Argumen Metodologis CLD KHI - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
08/03/2005

Argumen Metodologis CLD KHI

Oleh Abd Moqsith Ghazali

COUNTER legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) belum selesai diperbincangkan. Ini karena sebagian pihak memandang sejumlah pasal di dalam CLD KHI menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Pertanyaannya, benarkah CLD KHI melanggar ajaran Islam, yakni Al Quran dan Al Hadis? Landasan berpikir dan acuan apa yang dipakai tim penyusun CLD KHI sehingga dapat melahirkan pasal yang kontroversial itu?

Tulisan ini sebelumnya dimuat di rubrik Swara, Kompas, Senin, 7 Maret 2005

COUNTER legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) belum selesai diperbincangkan. Ini karena sebagian pihak memandang sejumlah pasal di dalam CLD KHI menyimpang dari ketentuan ajaran Islam.

SEBAGIAN ulama telah menghitung, tidak kurang dari 39 kesalahan dalam CLD KHI. Sebagian yang lain mengalkulasi terdapat 19 kesalahan. Karena itu harus segera dicabut dari peredaran agar tidak membingungkan dan semakin meresahkan masyarakat. Bahkan tim CLD KHI dituduh menciptakan syariat Islam baru, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan manusia karena hak dan wewenang menciptakan syariat sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan alasan ini, Menteri Agama RI turun tangan membatalkan CLD KHI.

Pertanyaannya, benarkah CLD KHI melanggar ajaran Islam, yakni Al Quran dan Al Hadis? Landasan berpikir dan acuan apa yang dipakai tim penyusun CLD KHI sehingga dapat melahirkan pasal yang kontroversial itu?

Saya sebagai orang yang terlibat semenjak awal dan ikut merekam debat demi debat di dalam tim, merasa perlu meringkas dan menyistematisasi seluruh perbincangan itu sehingga publik dapat mengetahui persis perihal paradigma yang mendasari materi hukum CLD KHI itu.

Sebuah keniscayaan

KHI yang merupakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 telah berumur hampir 14 tahun, usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya. KHI yang lahir dari pabrik intelektual manusia yang relatif tentu bersifat relatif pula, sehingga terbuka ditinjau kembali.

KHI tidak bisa disetarakan dengan ayat-ayat universal Al Quran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu. Sebagai tafsir terhadap agama, KHI bersifat tentatif sehingga revisi terhadapnya boleh dilakukan bahkan bisa menjadi wajib sekiranya memuat pasal diskriminatif.

Setelah dipelajari saksama, revisi terhadap KHI merupakan agenda yang mendesak diselenggarakan. Alasan pertama, KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Beberapa pasal di dalamnya, misalnya riil berpunggungan dengan prinsip-prinsip dasar Islam seperti yang banyak diungkap secara literal oleh Al Quran, yaitu prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), keadilan (al-`adl), kemaslahatan, penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah), dan kesetaraan jender. Ditemukan sejumlah pasal di dalam KHI yang bias jender. Pasal-pasal ini harus dihapus agar marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan tidak terlembagakan secara formal dalam regulasi perundangan.

Kedua, KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks Indonesia, KHI sebagai Inpres No 1/1991 telah berseberangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-Undang (UU) No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39/1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan. Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan lain-lain.

Ketiga, dengan membaca pasal demi pasal di dalam KHI, tampak konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, tetapi lebih mencerminkan penyesuaian fikih Timur Tengah dan dunia Arab lain. KHI tidak betul-betul merepresentasikan kebutuhan dan keperluan umat Islam Indonesia, akibat tidak digali saksama dari kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Bangunan metodologi

Sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi ketidakrelevanan fikih klasik itu karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya.

Misalnya, per definisi fikih selalu dipahami sebagai “mengetahui hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil Al Quran dan Al Sunnah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek perujukannya pada aksara Al Quran dan Al Sunnah.

Epistemologi semacam inilah yang menjadi utang model penghampiran literalistik. Untuk menghindari itu, CLD KHI bergerak dalam kerangka metodologi berikut.

Pertama, mengungkap dan merevitalisasi kaidah ushul marjinal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih. Terus terang, banyak kaidah ushul fikih yang belum difungsikan secara optimal.

Kedua, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama; [1] mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis; [2] bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan teks agama sebagai “obyek” dan dirinya sebagai “subyek” dalam suatu dialektika yang seimbang. [3] Memfikihkan syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus diposisikan sebagai jalan (wasîlah) yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghâyat) berupa keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM. [4] Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. [5] Mengubah gaya berpikir deduktif ke induktif (istiqrâ`iy).

Dari fondasi paradigmatis ini kita dapat merencanakan beberapa kaidah ushul fikih alternatif. Pertama, kaidah al-ibrah bi al-maqashid la bi al alfadz. Kaidah ini berarti yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum dari Al Quran dan Al Sunnah bukan huruf dan aksara Al Quran dan Al Hadis melainkan maqashid (tujuan hukum) yang dikandung. Yang menjadi poros adalah cita-cita etik-moral sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya.

Untuk mengetahui tujuan hukum ini, seseorang dituntut memahami konteks. Yang dimaksud bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama menemukan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat).

Kedua, kaidah jawaz naskh al-nushush bi al maslahah. Bahwa menganulir ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan. Kaidah ini sengaja ditetapkan karena syariat (hukum) Islam memang bertujuan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk ke-mafsadat-an (dar`u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, tokoh Islam bermazhab Hanbali, menyimpulkan, syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal yang lain yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.

Ketiga, kaidah yajuzu tanqih al nuhush bi al-’aql al-mujtama’. Kaidah ini hendak menyatakan akal publik memiliki kewenangan menyulih bahkan mengamandemen sejumlah ketentuan legal-spesifik yang relatif dan tentatif sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, akal publik berotoritas mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasinya.

Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih ini.

Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada ayat universal Al Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

Abd Moqsith Ghazali Anggota Tim Penyusun Counter Legal Draft KHI

08/03/2005 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Yang anda uraikan sangat benar jika kita memandang dari sisi kehidupan duniawi, tetapi kita hendaknya menyadari setia ijtihad yang kita ambil dari hadis dan alqur`an hendaknya tidak semata-mata hanya pandang dari sudut hidup kita didunia, karena dunia ini hanya persinggahan, dalam islam kita diajarkan bahwa hukum allah SWT adalah bersifat mutlak dan pada saat kita berijtihad dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi ada baiknya kita berpikir apakah ijtihad yang diambil benar - benar telah allah SWT ridhai.

Ada kesan yang tampil ketika Draft KHI ini dicetuskan, anda-anda lebih mengutamakan sisi HAM, Gender, Demokarasi dll dari sudut pemahaman Barat, yang anda sudah pasti tahu HAM,Gender,Demokrasi dalam sudut pemahaman islam itu juga ada kenapa tidak itu yang anda gali. Jadi kesannya disini anda menggali hukum islam tapi tidak melandaskan pada sudut pandang islam, tapi pada sudut pandang barat, kalau boleh saya mengumpamakan barat itu identik dengan non muslim ("anda jangan pungkiri itu karena fakta dan data yang berbicara") layaknya api dan islam layaknya air terlalu sulit untuk disatukan dalam hal hukum sehingga jika disatukan hanya ada dua kemungkinan. Jika api yang mati atau air yang habis teruapkan. 

Kalau anda merasa Cendikiawan muslim gali CLD KHI tersebut dari sudut pandang islam jangan dari sudut pandang barat. Jika anda pahamnya dari sudut pandang barat ya anda bentuk CLD nya orang barat dan dari sudut pandang barat pasti ketemu dan anda juga jadi cendikiawan barat.

Tapi saya tahu anda tidak akan mau karena itu bukan agendanya. Agenda anda yang kami lihat tak lebih bagaimana islam hadir dengan wajah pengecut, takut pada barat sehingga agamapun anda jual” karena anda lebih cinta dunia dan takut mati.
-----

Posted by ENDRI  on  03/21  at  02:03 AM

Assalamualaikum

Yang anda katakan benar adanya tapi hanya sebagian. Hal pertama yaitu pikiran manusia itu relatif sehingga perlu diperbaharui membaca dari CLD KHI intruksi presiden no.1 th 1991. Lalu KHI tidak bisa disetarakan dengan ayat Al Quran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu. Semua yang dikemukakan anda benar adanya. Namun setelah membaca informasi CLD KHI yang anda dan kawan-kawan buat ternyata justru berlawanan. Begini CLD KHI yang dulu berisi dan memuat didalamnya adalah fikrah manusia yang bersandar pada yang haq yaitu Quran dan mereka menafsirkan sesuai kaidah yang tercantum dalam Al Quran dan memang penafsirannya sesuai kaidah yang ada serta tidak menyimpang dari garis besar Quran. Masalah kesetaraan jender , pembagian harta waris, poligami, nikah beda agama dll tentunya Quran telah seadil-adilnya membagi. Alquran yang isinya adalah wahyu Alloh jelas adil. CLD KHI yang anda buat justru tidak adil plus menyimpang dari CLD KHI yang dulu cause yang ini sesuai syariat dan adil. Hal yang dikemukakan CLD KHI dalam masalah kesetaraan jender sudah dimuat dalam CLD KHI yang dulu pun poligami serta nikah beda agama. Baiklah ini diluar permasalahan yang ada, permasalahan pembagian warisan diatur dalam QS 4:10-12 , nikah beda agama diatur oleh QS 2:221, poligami diatur dalam QS 24 ayatnya saya lupa.Kemudian yang jadi perbincangan adalah penafsiran yang diberikan anda dan kawan-kawan anda dalam masalah CLD KHI ini, coba anda baca deh Al Quran yang saya sebutkan itu sudah adil apa belum masa sih Al Quran wahyu Alloh belum adil kalau mau diganti dengan penafsiran dan fikrah anda sungguh naif lalu permasalahan jender yang anda kemukakan hanya masalah waris saja khan saya kira justru Al Quran sudah adil. Maaf anda itu lulusan sarjana agama mana sih dan sarjana mana sih ??. Saya ingatkan kepada anda dan kawan-kawan jangan membuat umat islam resah ketika umat islam ingin menjalankan syariatnya dengan benar. terima kasih.

Wassalam.

Posted by Aflah Riyadi  on  03/09  at  01:03 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq