Ahmad Abdul Haq


Ambang Batas

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Kamis, 10 Januari 2013 10:27 WIBAmbang Batas

Ambang Batas

Ada pemandangan menarik ketika menyaksikan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh tampil di sebuah acara televisi. Menariknya adalah, kok bisa dan mau ya, seorang Menteri Pendidikan, tampil dalam sebuah acara yang secara segmented jelas jauh dari isu-isu soal pendidikan, dan dilakukan melalui sebuah acara dalam kemasan humor yang banyak dikesankan orang selama ini menjual stupidity. Maknanya kita kurang dapat membenarkan, mengemas sebuah isu nasional soal parahnya kerusakan sekolah, dalam sebuah acara yang secara segmented maupun substansif jauh dari dunia pendidikan. Maka jadilah ini dagelan politik menjelang reshufflekembali ke laptop!

Sementara kita saksikan di layar kaca, hampir setiap hari diisi oleh berita tentang maraknya tawuran antar anak sekolah, anak sekolah dengan wartawan, bahkan anak sekolah dengan sejumlah warga. Di Depok, saking kesalnya dengan tawuran anak-anak sekolah, puluhan warga melibatkan diri ikut dalam tawuran dan mengejar anak-anak sekolah, memukulinya, dan menyerahkannya ke kantor polisi. Lantas, secara lokal dan nasional, hampir tak pernah kita mendengar statement yang kemudian berlanjut dengan kebijakan strategis tentang upaya menanggulangi maraknya tawuran yang melibatkan anak-anak sekolah.

Dalam sebuah perkuliahan, saya pernah memberi pertanyaan kepada para mahasiswa, berapa kira-kira ambang batas (treshold) korban yang harus jatuh hingga tewas dalam sebuah tawuran antar sekolah, dan akan membuat otoritas negeri ini membicarakannya secara nasional dan mengeluarkan langkah kongkrit sekaligus strategis mengurangi fenomena maraknya tawuran antar pelajar? Menarik menyimak jawaban para mahasiswa ini.

Menurut mereka, jika hanya satu atau dua orang menjadi korban tawuran hingga menyebabkan kematian, ini tak akan menjadi isu pendidikan nasional. Apalagi jika korbannya hanya lecet-lecet dan babak belur, kebanyakan dari kita hanya mengganggapnya sebagai insiden “biasa” dan “normal-normal” saja. Masih menurut mahasiswa, ambang batas minimal haruslah menunggu korban hingga di atas delapan anak sekolah mati dalam sebuah tawuran, barulah dia akan menjadi isu nasional. Tentu saja diselingi sejumlah kelakar, prediksi ambang batas ini paling tidak menunjukkan dua hal.

Pertama, otoritas pendidikan kita sama sekali tak memiliki desain program yang tepat daam mengatasi maraknya tawuran antar sekolah, kedua mereka memang menunggu ambang batas yang diprediksi tersebut terjadi dulu, baru kemudian membuat program dengan usulah dana tambahan. Inilah ironi yang saya maksud dengan tampilnya Pak Menteri untuk “kembali ke laptop!” Dia sungguh prihatin dengan tingginya jumlah sekolah yang rusak dan akan melibatkan TNI dalam membangunnya kembali, sementara harusnya berlaku logika sebaliknya, mengapa tak membangun jiwa anak-anak kita yang terganggu dengan meminta bantuan TNI untuk menegakkan kembali kesadaran agar mencintai sesama?

Perlu diingat, proses pendidikan yang benar memang harus berjangka panjang dan karena itu kebijakan yang akan dilakukan seyogianya berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi saat dalam rangka mengantisipasi kondisi serupa 20-25 tahun mendatang. Angka tawuran anak sekolah memang tak bisa dipandang sebelah mata alias diremehkan begitu saja. Insidennya sudah menggejala secara nasional, dan bahkan dalam hitungan 4-5 hari terjadi satu kali tawuran antar sekolah. Bahkan jika merujuk angka hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP:2010), dari sekitar 600 ribu siswa tingkat menengah pertama dan atas di Jabodetabek sebanyak 14.4% menyatakan setuju dengan tindakan kekerasan dalam bentuk tawuran, 11.4% menyatakan bersedia terlibat dalam tawuran, dan 8.5% dari mereka bahkan memang pernah terlibat dalam tawuran.

Ini artinya ada sekitar 50 ribuan anak-anak kita di Jabodetabek pernah terlibat dalam tawuran, dan mereka menganggapnya sebagai bagian dari solidaritas antar teman alias biasa saja. Sungguh angka-angka ini seharusnya membuat kita takut dan memikirkan secara komprehensif kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk meminimalisir masalah ini. Salah satu cara yang mungkin perlu dilakukan adalah upaya membangun mekanisme penangan konflik di lingkungan sekolah melalui pendekatan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS).

Selain itu, semua pihak terkait dengan kemenertian pendidikan duduk bersama dalam menganalisis efek dari budaya tayangan terhadap fenomena tawuran antar sekolah. Disinyalir kuat bahwa selain sebagai aktualisasi solidaritas antar teman, terjadinya tawuran juga bermuara pada eksploitasi jenis tayangan kekerasan, baik di layar kaca, bentuk mainan kekerasan secara on-line, hingga film-film di layar perak. Paradigma dalam perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi dan persebaran media online jelas harus dicermati secara seksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia.

Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya lokal karena baik konten maupun rancangan program tayangan televisi bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya barat yang belum tentu semuanya baik (Dighe: 2000). Hasil riset menunjukkan bahwa dampak tayangan televisi yang banyak menampilkan kekerasan, mistisisme, hura-hura ala sinetron dapat menyebabkan anak-anak muda usia sekolah mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai “toxic culture,” sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah yang tidak sehat.

 



Kommentar Tidak Ada

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy