Akal: Dicerca atau Dipuja?
Oleh Ismatillah A. Nu’ad
Namun, sembari dicaci-maki dan dinista agama, akal tetap tiada henti menghasilkan produk-produk yang menandai kemajuan zaman dalam berbagai fase sejarah manusia. Akal telah membuahkan industrialisasi, sekulerisasi, liberalisasi, teknologi dll., terutama di dunia modern. Semua produk itu—tidak hanya oleh umat Islam, tapi oleh agama umumnya—justru dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mendasar.
Jika ada sesuatu yang paling dibenci oleh umat Islam atau umat beragama umumnya karena dianggap mengganggu ketenangan iman, tak lain adalah akal. Sementara dalam filsafat etika banyak menghargai peranan akal sebagai landasan etis. Akal juga benar-benar dijadikan alat penting oleh para teolog-rasional (al-mutakallimûn) dalam membangun argumentasi filosofisnya. Di kawasan itu, iman seakan-akan diobok-obok, dan dibolak-balik. Oleh karena itu, akal dianggap membahayakan keimanan bagi khalayak awam.
Namun, sembari dicaci-maki dan dinista agama, akal tetap tiada henti menghasilkan produk-produk yang menandai kemajuan zaman dalam berbagai fase sejarah manusia. Akal telah membuahkan industrialisasi, sekulerisasi, liberalisasi, teknologi dll., terutama di dunia modern. Semua produk itu—tidak hanya oleh umat Islam, tapi oleh agama umumnya—justru dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mendasar.
Asumsi di atas tidak seluruhnya tepat. Anggapan bahwa akal bertentangan dengan iman dan dogma agama, sesungguhnya tak sesuai dengan fakta sejarah. Semua proses kemajuan yang monumental di setiap zaman, dapat dipastikan berkat peranan akal. Di masa keemasan Islam di abad pertengahan misalnya, akal-budi insan-insan kreatif Islam-lah yang telah mendorong dan menemukan inovasi-inovasi penting bagi peradaban Islam. Sebaliknya, kemunduran Islam disebut-sebut buah dari dikecilkannya peran akal-budi.
Renaissance, aufklarung, enlightment atau masa pencerahan di Eropa, muncul karena Barat banyak menghargai dan mengoptimalkan pemberdayaan akal. Dalam pemikiran teologi skolastik Kristen Abad Pertengahan, akal justru dianggap sebagai penerang iman, sebab mereka sadar, tanpa akal, iman menjadi buta.
Bangkitnya semangat pencerahan di Eropa itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh capaian-capaian pemikiran-pemikiran kaum rasional Islam, seperti Ibn Rusyd yang kala itu menjadi semacam hantu di Eropa. Pemikiran rasional Ibn Rusyd, membuahi pemikiran Eropa sehingga berkuncup, berbunga, bahkan berbuah. Sementara umat Islam terperosok dalam ketidakrasionalan yang menyumbang pada kemunduran hampir seluruh dunia Islam. Akal dianggap bertentangan dengan iman, bahkan meruntuhkan iman dan kehidupan.
Nah, tulisan ini akan menguji asumsi pertentangan antara iman dan akal, dan mengulas bagaimana pandangan Alqur’an tentang akal.
Akal dan Hati dalam Alqur’an
Akal berasal dari bahasa Arab yang berarti “mengikat”. Dalam Alqur’an, kata akal tidak termuat sebagai isim (kata benda). Kenyataan itu jelas melunturkan argumen kaum awam yang selama ini menganggap akal sebagai benda dalam kepala manusia yang berfungsi untuk berfikir. Akal dalam Quran berjenis fi’il (kata kerja), yang maksudnya selalu dinamis dalam kurva terus meningkat. Dalam mengapresiasi akal itu, Alqur’an tak hanya menggunakan satu jenis kata untuk memerintahkan manusia menggunakan akalnya (‘aql), tapi juga menggunakan jenis lain seperti berfikir (fikr), merenung (dzikr), dll. Namun tujuannya satu supaya manusia menggunakan akalnya.
Kenyataan yang mungkin agak mengejutkan, Alqur’an tidak pernah mengkritik akal dalam ayat-ayatnya. Dalam banyak ayatnya, Alqur’an justru menempatkan akal sebagai pemberian mulia yang dimiliki manusia. Manusia menjadi mulia karena akal, tanpa akal manusia turun derajat menjadi hewan. Dalam rangka memuliakan akal, Alqur’an sering menganjurkan manusia untuk berpikir, merenung dengan pikiran mendalam (afalâ ta`qilûn, liqawmin yatafakkarûn, dll.) pada banyak akhir ayatnya.
Atas dasar kemuliaan akal, dalam mazhab teologi rasional Islam, akal dianggap sebagai rukun iman pertama sebelum iman kepada Tuhan. Argumentasinya adalah, bagaimana manusia akan beriman kepada Tuhan jika akalnya belum secara jelas mengarahkan keimanan kepada Tuhan itu sendiri (Hanafi: 2003). Bahkan, menurut teologi itu, jika seandainyapun Alqur’an tak diturunkan, akal mampu melakukan identifikasi hal yang baik dan yang buruk. Akal juga mampu mengetahui keberadaan Tuhan (Izutsu: 1994). Jadi, iman tak mesti hanya dengan keimanan itu saja, beriman bisa juga dengan akal.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah Alqur’an tak pernah mengkritik atau mencela akal, bahkan mengutuk kaum muslim awam yang selama ini menolak peran akal. Misalnya, dalam wacana keimanan mereka. Kenyataan itu juga menyentak kaum muslim yang selama ini banyak mengapresiasi nuansa spiritual. Mereka banyak mendekati Islam dengan menggali potensi-potensi hati (qalb) dengan jalan zikir-zikir, dll. Mereka menganggap akal sebagai instrumen subaltern. Sedangkan hati merupakan instrumen terbaik untuk mendekati Tuhan.
Terlalu percaya diri tanpa diimbangi pengetahuan juga merupakan kebodohan. Hati yang dijadikan kaum muslim spiritualis sebagai instrumen terbaik, justru dalam Alqur’an banyak di kritik. Tak sedikit ayat Alqur’an memberi petunjuk soal itu, seperti penggalan ayat fî qulûbihim maradl (dalam hati mereka terdapat penyakit). Maksudnya, banyak ayat Alqur’an mengkritik peranan hati dalam diri manusia dalam rangka mencari nilai kebenaran. Hati dalam bahasa Arab qalb, berarti berubah-ubah dalam kurva turun-naik. Kenyataan itu tak seperti akal yang kurvanya terus meningkat.
Jika hati digunakan untuk mendekati Iman atau Islam, jelas memiliki resiko kefatalannya tinggi. Sebaliknya akal tak memiliki resiko kefatalan itu. Lagi pula, jika menjadikan hati sebagai instrumen mendekati Islam, maka dapat dipastikan kadar keimanannya lemah karena (imannya) sewaktu-waktu yang tak terduga menjadi turun ketingkatan terendah.
Kekekiluran yang Dipelihara
Kecenderungan kaum muslim di masa kini, yang banyak mengapresiasi pendekatan Islam dengan jalan zikir-zikir, adalah menjadikan instrumen hati untuk mendekati Islam. Alih-alih akan menjadi maju, kaum muslim bertambah terperosok dalam kebodohan karena terus tertidur dalam buaian spiritualitas.
Keimanan yang dibangun lewat hati, seperti kecenderungan kaum muslim di masa kini, jelas mudah menjadi lemah, rapuh, keropos, dan sewaktu-waktu bisa terjatuh dalam kenistaan. Berbeda jika keimanan dibangun dengan akal, kaum muslim akan menjadi tegar, kuat, tercerahkan, dan terjauh dari lubang-hitam kenistaan yang dikhawatirkan dalam pesan-pesan suci Islam.
Tanggung jawab sosial untuk membangunkan kaum muslim dari tidurnya yang panjang, jelas menjadi kewajiban kita semua yang selama ini beriman dengan akal. Islam tak akan pernah berjaya lagi jika kaum muslim yang banyak ini hanya menjadi buih akibat beriman dengan hati-hati mereka.
Berislam dan beriman mestilah memiliki konsekuensi sosial. Maka tak salah kemajuan suatu bangsa dikarenakan keyakinan beragama mereka. Prinsip-prinsip bertauhid dalam Islam secara garis besar memberi keleluasaan pada kaumnya untuk mencari maslahat dan memberi maslahat kepada sesama. Berislam dan beriman yang memiliki konsekuensi sosial adalah berislam dan beriman dengan akal. Karena dengan akal nurani kemanusiaan itu dibangkitkan, dan dengannya pula manusia menentukan jalan hidup ke arah yang lebih baik lagi. Wallâhu A’lam
Ismatillah A. Nu’ad, Mahasiswa Jurusan Teologi dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bekerja di Center for Moderate Moslem (CMM).
Komentar
Assalamualikum,wr,wb…
Iman tanpa pengetahuan adalah iman yang nekad, bayangkan kalau anda mengimani sesuatu tapi anda tidak tahu apa itu isinya. Kalau anda membeli kucing dalam karung dan tidak melihat isinya dan percaya saja karena iman anda, apakah yang orang orang disekeliling kita katakan? Pasti kita dibilang orang yang bodoh. Sama halnya dengan beragama, kenapa kita pilih agama Islam? Apakah karena iman kita dan kita percaya begitu saja? Saya kira tidak begitulah seharusnya. Kalau kita sudah yakin bahwa Islam adalah agama yang benar maka barulah kita bisa menentukannya dan setelah itu kita juga harus membaca Al Qur’annya untuk menguatkan iman kita. Apakah kita bisa dikatakan beriman kalau kita tidak tahu isi Al Qur’annya? Tentu saja bisa tapi inilah yang kita sebut iman yang “nekad” dan pada akhirnya orang orang ini hanya digunakan sebagai alat alat dari orag orang yang mau mencari keuntungan diri sendiri. Saya yakin bahwa kemunduran Islam disebut-sebut buah dari dikecilkannya peran akal-budi inilah penyebab kemunduran Islam pada saat ini, karena banyak muslim di Indonesia adalah hanya muslim yang memegang predikat Islam KTP saja. Kalau mereka mengerti isi Al Qur’an, niscaya mereka tidak akan mau diperalat oleh segolongan kelompok, orang orang atau organisasi oraganisasi tertentu, akan tetapi karena ketidaktahuannya akan Al Qur’an maka mereka mereka ini mudah di peralat. Saya juga setuju dengan pendapat saudara Harlis Kurniawan bahwa akal terbatas pada informasi yang masuk ke dalamnya lalu diolah di sana, kalau kita tanya seseorang dari desa yang buta teknologi, apa itu komputer? Tentu dia tidak bisa menjawab. Mengapa dia tidak bisa menjawab, kan dia memiliki akal? Karena akal terbatas pada informasi yang masuk ke dalamnya lalu diolah di sana. Nah, apalagi dengan masalah iman dimana kita harus beriman kepada Allah yang ghaib, malaikat yang ghaib, para nabi yang sekarang juga ghaib karena telah wafat. Akan tetapi kalau ditanya apa itu Al Qur’an? Tentu dia bisa jawab, kenapa dia bisa menjawab? Karena memang dia kenal Al Qur’an nya, karena informasi yang masuk ke dalam otaknya lalu diolah di sana. Akan tetapi kalau ditanya masalah iman dimana kita harus beriman kepada Allah yang ghaib, malaikat yang ghaib, para nabi yang sekarang juga ghaib karena telah wafat jawabannya belum tentu, karena itu tergantung kepada orangnya, apakah dia sudah membacanya atau belum? Kalau belum membacanya maka jawabnya tentu tidak tahu, tapi kalau dia sudah membaca dan mengerti pasti dia bisa menggambarkannya apa itu Allah, malaikat dan lain lain, karena Al Qur’an anda pasti menjelaskannya Saudara Ismatillah A. Nu’ad mengatakan “Renaissance, aufklarung, enlightment atau masa pencerahan di Eropa, muncul karena Barat banyak menghargai dan mengoptimalkan pemberdayaan akal. Dalam pemikiran teologi skolastik Kristen Abad Pertengahan, akal justru dianggap sebagai penerang iman, sebab mereka sadar, tanpa akal, iman menjadi buta.” dan saya kira hal ini benar adanya karena dalam kitab suci mereka mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong/ mati Yakobus 2 2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Yakobus 2 2:26 Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. Coba kita bayangkan akan perbuatan kita kalau kita tidak mempunyai akal pikiran yang benar? Sungguh percumah saja kita mempunyai iman sebesar gunung kalau tidak mempunyai akal. Banyak pmimpin pemimpin (mulah) yang pandai mengaji dan hafal 100% tapi tidak mengerti arti dari isinya ayat ayat yang dibawakannya itu. Apalagi pengikut pengikutnya apakah mereka bisa mengerti tanpa diberi penjelasan? Paling paling kita selalu disuruh bertaubat, jalanlah dijalan yang lurus dll…., tapi bagaimana menjalankannya? harus dipikir sendiri? Saya kira jawabannya adalah Al Qur’an itu sendiri. Kalau kita tidak mengerti pada saat ini mungkin pada kesempatan yang lain kita bisa mengerti, oleh karena itu kita harus membuka diri bergaul antara sesama muslim dan juga bergaul dengan kawan kawan dari barbagai bagai aliran sehingga bisa membuka pikiran kita. Kalau kita mengatakan semua orang diluar muslim adalah kafir maka akan sulitlah kemajuan kita karena kita sudah menutup diri kita. Pada jaman nabi saja selalu membuka diri atas umat nasrani misalnya pada QS 10: 94 Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Maka dari itu saya selalu bersyukur atas dibukanya situs JIL ini sehingga banyak orang dapat belajar satu sam lainnya. wassalaamu’alaikum wr. wb. Munir Sjaf
-----
Setahu saya kalbu itu bisa dimaknai dengan otak. Dan fungsinya itulah nyang sering disebut quran dengan ya’qilun, tatafakkarun, dan yang sejenisnya .Thanks god!
Dalam buku The Passion for Islam, dikisahkan bahwa suatu saat Hasan Hanafi (Pemikir Islam Mesir) menanyai kepada muridnya, “Apa tugas pertama bagi muslim?” Salah seorang muridnya menjawab, “Membaca syahadatain.” Hasan Hanafi berkata, “Tugas pertama dan utama muslim adalah berpikir. berpikirkan apa itu syahadatain, bagaimana mengamplikasikan dan sebagainya. Bukan membaca.” Berpikir pakai akal. Akal sangat penting. Ia yang menentukan baik-buruk, benar-salah. Dan akal adalah kelebihan titipan Tuhan yang tidak diberikan kepada makhluk lain selaian manusia. Akal amanat dari Tuhan. Wajib hukumnya memelihara. Cara memelihara adalah dengan berpikir. Konon, otak (perangkat keras akal) orang Indonesia itu kalau dijual di luar negeri laku mahal. Kenapa? Karena tidak pernah digunakan untuk berpikir. Saya sepakat dengan Ismatillah A. Nuam.
Assalamu’alaikum. Tulisan tentang akal ini menarik untuk ditanggapi. Saudara Ismatillah mengatakan bahwa lebih baik beriman dengan akal daripada beriman dengan hati karena hati bisa naik-turun. Saudara lupa bahwa akal itu terbatas. Coba anda tanya seseorang dari desa yang buta teknologi, apa itu komputer? Tentu dia tidak bisa menjawab. Mengapa dia tidak bisa menjawab, kan dia memiliki akal? Karena akal terbatas pada informasi yang masuk ke dalamnya lalu diolah di sana. Nah, apalagi dengan masalah iman dimana kita harus beriman kepada Allah yang ghaib, malaikat yang ghaib, para nabi yang sekarang juga ghaib karena telah wafat? Jadi, akan lebih bijak jika kita beriman dengan hati dan akal karena dengan akal kita bisa mendapat ilmu pengetahuan. Bukankah Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Saya menghadiahkan sebuah kisah untuk Saudara. Seorang pemuja akal mencemooh hukuman api neraka bagi iblis karena keduanya sama-sama dari api, bagaimana bisa menyakiti? Sang Imam yang ditanya tidak menjawab panjang lebar, beliau hanya mengambil batu bata lalu melemparkannya ke kepala sang pemuja akal. Tentu saja sang pemuja akal yang kesakitan marah dan menanyakan alasan sang Imam berbuat demikian. Sang Imam menjawab santai, “Manusia kan dibuat dari tanah dan batu bata itu juga dibuat dari tanah, mengapa kau bisa kesakitan?” Jadi, jangan terlalu memuja akal karena nanti malah akal-akalan.Wassalamu’alaikum.
Ada sebuah pertanyaan mengelitik, ketika membaca ‘Akal : Dicerca atau Dipuja?’ : Apakah tidak seharusnya umat Islam (juga umat manusia secara umum) menggunakan akal, hati, dan fisiknya sekaligus?
Kita semua paham betapa relatifnya manusia. Bukankah kita semua yakin yg mutlak hanya Allah? karenanya akan lebih optimal bagi umat manusia (termasuk umat islam) apabila mendekati agama dan semua aspek hidupnya yg lain dng segenap potensi yg ada, akal, hati, dan jasmani.
Kita semua paham masing-masing komponen manusia amat relatif. Bahkan ketika manusia mengunakan setiap potensi yg dipunyainya, dia tidak akan pernah sempurna. Kalu cak Nur almarhum bilang, manusia hanya mampu untuk mendekati kesempurnaan ( yg akan lebih mulia apabila dilakukan terus-menerus).
Sehingga, apabila manusia selalu mengoptimalkan peran otak, kelemahan hati bisa terbantu. Apabila hati terus diasah, maka kekurangan otak bisa tertambal. Dan tentu saja aksi fisik juga diperlukan agar agama (dan atau gagasan apa pun) bisa dibumikan agar bumi bisa dimakmurkan.
Bukankah amat indah apabila kita bertemu dng manusia yg cerdas otaknya, tulus hatinya, iklhas amalnya, santun tindakannya, fasih bicaranya, hendah hati sifatnya, sehat-segar-bugar-energik badannya, dan selalu sadar bahwa dirinya tidak akan pernah sempurna, sehingga terus menerus memperbaki dan mawas diri?
Hanya Allah yg maha Sempurna,Semoga berkah allah untuk kita semua.Amin.
Komentar Masuk (7)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)