Xenophobia, Ekspresi Rendah Diri - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara,
29/01/2005

Bambang Harymurti: Xenophobia, Ekspresi Rendah Diri

Oleh Redaksi

Bencana Aceh dan Sumut secara menakjubkan menuai simpati dan kehadiran bala bantuan dunia. Hanya, kehadiran mereka memicu kecemasan, kekhawatiran berlebihan, bahkan xenophobia. Adakah hubungan xenophobia ini dengan faktor agama dan ilusi tentang nasionalisme sempit? Inilah percakapan Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK dengan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti, Kamis (27/01) lalu.

Bencana Aceh dan Sumut secara menakjubkan menuai simpati dan kehadiran bala bantuan dunia. Hanya, kehadiran mereka memicu kecemasan, kekhawatiran berlebihan, bahkan xenophobia. Adakah hubungan xenophobia ini dengan faktor agama dan ilusi tentang nasionalisme sempit? Inilah percakapan Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK dengan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti, Kamis (27/01) lalu.

ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Gejala xenophobia (ketakutan terhadap hal asing) yang dianggap mengancam harga diri sejak zaman Orba sudah bercokol di kita. Bagaimana Anda melihat masalah ini?

BAMBANG HARYMURTI (BHM): Memang, belakangan ini yang mendominasi kebudayaan bangsa kita adalah apa yang disebut Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai budaya pedalaman, bukan budaya pesisir. Mereka yang takut berlebihan akan sesuatu yang asing, biasanya memang mereka yang menganut budaya pedalaman yang bersifat agrikultural, feodal, dan berkelas-kelas.

Pernyataan ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung orang-orang desa. Ini bukan soal desa-kota, tapi soal dua pola budaya antara yang pesisir dan pedalaman. Secara kebudayaan, orang yang hidup di pesisir biasanya cenderung melihat laut sebagai jembatan menuju dunia yang lebih luas.

Namun, orang yang hidup di budaya pedalaman atau di hulu akan cenderung melihat yang asing sebagai ancaman. Ini mungkin disebabkan mereka sudah merasa nyaman dengan keadaannya semula, dan takut tatanan mereka yang sudah ada akan terganggu.

Atau, refleksi lain mengatakan bahwa gejala xenophobia muncul karena rasa percaya diri yang sangat lemah. Akibatnya, muncul dorongan untuk melihat sesuatu yang lain sebagai ancaman. Kalau mau belajar, kita perlu menimba ilmu dari Jepang. Jepang adalah sebuah negara yang sangat terbuka, dan budaya apa saja bisa masuk di sana. Mereka yakin sekali akan kekuatan budaya mereka.

Contoh lain adalah Bali. Orang Bali mungkin tidak takut lagi akan orang asing dengan beragam budaya yang mereka bawa, karena mereka merasa kuat dengan kebudayaannya. Karena itu, turisme bisa hidup dan berkembang dengan baik di Bali.

UAA: Kecurigaan berlebihan atas bantuan asing kadang terbit juga dari beberapa kelompok keagamaan. Apakah xenophobia juga terkait dengan unsur keagamaan?

BHM: Saya kira unsur agama hanya topeng. Unsur utamanya perasaan rendah diri, tak sanggup berkompetisi karena yang asing lebih banyak duit, lebih kaya sumber daya, dan lain-lain. Akhirnya yang asing dianggap ancaman, dan rasa rendah diri itu terkadang keluar dalam bentuk permusuhan.

Saya kira, sekiranya yang membantu adalah bangsa yang dianggap jauh lebih rendah dari kita, bantuan itu tidak akan dianggap ancaman, walaupun dari agama yang berbeda. Jadi, bagi saya xenophobia disebabkan rasa rendah diri yang kelewatan.

UAA: Bagaimana Anda melihat reaksi pemerintah yang memberi tenggat waktu bagi bantuan-bantuan relawan maupun militer asing?

BHM: Itu sangat memalukan. Ketika setahun yang lalu di Iran terjadi gempa, kita juga mengirim pasukan untuk membantu. Andai ketika itu kita mendengar mereka mengatakan pasukan Indonesia pulang saja tanggal sekian, bayangkan rasa sakit hati kita.

Makanya, kita terkadang seperti bangsa yang tidak kenal ungkapan terima kasih. Untung saja saya mendengar Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pemerintah Indonesia berterima kasih atas semua bantuan. Kalau tidak?

Yang mengesalkan dari kasus ketakutan akan asing ini, dia tidak muncul dari rakyat Aceh sendiri yang notabene adalah korban. Kalau yang mengusir justru orang Aceh, kita mungkin masih bisa mengerti. Tapi, yang meributkan justru mereka yang bukan korban. Menurut saya, sikap seperti itu jahat sekali.

UAA: Sejumlah aktivis dan masyarakat Aceh di Jakarta berunjuk rasa di gedung PBB, meminta pasukan asing tetap membantu Aceh. Adakah ini counter atas kebijakan pemerintah, ya?

BHM: Ya. Saya bahkan pernah menyimak wawancara Front Pembela Islam (FPI) soal bantuan asing. Di situ mereka tidak terkesan anti, karena mereka tahu kegunaannya. Mereka cuma mengatakan, “Silakan datang dan menolong. Kita cuma mengamati agar mereka tidak membuat bar dan tempat pelacuran. Kalau itu yang terjadi, kita akan sikat. Kalau mereka menolong, welcome!” Nah, saya kira, kalau FPI yang kita tahu sikap antiasingnya cukup besar justru mengubah sikap ketika melihat keadaan lapangan Aceh, saya jadi bingung terhadap mereka yang justru bersikap sebaliknya.

Pemerintah terkesan kurang bersahabat terhadap pasukan asing. Saya kira, pemerintah kita terlalu takut akan tekanan-tekanan yang mestinya tidak perlu ditakuti. Pemerintah ini kan dipilih langsung oleh rakyat?

UAA: BHM: Sebagian menyebut ketakutan itu beralasan karena ada isu buku dan VCD porno, serta kitab injil segala. Jadi, ketakutan ini dianggap bagian dari akomodasi atas perasaan umat Islam?

BHM: Itu sekali lagi menunjukkan betapa tingginya rasa rendah diri kita. Bagi saya, isu itu tidak masuk akal. Korban bencana Aceh ini sudah tidak punya rumah, apalagi VCD player. Kalau dikirimi VCD porno, mau diapakan? Apa gunanya mengirim VCD porno?

Kalaupun saya orang Kristen dan di Aceh dikirimi Bibel, saya akan marah sekali. Dalam situasi orang tidak punya kompor dan tak punya apa-apa untuk memasak, Bibel nanti justru bisa dipakai untuk memasak. Makanya, kita berpikir rasional sajalah. Kalau mau VCD porno, jalan saja ke kawasan kota, yang tidak jauh dari kantor polisi itu.

UAA: Mengapa soal remeh seperti itu menjadi serius dan diangkat menjadi isu publik, bahkan oleh sebagian media Islam?

BHM: Saya kira isu itu diangkat bukan karena khawatir orang Aceh akan berpindah agama dan menjadi bejat moralnya, tetapi lebih sebagai refleksi atas ketidakmampuan membantu.

Kalau dilihat dari sudut pandang orang Aceh, sebetulnya persoalan ini justru melecehkan orang Aceh. Seolah-olah orang Aceh sedemikian mudahnya dikristenkan dan dirusak moralnya dengan VCD porno. Saya kira, orang Aceh akan marah sekali dengan isu seperti ini, karena mereka seakan tidak punya iman saja.

UAA: Kalau isu Bibel dan VCD porno itu benar, bagaimana pula menyikapinya?

Kalau itu benar, sebagai orang Islam yang percaya diri, selain mempelajari agamanya sendiri, dia juga mestinya mempelajari agama lain demi memperkuat keyakinannya. Jadi, keyakinan itu menjadi kuat bukan karena tidak mempelajari keyakinan lain.

Mengapa harus takut kalau kita yakin bahwa kita sedang memegang kebenaran yang absolut? Mengapa kita harus takut dengan kebenaran yang kita anggap palsu?

UAA: Rumor soal kristenisasi yang dilancarkan organisasi seperti WorldHelp apakah itu juga ikut menyulut xenophobia?

BHM: Saya kira isu itu menambah bensin ketakutan saja; apinya sudah ada sebelumnya. Saya sudah meminta wartawan Tempo menginvestigasi kasus ini. Reporter kita di Amerika dan di Aceh sudah kita kerahkan untuk misi itu. Sampai saat ini kita tidak melihat bukti proyek itu pernah terjadi. Kita sudah coba juga mem-follow-up pernyataan bapak Dien Syamsuddin (Sekjen MUI Pusat) yang menyebut WorldHelp sudah bergerak dan masuk Aceh dengan pesawat Boeing 737.

Setelah kita cek, pesawat Boeing 737 itu hanya berkapasitas maksimal 108 kursi. Sementara, anak-anak itu tidak mungkin jalan sendiri. Jadi rumor itu sulit dibenarkan.

Saya kira, bukan perkara gampang menyelundupkan 300 anak. Saat ini semua bandara yang pergi menuju Aceh sangat terbatas. Makanya, sampai sekarang kita berkeyakinan kasus itu tidak ada. Mungkin sudah ada niat, tapi tidak kesampaian.

UAA: Selain dengan agama, apakah juga ada kaitan xenophobia dengan nasionalisme yang keblabasan?

BHM: Harus kita akui, bibit xenophobia itu juga cukup alamiah. Dulu di Amerika Serikat pernah ada survei yang menanya masyarakat soal nama dan suku-suku asing yang mereka anggap sebagai ancaman. Di situ masyarakat mengungkapkan nama yang masuk porsi ancaman yang cukup tinggi.

Padahal, survei itu ngarang-ngarang saja, dan suku asing yang disebutkan tadi sebenarnya tidak ada. Jadi, ketakutan atas sesuatu yang tidak sama dengan kita memang terkadang alamiah pada kita. Artinya, itu manusiawi saja karena terjadi hampir pada semua masyarakat dan bangsa.

Hanya, tugas kita adalah mengontrol perasaan takut yang berlebih-lebihan. Perasaan itu mungkin tidak akan pernah hilang. Tapi, kalau itu justru mengganggu jalannya bantuan ke Aceh, kita perlu waspada.

UAA: Soal xenophobia dan nasionalisme tertutup ini mungkin akan tetap berkembang. Kita sudah tentu harus cinta tanah air, tapi bagaimana mencintai tanah air secara sehat?

BHM: Pidato Bung Karno yang menjelaskan soal kebangsaan mungkin bisa membantu. Dia pernah mengatakan bahwa kebangsaan saya bukanlah kebangsaan yang sempit. Bung Karno mengaku akan meniru perkataan Mahatma Ghandi, seorang nasionalis tulen India, “I am a nationalist. And my nationalism is humanity (saya seorang nasionalis tulen. Dan prinsip nasionalisme saya adalah paham kemanusiaan).”

Nah, kalau Bung Karno dan Ghandi saja mengatakan nasionalismenya adalah prinsip kemanusiaan, saya menjadi heran kepada orang Indonesia yang malah mengatakan bahwa nasionalisme dan kemanusiaan itu berseberangan. Saya pikir, mereka perlu mengaji kembali dasar-dasar nasionalisme mereka.

UAA: Bagaimana globalisasi? Apakah dunia yang semakin terbuka dan komunikasi dengan dunia luar yang makin lancar juga dianggap ancaman?

BHM: Sejarah negeri ini membuktikan sebaliknya. Globalisme sudah terjadi di negeri ini sejak ratusan tahun silam. Pada abad ke-6 dan ke-7, China dan India sudah menemukan jalur perdagangan laut yang harus melintasi Selat Malaka, dan mesti berlabuh di Sumatera bagian selatan.

Kawasan itu kemudian menjadi bandar yang semakin besar dan menjelma menjadi Sriwijaya yang menghasilkan Borobudur dan pusat kebudayaan Buddha. Ketika itu, India pernah mengirim orang-orangnya untuk belajar Buddhisme di Indonesia. Artinya, ketika itu kita menjadi kota kosmopolitan. Itu semua akibat globalisme jalur perdagangan dunia.

Ketika terjadi perubahan dan rempah-rempah sudah menjadi aset perdagangan yang mahal, orang-orang Gujarat mulai mencari jalur sendiri untuk mendapatkan sumber rempah yang tadinya mereka beli dari Sriwijaya.

Akhirnya mereka menemukan jalur pelayaran ke Maluku. Untuk sampai ke sana, mereka mesti mampir di pantai utara Jawa. Lama-lama pantai itu menjadi besar. Ketika Sriwijaya mulai lemah dan runtuh, muncul Majapahit. Supremasi kekuasaan berubah dari Buddha ke Hindu. Kerajaan Majapahit yang Hindu itu menjadi cikal bakal Indonesia yang kedua. Ketika pedagang-pedagang Arab juga sudah tertarik untuk berdagang, mereka datang ke Indonesia.

Poin saya dari cerita ini: Islam yang paling awal datang ke Indonesia adalah Islam produk globalisme. Jadi, semacam gejala globalisasi sejak dulu sebetulnya sudah ada, dan kita menjadi Islam karena globalisasi.

UAA: Gejala xenophobia yang kita perbincangkan berkonotasi negatif. Bisakah dipositifkan?

BHM: Istilah xenophobia biasanya dipakai untuk menggambarkan rasa ketakutan atas sesuatu yang dianggap asing. Asing di situ diasumsikan pasti jahat, sehingga harus dilawan.

Kalau mau dipositifkan, yang harus dilawan adalah asing yang jahat saja. Bukan karena asingnya, tapi karena jahatnya. Jadi, jangan karena kita melihat orang lain punya bentuk kulit dan ras yang berbeda, lantas kita musuhi. Dengan begitu, kita sudah terjebak pada perangkap stereotyping.
Masalahnya mungkin, bagaimana menumbuhkan kedewasaan berpikir!

Juga menumbuhkan rasa percaya diri. Orang yang kuat imannya tidak akan takut akan yang asing. Menurut saya, penyakit kagetan yang menimpa masyarakat kita ini bukanlah gejala lama, tapi fenomena baru. Bangsa ini sudah terbiasa dengan globalisasi. Hanya, sejak zaman Orde Baru -seperti dikatakan Cak Nur- telah terjadi proses pedalamisasi (pembentukan budaya pedalaman, Red), sehingga kultur pesisir pelan-pelan terkikis.

Sebagian ciri pedalamisasi adalah pengandaian bahwa kita seolah-olah punya pemerintahan yang selalu melindungi rakyat dari segala-gala yang jahat. Ini mirip filosofi China dulu ketika membangun tembok besar untuk berlindung dari kelompok barbar dan serangan asing.

Orang yang biasa hidup dalam tembok besar, kalau mengalami demokratisasi dan tidak lagi hidup dalam tembok besar, tentu akan shock. Itulah perumpamaan orang yang selalu takut akan “barbarisme asing”. Saya pikir, kita sudah lama tidak hidup dalam alam demokrasi.
Makanya, kecurigaan menjadi tinggi. Pemerintahan yang otoriter hanya selalu dapat berkuasa bila bisa menerbitkan rasa ketakutan di masyarakat andaikan pemerintahan itu hilang. Makanya, kalau demokrasi kita makin matang, saya kira ketakutan itu pelan-pelan akan terkikis. ***

29/01/2005 | Wawancara, | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Moralitas itu memang baik tapi jika berlebihan malah runyam. Kalau ada beberapa tentara membawa buku porno, lalu fakta itu sampai tersiar di media, yang salah bukan tentaranya, tapi medianya yang terlalu ngganggur dan tidak punya kerjaan sehingga mengurusi masalah yang tidak akan membawa perbaikan apapun bagi Aceh. Coba: seandainya buku-buku itu dirampas, seberapa besar masalah moralitas bisa ditingkatkan di Aceh yang lagi porak poranda itu? Dan lagi, kalau ada orang memang ingin berbuat cabul, apakah orang itu akan menunggu datangnya buku-buku cabul baru berbuat cabul? Dan lagi, apakah Aceh memang 100 persen bersih dari buku cabul sebelum terjadi tsunami? Marilah kita berpikir lebih dewasa dan lebih memaklumi watak dasar manusia: semua manusia dilahirkan dengan kelamin, karena itu wajar jika dalam sekian ratus ribu populasi ada beberapa eksemplar buku cabul.

Apakah karena ada sebutir kerikil dalam nasi satu baskom lalu Anda akan membuang seluruh nasi itu?
——-

Posted by Akhmad Santoso  on  02/26  at  03:03 AM

Mas Harry, sayangnya kenyataan di lapangan tidaklah demikian.  Bahwa berita yg menyatakan terdapat beberapa tentara yg membawa BACAAN/GAMBAR porno adalah benar dan telah dibenarkan oleh banyak pihak. Bukankah penyangkalan Anda justru merupakan salah satu bentuk ketakutan Anda bahwa Barat tidak akan mau membantu Indonesia lagi, ketakutan yg tidak berdasar. Kenyataan yg lebih parah sebenarnya adalah pada sebagian kamp, tidak dipisahkan antara pengungsi laki2 dan wanita. Apakah Mas Harry juga menutup mata pada hal seperti ini. Yg saya tahu, bantuan Amerika yg telah benar2 dicairkan tidak sebanding dengan jumlah total yg digembar-gemborkan. Sebatas KOMITMEN pinjaman.

—Akidah adalah yg utama. Akidah dan amal berdasarkan akidah adalah hal yg bisa menyelamatkan kita di akhirat.

Posted by bns_abbas  on  02/20  at  01:03 PM

Hapus Xenophobia, Tingkatkan Kualitas Diri

Menarik sekali apa yang dinyatakan oleh bung Bambang Harimurti (Xenophobia, Ekspresi Rendah Diri, Jawa Pos, 30 Januari 2005). Bahwa ketakutan banyak pihak, terutama sebagian umat Islam terhadap para relawan asing yang bekerja dalam misi kemanusiaan musibah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara baik sipil maupun militer, utusan pemerintah ataupun NGO/LSM, sebenarnya adalah hanya sebuah ekspresi “rendah diri” karena tidak sanggup berkompetisi dengan asing yang lebih baik segalanya: duit, SDM, dan lain-lain (kualitasnya) daripada kita.

Dalam hal ini saya sependapat dengan bung Bambang. Bagi saya mereka melakukan itu untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam berbuat dan memberikan sesuatu yang lebih baik kepada Aceh secara komprehensif. Xenophobia ini terjadi karena persepsi mereka yang berlebihan, dan tidak didukung dengan data yang akurat dan obyektif. Isu “kristenisasi”, VCD porno dan lain-lain, sengaja dihembuskan dengan justifikasi agama, untuk mencoba mendiskreditkan pihak relawan asing. Padahal menurut bung Bambang dengan melontarkan isu tersebut justru telah “melecehkan” kadar-tingkat keimanan masyarakat Aceh. Menurut-nya masyarakat Aceh tidak mudah dimurtadkan (dikristenkan) dan didegradasikan moralnya. Masyarakat Aceh sendiri justru merasa senang dengan kehadiran relawan asing karena dapat membantu meringankan beban mereka dan membangkitkan semangat hidup mereka.

Mengenai kekhawatiran sebagian kalangan tentang adanya intervensi terhadap urusan dalam negeri dan mengancam kedaulatan NKRI oleh pihak relawan asing dengan keberadaannya di Aceh, secara tersirat menurut bung Bambang tidak perlu dikhawatirkan.

Menurut saya ada yang kurang dari pernyataan bung Bambang tersebut, bung bambang terlalu berpikir positif terhadap kemungkinan intervensi asing dalam urusan dalam negeri kita, sehingga kurang waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut. Bagi saya kewaspadaan tetap perlu demi kepentingan nasional. Hemat saya keberadaan relawan asing di Aceh selama tidak mengintervensi urusan dalam negeri kita dan tidak mengancam kedaulatan NKRI serta hanya menjalankan misi kemanusiaan, maka harus diberi kesempatan secara proporsional dan tepat. Namun apabila sudah keluar dari batas-batas format misi kemanusiaan, maka harus diambil tindakan tegas dengan menyuruh pulang mereka. Walaupun dengan tidak ketinggalan mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada mereka.

Oleh karena itu, kita sebagai bangsa dan sebagai pribadi Indonesia harus menghapuskan xenophobia karena tidak bermanfaat sama sekali, malah menimbulkan penyakit psikis dan sebaliknya kita terus meningkatkan kualitas diri agar selalu siap dalam menghadapi segala goncangan dam musibah baik akibat ulah manusia maupun siklus alam (hukum alam-Tuhan). Siap dalam menanggulangi-menangani-mengatasinya, sehingga mampu berkompetisi dengan negara lain di dunia, agar tidak menjadi bangsa yang selalu berpredikat rendah di mata dunia.

Arief Dardiri .(JavaScript must be enabled to view this email address)

Posted by Arief Dardiri  on  02/15  at  06:03 AM

memang terlihat sekali sikap xenophobia yang terjadi di negara ini, saling curiga terhadap sesuatu yang berbau asing (bahkan yang sudah tidak asing lagi sebernarnya) begitu kental. saya sependapat denga mas bambang bahwa dengan semakin matangnya sikap demokrasi, lambat laun sikap xenophobia ini akan terkikis. disamping itu saya pikir peran dari pemimpin agama sangat penting dalam kaitannya mengurangi sikap xenophobia ini. Seringkali bukannya memberi sikap atau nasehat-nasehat untuk semakin mengurangi sikap xenophobia ini, justru malah semakin mempertajam/memperlebar sikap xenophobia yang sekarang sudah terjadi. Semoga saja kedepan akan lebih baik lagi…...

Posted by nico santono  on  02/05  at  10:02 PM

Mengapa mesti takut dengan bantuan yang diberikan oleh pihak asing? Justru karena ketakutan yang berlebihan akan membuat sikap dan perilaku yang destruktif. Dalam situasi yang sedang dihadapi saudara-saudara kita di Aceh, cobalah untuk berpikir jernih dan terbuka terhadap bantuan yang diberikan. Dengan menutup diri dan rasa rendah diri hanya akan membuat saudara-saudara kita di Aceh mengalami hambatan dalam proses penyembuhan baik secara mental, psikis, maupun rohani. Dan sebagai orang yang beriman, takut akan Tuhan, dan berjiwa nasionalis tentulah bantuan yang diberikan sebagai sebuah persahabatan dan kemanusiaan. Jika ingin Bangsa Indonesia berkembang baik maka, “buka mata, buka telinga, dan bukalah hatimu”.  Hentikan prasangka buruk atau berpikir negatif, berpikirlah lebih positif tetapi membangun.  Indonesia berhentilah menangis! Bangkitlah dengan persahabatan dan perdamaian!

Posted by Retni Mulyani  on  02/04  at  03:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq