Islam: salat. Saya waktu itu berfikir dan bertanya: kalau ada orang Amerika Serikat yang baik sekali dan suka membantu orang, tapi dia tidak salat, bagaimana hukumnya? Saya bertanya pada orang tua saya, “Apakah dia masuk surga atau masuk neraka?” Kata orang tua saya, “Dia masuk neraka, karena tidak salat.”

Ada hal lain yang ingin saya ceritakan. Kebetulan, ketika itu nenek saya punya sawah luas. Orang-orang kampung, banyak yang bekerja di sawah nenek. Saya menyaksikan pakaian mereka penuh lumpur, bekerja sampai sore, dan makannya juga nasi jagung. Saya melihat mereka tidak salat. Saya lalu bertanya ke ibu, “Bagaimana nasib mereka itu?” Di dunia mereka sengsara dan miskin, nanti di akhirat masuk neraka, lagi. ‘Kan kasihan sekali. Mengapa Tuhan (terkesan) menciptakan manusia secara diskriminatif seperti itu?” Sementara, keluarga saya yang tak harus bekerja di sawah, asal salat lima kali sehari, nantinya justru masuk surga.

Di sisi lain, saya juga melihat banyak orang di sekitar saya yang salatnya tidak hanya lima kali sehari, tapi juga ditambah salat dhuha, salat tahajud dan lain-lain; tapi perilaku sehari-harinya, hubungan horisontalnya antarsesama, bobrok. Dalam praktik keseharian mereka, menurut saya, mengingkari apa yang dia ucapkan dalam seluruh proses salat yang dia lakukan. Dia jahat pada tetangga dan berperilaku buruk lainnya.

Bagaimana Anda memperoleh jawaban dari pertanyaan radikal semacam itu?

Sampai tingkat SMA, saya berpikir sendiri. Tapi kemudian, saya mengambil kesimpulan kalau saya tak usah salat saja kalau begitu. Mungkin sejak kelas satu, saya mulai tidak melaksanakan salat. Karena saya berpikir, (salat) ini, oleh banyak orang diperlakukan sebagai ritual bohong-bohongan saja, kalau begitu. Hanya orangnya saja yang melakukan salat, tapi tidak tecermin dalam tindak nyata sehari-hari.

Sampai kapan Anda tenggelam dalam pertanyaan radikal semacam itu?

Waktu itu, saya merenung, “Apa sih, gunanya salat? Mengapa salat menjadi satu poin yang begitu penting, sampai-sampai di keluarga saya, itu menjadi faktor pemilah antara orang Islam dan yang bukan Islam; antara yang masuk surga, dan tidak masuk surga.” Saya banyak merenungkan pertanyaan radikal itu dengan membaca. Saya mencari (jawaban-jawaban itu) lebih banyak dari bahan bacaan.

Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan, kalau salat itu bukan (sekadar) soal surga-neraka, sebagaimana dipahami secara konvensional. Salat juga bukan untuk Tuhan sebenarnya, tapi untuk manusia sendiri. Kalau kita renungkan apa yang kita ucapkan (dalam ritual salat), mulai dari takbir sampai salam, itu ‘kan sebetulnya merupakan upaya untuk mengingatkan diri kita atau refleksi ke dalam tentang siapa sebetulnya kita, dan apa tugas dan peran kita sebagai manusia yang sedianya harus ada dalam jalan yang benar. Nah, kalau itu kita ucapkan sebagai suatu janji dalam lima kali sehari berarti (salat) memang menjaga inner-conciousness atau kesadaran dalam diri kita, untuk selalu menjaga komitmen itu.

Jadi Anda menghayati salat lebih sebagai komitmen terhadap nilai-nilai luhur tertentu?

Ya, nilai-nilai kemanusiaan, bagi saya. Sebenarnya, alasan mengapa kita ada, dan mengapa kita diciptakan sebagai manusia, adalah untuk menghormati kemanusiaan, kemerdekaan dan kasih sayang antarsesama.

Pernyataan Anda yang terakhir ini menarik, yaitu bagaimana mengaitkan antara ritual salat dengan nilai-nilai pokok seperti penghargaan terhadap kemanusiaan. Nah, bisa Anda elaborasi lebih lanjut?

Itu yang saya rasakan sekarang ini sebagai mencemaskan kita, yakni penafsiran agama kok menjadi sangat ritualistik, sangat permukaan sekali. Dangkal, ya! Kalau orang sudah menaruh tasbih di mobilnya, lalu naik haji --walau merampas hak rakyat miskin,-- korupsi dan membunuh, tapi tetap dikatakan sebagai orang yang saleh (karena penilaian yang lahiriah sekali). Di sinilah, saya kira, letak kemunduran besar di masyarkat kita. Menurut saya, itu juga salah satu akar, mengapa masyarakat kita sangat potensial menjadi masyarakat yang munafik.

Anda tak bergeser dari pernyataan Anda di TV7 berkenaan dengan salat dan kemiskinan. Apakah Anda tak takut dituduh menafsirkan sesuatu yang fundamental secara sembrono dan konvensional?

Saya tidak bermaksud membela diri (tentang kontroversi ini, Red). Tapi saya rasa, waktu itu (kabar) yang beredar luas adalah surat pembaca di Koran Tempo, yang mengatakan seperti itu. Sementara, dalam wawancara saya di TV7, menurut saya, istilah “konvensional” ini yang membuat salah paham. Bisa Anda minta rekamannya. Saya memakai istilah konvensioanal (untuk salat), bukan dalam pengertian usang yang diasosiasikan buruk, tapi dalam pengertian konvensi atau sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan dipraktekkan secara luas. Itu yang saya maksudkan dengan kata “konvensional” itu.

Nah, saya mengatakan bahwa memang saya tidak bisa melakukan ibadah atau ritual itu lagi. Karena saya berpikir, Tuhan pasti tidak otoriter. Sebab bagi saya kalau salat dalam ritual seperti yang ada sekarang saya lakukan dengan tidak bisa konsentrasi penuh (khusuk), maka dia hanya menjadi teks mekanik atau bergerak begitu saja. Sementara, saat ini pikiran saya kemana-mana; saya terpikir soal kerupuk, makan, utang dan lain-lain. Maka, (untuk pribadi saya, Red) nggak ada gunanya, menurut saya. Jadi saya berpikir, Tuhan membolehkan cara lain, yang intinya adalah; bahwa saya menjaga kesadaran dalam diri saya; dan saya mencoba membuka komunikasi langsung dengan Tuhan.

Tadi Anda menyebut inner conciousness, kesadaran terdalam dari diri. Bagaimana Anda memaknai tuntutan-tuntutan ritual agama?

Saya mengatakan bahwa ritual itu perlu. Ya, untuk orang-orang yang memilih atau merasa bahwa salat itu sungguh-sungguh berarti buat dirinya dan dia melakukan dengan sangat intens, saya sangat menghormatinya. Tapi menurut saya, itu bukan satu-satunya, karena saya pikir ritual itu hanya jalan. Salat itu hanya jalan. (Yang namanya) jalan itu, bisa banyak. Orang bisa memilih jalannya sendiri dan berbeda dengan orang lain, tapi tujuannya sama.

Jadi, ini juga tidak harus dijadikan suatu yang tidak boleh diijtihadkan dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Dalam klarifikasi atas wawancara saya di TV7 tadi, saya tidak mengatakan sama sekali bahwa salat itu tidak ada hubungannya dengan kemiskinan seperti yang dituliskan orang (dalam surat pembaca Koran Tempo). Tapi seperti yang sudah saya kemukakan tadi, saya melihat kecenderungan bahwa ritual ini kemudian dijadikan (hanya) sebagai kulit luar. Artinya, orangnya salat, tapi tidak konsisten dalam perbuatannya.

Kaitannya dengan Idul Adha sekarang ini, ada pemikiran untuk berkurban dengan memberikan bahan-bahan sembako untuk rakyat miskin karena yang dibutuhkan bukan daging, tapi beras, gula dan lain-lain?

Ini pendapat saya pribadi dan mungkin beberapa orang setuju dengan saya, sebenarnya Alquran itu memuat hal-hal yang disebut qat’iy, sudah pasti, dan yang tidak pasti atau ghair al-qath’i. Menurut saya, hal-hal yang sifatnya kultural, masih bisa ditafsirkan kembali atau ditawar. Sebetulnya, pemahaman terhadap Alquran atau percobaan Tuhan untuk berbicara pada kita, bersifat terbuka untuk selalu dipahami dalam konteks yang berbeda dan pemahaman yang berubah. Saya pikir, soal kurban ini, dalam konteks yang biasanya, yaitu (dengan) sapi, unta atau kambing. Tapi dalam konteks kita sekarang ini, itu bisa ditinjau ulang juga.

Artinya, Anda juga melihat kurban ini sebagai sebuah bagian tata cara untuk memberdayakan atau empowering orang-orang miskin?

Ya, artinya ijtihad itu terbuka terus. Jadi kita memahami agama dan nilai-nilai agama dan berbagai prinsipnya itu dengan keterbukaan. Ini juga berarti bahwa pemahaman selalu dalam konteks yang berlainan, zaman yang berubah, dan lain-lain.

Mbak Wardah, dulu Anda sering menulis tentang soal agama. Siapa pemikir yang banyak mempengaruhi pola pikir Anda dalam memandang dan menyikapi agama?

O ya. Saya memang banyak membaca karya-karya para feminis Islam, seperti Fatimah Mernisi, Amina Wadud, Rif’at Hasan dan lain-lain. Tapi saya banyak membaca dari pemikir-pemikir muslim yang kritis; membuka kembali pintu ijtihad; mencoba membuka pemahaman yang tidak menjadikan agama bagaikan sesuatu yang beku; sesuatu yang dimuseumkan untuk kemudian diterjemahkan sangat shallow atau begitu dangkal.

Kapan terjadi turning point atau titik balik perubahan itu sehingga Anda justru aktif dalam membela orang miskin kota? Apa aktivitas itu ada kaitannya dengan perubahan cara pandang Anda terhadap agama?

Sebetulnya tidak juga. Saya mulai fokus pada masalah kemiskinan kota sejak tahun 1993. Saya mulai masuk ke persoalan Islam, terutama soal jender dan Islam, serta perempuan dan Islam, sejak tahun 1980. Ketika isu islamisasi menguat di Indonesia, tiba-tiba kita melihat banyak sekali perempuan-perempuan Islam Indonesia yang secara psikologis terbelah. Masyarakat kita ‘kan sebetulnya terbuka; dan pemerintahan juga menarik perempuan ke ranah publik. Sementara, isu islamisasi menarik lagi perempuan ke ranah domestik. Banyak perempuan kemudian mengalami split personality (keterbelahan diri, Red), lalu merasa salah kalau dia ada di ruang publik. Sementara itu, kalau perempuan berada di ruang domestik, dia juga tidak bisa mengaktualisasikan dirinya.

Khusus isu kemiskinan, sebetulnya juga menjadi salah satu fokus dalam pembahasan agama; misalnya dalam soal keadilan dan soal perhatian pada kaum dluafâ dan marjinal. Akhirnya, walaupun saya tidak menulis lagi, dan tidak banyak ikut diskusi, tapi saya mencurahkan banyak waktu pada ranah aktivisme []

09/02/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mbak, Saya adalah tetangga mbak di Sumobito JOmbang. Saya tahu begaimana keluarga mbak, mengapa mbak sampai punya pemikiran pemikiran seperti itu, atau karena sholat mengahalangi aktivitas mbak yang punya mobilitas tinggi, atau mbak sudah terpengaruh gaya - gaya pemikiran Barat yang telah lama memebesarkan mbak.Menurut saya menjalankan syariah itu penting, dan berbuat baik kepada sesama itu penting. Bagaimana agar orang bisa berbuat baik kpd sesama ,yaitu dg jalan menjalankan syariah ( termasuk Sholat ) . Sama dengan kalau saya boleh menganalogikan Orang sakit kalau mau sembuh harus berobat. tetapi kalau sudah sehat mereka harus tetap check up untuk menjaga agar dirinya tetap sehat. Jadi, Sholat untuk orang yang selama ini sudah berbuat baik mutlak perlu, karena untuk menjaga agar mereka tetap bisa berbuat baik. Disamping itu sholat adalah sarana untuk berjumpa dengan Tuhan dan meminta kepada Tuhan terutama atas dosa - dosa kita ( dosa dosa kecil ). Karena manusia setiap kali melangkah setiap kali bergerak pasti tak luput dari dosa. Maaf mbak saya sangat menyayangkan karena saya tahu keluarga mbak !

Posted by Nur Alief  on  09/06  at  12:48 PM

salam pencerahan dan pembebasan

mbak wardah, sebelumnya saya mengucapkan salut pada anda dengan pemikiran anda yang paling radikal. sudah sedemikian sakit hatikah anda pada agama dan Tuhan sehingga anda sudah berubah pandangan tentang Nya? terus terang, saya sebagai perempuan islam sama seperti anda, saya pun merasa demikian. ada beberapa hal yang saya sepakat dan tidak saya sepakati tentang kebijakan ‘tuhan’ dalam islam khususnya tentang masalah perempuan. anda seorang feminis? mungkin saya pun sepaham dengan anda meski ada perbedaan pandangan dalam hal lain. saya pun merasa bahwa perempuan dalam islam sepertinya tertindas dan terkekang kebebasannya.sehingga saya pun sering bingung bagaimana saya harus bersikap sebagai perempuan Islam tetapi saya tidak mau memakai jilbab dan menjadi ibu rumah tangga.misalnya. saya pikir mesti ada kajian lebih mendalam tentang tafsir qur’an dan hadis apalagi masalah perempuan yang seolah termarginalkan dalam Islam. padahal Tuhan tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan tapi kenapa manusia sendiri yang justru membedakannya? pake legitimasi agama segala! mbak wardah, boleh dong kapan-kapan saya diskusi dengan mbak. kalau bisa balas ya email saya. wasalam.
-----

Posted by ratu nijmah salamah  on  11/06  at  04:11 PM

Asalamu’alaikum

Saya sedikit banyak dapat mengambil point-point yang bagus dari yang mbak katakan pada wawancara dengan JIL, memang sholat kadang hanya sebuah alat untuk menyatakan bahwa saya orang islam, saya rajin solat, saya akan masuk sorga nantinya.

Tapi, dibalik itu juga saya sangat tidak senang kala ada orang dengan bangga berkata “saya tidak solat karna saya anggap solat itu tidak terlalu bermamfaat buat saya” boyaaa diam diam saja lahh .. memang kalau tidak solat lantas mo bangga ? berarti sama saja dong dengan yang solat kalau intinya mau bangga-banggaan, sudahlah kalau tidak mau solat ya sudah. itu kan hak anda, tapi tolonglah jangan bilang-bilang sama orang lain kalau anda tidak solat.

Saya kira cuman itu saja. makasih

Wasalamu’alaikum

Posted by opey zizoe  on  09/23  at  09:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq