Agama Pascasekularisme
Oleh Abd. Malik Utsman
Sejarah manusia memasuki zaman yang populer dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar modernisme telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik narasi-narasi yang terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas dianggap gagal mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan (tension), sakit mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.
Will Durant, seorang pemikir antiagama, suatu kali pernah mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama akan mati untuk selamanya, kecuali agama. Seratus kali dibunuh, agama akan muncul lagi dan kembali untuk selamanya.” Petikan ini menyiratkan bahwa agama merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia. Dalam lintasan sejarah, agama selalu menjadi teman setia mendampingi sejarah umat manusia.
Namun di mana posisi agama ketika pelbagai tragedi kemanusiaan terjadi dalam sejarah manusia? Secara normatif, agama selalu mengajak pada hal yang paling luhur dalam jiwa manusia. Tapi, hampir tidak satupun agama bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan seperti peperangan, pelecehan kemanusian, dan pemekosaan kebenaran.
Mestinya, kalau agama selalu stand-by dalam rentang sejarah kemanusiaan, maka agama mestinya ikut bertanggungajwab terhadap itu semua. Makanya, pada titik ini peran agama mendapatkan kecaman dan gugatan. Agama sudah mengalami erosi peran dan krisis wibawa di tengah kehidupan manusia. Agama sebagai media Tuhan untuk mengurai makna dan nilai kehidupan, tidak sanggup menata moral dan etika manusia.
Suatu kali, Kathleen Bliss mensinyalir krisis agama disebabkan adanya gempuran dahsyat “revolusi industri”. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memosisikan agama secara tidak fungsional dan marginal. Hanya kalau dicermati lebih mendalam, pemasalahan mendasar bukan pada hadirnya modernitas. Justru modernitas yang menampilkan eksistensi manusia yang kehilangan orientasi hidup, potensial menjadi peluang bagi agama untuk berperan lebih signifikan.
Agaknya, persoalan muncul karena nalar yang dikembangkan agama tidak sesuai lagi dengan nalar modernitas. Dengan mengutip Wilson, kita tahu bahwa pola agama tidak kondusif dengan etos yang dikembangkan masyarakat modern. Ketidakmampuan agama dalam menyesuaikan diri, menyebabkannya gagal dalam mengurai etika dan moralitas yang dapat menjadi penjaga tatanan sosial manusia. Etika agama begitu kropos untuk mampu menjawab problem baru yang dihadapi manusia; daya tarik agama pun pudar. Manusia tidak lagi tertarik dengan agama, karena beragama dianggap sikap setara dengan pemeliharaan budaya konservatif dan primitif.
Kini sejarah manusia memasuki zaman yang populer dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar modernisme telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik narasi-narasi yang terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas dianggap gagal mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan (tension), sakit mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.
Posisi agama yang pernah dicemooh sebagai penghambat modernitas, desah kaum tertindas, cermin sikap kekanak-kanakan, mendadak berubah menjadi primadona baru. Tapi anehnya, kini agama kembali mengarah ke peran sebagaimana pola masa silam: pertama, formalisme atau ideologisasi agama dan kedua, keberagamaan bercorak mistisisme. Dua pola keberagamaan yang dewasa ini populer itu, nampaknya akan kembali mengulangi kegagalan peran agama di masa lampau.
Pertama, dengan formalisme atau ideologisasi, agama mendadak kembali tenar. Agama kembali tampil percaya diri sebagai ideologi tandingan atas ideologi yang hegemonik. Agama diusung kembali menjadi ideologi, bahkan dipaksa menjadi etika formal masyarakat, atau justru menjadi asas negara. Posisi ini mengisyaratkan balas dendam agama yang merasa dilecehkan oleh sekularisme. Agama kini disanjung tinggi-tinggi di puncak piramida kehidupan bermasyarakat, atau dielu-elukan sebagai dasar negara. Fenomena politik bernalar agama dan agama bernalar politik terlihat. Dengan posisi demikian, bukan tidak mungkin agama akan kembali tenggelam sebagaimana semula. Sebab, pola seperti inilah yang pernah dikutuk habis oleh Zaman Pencerahan.
Bentuk kedua adalah keberagamaan bercorak mistisisme. Di kota-kota besar dewasa ini, masyarakat yang gerah akan gaya hidup modern yang mekanik, lari menuju hal-hal yang berbau mistik. Fenomena ini dapat dicermati dari kecenderungan masyarakat yang merasa lebih terhibur oleh tontonan horor, misteri, dan penyingkapan dunia lain. Pada fenomene tersebut, agama ditempatkan sebagai dewa penyelamat. Agama ditempatkan tidak lebih sebagai pengusir hantu.
Secara psikologis, kecenderungan ini akan mencetak manusia yang cepat lari dari kenyataan, dan antipati akan realitas kemanusiaan. Manusia cenderung lebih senang memuaskan ketegangan psikologinya dengan hal-hal yang berbau mistik, sembari menampik kondisi sosial. Pola keberagamaan seperti ini, pada akhirnya akan mengundang pengeritik untuk mengatakan agama sebagai ruang pengap takhayul yang fantatis, eskapis atau ajang pelestarian fiksi dan imajinasi di alam bawah sadar umat manusia.
Untuk itu, diperlukan kemasan dan cara pandang baru teologi dalam menghadapi era pascasekular. Kegiatan berteologi harus mampu menampilkan peran-peran yang mampu merespon persoalan mendasar kemanusiaan, serta siap menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Sebab persaoalannya, tergusurnya agama di era modern bukan disebabkan serbuan sekularisasi dan modernitas yang amat deras, tapi lebih disebabkan kenyataan agama yang tidak mampu bermain secara progresif dan kontekstual dengan tuntutan zaman.
Maka dari itu, setidaknya ada dua model berteologi yang bisa ditampilkan umat beragama kini. Pertama teologi rasional yang bersedia membuka ruang bagi rasionalitas untuk ikut andil dalam penafsiran ajaran agama dan menyajikan perspektif baru agama yang luas dan lapang. Agama merupakan sekumpulan doktrin yang terbakukan di masa lampau. Sementara problem zaman terus menggelinding tiada henti-hentinya. Pada titik ini, rasio dapat membantu agama dalam menyajikan pendekatan “relevansi sosial” yang mampu menutup gap antara kelambanan agama dan lajunya isu-isu kemanusiaan.
Rasionalitas tidak perlu dicurigai akan meruntuhkan wibawa agama. Sebab rasio merupakan bagian lain penopang agama. Mengutip Bacon, “Little philosophy bringeth men’s mind to atheism, but dept in philosophy bringeth men’s mind about to religion” (Sedikit filsafat akan menjerumuskan akal manusia ke arah ateisme, tapi filsafat yang mendalam akan menggiring akal manusia ke arah agama). Dengan demikian, sangat penting kembali memosisikan akal sebagai anugerah dan amanat yang diberikan Tuhan pada manusia untuk mencari kebenaran.
Kedua, berteologi sosial. Kegiatan berteologi, menurut Paul Tillich adalah kegiatan mempertemukan antara jawaban yang terdapat dalam agama dengan pertanyaan yang muncul dari kenyataan sosial secara dialektis. Berteologi sangat terkait dengan problem sosial. Dalam teologi, umat beragama dituntut untuk mampu mentranformasi nilai-nilai transendental ketuhahan ke dalam nilai-nilai imanen kemanusiaan. Mengatasi peperangan, kemiskinan, pemerkosaan hak-hak asasi manusia, serta berkorban untuk problem sosial merupakan salah satu wujud konkrit panggilan Tuhan.
Makanya, agama menurut Mutahhari adalah fitrah manusia. Kefitrahan itu harus terus dipertahankan agar agama dapat bertahan sebagai entitas yang salih untuk tiap ruang dan waktu.Dengan cara berteologi seperti di atas, kesesuaian agama di sepanjang zaman akan dapat bertahan. Agama tidak lagi akan dipandang sebagai penghambat perubahan, tapi akan dianggap sebagai “penghalus” modernitas, sebagaimana ungkapan Georg Simmel.[]
Abd.Malik Utsman, Pemerhati Sosial-Keagamaan; Alumni Madrasatul I’dad Ma’had ‘Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Komentar
Agama Pascasekularisme sesuai Yunus (10) ayat 100, adalah menunggu-nunggu dan tidak melupakan Hari Takwil Kebenaran Kitab sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53. artinya datangnya 400 ayat Hari-Hari Allah lainnya, sesuai Ibrahim (14) ayat 5, Al Jaatsiyah (45) ayat 14, turunnya Ilmu Pengetahuan Agama sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22, untuk menciptakan Agama Allah setelah agama disisi Allah adalah Islam kaffah sejak dahulu Adam, sesuai Ali Imran (3) ayat 19,81,82,83,85, Al Maidah (5) ayat 3, Al Hajj (22) ayat 78, Al Baqarah (2) ayat 208, An Nashr (110) ayat 1,2,3, tempat berbondong-bondong masuk kedalamnya semua umat manusia dan menang (Damai Beragama).
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
sebuah modernisasi jika tidak ditanggapi berdasarkan nilai-nilai fundamentalis keagamaan hanya menjadi sebuah retorika yang menyesatkan umat beragama itu sendiri.Ketika zaman ini sudah kembali ke jahiliah,banyak pemikir-pemikir yang menganggap dirinya modernis yang dijadikan suritauladan masyarakat yang ammah mengeluarkan ajaran yang hanya bersifat filosofis,saya hanya menghimbau kembali kita ke sirah nabi,jadikan pedoman dengan memegang teguh qur’an dan hadist,apakah yang kita anggap modernis itu sesuai dengan nilai islam yang benar,tidak didasarkan pada fikiram manusia yang serba terbatas cakupannya.Sekuleritas belum selesai,sampai saat ini sekuler terus menghantui manusia terutama umat islam,ketika kehidupan beragama di pisahkan dari kehidupan dunia,maka nilai-nilai yang melandasi kehidupan sehari-hari akan hilang,kemaksiatan akan merajalela,nilai jama’i akan runtuh,dengan begitu umat ini terbelah seperti buih di tengah ombak laut yang luas. Kebangkitan agama(islam terutama) dimulai pada saat palestina di caplok secara kejam oleh Israel yang saat ini ingin menyebarkan paham sekulernya. Ketika Modernitas tidak di dasarkan pada nilai fundamentalis akan mengakibatkan kemaksiatan,kenakalan remaja,dan perbuatan maksiat.Itu bukan karena Modernitas yang gagal tetapi penyikapan hidup yang salah,ketika seseorang berada pada lingkungan islam(yang terus berkembang) akan terwarnai dengan islam juga,dan sebaliknya ketika seseorang yang belum siap untuk berada pada kehidupan sekuler,jelas terwarnai dengan keadaan itu,karana sekuler dekat dengan nafsu dan nafsu dekat dengan setan. Ingat Islam tidak hanya ibadah,umat islam berada pada perang idielogi ketika umat islam tidak menyadari dirinya islam dan lepasnya ilmu dan ibadah islam.Islam juga berpolitik,islam juga ekonomi.Proses seperti ini yang semua orang berlum menyadari.Allahuakbar
-----
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Islam adalah agama yg menempati rating tertinggi dalam perkembangan jumlah umat (silahkan lacak statistik di google.com). Memang ada banyak konflik antar agama, namun jangan lupa lihat akibat nasionalisme (kebangsaan) seperti: perang antar inggris dan amerika (lihat cuplikan pada film the patriot: Mell Gibson), perang candu di cina (Inggris menjajah melalui penyebaran candu di cina walau akhirnya kedahuluan komunis), Belanda di Indonesia (kerja paksa dan penghisaban dan dilanjutkan dengan kedok politik balas budi yang hakekatnya penjajahan gaya baru), perang saudara di dataran India akibat adu domba inggris, perbudakan di era revolusi industri (inggris dan negara besar saat itu berebut untuk mendapat budak agar mencapai pertumbuhan ekonomi), serangan Amerika ke Irak untuk mengambil minyak (dalih senjata pemusnah masal tidak pernah terbukti), perang saudara di afrika (suku hutu dan tutsi), jebakan hutang IMF (alat negara imperialis) yang bikin Argentina, Brazil dan Indonesia tambah miskin (karena paksaan kebijakan ekonomi (lihat buku: matinya ilmu ekonomi oleh ekonom inggris)). Jadi silahkan buka pikiran jangan terjebak tulisan yang tendensius memojokkan Islam.
Aqidah Islam berbeda dari keyakinan lain jadi jangan samakan dengan keyakinan lain yang lemah (silahkan lihat karya karya Harun yahya http://www.harunyahya.com/indo/index.php , atau http://www.geocities.com/~abdulwahid/dawah/nabi_hindu_script. html atau http://www.hayatulislam.net/index-download.php.)
Juga sebagian besar tulisan di situs ini dalam menafsirkan Islam juga telah mengabaikan makna istilah yang dikembangkan Al Quran (hali ini seharusnya diketahui dan dipahami bahwa setiap disiplin Ilmu memiliki makna istilah sendiri contoh bila kita bicara tentang positioning dalam marketing maka akan berbeda dalam makna bahasa biasa; dalam makna bahasa artinya peletakan sedangkan dalam marketing itu sudah khas berarti meletakkan image barang pada benak konsumen yang menjadi target dll) jadi berhatihatilah.
Kepada Allah kita kembalikan segala sesuatu
Kemanapun memandang hanya kebesaran Allah.......
SyariahNya adalah petunjuk yang tak habis dan janji Allah kebenaran Islam akan mersuk kesegala lapangan hidup
Benar! Bahwa Islam, berikut sistem hukum yang ada di dalamnya seperti Al-qur’an dan hadits telah mengalami prosesi penyempurnaan.
Justru! Karena alasan kesempurnaan itulah maka Islam dapat ditinjau dari perspektif yang bermacam-macam, tak hanya mati dalam tataran tekstual belaka, namun juga membuka kesempatan seluas-luasnya kepada wacana yang bersifat kontekstual.
Adalah sebuah kelucuan ketika kita berbicara tentang agama, tuntunan hidup, serta realitas sosial, tanpa memakai ‘piranti’ yang berasal dari manusia itu sendiri: salah satunya akal.
Akal memang mempunyai keterbatasan. Namun memberikan ruang pada akal dalam memberikan tafsir atas TEKS agama (yang terkadang bersifat temporal dan lokal) bukanlah sebuah “dosa” apalagi kesalahan, justru bagi saya pribadi hal itu merupakan satu bentuk kemuliaan.
Begitupun ketika era mengalami pergantian dan akal kembali mengambil peran, itu semata-mata dilakukan karena sifat dari sistem hukum agama itu sendiri yang sangat fleksibel.
Esensi yang terkandung dari agama tak akan berubah ketika kita mencoba mengambil ‘pilihan lain’ yang terkesan menentang waktu dan ruang. Tidak pula akan menjadikan kemuliaan agama semakin memudar. Namun dengan langkah itulah agama akan benar2 menjadi “ruh” yang menyatu dalam diri manusia, bukan entitas sombong yang hanya bisa menyendiri dan perlahan menghilang dari “dunia” manusia.
Bagi orang yang mampu “memanusiakan” Tuhan, dia sadar bahwa Tuhan tak pernah berhenti berfirman. Kejadian serta fenomena yang ada di sekitar kita merupakan “ayat-ayat"-Nya yang baru, dan hanya orang2 yang mau berpikirlah yang dapat memahami dan mencari hakikat terdalam atas apa yang ada di baliknya.
Budayakan berpikir! Atau anak cucumu tidak akan mengenal kebenaran melalui pikiran.
So, tell me now: think is not a crime..!!!
Agama akan tetap menjadi agama dengan semua doktrin,tuntutan dan tatanan yang telah tertulis didalamnya sampai kapanpun. Tidak akan disebut agama jika berubah setiap eranya. Tidak juga pasca-pasca yang ada. Agama telah digariskan oleh Tuhan sebagai tuntunan hidup yang “fleksible”, sebagai pedoman yang berawal dan tak berakhir… Teologi keagamaan apalagi dengan menggunakan rasio manusia yang sangat-sangat amat terbatas bukanlah penyelesaian. Tuhan menciptakan akal untuk menggali semua yang telah diberikan-NYA lewat agama bukan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam agama-NYA.
Komentar Masuk (6)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)