Agama Bernalar Manusiawi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
02/05/2004

Agama Bernalar Manusiawi

Oleh Agus Hilman

Beragama bukan lantas menjauhkan kita dari realitas dunia sosial manusia, akan tetapi malah – harus—membawa kita lebih bersentuhan dengan problem-problem kemanusiaan. Agama diciptakan oleh Tuhan bukan untuk Tuhan sendiri, tetapi untuk manusia. Dan, untuk mewujudkan artikulasi ideal tersebut, agama harus dipahami dalam persepktif manusia dan kemanusiaan.

AGAMA manapun hadir ke dunia dengan membawa seperangkat tujuan mulia untuk membebaskan (to liberate), mendidik (to educate),dan memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Demikian juga dengan Islam, yang disebut oleh pemikir Ashgar Ali Engineer, hadir untuk menyelamatkan, membela, dan membawa prinsip-prinsip keadilan universal. Sebuah keadilan yang tidak mengenal batas dan sekat-sekat identitas simbolis manusia; ras, suku, bahasa, dan agama.

Hal tersebut sudah cukup untuk kita jadikan deskripsi dan bukti bahwa agama memang ada dan lahir untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Karena, Tuhan maha kuasa yang tidak membutuhkan pertolongan dan pengakuan dari hamba-Nya, tetapi manusialah yang membutuhkan mahapertolongan dari-Nya. Perintah Tuhan kepada manusia agar menyembah-Nya tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu butuh disembah, melainkan Tuhan memberikan jalan bahwa manusia diciptakan secara fitrah agar menyembah Tuhan. Karena dengan itulah manusia bisa mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan bathini. Zaman modernisme sudah cukup menjadi pelajaran dimana manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari keberadaan Tuhan.

Karena itu, sangat disayangka bahwa cara berteologi kita di lapangan masih berbanding terbalik dengan hal di atas. Bukan manusia yang membutuhkan Tuhan, tetapi seolah Tuhanlah yang membutuhkan pertolongan dan pengakuan manusia. Seluruh jiwa dan raga kita ini selalu diukur dan diproyeksikan untuk Tuhan. Urusan manusia menjadi hal yang nomor dua. Keridhaan Tuhan (limardhatillah) hanya dilihat pada satu persepktif yang sempit, melangit, simbolis, dan an sich untuk Tuhan. Memperoleh keridhaan Tuhan selalu diasumsikan pada ketundukan dan kepatuhan manusia melakukan ritual-ritual untuk Tuhan, tidak dilihat sejauhmana ketundukan dibuktikan dengan tindakan sosial dengan membantu sesamanya. Maka jangan heran banyak orang yang rajin beribadah; shalat lima waktu, haji berkali-kali, tetapi tidak pernah memperhatikan nasib tetangganya. Padahal, tidak dikatakan sebagai orang yang beriman orang yang tidur pulas sementara tetangga sekitarnya kelaparan, kata Nabi.

Untuk mencapai Tuhan manusia tidak bisa menelantarkan sesamanya. Kesadaran sosial yang tinggi kepada sesama merupakan tiket utama jika ingin mencapai keridhaan Tuhan. Pola keberagamaan mainstream senantiasa mengabaikan hal itu. Para pelaku agama berlomba memperoleh keridhaan Tuhan dengan jalan hanya memperbanyak ibadah secara vertikal dengan Tuhan semata, tetapi segala problematika yang mendera manusia, seperti kekerasan, kelaparan, dan penindasan diabaikan begitu saja. Agama sendiri menyuruh manusia agar menjaga menjalin tali hubungan dengan Tuhan serta manusia. Inilah ibadah yang sesungguhnya, yakni beribadah untuk Tuhan dan beribadah untuk manusia adalah komponen ta’bbud yang integral dan tidak bisa dipisahkan. 

Implikasi ekstrem yang akan dilahirkan dengan pola berteologi hanya untuk Tuhan adalah agama akan mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Agama yang sejatinya memberikan ruang kebebasan kepada manusia untuk bergerak sesuai dengan fitrahnya (QS.30:30), malah justru akan menjadi belenggu dan memperbudak manusia untuk bertindak diluar apa yang dia kehendaki (fitrah kemanusiaannya). Manusia terasing ditengah-tengah agama yang ia anut. Pada posisi ini, agama tidak mengajak manusia agar menyembah Tuhan untuk kesejahteraan manusia, melainkan hanya untuk ‘kedamaian’ dan ‘ketentraman’ Tuhan semata. Membentuk komunitas hanya untuk melindungi dan memperjuangkan kekuasaan Tuhan di bumi. 

Akibatnya manusia menjadi rentan kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Kekerasan yang disandarkan kepada Tuhan dan agama, bukanlah merupakan suatu hal yang salah dan dosa, sekalipun agama mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menggunakan hati untuk menimbang suatu tindakan. Pada saat itu yang akan terjadi persis seperti apa yang dikatakan penyair Irlandia W.B.Yeats (1865-1939) bahwa rasa tak bersalah ditenggelamkan dan yang terbaik kehilangan pendirian dan keyakinan. Pada taraf inilah agama menjadi sangat ironis, mandul, dan tidak memiliki taring, karena agama cenderung kaku dan tidak bergerak dinamis.

Beragama untuk manusia

Dengan demikian kita harus kembali mempertegas bahwa beragama bukan untuk Tuhan, melainkan untuk dan akan kembali kepada manusia. Pada perspektif ini, baik buruknya Islam akan teruji pada sejauhmana cara keberislaman kita bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia, terutama dalam mengembangkan nilai-nilai esensial manusia. Atau dalam bahasanya Emile Durkheim, mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Maka, pemihakan terhadap kemanusiaan menjadi modal utama style keberislaman semacam ini. Seruan ini bersandar pada beberapa hal.

Pertama, agama (Islam) adalah fitrah. Tuhan menggambarkan bahwa kehadiran agama di dalam lubuk hati manusia karena dorongan fitrah manusia yang haus akan spiritualitas. Itulah sebabnya agama kemudian disebut juga sebagai fitrah. Fitrah spiritualitas manusia tidak pernah mengamini tindakan kekerasan, menggunjingkan teman, dan apatis terhadap masyarakat sosial. Fitrah itu berada di dalam hati manusia

Seringkali Muhammad SAW mengajak agar umatnya berislam menggunakan fitrah kemanusiaannya dengan senantiasa menanyakan hati (istafti qolbaka) untuk menimbang baik dan buruknya tindakan yang diperbuat. Jika hati (nurani) mengatakan baik maka tindakan itu adalah baik, tetapi jika ia mengatakan salah berarti perbuatan itu adalah tercela dan dosa. Dan, atas dasar itu jualah Tuhan lebih memilih hati terdalam Nabi Muhamamd sebagai tempat memuarakan titah suci-Nya (QS.26/193-194).

Kedua, agama Islam diturunkan sebagai penunjuk dalam meluruskan moralitas peradaban manusia. Nabi Muhammad mengaskan keterutusannya ke muka bumi untuk memperbaiki dan meluruskan moralitas manusia yang pada saat itu sedang mengalami degradasi besar-besaran, terutama di wilayah jazirah Arab (innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq). Al-Qur’an juga secara tegas menyatakan bahwa Muhammad (Islam) tidak akan diutus ke bumi kecuali untuk kemaslahan dan kesejahteraan seluruh makhluk yang ada di alam ini, yakni sebagai rahmatan lil ‘alamien.

Ketiga, tujuan akhir (ultimate goal) ritual-formal agama Islam (al-ibadah al-mahdlah) senantiasa dikreasikan dan dikembalikan untuk kebaikan manusia, seperti shalat dengan tujuannya memberntuk insan humanis, anti destruktif (QS.45: 45); puasa membentuk manusia bermoral (QS.2:183); ataupun simbol ritual haji yang berharap mampu membangun kesadaran manusia bahwa dirinya sama (equality/egalitarian) dihadapan manusia yang lain. 

Mengacu dari beberapa hal itulah, beragama bukan lantas menjauhkan kita dari realitas dunia sosial manusia, akan tetapi malah – harus—membawa kita lebih bersentuhan dengan problem-problem kemanusiaan. Agama diciptakan oleh Tuhan bukan untuk Tuhan sendiri, tetapi untuk manusia. Dan, untuk mewujudkan artikulasi ideal tersebut, agama harus dipahami dalam persepktif manusia dan kemanusiaan. Teks-teks kekerasan (jihad/crusade) yang sekiranya bertentangan dengan sisi dan sendi-sendi kemanusiaan, selayaknya untuk diinterpretasi kembali dan kemudian diselaraskan dengan aksi-aksi sosial-kemanusiaan. Wallahu A’lam. ***

* Agus Hilman, Pemerhati masalah sosial-keagamaan, alumnus PP. Salafuyah-Syafi’yah Situbondo Jatim

02/05/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya sependapat bahwa ritual agama harus bersentuhan dengan kondisi sosial keagamaan. Tapi yang menjadi masalah menurut pendapat saya semua ritual agama telah sesuai dengan kebutuhan hajat hidup manusia.sekarang tinggal pribadi kita masing-masing bagaimana menyikapi dan mengarahkan ritual tersebut kepada hal-hal yang sesuai dengan kondisi sosial kemanusiaan. Dan sebagai manusia kita terbatas dalam banyak hal jadi kita harus tetap realistis menanggapi ajaran agama ini.
-----

Posted by imam syafi'i  on  05/06  at  07:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq