Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
19/01/2004

Masdar F. Mas’udi: Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang

Oleh Redaksi

Problem mendasar penyelenggaraan haji adalah menumpuknya jutaan jemaah dalam satu waktu pada satu tempat yang sama (Mekah, atau Madinah, atau Arafah). Pemerintah Saudi sudah berusaha mengantisipasi hal itu di antaranya dengan membatasi kuota peserta haji. Tapi, pembatasan kuota tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Untuk itu, diperlukan solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempat-tempat penampungan jemaah. Masdar F. Mas’udi menawarkan solusi radikal, pelaksanaan haji menurutnya tidak terbatas pada 5 (lima) hari efetif saja. Haji sah dilakukan sepanjang jangka waktu tiga bulan (Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah).

Salah satu problem mendasar penyelenggaraan haji saban tahun adalah menumpuknya jutaan jemaah dalam satu waktu pada satu tempat yang sama (Mekah, atau Madinah, atau Arafah). Pemerintahan Saudi setiap tahun berusaha mengantisipasi lonjakan jumlah jemaah tersebut dengan berbagai cara, di antaranya dengan membatasi kuota peserta haji. Tapi, pembatasan kuota justru tidak menyelesaikan persoalan, karena bertentangan dengan dambaan banyak umat Islam untuk melaksanakan salah satu rukun Islam tersebut. Kenaikan tingkat kesejahteraan umat Islam di dunia pada masanya dapat saja mendesak kebijakan pembatasan kuota tersebut menjadi solusi yang tidak masuk akal. Untuk itu, diperlukan solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempat-tempat penampungan jemaah.

Masdar Farid Mas’udi, Katib Syuriah PBNU sekaligus Direktur P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) datang menawarkan solusi radikal. Menurutnya, persoalan itu bisa diantisipasi dengan kembali kepada pedoman Al-Qur’an tentang konsep waktu penyelenggaraan haji. Pelaksanaan haji, bagi Masdar tidak terbatas pada 5 hari efektif (dari tanggal 9-13 Dzulhijjah) saja, sebagaimana yang berlangsung selama ini. Haji sah dilakukan sepanjang jangka waktu tiga bulan (Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2: 197: “al-hajj asyhurun ma’lûmât” (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum). Untuk itu, diperlukan penelaahan ulang atas konsep waktu haji yang dipahami dari hadis “al-hajj ‘arafah.” (haji adalah Arafah).Berikut penuturan Masdar F. Mas’udi dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla pada Kamis, 15 Januari 2004 lalu.

ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Pak Masdar, bisakah Anda ceritakan bagaimana Anda bisa sampai pada kesimpulan bahwa haji dapat diperpanjang atau dimelarkan waktunya, dan atas dasar apa?

MASDAR FARID MAS’UDI (MASDAR): Latar belakang pertama adalah karena masyaqqât atau kesulitan yang sudah luar biasa tingkatannya, yang saat ini dialami oleh para hujjâj. Kesulitan itu dapat dilihat indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada saat melempar jumrah, ada saja yang meninggal karena terinjak-injak, kadang-kadang sampai puluhan. Dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Tentu saja, hal ini seharusnya menggugah kita dengan berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam arena “pembantaian”? Nyatanya, haji telah menimbulkan kesulitan yang luar biasa, bahkan korban jiwa yang tidak sedikit. Nah, menurut saya ini bertentangan dengan prinisp Islam sendiri, yaitu prinsip al-dîn yusrun (agama itu mudah dan memberikan kemudahan). Juga bertentangan dengan prinsip Alquran surat al-Hajj ayat 78: “Mâ ja’alalLâh ‘alaikum fid dîn min haraj” (Allah tidak menjadikan kesulitan dalam kamu beragama). 

Kedua, saya sampai pada pendapat bahwa sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang kita pahami selama ini. Yang kita pahami tentang waktu haji selama ini, praktis sekumpulan prosesi haji, mulai dari thawâf qudûm sampai thawâf ifâdlah. Prosesi itu sebenarnya kan hanya berlangsung pada 9, 10, 11, 12 Dzulhijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzulhijjah (5 hari). Dalam Alquran, sesungguhnya kita menemukan satu ayat yang sangat sharîh, yaitu ayat “al-hajj asyhurun ma‘lûmât” (haji itu waktunya adalah beberapa bulan yang diketahui). Jadi tegas sekali di dalam ayat itu diterangkan bahwa waktu haji itu beberapa bulan, bukan beberapa hari. Bahwa sekarang ini dipersempit menjadi hanya lima hari (waktu efektif), memang karena praktik Rasulullah yang berhaji hanya sekali, dan kebetulan pada hari-hari itu tadi (9-13 Dzulhijjah).

Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari-hari itu saja. Lebih-lebih ada hadis yang mengatakan bahwa “al-hajj ‘arafah”, atau haji itu adalah wuquf di Arafah. Nah, hadis ini yang kemudian dipahami bahwa haji itu intinya bukan hanya wuquf di tempat bernama Arafah, tapi juga wuquf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan menurut saya, problem ini harus dipecahkan.

ULIL: Anda mengartikan hadis “al-hajj ‘arafah” itu sebagai apa?

MASDAR: Menurut saya, hadis ini berarti bahwa haji itu intinya wuquf di padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk di dalam hadis itu. Hadis “al-hajj ‘arafah” ini berbicara soal aktivitas; inti dari haji adalah wuquf di Arafah, bukan berbicara soal tempat. Soal waktu haji, sebenarnya sudah diterangkan dalam ayat Alquran tadi. Jadi antara hadis dan ayat itu tidak saling menafikan. Selama ini, hadis “al-hajj ‘arafah” dipahami sebagai menafikan ayat “al-hajj asyhurun ma‘lûmât”.

Hadis itu juga tidak men-takhshîs atau mengkhususkan ayat Alquran tadi, walaupun hadis bisa memberi penjelasan kepada ayat Alquran. Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayyâmun (beberapa hari) sebagaimana yang berlaku saat ini, tentu tidak masuk akal. Asyhurun itu artinya beberapa bulan. Nah, hadis bisa menjelaskan beberapa bulan itu. Berapa? Dan bulan apa saja? Itu baru masuk akal.

ULIL: Tapi Pak Masdar, hadis tadi menyebutkan, “al-hajj ‘arafah” atau haji itu wuquf di Arafah. Sementara nabi sendiri, pernah memberi contoh wuquf itu tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah. Nah, bagaimana Anda menyelesaikan kontradiksi ini, sementara hadis lain menyebutkan “khudzû ‘annî manâsikakum” (contohlah tata cara hajimu dariku)?

MASDAR: Khudzû ‘annî manâsikakum itu merujuk pada tata cara haji saja; prosesinya, syarat dan rukunnya. Dan soal waktu haji tidak bisa dinafikan oleh hadis itu. Soal waktu jelas ayatnya, “al-hajj asyhurun”. Saya berpendirian bahwa ayat tentang waktu dan hadis tentang tempat tadi (al-hajj ‘arafah) tidak dalam posisi saling menafikan. Jadi harus di- i’malkan, atau harus dipakai kedua-duanya. Dan, meng-ihmal-kan atau membatalkan ayat al-hajj asyhurun dengan hadis al-hajj ‘arafah merupakan pesoalan serius menurut saya.

Dengan demikian, sesungguhnya waktu haji itu sama dengan waktu salat; ada waktu jawâz (dibolehkan) dan ada waktu afdlaliyyah (waktu utama/prime-time). Dan argumen saya ini bukan reinterpretasi terhadap teks-teks, tapi semacam kembali kepada Alquran.

ULIL: Menarik soal waktu jawaz dan waktu afdlâliyyah tadi. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

MASDAR: Menurut saya, waktu pelaksanaan haji itu terdiri dari waqtul jawâz dan waqtul afdlaliyyah, sama dengan salat. Waktu haji adalah waktu yang muwassa’, waktu yang longgar. Artinya, persediaan waktu untuk pelaksanaannya lebih panjang dari kebutuhan kita yang sebenarnya. Misalnya, kebutuhan haji hanya lima hari saja, tapi waktunya lebih panjang dari itu. Salat juga begitu. Salat waktunya paling lama hanya 10 menit, tapi waktu yang tersedia atau dibolehkan bisa berjam-jam. berbeda dengan puasa yang waktunya mudlayyaq, agak ketat dan disediakan seperlunya saja. Puasa Ramadan, waktunya hanya sebulan itu saja, tak boleh kurang atau lebih.

Nah, dalam waktu yang muwassa’ inilah terdapat dua penggal waktu; waqtul jawâz dan waqtul afdlaliyyah. Waqtul jawâz menunjukkan bahwa sepanjang waktu itu bisa digunakan untuk ibadah. Dalam konteks haji, waktu yang boleh kita gunakan untuk menjalankan ibadah haji (waqtul jawâz-nya) adalah sepanjang tiga bulan (Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah). Tapi ada juga waqtul afdlaliyyah. Dalam waktu-waktu inilah Nabi pernah menjalankan ibadah haji, yakni tanggal 9-13 Dzulhijjah. Tapi ini bukan berarti di luar tanggal 9-13 kita tidak dapat menjalankan haji. Ibadah haji sah dijalankan sejak tanggal 1 Syawal sampai 13 Dzulhijjah, atau bahkan ada yang mengatakan sampai akhir Dzulhijjah. Hanya saja, memang ada waqtul afdlaliyyah, atau prime-time, sebagaimanayang kita lakukuan selama ini.

ULIL: Pendapat ini saya kira merupakan hujjah atau argumen yang jarang dikatakan oleh banyak orang. Bagaimana tanggapan para otoritas haji terhadap pandangan ini?

MASDAR: Saya kira masih malu-malu. Tanggapan dari ulama-ulama lainpun belum banyak karena mungkin belum diwacanakan secara intens. Tapi gagasan ini pernah saya lontarkan juga. Tapi kemudian biasalah, gagasan yang relatif baru, meski betul-betul sudah berpijak pada Alquran masih tetap ada keberatan. Kalau masih banyak yang belum bisa menerima, saya pikir tidak jadi masalah. Tapi saya yakin, sejarah nantinya akan memaksa gagasan ini untuk diterima.

Sebab, tidak terbayangkan kalau jamaah haji nantinya sudah berjumlah di atas 3 juta orang per musim. Sebab, desakan realitas dalam haji itu sendiri sudah tidak bisa ditawar. Sekarang memang belum sampai tiga juta haji, paling jauh selama ini baru dua juta. Dua juta orang berhaji pun sudah seperti itu padatnya di Mekkah dan Madinah, bagaimana jika lebih? Saudi sudah tidak mampu memperluas tempat-tempat penyelenggaraan haji. Misalnya Jamarat (tempat melempar jumrah) sekarang sudah berlantai dua. Dan sekarang, akibat kita mengingkari ayat Alquran, orisinalitas waktu dan tempat sudah menjadi kacau.

Misalnya, prosesi mabît atau bermalam di Mina. Prosesi melontar jumrah, dalam hadis disebutkan melalui tahapan mabît di Mina. Mina adalah mâ bainal jabalain, tempat di antara dua gunung. Tapi sekarang mabit itu juga dilaksanakan di Muzdalifah. Ruang di Mina sudah tidak mencukupi lagi.

ULIL: Kalau mengikuti syarat yang ketat, tentu itu membuat haji tidak sah?

MASDAR: Sebenarnya, ya. Tapi kemudian ada saja hîlah-hîlah atau kelitan-kelitan yang dikemukakan. Kemudian kalau kita mau mengambil batu untuk jumrah, sebenarnya juga ada prosesi mabît di Muzdalifah. Kadang-kadang perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah, saking padatnya baru sampai menjelang atau setelah siang. Jadi waktunya sudah kacau balau. Itu dikarenakan soal perhitungan waktu yang tidak ditepati sesuai dengan petunjuk Alquran sendiri. Jadi, waktu kacau, orisinalitas tempat juga kacau. Jadi, justru kalau kita kembali kepada tiga bulan pelaksanaan haji seperti petunjuk Alquran di atas, maka urutan waktu prosesi haji itu bisa menjadi sangat tepat. Misalnya; kedatangan sebelum zuhur bisa dipaskan sebelum zuhur; sebelum zawâl, ya sebelum zawâl. Mabit juga bisa di malam hari; begitu juga tempat-tempat yang menjadi prosesi haji, juga akan bisa kita ikuti persis seperti petunjuk Rasulullah.

ULIL: Tapi haji sebagaimana yang kita lakukan ini sudah berlangsung sekitar 1400 tahunan. Pertanyaannya, kenapa tidak ada orang yang hirau atau ingat pada fakta bahwa ayat haji itu mengatakan bahwa haji berbulan-bulan, bukan berhari-hari? Dan kenapa Anda datang dengan gagasan aneh itu?

MASDAR: Sebenarnya yang aneh adalah pemahaman kita selama ini, karena mengabaikan teks Alquran yang begitu sharîh, begitu jelas. Karena kita lebih tunduk kepada tradisi dan menganggap tradisi itu dogma, maka berhaji dari tanggal 9-13 Dzulhijjah itu tidak bisa ditinjau lagi. Padahal, sekarang ini kita dalam keadaan yang semakin luar biasa sulitnya dalam berhaji. Saya rasa kita harus melakukan refleksi ulang terhadap pemahaman kita selama ini, karena agama tidak mengajarkan untuk masuk pada kondisi yang mempersulit diri sendiri. Dan dalam kenyataannya, Alquran begitu longgar. Dan saya pikir, ayat “al-hajj asyhurun” itu tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah jamah haji yang sudah jutaan seperti sekarang ini.

ULIL: Jadi kalau mengikut pamahaman Anda, wuquf di Arafah itu bisa dilakukan tanggal berapa saja, asal dalam tiga bulan yang ditentukan itu (Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah)?

MASDAR: Bisa tanggal kapan saja, sepanjang tiga bulan itu. Karena memang itu adalah waktu keabsahan untuk haji, dan berarti (juga) keabsahan untuk wuquf, karena inti dari haji adalah wuquf. Dengan demikian, kalau satu bulan ada empat minggu, satu prosesi haji diandaikan berlangsung seminggu atau 10 hari, maka sebetulnya selama satu bulan bisa berlangsung tiga kali shift, atau tiga angkatan haji. Jadi, pada bulan Syawal 3 shift, Dzulqa’dah 3 shift, dan bulan Dzulhijjah 3 shift. Jadi dalam tiga bulan itu akan ada 12 shift. Andai saja dalam 1 shift bisa dilakukan oleh 1 juta orang, maka dalam setahun akan ada 12 juta orang yang berhaji. Dan itu akan dilakukan dengan aman, rileks dan khusuk, karena hanya ada 1 juta orang dalam satu kali angkatan.

Dengan begini, penyelenggraan haji juga akan lebih manageable, baik oleh pemerintahan yang memberangkatkan maupun oleh Pemerintah Saudi. Dan yang terpenting dari semua itu, kita kembali kepada petunjuk Alquran.

ULIL: Tapi kalau selama tiga bulan haji itu ada 12 shift, bisa jadi orang yang punya duit akan ikut haji dalam masing-masing shift. Artinya, jumlahnya juga tak akan menurun secara signifikan.

MASDAR: Sebenarnya bisa dikiaskan dengan apakah kita akan salat zuhur dua kali, hanya karena ada kesempatan. Ya sekali saja, saya kira jarang. Mungkin yang akan terjadi adalah lebih berulang kali naik haji, karena waktunya relatif lebih longgar. Dan kemungkinan, masa depan untuk bertambahnya jamah haji tidak jadi persoalan lagi.

ULIL: Tentu akan banyak yang diuntungkan dengan perubahan waktu begini?

MASDAR: Semuanya untung. Memang, yang paling diuntungkan adalah Pemerintah Saudi. Tapi sebetulnya tidak mungkin kita menerapkan kebijakan pelarangan haji kecuali untuk yang pertama kali saja. Sebetulnya kebijakan itu tidak mungin bisa ditegakkan, karena secara hukum setiap muslim boleh melakukan haji seberapa mampunya, meskipun sunnah. Dan perlu diingat, kalau tingkat kesejahteraan masyarakat Islam semakin meningkat, orang akan butuh tourism dan menjadikannya sebagai pilihan masa depan. Dan bentuk tourisme yang terbaik dilakukan umat Islam itu tourisme spiritual.

ULIL: Apa hujjah Anda sendiri dalam soal ini, selain ayat Alquran tadi?

MASDAR: Kalau hujjah naqli (alasan tekstual) selain ayat Alquran saya belum punya. Paling tidak, hujjahnya negatif, yaitu ketika nabi mengatakan “khudzû ‘annî manâsikakum”, itu tidak melarang bahwa di luar waktu itu haji menjadi tidak sah.

ULIL: Pak Masdar, apakah Anda sudah banyak mendengar orang yang coba mempraktekkan gagasan Anda?

MASDAR: Ada beberapa kiai yang kemudian mengatakan bahwa saya akan mencoba ini. Dan bagi yang sudah mulai mencoba, syukur alhamdulillah. Saya sendiri belum mencoba karena belum punya duit.

ULIL: Selama ini, kebijakan yang ditempuh untuk mengantisipasi lonjakan jemaah adalah dengan mengurangi kuota. Menurut Anda apakah itu solusi yang mungkin?

MASDAR: Saya kira susah. Malah kebijakan itu akan menimbulkan efek yang tak terduga. Misalnya, akan ada tindakan suap-menyuap untuk mendapatkan tiket seperti yang sekarang ini terjadi. Dan pembatasan kuota itu juga tidak mungkin, karena memang tidak dilarang secara agama.

Persoalan lain, mulai dari proses pemberangkatan saja sudah ada permainan uang supaya mendapatkan shift. Kemudian pejabat hajinya juga mengomersilkan itu. Ini akan terjadi terus kalau tidak diadakan peninjauan kembali secara radikal menyangkut tata cara pelaksanaan haji, khususnya soal waktunya tadi.

ULIL: Setahu saya, Anda sudah mengemukakan masalah ini (kalau tidak salah) bertahun-tahun lalu dalam tulisan Anda di Tempo, tahun 1980-an. Tapi kenapa wacana ini belum pernah berkembang sebagai wacana yang didiskusikan?

MASDAR: Sebenarnya mulai awal 1990-an. Saya kira, mungkin waktunya belum terlalu matang. Tapi sekarang, setelah kita menyaksikan setiap tahun selalu ada problem dan skandal tentang haji karena problem penyelenggaraan yang over-load, saya kira suka tidak suka kita harus memikirkan ulang.

ULIL: Mestinya, Anda membawa ide ini ke Depag, karena merekalah yang menjadi penyelenggara haji

MASDAR: Ya, memang bagian saya menuliskan gagasan, tapi bukan ahli pemasaran.[]



Baca juga makalah Masdar F. Mas’udi terkait tentang haji:
http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=480

19/01/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (24)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ide Pak Masdar tentang perluasan waktu haji menarik di diskusikan lebih lanjut. Menarik, karena ini menyangkut bagian dari rekonstruksi wacana keagamaan yang established dan diyakini kebenarannya selama ini. Rekonstruksi, sebab berusaha melakukan terobosan baru, dengan menggagas perubahan waktu haji, dengan mengembalikannya pada waktu semula yakni tiga bulan; Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, sebagaimana di yakini jumhur ulama’. Gagasan ini berawal dari kerisauan Pak Masdar melihat praktek haji yang selalu menimbulkan korban nyawa jam’ah dalam jumlah yang tidak sedikit.  Akan tetapi, seperti yang kita lihat, ide ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Bahkan, lebih banyak yang menentang, karena di anggap menyalahi praktek yang dilakukan Rasulullah, walaupun, dengan nada apologi oleh pak Masdar hal tersebut tidak harus menutup kebolehan haji pada waktu yang lain. Artinya, apa yang di kerjakan Rasul, itu hanya alternatif waktu dari yang tiga bulan di atas. Ia tidak bersifat paten, karena perintah mengikuti Rasul itu dalam bentuk praktek melakukan haji, bukan soal waktu. Masalah waktu haji harus mengacu pada tiga bulan di atas seperti di sampaikan Al-Qur’an., al- hajju asyhur ma’lumat. Lebih lanjut, Pak Masdar menyampaikan bahwa kesepakatan ulama’ terhadap waktu haji itu sebatas penalaran atau ijtihad. Karena ijtihad, otomatis ia tidak berlaku sepanjang zaman, dan boleh di adakan ijtihad baru, mungkin seperti usulan Pak Masdar tersebut.  Tetapi, mengapa gagasan ini kurang di terima?. Ada dua alasan untuk mengungkapkannya. Pertama gagasan itu, sesungguhnya masuk pada wilayah ijtihad. Apa yang disampaikan Pak Masdar tidak lebih seperti apa yang ia kritik pada ulama’ yang berijma’ pada waktu haji, yang juga bagian dari ijtihad. Walau demikian ijma’ ulama’ memiliki landasan rasional-teologis, yang dapat diterima khalayak komunitas umat Islam, yaitu praktek Rasul. Praktek haji yang dilakukan Rasul inilah yang kemudian menjadi takhsis dari konteks kalimat haji dalam al-Qur’an yang bersifat ‘am. Karena, seperti dalam kaidah ushul, bahwa lafadz yang ‘am tidak dapat di amalkan sebelum di ketahui yang mentakhsisnya.  Dari sini, sebenarnya kedua pendapat itu adalah sama, yakni berpijak pada nalar. Tetapi, yang jadi persoalan yang di perdebatkan ialah apakah praktek Rasul itu bersifat mengikat atau bisa fleksibel dengan mengacu pada konteks keluwesan waktu haji dalam ayat? Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa praktek Rasul adalah mengikat dan tidak boleh di rubah, sedang pak Masdar justru sebaliknya, itu hanyalah alternatif, dan bisa di perluas dengan pertimbangan makna ayat secara umum. Tetapi alasan Pak Masdar, sekali lagi, nampak kurang di terima . Sebab itu, perlu dijelaskan alasan yang lebih argumentatif dengan landasan hukum yang bisa di pertangungjawabkan. Minimal, menggunakan pendekatan perangkat ilmu-ilmu keislaman dalam metode menafsirkan al-Qur’an seperti metode ilmu tafsir, balaghah, ilmu bayan atau yang lain, seperti ijma’ ulama’ dengan ushul fiqh-nya. Karena, jika sekedar berkutat dengan argumen-argumen logika, tanpa metode yang konkrit, sulit ide itu akan di terima oleh masyarakat muslim, sebab telah adanya aturan-aturan baku tentang interpretasi al-Qur’an, yang secara tak langsung di amini mayoritas umat muslim saat ini. Ini penting, guna menjembatani sikap kompromistis antara pemahaman teks al-Qur’an dengan praktek haji Rasul, yang terkesan kontradiktif secara dhohir.  Kedua, Pak Masdar tidak mengekspolarasi dengan jelas mengapa Rasul melaksanakan haji pada bulan Dzulhijjah. Ia sama sekali tidak menyinggung sisi antropoogis-sosiologis ini. Yang di persoalkan hanya sebatas interpretasi teks, dan tidak berusaha lebih menukik pada persoalan yang lebih subtantif, yakni kondisi sosial. Artinya, tentu ada alasan tersendiri, mengapa Rasul mengerjakan pada waktu itu, apa latar belakang dan hubungannya dengan situasi masyarakat, sehingga pijakan argumen rasionalnya bisa lebih valid jika di kaitkan dengan persolan konteks. Sebab teks - mengutip Hassan Hanafi - tidak akan lepas dari respon sosial. Teks selalu berdialektika dengan konteks, dan teks tidak akan berdiri sendiri tanpa situasi yang mempengaruhi. Karena itu menjadi sangat penting agar teks tidak dilepaskan begitu saja saat ia pertama kali menyapa konstituennya.  Nah, jika Pak Masdar mampu menjelaskan konteks tersebut secara terinci dan valid, besar kemungkinan pendapatnya lambat laun akan lebih di terima masyarakat, sebab walaupun terjadi ijma’ di antara ulama’ mengenai waktu haji, aspek ini nampaknya belum terjamah dengan kajian sistematis dan komprehensif. Apalagi, seperti di tuturkan oleh Muhammad Zakaria dalam aujazal masalaik ila muwathho’ al-malik, bahwa Abu Bakar pernah juga berhaji pada bulan Dzulqo’dah, sebelum Rasul melaksanakannya. Yang lebih mengejutkan adalah dalam Shohih Bukhori Bab Haji, kitab hadis dengan rangking tertinggi setelah al-Qur’an, tidak di jumpai penyataan bahwa waktu haji adalah tiga bulan seperti yang di sepakati, tetapi itu adalah qoul yang bermula dari Ibnu Umar, yang lalu di kutip mayoritas ulama’. Jadi benarkah bahwa waktu haji adalah tiga bulan, ini masih jadi pertanyaan juga, di samping dua hal di atas.  Alangkah eloknya, jika Pak Masdar, mampu menjawab beberapa pertanyaan ini dengan baik, sehingga wacana yang di tawarkan, dengan alasan kemanusiaan dan ketenangan ibadah haji, dapat di terima, lalu di praktekkan oleh umat Islam. Saya sendiri akan setuju, jika Pak Masdar bisa menjawab pertanyaan itu dengan baik. Bagaimana Pak Masdar?
-----

Posted by Hasan Jaly  on  04/15  at  02:04 PM

kepada sdr bram

mengutip tulisan anda “ saya tangkap di ayat itu, kalau orang beriman pada Allah dan hari akhir dan berbuat baik, maka Allah menjaminnya di dunia dan di akhirat. simpel dan tidak khusus untuk yang beragama islam”, saya jadi khawatir jika pemikiran ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka nampaknya tidak perlu lagi yang namanya ritual-ritual dalam beribadah. bukankah begitu pendapat sdr bram? karena di situ juga kan tidak tertulis bahwa kita diharuskan shalat dan puasa.  bagaimana dengan orang yang selalu berbuat baik tetapi juga selalu meniggalkan kewajiban shalat? bagaimana dengan orang yang selalu berbuat baik tetapi tidak pernah mau puasa di bulan ramadhan? bagaimana dengan kewajiban kita sebagai umat Allah untuk beribadah kepada-Nya? jikalau memang semua agama dianggap sama dan benar, apakah berani anda meninggalkan agama islam dan menganut agama lain yang menurut anda juga benar? bagaimana dengan hukum murtad?  banyak perbedaan diantara agama-agama yang ada di dunia, danjuga banyak perbedaan aturan yang terdapat didalamnya. umat kristiani membolehkan makan daging babi dan meminum anggur sedangkan bagi umat islam dua benda tersebut haram untuk di konsumsi.  jika kita tidak yakin dengan kebenaran agama yang kita anut (dalam hal ini saya seorang muslim yang percaya hanya kepada Allah SWT), untuk apa kita tetap beragama? bukankah lebih baik mencari atau menganut agama yang benar2 kita percaya dan kita patuh terhadap aturan2 yang ada di dalam agama tersebut?  saya hanya ingin mengingatkan untuk kita lebih berhati-hati dalam bersikap terutama dalam hal-hal prinsip mengenai perbedaan-perbedaan agama.

wasalam

junaidi

Posted by mohamad junaidi  on  04/13  at  08:05 AM

Saudara Rifki,

Anda memberi ilustrasi yang sangat tepat mengenai apa yang saya ragukan dalam hadis. Lihatlah ini, bahkan dengan imel yang tertulispun, Anda salah menangkap apa yang saya maksud.

Saya tidak pernah menganggap tidak perlu mengikuti contoh Rasul. Jauh dari itu. Namun, sahabat-sahabat Rasul yang mencatati, mengobservasi dan mencontoh amalan-amalan beliau saja berbeda-beda pendapat. Saking bedanya sampai berbunuhan, bukan? Jadi kalau kita mau memakai catatan-catatan itu, pakailah, tetapi jangan dianggep panduan yang tercetak di batu dan mutlak benar, melainkan dianggep jurnalisme primitif saja. 

Soal jaminan buat penganut agama lain selain Islam, bukan saya yang menjamin melainkan Allah. Jaminan itu tertera di Al-Baqarah 62 dan dengan redaksi yang sangat mirip, juga diulang di Al-Ma’idah 69. Di Al-Qur’an saya ayatnya pendek, gak ada embel-embel penjelasan bahwa ini khusus Yahudi yang ummatnya Musa atau Kristen jaman Isa Al-Masih. Bahkan ada disebut agama yang gak begitu populer dan mungkin sekarang sudah punah, Sabian. Mungkin Anda punya Al-Qur’an lain yang memakai penjelasan seperti Anda kutip?

Saya tangkap di ayat itu, kalau orang beriman pada Allah dan hari akhir dan berbuat baik, maka Allah menjaminnya di dunia dan di akhirat. Simpel dan tidak khusus untuk yang beragama Islam.

Tak mungkinkah seorang budhis, Islam dalam Budhanya? Kristen Islam dalam Kristennya? Seperti juga muslim mesti Islam dalam hidupnya?

Salam

Bram

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  03/12  at  01:03 PM

Coba yang masih “agak percaya” sama “fatwa"nya P. Masdar ini untuk membaca lengkap hadits “Al hajju ‘arafah”. Masak sih menunjukkan aktivitas saja? Gak salah tuh? padahal jelas ada kandungan waktu di situ. Kata P. Masdar orang masih belum mau fatwa ini soalnya mungkin masih malu-malu. Pak, bukannya malu fatwa, tapi malu kalau hafal haditsnya sepotong-potong.

Lagian udah ngaku dalil haditsnya negatif, kok berani fatwa. Ingat, resikonya besar lo. Trus kayaknya perlu lagi dilihat tafsir “al hajju asyhurun ma’lumat”. Berani kharqul ujma’ nih?

Posted by Faris Khoirul Anam  on  03/06  at  06:03 PM

Menanggapi “Fatwa” Ustadz Masdar

Oleh Fathur Rahman *)

Sudah diyakini umat Islam bahwa haji yang sah hanya dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh agama. Namun, kita menemukan pemahaman “lain” yang mengatakan bahwa rukun Islam ke-5 tersebut bisa dan sah dilaksanakan sepanjang waktu tiga bulan. Pandangan ini, didasarkan pada firman Allah “al-haj asyhurun ma’lumat” (waktu haji itu adalah beberapa bulan yang diketahui). Jadi bukan beberapa hari. Bahwa sekarang dipersempit menjadi hanya lima hari, menurut pendapat ini, itu disebabakan praktik Rasulullah yang berhaji hanya sekali dan kebetulan pada hari-hari itu (9-13 Zulhijjah).

Adapun hadits “al hajj ‘Arafah” (haji itu adalah wukuf di Arafah) diartikan bahwa inti haji itu adalah wukuf di Padang Arafah. Tidak meununjukkan waktu pada hari Arafah. Hadits hanya berbicara tentang aktivitas, bukan berbicara soal tempat.

Pendapat tersebut diangkat dalam sebuah tulisan, yang lalu di-follow up-i JIL dengan wawancara antara saudara Ulil Abshar Abdallah selaku koordinator JIL dengan pemilik “fatwa”, Ustadz Masdar Farid Mas`udi, seorang tokoh NU, organisasi yang semenjak dulu sudah terpancang di benak saya akan keteguhan anggotanya dalam memegang ajaran salaf shalih. Dan saya menyangka Ustadz Masdar juga begitu karena beliau seorang tokoh dari organisasi tersebut.

Agama Islam yang sudah kita anut ini diturunkan oleh Allah kepada nabinya, Muhammad SAW, mencakup berbagai macam hukum yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian bagi umatnya. Karena agamalah inti kehidupan. Tanpa agama kehidupan tiada arti dan makna. Islam adalah agama yang diridlai Allah. Barang siapa yang beragama selain Islam tidak akan diterima oleh Allah. Islam telah sempurna dengan mengandung segala macam hukum dalam berbagai macam aspek kehidupan dengan berpulangnya Rasulullah ke Rahmatullah. Sebagai ajaran yang universal dan fleksibel, atau dalam istilah lain alhanifiyyatu as samhah yang mengandung makna “ad dinu yusrun”.

Dalam ajaran Islam, ibadah terbagi menjadi dua bagian: ibadah yang bersifat ‘‘aziimah dan rukhsah. ‘Azimah adalah keadaan di mana seseorang diminta untuk melakukan sebuah amalan menurut kriteria yang sudah dibakukan oleh agama. Dilarang bagi umat untuk membuat suatu teori baru yang berseberangan dengan teori tadi.

Adapun rukhsah adalah perbuatan yang mana syariat sendiri telah membuka solusi-solusi bagi pemeluknya dan memberi keringanan-keringanan tertentu kala mereka menemukan hal-hal yang cukup berat untuk dilakukan.

Merujuk pada apa yang sudah disimpulkan Ustadz Masdar tentang bisanya perpanjangan pelaksanaan haji dari waktu yang ada dan boleh melaksanakanya di waktu-waktu lain selain waktu-waktu yang sudah di sepakati para ulama dari zaman dulu sampai sekarang dengan kendala-kendala tertentu dan masyaqqah (kesulitan) yang begitu berat bagi jamaah haji, adalah bukan lagi menyinggung masalah rukhsah yang beliau dengung-dengungkan sebelumnya. Namun sudah menyerempet ke bentuk amalan yang pertama, yaitu ‘azimah.

Amalan rukhsah yang berlandaskan masyaqqah bisa dilakukan saat tidak ada ta’arudl (kontradiksi) antara nash hukum dan masyaqqah tadi. Tapi kalau terjadi benturan antara nash dan masyaqqah maka tidak ada keringanan hukum (lihat Kitab Asybah wa an Nadza`ir oleh Ibnu Nujaim al Mashri I/117 ).

Kita bisa mengambil rukhsah jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Rukhsah bisa dilakukan kalau perbuatan tadi bersifat juz-i (bagian tertentu), bukan kulli (menyeluruh). Sudah menjadi kesepakatan para pakar Ushul Fikih kalau terjadi pergesekan antara hukum kulli dan juz-i maka yang dimenangkan adalah hukum kulli. Karena hukum kulli bersumber dari maslahat kulliyah, lain dengan hukum juz-i yang bersumber dari maslahat juz-iyyah. Karena tatanan kehidupan dunia tidak manjadi rancu dengan dibatalkannya suatu maslahat juz-iyyah, lain halnya dengan maslahat kulliyah (lihat Kitab Usul Fiqih al Khudlari: 71).

Dengan berdalil nash Alquran al hajju asyhurun ma`lumat (QS al Baqarah :197), beserta penafsiran yang dipahaminya, sampailah Ustadz Masdar pada kesimpulan tadi. Padahal kalau kita kembalikan nash ini ke sebab turunnya (asbabu an nuzul) sekaligus penafsiran-penafsiran para sahabat dan ulama setelahnya, tidak ada satupun komentar yang mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan waktu haji dan prosesinya dengan berulang-ulang.

Malah Imam Ibnu Hazm mengeluarkan pendapat, “sudah menjadi ijma` para ulama bahwa ayat itu hanya menunjukan waktu dibolehkannya ihram (niat) haji” (lihat Maratibul Ijma` hal 42). Karena haji hanya bisa dilakukan sekali dalam satu tahun dan kebolehannyapun terkhususkan pada bulan-bulan dan waktu-waktu tertentu yang sudah masyhur. Lain hal nya dengan umrah, kapan saja bisa dilakukan.

Kemakluman itu sendiri bersumber dari Rasulullah yang dituangkan dalam prosesi hajinya. Jelaslah dengan gamblang tanpa boleh diubah, baik dimajukan atau dimundurkan (lihat Tafsir Fakhru ar Razi: III/173). Tidak seperti yang sudah di katakan Ustadz Masdar. Saya kira beliau telah kelewatan sampai berseberangan dengan ijma` ulama.

Dan penafsiran dan pemahaman Ustadz Masdar tentang al hajju Arafah perlu ditinjau ulang. Apalagi jika sampai menganggap penafsirannya lebih pas dan yang sudah di ambil oleh para ulama dari zaman sahabat sampai saat ini dianggap kurang pas dan bersumber dari pemahaman yang sempit. Karena apa yang sudah diambil dan dipahami para ulama bersumber dari penafsiran dan pemahaman hasil jelajah teks Al-Quran dan Al-Hadits yang bersambung sampai ke Rasulullah, dari generasi ke generasi. Atau dalam kata lain disebut dengan sanad yang bersambung.

Apa yang dikatakan Ustadz Masdar merupakan hal baru yang saya atau umat Islam lainpun tidak tahu dari mana dan sejauh mana penafsiran ini diambil dan bisa dipertanggungjawabkan. Apakah punya sanad khusus yang bersambung sampai asal dan sumbernya? Apakah dari sekian ribu ulama dari zaman dulu sampai sekarang sekitar 1400 tahun tidak ada satupun yang tahu dengan pasti akan tafsiran ayat dan hadits tersebut? Dan dengan pemahaman mereka seperti ini menunjukan akan kesempitan pemahaman mereka?

Kalau Ustadz Masdar sedikit lebih teliti dan mendetail dengan meneruskan potongan hadits tadi lalu diperhatikan dengan seksama maka bisa diketahui sampai mana prosentase benar dan salahnya penafsirannya.

Hadits lengkapnya: “Haji adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang tidak mendapatkan walau sebagian dari Arafah maka hajinya tidak sah”. Lalu dalam potongan berikutnya, “barang siapa yang datang ke padang Arafah sebelum fajar pada malam hari idun nahr (idul adlha) maka dia telah mendapatkan Arafah dan sah hajinya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, diriwayakan dari sahabat Abdurrahman bin Ya`mur). Imam Nawawi berkata, “hadits ini shahih” (lihat Majmu` Juz 8 hal ).

Dalam riwayat Imam Abu Dawud: 1947, “al hajju al hajju yaumu Arafah” (inti haji adalah wukuf pada hari Arafah). Kalau kita perhatikan kembali hadits-hadits tersebut maka akan kita dapatkan dalil sharih tata cara wukuf di Arafah. Bagaimana kita mengartikan sabda Rasul: “Barang siapa yang datang ke Arafah (tempat) sebelum fajar pada malam hari Idul Adha (waktu) maka hajinya sah“. Di sini dijelaskan waktu wukuf dan tempatnya. Mafhum mukholafah nya atau kebalikan dari itu, kalau ada yang melakukan aktifitas wukuf selain pada waktu yang ditentukan Rasul maka itu jelas-jelas manyalahi hadits dan tidak sah. Terlebih kalau kita lihat hadits riwayat Imam Abu Dawud, di situ tersebut dengan jelas kapan wukuf di laksanakan.

Imam Tirmidzi berkata: Hadits Abdurrahman bin Ya`mur lah yang menjadi landasan kapan bisa dikatakan sah atau tidak wukuf seseorang di Arafah (lihat Nailul Author Imam asy Syaukani: I/136).

Keberadaan hadits ini tidak menafikan ayat sebelumnya, itulah yang dikatakan para ulama. Lalu diambillah kesimpulan dengan pengamalan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang begitu panjang.

Namun kalau bentuk pengamalan dari nash Alquran dan Hadits tadi seperti yang dipahami oleh Ustadz Masdar, saya kira ini adalah salah satu bentuk kerancuan pemahaman seseorang terhadap nash Alquran dan Hadits. Karena berpegang teguh pada kekuatan akal tanpa mempedulikan asal atau sumber nash, adalah satu perkataan yang cukup serius untuk ditanggapi. Apalagi sampai mengatakan bahwa pemahaman yang sudah ada dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap salah satu ayat Alquran (lihat lagi wawancaranya dengan Ulil). Mengingat ittifaq (kesepakatan) ulama bahwa barang siapa yang mengingkari salah satu ayat Alquran hukumnya seperti orang mengingkari keberadaan Alquran itu sendiri, dan bagaimana hukum orang mengingkari Alquran? Padahal mengimani Alquran dan kitab-kitab sebelumnya adalah termasuk rukun iman.

Kalau memang benar seperti itu, berapa juta umat Islam yang mengingkari ayat tersebut? Sementara Ustadz Masdar mengatakan bahwa pengamalan haji sekarang dengan pembatasan waktu wukuf di Arafah pada waktu dan tempat yang sudah disepakati para ulama adalah bentuk pengingkaran terhadap salah satu ayat Alquran. Dia lupa bahwa Rasul sendiri dengan sharih telah membatasi waktu tersebut seperti dalam HR Abu Dawud tadi. Apakah pembatasan nabi bisa diartikan sebagai bentuk pengingkaan terhadap ayat juga? Ma`adzallah.

Dari sisi lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa sudah menjadi ijma` (konsensus) para ulama bahwa wukuf berada pada tanggal 9 Dzul Hijjah, yaitu hari Arafah (lihat Maratibul Ijma`: hal 45).

Kalaupun Ustadz Masdar mengatakan bahwa pelaksanaan haji yang dianut umat Islam dari dulu sampai sekarang lebih dikarenakan tunduk terhadap tradisi, dan tradisi itu dogma, saya kira bukan begitu. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi. Tapi merupakan syariat yang harus dipatuhi dengan berdasarkan dalil. Dan di sana terdapat dalil-dalil sharih dan jelas bagai matahari di siang bolong. Baik itu dari Alquran, hadits shahih dan juga ijma` ulama.

Menyinggung hadits “li takkhudzu ‘anni manaa sikakum“ (HR Bukhari), Ustadz Masdar berpendapat bahwa hadits ini hanya sebagai rujukan tata cara haji yang menyangkut syarat-syarat dan rukun-rukunnya saja. Tanpa ada kekuatan untuk berbicara dengan bahasa yang lantang akan prosesi haji Rasulullah secara utuh dari segala sisi dan arahnya.

Kalau kita cermati kembali akan makna syarat dan rukun suatu ibadah maka ini tidak bisa terlepas dari suatu masa dan tata ruang suatu perbuatan. Saya ambil missal pelaksanaan shalat. Allah berfirman (yang artinya), “dan tegakkanlah shalat”. Di sini Allah memberi perintah suatu ibadah tanpa dibarengi tata cara pelaksanaannya. Akan tetapi di lain pihak nabi bersabda “shalluu kamaa ro-aitumuuni usholli“ (sholatlah kamu seperti kalian melihat shalatku). Bagaimana kita bisa memahami perintah Allah berupa shalat kalau tidak ada contohnya?

Di sini kita perlu bertanya bagaimana kita mengambil cara shalat tadi. Apakah cukup rakaatnya saja? Lalu, dengan ijtihad, shalat bisa di lakukan seenak dan semau kita? Atau waktunya saja, dengan tidak menghiraukan segala sesuatu yang berkaitan dengan dzatnya shalat itu sendiri? Saya kira tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mempunyai kesimpulan seperti itu.

Dengan sabda Rasul tadi kita langsung bisa memahami dan mengetahui bagaimana kita menegakkan shalat.

Nah, bagaimana kaitannya dengan permasalahan yang sedang diangkat Ustadz Masdar ke permukaan ini? Kita katakan bahwa antara shalat dan haji tidak ada perbedaan karena keduanya adalah rukun Islam yang harus diyakini. Seperti shalat, masalah haji dijelaskan dengan dalil qurani yang bersifat mutlaq, “wa`atimmul hajja wal umrota lillah“, “walillahi ‘alannasi hijjul baiti“, “al hajju asyhurun ma`lumat“.

Kenapa orang niat haji harus dari batasan-batasan tempat (miqat) yang sudah disebutkan Rasullulah? Kenapa thawaf harus 7 kali, begitu juga sa`i? Kenapa Rasulullah harus wukuf di Arafah, kan itu daerah gersang dan panas? Tidakkah Rasulullah mampu untuk berijtihad mencari tempat wukuf yang lebih rindang dan lebih segar? Bisa saja orang berdalih begitu, toh dalam teks-teks Alquran tadi sama sekali tidak disebutkan permasalahan-permaslahan tersebut?

Dengan demikian, di mana kedudukan Rasulullah beserta segala tata kehidupannya, mulai perkataan, perbuatan dan persetujuannya? Maka hadits “khudzu ‘anni mana sikamum“ menjawab semua itu dengan jelas dan gamblang. Ulama Ushul Fikih sepakat bahwa perbuatan nabi yang bertujuan untuk memberi penjelasan kepada umatnya tentang amalan yang bersifat wajib maka perbuatan tadi wajib untuk diikuti (Al-Ihkam lil`Amidi: I/135). Inilah yang dipahami sahabat Ibnu Umar r.a kala ditanya salah satu permasalahan haji (lihat Qurtubhi: II)

Jadi praktek haji Rasulullah pada hari-hari dan waktu-waktu tertentu tadi, walau hanya satu kali saja, bukan sebagai kebetulan yang berawal dari ketidaksengajaan atau berlandaskan ketidaktahuan. Namun merupakan syareat yang sudah diturunkan oleh Allah kepada nabi yang tidak berbicara dengan nafsu, namun dengan wahyu Allah (wa maa yantiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa). 

*) Penulis adalah peserta program Pasca Sarjana Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman.

Posted by Fathur Rahman  on  03/03  at  06:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq