Ulama dan Godaan Politik Kekuasaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/04/2004

Ulama dan Godaan Politik Kekuasaan

Oleh Ahmad Fuad Fanani

Fenomena sowan ke kyai, atau kyai yang kembali aktif menjadi tim sukses, menjelang masa-masa pemilihan presiden kembali marak. Bisa jadi, seorang ulama’ akan konsisten menjadi –meminjam istilah Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin saja ia akan masuk jalur politik praktis. Bagaimana seyogyanya ulama’ menghadapi godaan politik itu?

Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden secara langsung, fenomena para capres yang sowan ke para kyai kembali marak terjadi. Begitu juga dengan para ulama’ atau kyai yang aktif menjadi tim sukses calon presiden. Kedua fenomena itu menunjukkan adanya kesalingtergantungan (interdependensi) antara keduanya. Dan hal itu, mempunyai preseden sejarah yang sudah sangat lama. Sejak zaman penjajahan dan kemerdekaan, kesaling-eratan hubungan antara ulama’ dan politisi-pemerintah marak terjadi.

Dalam ajaran Islam, ulama’ mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi (waratsatul anbiya’) (Q.S. al-Jumu’ah: 2). Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 1999).

Bisa jadi, seorang ulama’ akan konsisten menjadi –meminjam istilah Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin saja ia akan masuk jalur politik praktis. Sebagai seorang pialang budaya, ulama’ berfungsi untuk menghubungkan budaya lokal atau rakyat dengan budaya asing guna lebih memudahkan pemahaman rakyat. Fungsi ini, bisa tampak dari, semisal penjelasan para ulama’ tentang Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam dan perlunya KB (Keluarga Berencana) dalam membantu mewujudkan kesejahteraan keluarga. Sedang ulama’ yang masuk jalur politik praktis, ada juga yang memang berniat menjadikan politik sebagai jalur ibadah dan pengabdian kepada umat. Tokoh semisal Muhamad Natsir, Kasman Singodimedjo, serta Buya Hamka, betul-betul menjadikan politik sebagai jalur untuk mewujudkan aspirasi umat dan menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Meski hal itu mengakibatkan kesengsaraan hidup pada diri dan keluarganya.

Pergeseran Peran

Sayangnya, fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Para ulama’ yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya di arena Pemilu. Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan pemerintah. Fenomena MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) di zaman Orde Baru, tampak banyak menjadi “tukang do’a” pada acara-acara resmi negara, imam besar masjid Istiqlal, atau mengumumukan jatuhnya hari raya keagamaan tertentu. Dan pada era Habibie, Gus Dur, dan Megawati pun, fenomena para ulama’ yang membela para patronnya juga tampak sama terjadi. Tentu saja, Buya Hamka harus dicatat sebagai ulama’ yang konsisten dengan perjuangannya dengan bersedia mengundurkan diri dari MUI ketika berseberangan dengan pemerintah.

Ulama’ yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di hadapannya, menurut al-Ghazali digolongkan sebagai ulama al-su’ (ulama dunia). Ulama jenis ini, biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekedar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul keluar dari hati nurani dan berniat membela rakyat yang tertindas. Terhadap fenomena banjir, penggusuran, perdagangan wanita dan anak kecil, biasanya ulama’ hanya akan diam saja. Namun, terhadap persoalan yang sebetulnya hanya bersifat fiqih oriented yang menekankan pada halal-haramnya sesuatu, mereka akan buka suara sekeras-kerasnya. Labelisasi halal pada produk makanan dan minuman, serta halal haramnya bunga bank dan sah-tidaknya bank konvensional yang terus menerus diteriakkan, adalah salah satu contoh betapa rendahnya sense of belonging mereka terhadap penderitaan rakyat kecil yang sebetulnya tidak terlalu membutuhkan hal itu.

Yang lebih ironis lagi, jika para ulama’ yang semestinya menjadi pialang budaya dan penjaga moral bangsa, banyak yang menjadikan profesinya sebagai lahan untuk mata pencaharian. Maksudnya, penerimaan para ulama’ terhadap para calon presiden yang sowan ke tempatnya, hanya dimaksudkan untuk mengeruk manfaat dan keuntungan bagi dirinya saja. Ia akan menerima siapa saja yang datang, asal memberi sumbangan pada pesantrennya atau memasukkan amplom di kantongnya. Begitu juga, para ulama’ yang kampanye dan menjadi calon legislatif, ketika terpilih akhirnya juga hanya akan melakukan aksi duduk, diam, dan menerima duit. Janji-janji untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan penegakan ajaran Islam yang dulu digembar-gemborkan, akhirnya dengan begitu mudah akan mereka kompromikan dengan lawan politiknya demi sebuah jabatan atau uang.

Di Iran, peran ulama’ yang masuk kekuasaan dan malah melanggengkan hegemoni kaum konservatif adalah contoh yang layak dijadikan pelajaran. Ketika mereka melakukan revolusi Islam pada tahun 1979, sebetulnya rakyat sangat berharapa akan adanya pemerintahan baru yang lebih demokratis dan memihak rakyat. Akan tetapi, dengan pelembagaan ulama dalam wilayat al-faqih yang bertindak sebagai otoritas utama pemerintah, yang terjadi malah sebaliknya. Para ulama’ ini justru dengan seenaknya memecat orang yang sebetulnya didukung rakyat tapi dianggap tidak memuluskanm aspirasi mereka. Kasus pengusiran Bani Sadr, pengucilan kekuasaan Mohamad Khatami, serta pencoretan calon anggota legislatif dari kalangan reformis, serta pelarangan protes mahasiswa dan pembelengguan kebebasan pers akhir-akhir ini, tampak menunjukkan hegemoni itu. Para ulama’ akhirnya hanya memanfaatkan kharisma dan kedudukannya guna memuluskan ambisi pribadi dan kelompoknya.

Penjaga Moral

Maka, para ulama’ sudah selayaknya konsisten dengan fungsinya sebagai penjaga moral dan alat kontrol terhadap kekuasaan. Tempat para ulama’ adalah di pesantren, madrasah, sekolah, dan pedesaan guna membangun peradaban alternatif. Mereka harus menjadi pembela kaum tertindas dan orang-orang yang selama ini terhinakan, baik oleh struktur kekuasaan atau pemahaman keagamaan yang sempit. Perjuangan lewat jalur kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi, sudah semestinya disinerginakan dengan perjuangan budaya dan keadilan sosial yang dilakukan oleh para ulama’. Sebab, tanpa hal itu semua, politik dan Pemilu hanya menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan yang tanpa pernah menyentuh kebutuhan mendasar rakyat kecil di pedesaan atau kaum miskin di kota.

Dalam membangun sebuah peradaban ini, menurut KH. Mustofa Bisri, para ulama’ sudah semestinya menjaga jarak dengan kekuasaan. Dengan begitu, mereka akan lebih kuat dari kekuasaan dan tidak akan menghegemoni kekuasaan demi ambisi pribadinya. Mereka tentu akan lebih leluasa membangun nilai dan pranata yang akan dianut oleh masyarakat. Bukan malah sebaliknya, menjadikan masyarakat sebagai pengikut yang dimanfaatkan untuk mendukung calon atau partai yang dianut sesuai subyektifitasnya. Dengan kerja-kerja peradaban ini, maka energi umat akan lebih termanfaatkan untuk urusan jangka panjang. Semisal: perbaikan pendidikan, penyebaran dakwah, pengembangan ekonomi kerakyatan, pemberantasan korupsi, serta kemandirian terhadap kekuatan asing. Determinisme ekonomi dan politik lewat jalur kekuasaan, sudah semestinya diimbangi dengan perubahan budaya dan sosial yang dilakukan oleh para ulama’ dan rakyat.

Sebagai pewaris Nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para ulama’ dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, berwatak sosial, serta menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran ulama sebagai rausyan fikr- meminjam istilah Ali Syariat – akan betul-betul membumi di masyarakat. Intelektual organik semacam itulah, yang akan memberikan pencerahan dan keoptimisan banga ini ke depan.  Demokratisasi dan pengentasan krisis tidak akan berhasil dilakukan, jika di kalangan bawah tidak dibangun civil society yang kuat dalam melakukan kerja-kerja peradaban secara konsisten. Wallahu A’lam.


**Direktur al-Maun Center for Islamic Transformation Jakarta dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

19/04/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq