Agama antara Mitologi dan Ideologi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/12/2004

Agama antara Mitologi dan Ideologi

Oleh Abd. Malik Utsman

Pada era selanjutnya, gelombang baru memaksa agama harus senang untuk disejajarkan dengan unsur kehidupan lainnya. Modernitas menjadi harapan baru manusia. Logos menggantikan mitos. Bahkan tradisi baru pengetahuan manusia tersebut dengan tragis menelanjangi kabut hitam mitos-mitos agama.

Seperti entitas kehidupan manusia lainnya, agama selalu mengalami goncangan akibat serangan perubahan zaman. Kejutan-kejutan perubahan yang dimunculkan oleh pergolakan zaman seringkali memaksa agama mengikuti ritme perkembangan tersebut. Di era keemasan agama, struktur kehidupan manusia ibarat piramida kehidupan di mana agama menjadi bagian inti (infra stuktur) yang mempengaruhi aspek lainnya. Para sejarawan menyebut era ini dengan zaman aksial yang dicirikan dengan mitos sebagai sumber utama pengetahuan manusia.

Pada era selanjutnya, gelombang baru memaksa agama harus senang untuk disejajarkan dengan unsur kehidupan lainnya. Modernitas menjadi harapan baru manusia. Logos menggantikan mitos. Bahkan tradisi baru pengetahuan manusia tersebut dengan tragis menelanjangi kabut hitam mitos-mitos agama. Serangan paling dahsyat adalah munculnya arus sekularisasi yang mempengaruhi kesadaran manusia. Serentak para pengamat agama menandai era tersebut dengan era kematian Tuhan (the death of god) atau krisis teologi (crisis of theology).

Dewasa ini, hal yang tak terpikirkan telah terjadi. Modernitas telah runtuh menjadi tulang punggung kehidupan manusia. Di saat yang bersamaan muncul geliat baru agama yang berusaha keluar dari pasung modernitas dan rasionalitas. Agama berusaha bangkit dari posisi yang marginal menuju sentral. Inilah gelombang ketiga agama.

Perubahan yang begitu cepat ini menyebabkan masyarakat agama mengalami kejutan-kejutan budaya (culture shock) baru. Terlihat masyarakat agama masih sangat sulit untuk berkompromi dan melakukan tawar menawar dengan babakan baru ini. Dalam kondisi demikian tidak mengherankan apabila muncul suatu gerakan keagamaan yang reaksioner dan apologetik yang ditandai dengan munculnya neo-ortodoksi agama. Karena cirinya yang reaksioner gerakan ini hanya melakukan repitisi tradisi dan menggiring warisan lampau sebagai justifikasi masa kini. 

Semula gerakan ini tidak berlebihan, namun pada perkembangannya ia tidak hanya berusaha menghidupkan kembali panorama religius dalam kehidupan manusia, tetapi memaksa agama menjadi sentrum optik yang dijadikan alat membaca realitas kekinian. Hampir tidak ada satu celah yang kemudian tidak dipahami dalam kerangka kesucian agama. Dengan kata lain, bukan hanya mengembangkan kembali mitos tetapi juga memaksanya untuk meneropong hal yang seharusnya menjadi tugas logos. Terjadilah pencampuradukan epistimologi mitos-logos yang berakibat pada satu drama baru realitas yang disucikan, politik yang disucikan, budaya yang disucikan, bahkan kepentingan yang disucikan.

Pencampuradukan mitos-logos pada akhirnya akan menjadi musibah baru bagi kehidupan manusia. Karen Armstrong memberikan satu contoh bahwa perang salib yang dikomandoi oleh Paus Urbanus II pada tahun 1905 pada dasarnya merupakan alam logos. Akan tetapi ekspedisi militer tersebut menjadi semakin tangguh ketika ditarik dalam kerangka mitologi rakyat, kisah alkitabiah, fantasi religius yang selanjutnya tercatat sebagai tragedi kemanusiaan besar sepanjang sejarah.

Pada hakikatnya mitos bukan hal yang jelek, karena dengannnya kehidupan manusia mempunyai konteks makna yang berharga. Akan tetapi mitos menjadi potensi destruktif bila didudukkan sebagai kekuatan dan kemapanan hirarki sosial. Penyelewengan mitos sebagai kekuatan status quo ini akan membentuk rancangan ideologi kemapanan yang tangguh. Inilah yang oleh Arkoun disebut sebagai proses pemistikan, yakni penggunaan mitos yang bertentangan dengan fungsi dan maknanya. Inilah corak utama gaya berteologi (theologizing) masyarakat agama saat ini; bangkitnya neo-otodoksi bercanggah di atas kerangka paradigma di atas. Pencampuradukan mitos-logos dan menjadikan mitos sebagai penyangga ideologi. Dan tidak mustahil bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan akan terus berlangsung. Oleh karenanya adalah tugas berat bagi umat beragama untuk mencari paradigma baru yang compatible dalam memaknai kondisi agama saat ini.

Untuk keluar dari kekakuan keberagamaan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, menjalin relasi harmonis-kompromistik antara mitos-logos. Sejatinya, keduanya merupakan alat bedah kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Meskipun demikian ada karekteristik dan peran masing-masing yang tidak bisa dicampuradukkan. Mitos berperan sebagai pendorong imajinasi manusia yang menyebabkan kehidupan manusia bermakna. Sementara Logos menjadi panduan praktis dan ilmiah. 

Keduanya memiliki keterbatasan yang berpeluang menimbulkan hubungan yang komplemeter. Dalam bahasa yang berbeda Arkoun menyebutnya sebagai angan-angan (L’imaginaire). Menurutnya di situlah kegagalan modenitas terjadi. Barat menganggap mitos sebagai khayalan dan mengesampingkan kreativitas angan-angan ini. Oleh karenanya Barat telah mengalami kegersangan dan ketandusan kehidupan yang berkepanjangan. Namun, dewasa ini sudah mulai ada geliat baru yang arif untuk mendialogkan mitos dengan logos. Hal itu bisa dilihat dengan makin tumbuhnya minat dalam mengkaji hubungan agama dan ilmu pengetahuan semisal Ian Barbour, Issue In Science And Religion.

Kedua, melakukan pembongkaran terhadap gaya berteologi yang dicirikan dengan paradigma kebenaran. Paradigma kebenaran sebenarnya merupakan landasan utama munculnya tragedi keagamaan. Karena tidak sedikit darah manusia dialirkan hanya karena hendak mengibarkan dan mempertahankan kebenaran agama.

Meminjam analisa Foucault, bahwa kebenaran tidak lebih sebagai proses relasi antar kuasa-pengetahuan, jalinan idea dan kekuasaan ini telah menimbulkan ideologi kebenaran. Tak terkecuali dalam agama. Dengan demikian hal yang dianggap benar dalam agama tidak lebih hanya ekspresi klaim kekuasaan dan pengetahuan yang berkelindan. Dan inilah menjadi satu naluri keberagamaan yang sulit untuk dibongkar.

Umat beragama masih kurang berani untuk melakukan pembongkaran tersebut. Sehingga dengan malu-malu mengambil jalan kompromi dengan gerakan yang mengakui kebenaran agama orang lain. Cara seperti ini pada kenyataannya tidak lebih menjadi tindakan toleransi yang hiprokit, karena berusaha menahan birahi klaim kebenaran agamanya dengan membiarkan kebenaran orang lain berkeliaran. Dan pada saatnya emosi ini akan meluap menjadi satu tragedi baru.

Untuk itulah umat beragama harus berani beranjak dari paradigma kebenaran teologi ini menuju satu paradigma baru, yakni kebajikan. Paradigma ini hendak menggiring umat beragama untuk kembali pada muara kebajikan, cinta kasih, dan perdamaian. Dan keluar dari jejaring kesibukan-kesibukan untuk menunjukkan kebenaran agamanya.

Di sini saya tertarik untuk mengutip gagasan John D. Caputo yang telah berusaha memaknai agama dan kereligiusan secara baru. Baginya inti agama adalah cinta kasih, sehingga seorang religius adalah orang yang memiliki cinta kasih. Dengan pengertian ini kategori religius tidak cukup dilihat dari ketaatan ritualistik atapun dengan pemahaman yang sektarian yang membagi komunitas Yahudi, Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya. Kategori religius hanya relevan dilawankan dengan egois, individualis, serakah, dan tidak memiliki cinta kasih. Maka, bisa jadi seorang ateis yang memiliki nilai cinta antar sesamanya lebih religius dari umat beragama.

Alhasil, kebajikan merupakan hal inti yang niscaya ada dalam setiap agama. Dengan mengembangkan kebajikan dalam agama berarti pula mengembangkan kebenaran agama. Dan bahwa manusia beragama bukan orang yang dengan getol bersemangat menunjukkan kebenaran agama, namun manusia yang tekun mengamalkan kebajikan agama.[]

Abd. Malik Utsman, aktivis Community for Religion ang Social Engineering (CRSe) Yogyakarta.

19/12/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pendapat yg disampaikan Pak Abdul Malik mungkin berangkat dari pendapat para orientalis/filosof barat yg beranggapan bahwa agama adalah hanya masalah ritual.

Usaha untuk mematikan agama dahulunya muncul dari kalangan Kristiani yg merasa tidak puas dengan keangkuhan org2 gereja (pendeta) yg dianggap tidak mengapresiasi perkembangan zaman. Sedangakan Islam adalah cara hidup, di mana ibadah didefiniskan sebagai wujud kepatuhan manusia kepada Allah melalui syariat yg disampaikan oleh Rasulullah. Dan didalamnya sangat mendukung peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan.

Islam sangat menghormati orang yg berilmu, bahkan Allah berjanji akan meninggikan derajat org yg berilmu. Namun yg perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kemampuan manusia terbatas, logika kita terbatas. Saat org sedang sakit, mungkin kemampuan berpikirnya terbatas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa logika bukanlah segalanya.

Maha Suci Allah yg Maha Mengetahui apa Yg dilakukan hamba-hambaNya.
-----

Posted by bns_abbas  on  01/10  at  04:01 AM

Pak Abd. Malik Langsung ke point saja : Saya sangat tidak setuju dengan hasil kajian/wacana/artikel..(???)..kalau tidak salah baca dari awal anda sebut-sebut AGAMA VS Moderenisasi tapi tidak jelas AGAMA yang mana maksud saudara Abdul, karena kalau didalam ISLAM sebagai Agama yang saya yakini sampai akhir hayat (insyaallah) semua aturan telah termaktub didalam jadi saya tidak perlu mencari landasan yang lain apalagi dari apa yang dibuat oleh manusia (kedudukan sama kayaq saya mungkin...)...Mungkin Pak Abdul punya penyakit “kebingungan” yang berlebihan kali ya??? terlalu banyak baca komik,majalah,buletin,filosofi barat, nonton film star trekdll..coba sekali-kali anda merenung “apakah saya sebagai manusia mampu melebihi sang Khalik” sehingga pak abdul menganjurkan AGAMA harus mengikuti maunya zaman yang mungkin mau BAPAK....Allah SWT tempat bermuara kebenaran yang hakiki..

Posted by ahmad zamani  on  12/28  at  07:12 PM

saya mohon maaf bila cara menanggapi tulisan Abd Malik Utsman, dengan bahasa yang awam ( sederhana ). Saya merasa tertarik dengan tulisan Abd Malik Utsman dan saya mencoba menanggapi tulisannya.

Menurut saya, agama diluar Islam selalu kebingungan dalam menghadapi perubahan jaman. Dan agama-agama diluar islam itu selalu berusaha mengikuti perubahan jaman. Apalagi di era sekarang ini yang setiap detik selalu berubah cepat.Sekarang era digital,eranya computerisasi. Tapi tidak untuk islam. Agama Isalm tidak mengkuti perkembangan dunia tapi dunia selalu menyesusaikan islam.Tapi kita tidak menyadari.Sebagai contoh sebelum berkembangannya dunia kedokteran kandungan. Islam dengan berpegang teguh pada AL-Qur,an, bahwa Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan dari air mani.Juga tentang kehidupan dalam rahim, Islam telah menerangkan. Begitu masuk jaman dunia kedokteran kandungan, eh sama dengan pendapat Islam ( Alqur’an ).Begitu juga dengan tata surya dan alam semesta. Sebelum dunia barat melontarkan bahwa matahari pusat tata surya, Islam ( Al-Qur’an) sudah menerangkan lebih dahulu. JAdi menurut saya,apa yang diucapkan Abd Malik Utsman adalah tidak benar. Mungkin buat AGAMA lain selalu kebingungan mengahadapi perubahan jaman yang begitu cepat.Tapi tidak untuk Islam. Jamanlah yang mengikuti Islam.Dan saya juga tak sepaham degan ucapan Abd Malik dengan paham “cinta kasih"Menurut saya Islam lebih menghargai cinta kasih tiu sendiri.Cobalah anda baca tafsir Al-Qur’an dan perdalam isi dan maknanya.Tapi kenapa anda lebih senang membaca tulisan dari luar dan menghargai tokoh-tokoh dari luar islam. Saya tidak menutup mata dalam hal ini.Islam itu sangat bagus,yang tidak bagus itu umatnya sendiri.Karena merasa selalu paling pintar seperti anda.

Posted by pusptasari  on  12/27  at  12:12 AM

bukan baru sekarang ini kita bericara mitos dan agama ,karena suka tidak suka agama menghasilkan suatu budaya.hanya masalahnya kebenaran agama sering ditolak sama zaman atawa era dan waktu.dan dalam alquran sendiri bangsa yang paling disebut sebut adalah bangsa romawi dan israel yang mewarnai budaya pada zaman itu dan sampai sekarang.kita jangan menutup mata bahwa kedua bangsa inilah yang memplintir habis ajaran ajaran nabi yang terdahulu dan akan mencoba juga terhadap ajaran islam. gue pkir loe sudah pada tahu dan jangan pura pura goblok.orang hidup bukan sekedar hanya untuk berbuat baik tapi lebih dari itu,makanya agama di perlukan untuk membimbing manusia agar tidak ngawur dan teler nggak juntrung.masalah agama bukan masalah pintar atawa goblok tapi masalah bagaimana kita bisa selamat dunia akhirat.tinggal individu masing masing apakah agama adalah suatu mitos atawa bukan.bisa jadi agama adalah suatu mitos kalo individu itu sendiri nggak mau tahu atawa cuek bebek terhadap realita tertinggi dari tingkat kesadaran alam pikir mereka.ada yang sudah frustek akhirnya agama di budayakn dengan budaya pop contohnya sekarang ini orang mau gampang belajar agama dengan memalui internet ,ironis memang ya nggak 

Posted by gabriel lyulka  on  12/25  at  08:12 AM

dalam Forum lokakarya NU international bertempat dimesir tahun 2003 penulis pernah melontarkan gagasan mengenai re orientasi dakwah. dimana dakwah ( penyebaran agama ) tida dijadikan lagi sebagai alat memperbanyak anggota agama atau umat beragama akan tetapi bagaimana agama melalui kegiatan dakwah bisa memberikan manfaat kepada manusia tanpa harus menganut agama yang dibawa misionaris. hal ini penulis kemukakan dengan harapan kehidupan damai akan terwujud. penulis setuju dengan pemikiran-pemikiran yang selalu dianggap kontroversi atau nyeleh yang menganggap bahwa beragama tidak perlu yang doperlukan ialah suatu kebajian. menegakan keadilan dan kedamaian dimuka bumi. tanpa harus menganut agama. penulis bukan berarti tidak mengakui tuhan. tuhan hadir dalam hati penulis akan tetapi ia tidak diperlakukan layaknya seorang anak kecil yang perlu dimanja dan di kasihi. penulis ingat apa yang dilontarkan Gusdur bahwa tuhan tidak perlu dibela.. nah bagi penulis hal itu benar dan yang perlu dibela iala hamba tuhan, manusia dan mahlu lainya. penulis meyakini bahwa beragama tidak perlu identitas yang ditonjolkan cukup hal itu pribadi masing-masing yang mengetahui.

Posted by Moch. Hilmi Ash-shidiie  on  12/25  at  02:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq