Agama Lama dengan Baju Baru
Oleh Saidiman
Agama yang dipinggirkan dan direpresi selalu menemukan cara untuk tampil kembali ke permukaan. Tetapi sesuatu yang telah melalui peminggiran dan represi itu tidak muncul kembali dalam bentuk yang benar-benar sama dengan sebelumnya. Trend beragama yang muncul dalam era globalisasi ini adalah sesuatu yang lain dari agama sebelumnya. Jonathan Benthall menyebutnya “para-religion.”
Salah satu penanda utama era globalisasi menurut Thomas L. Friedman adalah meleburnya batas-batas: sesuatu yang menjadi karakter pokok era Perang Dingin (Thomas L. Friedman: 2000). Francis Fukuyama kemudian mengeluarkan tesis terkenal tentang akhir sejarah (Francis Fukuyama: 1993). Akhir sejarah yang ditandai dengan kemenangan mutlak demokrasi liberal itu mendapat tantangan serius dari banyak orang, satu di antaranya adalah Samuel P. Huntington. Huntington mengemukakan bahwa akhir sejarah bukan berarti munculnya satu kekuatan tunggal, melainkan justru tempat bersemainya pelbagai kekuatan yang mendasarkan diri pada primordialisme (Samuel P. Huntington: 1996). Fareed Zakaria mempertegas tesis Huntington itu dengan menunjukkan gejala munculnya kekuatan-kekuatan baru di luar Amerika Serikat dan Eropa. Kekuatan-kekuatan baru itu muncul terutama dari kawasan Asia seperti Cina dan India (Fareed Zakaria: 2008). Apa yang dikemukakan oleh Ernest Gellner mengenai the clash of civilisations tampak semakin menjadi nyata. Ada perubahan besar dalam arus peradaban. Ironisnya, kultur primordial menjadi bagian penting dalam perubahan besar tata peradaban dunia tersebut.
Diskusi terbatas bertajuk Tantangan Globalisasi bagi Agama-agama yang diselenggarakan oleh Program Pasca-Sarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja sama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Salatiga, 7 Juli 2009, mengulas beberapa tema pokok dalam diskursus agama di era globalisasi. Dr. Abu Hafsin (Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah) memulai diskusi dengan mengemukakan pentingnya globalisasi dalam upaya transformasi sosial. Tetapi pada saat yang sama, globalisasi tidak harus menjadi monster yang bisa memberangus identitas tradisi. Keduanya harus diposisikan sebagai alat bagi sebesar-besarnya transformasi sosial.
Terus berpijak pada tradisi, menurut John A. Titaley Th.D. (Guru Besar Teologi UKSW), justru menemukan momentumnya dalam era globalisasi. Mengutip Peter L. Berger, Titaley menyatakan bahwa agama adalah bagian dari peradaban bahkan ekspresi peradaban itu sendiri. Agama adalah bentuk peradaban manusia. Jika modernitas dan globalisasi mendapat respon dari agama, maka hal itu merupakan bentuk dialog antar-peradaban. Di dalam sebuah dialog, perbenturan memang acapkali tak dapat dihindarkan, namun juga ada ruang di mana upaya untuk saling mengisi terjadi.
Debat Sekularisasi
Dalam buku The Sacred Canopy (1990) dan A Rumor of Angels (1970), Peter L. Berger berusaha menjelaskan bagaimana agama diposisikan dalam kehidupan modern. Kedua buku awal Berger itu cenderung menempatkan agama sebagai respon terhadap sekularisasi. Pandangan Berger ini sesungguhnya mewakili pandangan dominan banyak ilmuan saat itu. Auguste Comte membagi dunia dalam era teologi, metafisis, dan positivis. Emile Durkheim meramalkan pergeseran masyarakat dengan solidaritas mekanik (tradisional/paguyuban) ke solidaritas organik (modern/patembayan). Tesis utama para ilmuan itu adalah bahwa dunia akan semakin modern dan pada saat yang sama agama akan semakin ditinggalkan. Agama adalah respon terhadap pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan dasar manusia. Ilmu pengetahuan lambat laun semakin menggantikan fungsi agama untuk menjawab keajaiban dunia. Sementara dahaga spritualitas semakin tergantikan oleh seni. Demikian pula dengan pola-pola solidaritas yang terus berubah semakin meminggirkan agama. Agama dianggap sebagai barang aneh bagi rasionalitas dan kemajuan manusia. Pretensi ilmu-ilmu modern pada mulanya adalah untuk menyingkirkan agama. Apa yang disebut sebagai modernitas adalah respon langsung terhadap dominasi agama dalam ranah kehidupan.
Ulil Abshar-Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal dan kandidat Doktor Teologi Universitas Harvard Amerika Serikat) menjelaskan bahwa fungsi yang dimainkan oleh ilmu pengetahuan modern saat ini persis seperti yang dulu pernah diperankan oleh agama. “Pada dasarnya manusia membutuhkan peta bagi kehidupan,” tegas Ulil. Ilmu pengetahuan dan agama (pada masanya) adalah peta yang bisa memberi petunjuk bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (lahir dan batin). Ilmu sosial semacam sosiologi, menurut Ulil, adalah quasi doktrin agama.
Tetapi sejarah membuktikan bahwa keniscayaan mundurnya agama seiring dengan perkembangan kehidupan modern ternyata tidak memberi banyak bukti. Titaley menyebut bahwa bahkan pemikir seperti Peter L. Berger yang sebelumnya merumuskan babak kehancuran agama pun harus meralat kesimpulannya. Dalam buku The Desecularization of The World (1999), di mana Peter L. Berger menjadi editor, Berger menyatakan secara eksplisit bahwa ada kesalahan dalam kesimpulan banyak orang mengenai kehidupan manusia saat ini. “My point is that the assumption that we live in a secularized world is false,” tegas Berger. Berger bahkan menyimpulkan bahwa keseluruhan literatur yang terlanjur diberi label “teori sekularisasi” sungguh menyesatkan. Menurut Berger, teori sekularisasi yang sangat marak pada 1950-an dan 1960-an yang sesungguhnya berakar pada Pencerahan semuanya mengarah kepada satu kesimpulan bahwa modernisasi adalah anti-tesis agama. Modernisasi berkembang sejalan dengan keruntuhan agama. Semua kesimpulan itu keliru, sebab pada kenyataannya ada dimensi keagamaan dalam modernitas.
Para-Religion
Pertanyaan utama yang sering menghantui kehidupan modern adalah mengenai wajah agama yang selalu tampak dalam kehidupan modern. Alih-alih mundur dan musnah, belakangan trend beragama bahkan semakin menguat. Dan yang paling menyita perhatian adalah trend agama dalam ranah politik: di Amerika Latin kelompok Evangelis berkembang pesat, kelompok Islam dan Kristen berebut otoritas di Afrika, ada konflik Arab dan Israel yang tak kunjung padam, kelompok sekuler semakin terancam oleh kelompok agama di Turki, kelompok Muslim fundamentalis radikal terus menerus menebar kekacauan di Aljazair, sementara kelompok fundamentalis Hindu semakin dominan di India, dan seterusnya.
Ulil mengusulkan cara pembacaan Jonathan Benthall untuk menganalisa fenomena ini. Pertanyaan pokok yang diajukan oleh Benthall adalah bagaimana menjelaskan kebangkitan agama, bahkan pada masyarakat Barat yang rasional, post-modern, dan saintifik. Sebagaimana Berger, Benthall juga mengusulkan untuk melakukan pembacaan ulang terhadap tesis-tesis sekularisasi.
Dalam masyarakat sekuler, menurut Benthall, agama tidak pernah benar-benar hilang. Yang terjadi adalah masyarakat sekuler hanya melakukakan represi terhadap agama. Agama mengendap di bawah permukaan. Teori Sigmund Freud mengenai alam bawah sadar sangat relevan. Agama seperti mimpi buruk yang ditekan ke alam bawah sadar sekularisme.
Tetapi pengalaman-pengalaman yang direpresi di alam bawah sadar sesungguhnya tidak benar-benar terkungkung. Ada momen-momen tertentu di mana pengalaman-pengalaman itu bocor dan mencuat keluar. Represi terhadap alam bawah sadar selalu merupakan represi yang gagal. Agama yang dipinggirkan dan direpresi selalu menemukan cara untuk tampil kembali ke permukaan. Tetapi sesuatu yang telah melalui peminggiran dan represi itu tidak muncul kembali dalam bentuk yang benar-benar sama dengan sebelumnya. Trend beragama yang muncul dalam era globalisasi ini adalah sesuatu yang lain dari agama sebelumnya. Jonathan Benthall menyebutnya “para-religion.”
Menurut Ulil, para-religion adalah cara baru presentasi doktrin agama. Ia seolah-olah mengandung karekater agama tradisional tetapi sesungguhnya berbeda. Fenomena Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, misalnya, tidak hanya merefleksikan cara beragama tradisional, melainkan di sana ada intervensi yang kuat dari ideologi-ideologi modern: Marxisme, fasisme, green movement, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini bahkan bisa dimasukkan ke dalam bagian dari new-social movements. Para-religion adalah agama lama dengan baju baru.
Meski begitu, lanjut Ulil, para-religion tidak selamanya muncul dalam bentuk fundamentalisme dan radikalisme. Dalam kuantitas yang juga massif, gerakan spritualitas seperti new ages dan mistik adalah bentuk para-religion. Dengan penekanan pada spiritualitas, para-religion model ini muncul dengan wajah yang lebih inklusif bahkan lintas agama. Fenomena ini diwakili misalnya oleh Khazrat Inayat Khan, Jewbu (Jews Budhist), Hisyam Kabbani, Ibn Arabi Society, kelompok-kelompok spritual India, dan lain-lain.Ungkapan John Naisbitt mungkin mewakili apa yang sedang terjadi itu: “Sprituality, yes; Organized religion, no.”
Ketiga pembicara sama menyimpulkan bahwa globalisasi tidak selalu harus dipandang sebagai ancaman bagi agama. Hafsin melihat globalisasi adalah tantangan bagi agama untuk terus berbenah. Globalisasi, menurut Titaley, adalah ranah di mana agama bisa melakukan dialog dan respon terhadap modernitas. Sementara Ulil menekankan pada pentingnya memanfaatkan globalisasi sebagai ruang terbuka di mana agama bisa memasarkan ide-idenya.
Komentar
Agama dianalogikan sebagai baju? Pemikiran yg dangkal.agama itu ada dihati para pengikutny.ud deh jil buat agama baru aja.agama baju baru gmn?
Di antara sunnatullah, segala sesuatu diciptakan berpasangan. Dalam kondisi itu manusia selalu dalam tegangan dikotomi, termasuk modernitas-religion, globalisasi-nasionalisasi dan lainnya. Pada akhirnya tegangan dikotomi itu melahirkan sintesa yang lalu direaksi dengan antitesa, namun akhirnya akan tercapai sintesa. Sebab,umumnya tidak ada yang benar-benar ekstrim ke salah satu kutub. Bahkan kecenderungan alamiah keduanya akan semakin ke tengah sehingga tercapai sintesa karena bersikeras tentang kebenaran relatif hanya berarti tidak jujur, sebagai refleksi sikap mau menang sendiri.
Oleh karena itu masing-masing kutub, baik modernisme maupun religion dan lainnya tetap akan mempunyai artikulasinya sendiri. Apakah itu disebut para relegion bagi agama atau post modernisme bagi modernitas tidak harus berarti pseudo. Sebab setiap masa ada artikulasinya sendiri dan sebaliknya.
Meski demikian tak dapat dipungkiri unsur radikal bebas yang merusak dan membuat degradasi akan menyebabkan kiamat sebagai sunnatullah akan terjadi. Maka yang bisa dilakukan guna memenuhi curiositas manusia yang selalu ‘membelum’ialah mengartikulasikan zaman sesuai posisi dan porsi masing-masing guna mendukung fungsi utama sebagai khalifatul ardi yang rahmatan lil alamin.
ASSALAMUALAIKUM.
setiap pemeluk agama islam harus fanatik dengan agamanya(islam) .setiap pemeluk agama islam harus yakin bahwa agama islam adalah agama yang paling benar dan di ridhoi oleh
ALLAH SWT(TUHAN PENCIPTA ALAM BESERTA ISINYA)dengan tidak melupakan toleransi terhadap pemeluk agama lain.ISLAM (agama ISLAM) menghargai dan menghormati pendapat dan perbedaan pemikiran orang lain.islam tidak mengajarkan pemaksaan dan kekerasan selama islam(agama islam)tidak diganggu dan di rusak sifat ajaran dan akidahnya.islam adalah
agama rahmatan lilalamin.
bukan apa agamanya yang paling penting saat ini, tatapi seberapa besar agama yang kita anut mampu memberikan konstribusinya pada lingkungannya.
Islam merupakan dienul,yang di turunkan ALL0H kepada rasul2-NYA.sedangkan tradisi dan m0dernisasi hanyalah buatan manusia yang fana,menurut kepentingan mereka sendiri.Lain halnya dengan ISLAM yang mengatur semua sendi kehidupan yang padanya takkan ada satu atau seorangpun,yang di rugikan olehnya,merupakan suatu perjanjian final.tradisi ataupun modernisasi pabila tertolak oleh kaidah islam maka harus di tinggalkan.
Komentar Masuk (13)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)