Ahmad Abdul Haq


Mistisisme Turki

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Rabu, 29 Mei 2013 09:27 WIBMistisisme Turki

Mistisisme Turki

Beda Mesir, beda Turki. Jika harus ditulis apa persamaan keduanya, maka jalur waktu adalah jawabannya. Meskipun kedua negara tersebut berbeda kontinen, namun keduanya berada dalam lingkup masa, ruang dan waktu yang hampir sama. Persamaan lainnya, Mesir dan Turki sama-sama memiliki peninggalan peradaban yang otentik meski dalam masa yang berbeda, tetapi memberi manfaat bagi pembacaan situasi sosio-historis masyarakat kedua negara saat ini. Lantas apa yang membedakan kedua negara ini?

Dari sisi pendidikan, kedalaman pemahaman garis keislaman yang dipraktekkan saat ini jelas berbeda. Mesir, dengan pengalaman politiknya yang keras, melahirkan begitu banyak pemahaman garis keras yang hingga kini mewariskan banyak pekerjaan rumah. Sementara Turki, meski pengalaman politiknya pernah mengalami kekerasan di jaman Ottoman, namun situasi kekinian mereka jauh lebih soft, untuk menyebutnya lebih damai. Kairo memang memiliki pusat pendidikan keislaman seperti al-Azhar, namun kota Istanbul juga tidak kalah dalam membangun peradaban baru berdasarkan desain masa lalu dan kemoderenan masa kini.

Tidak kurang 32 Universitas Negeri ada di Kota Istanbul, diluar yang swasta. Ini menandakan bahwa tradisi pendidikan di negara ini benar-benar mengadopsi kultur pendidikan modern ala Eropa, sementara tradisi Asia-nya terpenggal-penggal antara kesenian, sastra dan spiritualitas warisan Jalaluddin Rumi. Bentuk kompromi spiritualitas ala Rumi begitu lekat dan pekat pada tradisi dan cara berkesenian masyarakat Turki saat ini.

Jika di banyak negara Timur Tengah dan Afrika seperti Mesir tradisi dan warisan keislaman yang begitu melekat pada sisi sosial, budaya dan politik adalah aspek fiqh-nya,maka Turki sepertinya mengambil jalan lain, yaitu lebih banyak mengambil aspek spiritualitas (sufisme/mistisisme). Masyarakat Turki hari ini seperti lebih mementingkan aspek kesalehan sosial yang berakar pada spiritualitas Islam, sehingga jalan kekerasan nampaknya bukan merupakan pilihan mayoritas masyarakat Turki.

Jika diselami, sumbangan sufisme vis a vis Jalaluddin Rumi dengan ordo Maulawiah-nya tetap memberikan kontribusi terhadap Turki saat ini. Secara pedagogis, religiusitas Rumi mewakili ranah afektif dan psikomotorik yang bisa jadi menyumbang peran besar bagi pertumbuhan demokrasi dan modernitas di Turki. Kebesaran Turki seolah mewakili kedalaman ilmu dan pengetahuan Rumi yang mampu mengaksentuasi perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Kedalaman ilmu Rumi yang disalurkan melalui puisi-puisinya menyebabkan posisi Rumi sulit tertandingi pada zamannya.

Meskipun pernah menjadi target dan sasaran kemarahan Kemal Attaturk, Sang Pembaharu Turki,  sebagai tokoh sufi yang menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran, namun menurut Rumi pemikiran yang terlampaui berorientasi pada kognitivisme dapat melemahkan rasa dan iman seseorang kepada sesuatu yang ghaib. Dalam pandangannya, orientasi kepada akal saja akan menyebabkan kita buta hati dan akal pikiran sekaligus.

Gambaran betapa pentingnya memerhatikan aspek spiritual dengan cara mendidik dan mengajarkan penggunaan rasa dalam proses pendidikan sehingga dapat menumbuhkan sikap saling menghargai. Dalam pengalaman Turki, peninggalan artefak mereka, terutama bangungan monumental masjid, terlihat sekali terjadinya proses rekonsiliasi dan sikap saling menghargai. Di setiap masjid yang rata-rata memiliki delapan tiang penyangga, dua penyangga bertuliskan lafadz ALLAH dan MUHAMMAD, empat penyangga bertuliskan sahabat Nabi yang terdiri dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan dua penyangga sisanya bertuliskan lafadz Hasan dan Husain.

Hasan dan Husein, yang identik dengan golongan Syiah,jelas merupakan bentuk kompromi antara Sunni dan Syiah yang selama ini seperti sulit berdamai. Di Turki, penghargaan antar golongan Islam seperti terlihat di delapan tiang penyangganya, adalah sesuatu yang jelas memerlukan timbang rasa tingkat tinggi untuk bisa menerima perbedaan. Jelas sekali mistisisme gaya Turki, meski terkesan sangat simbolik, merupakan warisan tradisi dan budaya yang harus dicontoh oleh negara seprular Indonesia yang juga mayoritas muslim.

Belajar dari pengalaman Turki, tak ada salahnya jika otoritas pendidikan kita juga memiliki kebijakan untuk mengelaborasi warisan budaya bangsa yang relevan dengan sisi modernitas keberagamaan masyarakat Indonesia ke dalam kebijakan pengembangan kurikulum. Menata ulang kebijakan pendidikan yang memberi ruang kepada domain afektif dan psikomotorik yang ramah dengan talenta siswa adalah sebuah keharusan, agar siswa bisa dan terbiasa memiliki kepekaan terhadap keragaman dan nilai-nilai kemanusiaan sekaligus.

Para pengambil kebijakan pendidikan negeri ini harus berpikir soal fakta keragaman dalam koridor kebijakan pedagogis. Sebab saat ini kita seperti melihat kata perbedaan dan keragaman seperti kata asing yang harus dijauhi bahkan dihindari bagi kebanyakan proses belajar-mengajar di kelas. Efeknya, anak didik kita seperti hidup di dunia monogram, searah dan tak ada lekuk dan liku. Sampai akhirnya mereka menemukan ‘entitas’ baru dan tak terjelaskan maknanya, sehingga anak didik kita cenderung menanggapinya secara negatif dan pesimistis. Mungkin ini yang menyebabkan mereka teralienasi dan sangat reaktif menanggapi berbagai isu di sekitar kehidupan mereka dengan cara mengkonsumsi narkoba, tawuran, bullying, dan jenis kekerasan lainnya di sekolah.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy